NovelToon NovelToon

Doctor Dom

Prolog

"Dom, maaf aku tak bisa menemanimu ke acara ulang tahun papamu." Ucap Stella di seberang sana.

"Apa? Kenapa baru kau katakan sekarang? Kamu di mana saat ini?"

"Aku sedang di rumah bibiku. Tadi sore, dia menghubungiku, mengatakan tak enak badan. Maafkan aku Dom."

"Lalu aku harus ke acara sendiri dan menghadapi pertanyaan mereka, menjawab sendiri. Kamu, kan tahu, aku tak terlalu menyukai pesta Stel!" Dom mulai kesal.

"Maaf, Dom. Tapi, kali ini aku benar-benar tidak bisa. Bibiku demam tinggi dan saat ini badai, aku pun tidak bisa keluar membawanya ke rumah sakit. Aku sedang merawat bibiku." Stella meninggikan suaranya memberi alasan supaya Dom tidak terlalu marah.

Dom menghela napas berat.

"Ya sudah. Sampaikan salam pada bibi. Semoga lekas sembuh."

"Ya, terima kasih, Sayang. Semoga kamu juga dapat menikmati pestanya."

"Ya, tapi aku lebih senang kamu bisa me....."

"Dom, halo? Dom? Apa kamu bisa mendengarku?"

"Stel? Stella?"

Tut... Tut... Tut....

Suara panggilan mereka mendadak terputus karena cuaca yang buruk.

"****!"

Dom mematikan panggilannya dan melempar ponselnya sembarang ke laci dashboard mobil dengan kesal, lalu dengan gesit memutar kemudi berbalik arah.

TIN.. TIN...

Suara klakson mobil di belakangnya yang terkejut seketika membahana.

Dom tak peduli, dia segera mengencangkan laju mobilnya menuju ke kediaman orang tuanya.

Petir bergemuruh, disertai hujan yang turun dengan deras menyulitkan Dom untuk melihat jalanan.

Namun, Dom tetap tak mengurangi kecepatan laju mobilnya.

Dia kesal, Stella yang telah berjanji padanya untuk menemani dan dikenalkan pada keluarganya, tiba-tiba membatalkan janjinya.

Selama ini hanya Stella yang menjadi kekasih sekaligus teman Dom.

Siapa yang tak mengenal Dom, Dominic Luther, salah satu keturunan keluarga dokter yang kaya, memiliki rumah sakit dan sarana penelitian bagi dunia kesehatan. Menguasai dunia farmasi yang membuat keluarga Luther menjadi sangat dihormati dan terkenal di seluruh belahan bumi.

Dom mengetuk jarinya pada kemudi seirama dengan musik yang sedang mengalun di radio.

Tiba-tiba seseorang mengetuk jendela kaca mobil Dom dari luar, saat Dom menoleh.

DOR

Suara tembakan terdengar dan tanpa sempat menyadari apa yang terjadi, Dom telah menutup matanya. Darah segar mengucur dari lubang bekas timah panas yang menembus kepalanya.

Tubuh Dom terasa sangat ringan dan melayang di udara. Kini tubuhnya menyatu dengan guyuran air hujan yang turun dari langit.

"Apa yang terjadi denganku? Mengapa aku ada di sini?"

Dom menatap sekelilingnya.

Gelap. Dia pun tak dapat merasakan apa apa saat ini.

Hujan.

Basah.

Namun, Dom tak merasa basah ataupun kedinginan.

Dom merasa tubuhnya sangat ringan, bagai kapas yang tertiup angin.

Dom merentangkan tangannya lebar, dan menutup matanya.

Tiba-tiba cahaya putih menyilaukan membuatnya harus membuka sedikit matanya sejenak, lalu perlahan sambil menyipitkan matanya, Dom melihat sebuah lorong.

Dom perlahan melangkahkan kakinya mengikuti jalan itu menuju ujung cahaya. Dengan hati-hati, Dom melangkah mengikuti arah cahaya, lalu dia melihat papanya sedang menenangkan mamanya yang menangis histeris di Koridor rumah sakit.

Dom menatap tajam ke sebuah ruangan di depannya.

'Ruang Jenazah'

Dom paling malas masuk ke ruangan ini. Dia sangat membenci ruang itu, sehingga berambisi untuk selalu berusaha yang terbaik dalam setiap operasi yang dilakukannya.

Tiba-tiba tatapan Dom terpaku pada sosok yang terbaring di meja kamar jenazah tertutup kain putih, hanya terlihat kakinya saja.

Entah mengapa, Dom bagai tak dapat merasakan apapun saat itu. Dom hanya bisa terpaku.

Hening.

Lalu, bagai ada kekuatan yang menarik tubuhnya. Dom tak dapat melawannya, dia merasa berputar putar dan melayang, tubuhnya terasa sangat ringan. Dom menutup matanya, mengikuti arus yang membawa tubuhnya saat itu.

Tiba-tiba tubuh Dom bagai didorong dan dihempaskan dengan keras. Tanpa sempat menyeimbangkan tubuhnya, Dom hanya dapat pasrah.

"Aaaaa.....!" Dom berteriak sekencang kencangnya, berharap dapat segera berhenti.

Tubuh Dom seakan jatuh pada sebuah tempat. Dom berusaha sekuat tenaga mengumpulkan kekuatan dan kesadaran dirinya. Dom berusaha membuka matanya yang terasa sangat lengket.

"Kau sudah sadar? Suster, tolong! Dia sudah sadar kembali!"

Dom mendengar suara perempuan di dekatnya. Sayup-sayup, Dom mendengar suara perawat berbicara mengenai tekanan darahnya, detak jantung, hingga suhu tubuhnya.

Perlahan Dom membuka matanya, namun yang terlihat hanya bayangan dan samar-samar.

"Hei, istirahatlah dulu. Aku senang akhirnya kamu dapat membuka mata dan sadar kembali."

Dom menyipitkan kelopak matanya, karena tak dapat melihat dengan jelas.

"Oh, sebentar."

Perempuan itu menyodorkan kacamata pada Dom.

"Sejak kapan aku memakai kacamata?"

Tanyanya dalam hati. Namun, sekeras apapun, Dom mencoba untuk melihat, tetap saja, hanya samar saja yang terlihat.

Dom menghela napas, perlahan dia menerima kacamata yang diberikan oleh perempuan itu.

Perlahan, Dom mengenakan kacamata, dan membuka matanya.

Dom menatap perempuan yang berusia remaja di depannya dengan penuh tanya. Belum lagi menyadari keberadaan dirinya saat ini yang berada di bangsal rumah sakit, dengan infus tersambung di tangannya.

"Apa yang terjadi padaku?"

"Kamu tidak ingat?" Remaja yang bernama Lucy menatap Dom dengan khawatir.

Dom menggelengkan kepala pelan sambil menatap Lucy penuh selidik.

"Siapa kamu? Mengapa aku bisa di sini?"

Dom menatap Lucy dengan banyak pertanyaan dalam kepalanya. Saat melihat bayangan dirinya pada pantulan kaca jendela, betapa terkejutnya Dom melihat dirinya.

Dom segera duduk, dan beranjak dari ranjang rumah sakit, perlahan dia berjalan menuju pada jendela dan menatap bayangan dirinya sendiri.

"Astaga! Apa yang kamu lakukan, kembalilah ke tempat tidurmu!" Perintah Lucy sambil berbisik.

Lucy dengan sigap memegangi tiang infus yang tersambung pada tangan Dom, lalu ikut berdiri di samping Dom memandangi kaca, lalu menoleh ke arah Dom yang masih berdiri mematung.

"Nona Lucy, ada apa?"

Seorang perawat bergegas masuk ke bangsal dan mendekati Lucy dan Dom.

"Dia tiba-tiba seperti ini? Apakah efek dari benturan di kepala kemarin?"

Lucy terlihat cemas sambil menatap perawat yang mendekatinya.

"Ayo, kembali ke tempat tidurmu lagi? Sebentar lagi dokter Stella akan datang untuk memeriksa."

"Stella?"

Dom menatap perawat itu sambil mencengkram lengan sang perawat.

"Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Dom hanya bisa terpaku, banyak pertanyaan yang ada dalam kepalanya, namun tak dapat diungkapkan.

"Arthur, apa yang terjadi padamu?"

Lucy menepuk bahu Dom, sang perawat perlahan melepaskan cengkraman Dom, dan membimbing Dom kembali ke tempat tidur dibantu oleh Lucy.

"Arthur? Siapa Arthur?" Dom kembali menatap bayangan dirinya melalui pantulan jendela kaca rumah sakit.

"Apakah dokter Stella masih lama datangnya?" Tanya Lucy setelah Dom kembali di ranjangnya.

"Dokter Stella masih di ruangannya, polisi datang mencari untuk memberikan laporan kejadian kemarin."

Lucy mengangguk mengerti.

"Jadi, benar, itu Dokter Dom?" Bisik Lucy pada sang perawat.

Meski pelan, Dom masih bisa mendengar pertanyaan Lucy.

Sang perawat mengangguk pelan, lalu bergegas keluar meninggalkan Lucy dan Dom untuk melanjutkan pekerjaannya.

Lucy menghela napas dalam-dalam, lalu menoleh pada Dom, yang masih tak melepaskan tatapannya pada Lucy.

"Apa yang sebenarnya terjadi padaku?"

Kembali

"Apa yang terjadi padaku?" Ulang Dom lirih sambil menatap Lucy.

Lucy hanya diam, lalu dia berbalik badan, dan berlari ke arah luar.

Dom bingung. Lalu, dengan sudah payah, Dom turun dari tempat tidurnya, menenteng infus, menuju ke arah luar, mengikuti Lucy.

Dom mengintip dari ambang pintu, terlihat Lucy duduk di bangku, tertunduk, sambil menutup wajah dengan dua tangannya.

"Dia menangis?" Dom mengerutkan keningnya heran.

Lalu, kembali ke tempatnya lagi sambil menunggu Lucy.

Sekitar sepuluh menit, Lucy akhirnya kembali. Meski telah mencuci wajahnya, namun, matanya masih terlihat memerah.

Dom pura-pura tak peduli, dia duduk sambil menatap ke arah luar melalui jendela, saat Lucy masuk dan duduk di samping Dom.

"Maaf. Oh ya, bagaimana kacamatanya? Apakah nyaman dipakai?"

Lucy menatap Dom sambil memperhatikan kacamata yang dikenakannya.

Dom mencoba menatap sekeliling sambil mengedipkan matanya, berusaha beradaptasi. Selama ini Dom memiliki mata yang tajam, dan tak terbiasa memakai kacamata, namun kenyataannya saat ini dia bangun dengan tubuh yang berbeda, memakai kacamata, dan terlihat sangat menyedihkan.

"Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Dom bertanya dengan suara sedikit keras, menatap tajam pada lucy.

Lucy menghela napas dalam-dalam.

"Kamu benar-benar tidak ingat?" Lucy terlihat sedih.

Dom menggeleng pelan.

"Maafkan aku." Ucap Lucy dengan kepala tertunduk.

Dom hanya diam. Saat ini dia pun tak tahu harus berkata apa pada Lucy. Mengakui dia sebenarnya bukan Arthur, dan mengatakan bahwa dirinya adalah Dom, Dominic Luther. Pasti Lucu Lucy akan mengatakan dirinya gila. Terlebih kenyataan kepalanya terluka lumayan parah, dan ada bekas jahitan yang masih belum kering berbalut perban pada kepalanya.

Dom masih diam, menunggu Lucy menceritakan kejadian yang menimpa Arthur.

"Lucy? Kamu masih di sini?" Sebuah suara menegur Lucy, suara yang sangat dikenal oleh Dom. Stella.

Dom menoleh, ada rasa rindu dalam dadanya saat melihat Stella.

"Ya, aku akan menemaninya dulu, hingga keluarganya datang." sahut Lucy sambil tersenyum pada Stella.

Stella mengangguk. Lalu, menghampiri Dom, yang saat ini dalam wujud Arthur.

Stella memeriksa jahitan bekas luka, lalu perawat memeriksa dan mencatat tensi, suhu tubuh, dan kondisi Arthur kala itu.

"Beruntung, Lucy membawamu tepat waktu. Lukamu mulai mengering, dan kondisi tubuh normal. Menurut laporan rontgen luka di kepalamu, kamu tidak mengalami luka yang fatal. Tapi, kami akan terus memantau keadaanmu dalam tiga hari ke depan secara intensif. Jika kamu merasa pusing, mual, atau tak nyaman, kamu bisa segera katakan, supaya dapat diperiksa ulang lagi. Apa kamu masih suka merasa pusing? Atau tidak nyaman?" Stella bertanya sambil menatap Dom.

Dom hanya bisa melongo. Selalu terpesona dengan Stella, yang dapat membuatnya merasa menjadi lelaki istimewa. Suara renyah Stella membius Dom. Rasa rindu menyusup, seakan mendorongnya untuk memeluk Stella.

"Arthur? Arthur? Apa kamu baik-baik saja?" Lucy membuyarkan lamunan Dom, dan menyadarkan kembali, bahwa saat ini fisiknya bukannya Dom.

Saat ini, dirinya terjebak dalam tubuh bocah remaja berkacamata bernama Arthur.

Dom hanya bisa menggeleng pelan membalas pertanyaan Stella.

"Baiklah, jika kamu tidak ada keluhan saat ini. Sebaiknya kamu harus banyak istirahat, supaya lekas pulih, dan lukamu semakin cepat kering."

Stella tersenyum pada Dom. Dom hanya bisa diam.

"Dokter Stella, apakah luka Arthur tidak memiliki efek?" tanya Lucy.

"Sejauh ini menurut hasil rontgen, luka pada kepala tidak terlalu fatal. Namun, jika Arthur mengalami pusing, mual, atau efek samping lain, dia bisa berkonsultasi lagi, dan kami akan periksa ulang kembali secara menyeluruh."

"Tapi, sepertinya, Arthur mengalami hilang ingatan." Lucy berkata pelan dengan nada takut.

Stella mengerutkan keningnya, lalu mengambil berkas hasil rontgen milik Arthur, dan memeriksa kembali sejenak.

"Baiklah. Hubungi saja aku, jika temanmu merasakan sesuatu hal yang tak nyaman akibat luka lukanya itu." Tukas Stella sambil tersenyum pada Lucy.

Lucy mengangguk.

"Apa dia akan baik-baik saja?" Lucy masih terlihat khawatir.

"Dia akan baik-baik saja. Tenang saja, Lucy. Kami akan merawat temanmu dengan baik. Sebaiknya, kamu juga harus menjaga kesehatanmu sendiri juga."

Lucy mengangguk kembali.

"Sebaiknya, kamu pulang dan beristirahat di rumah, supaya ayah ibumu tidak mencemaskanmu."

"Ya, aku akan menunggu bibi Arthur dulu."

"Baiklah, apakah kamu mau menanyakan hal lain? Jika tidak ada lagi, aku akan melanjutkan pekerjaanku kembali. " Stella berpamitan hendak pergi memeriksa pasien yang lain.

"Dokter Stella." Panggil Lucy.

Stella menoleh.

"Aku turut berduka tentang Dokter Dom." Ucap Lucy lirih pada Stella.

Stella diam dengan raut wajah tenangnya, sejenak Dom yang terkejut menatap Lucy dan Stella bergantian, mencoba memahami dan mencerna yang baru saja dia dengar dari Lucy.

'Berduka tentang Dokter Dom.' ucapan Lucy terus terngiang di telinga Dom.

Dom menatap Stella, seolah memindai reaksi kekasihnya saat ini.

Stella dengan raut wajah tenang seolah tak ingin terbaca emosinya, membuat Dom mengerutkan keningnya.

Selama ini, Stella sangat peduli akan hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Namun, saat ini, Dom melihat Stella tidak seperti itu.

Stella mengangguk, lalu berlalu dari kamar perawatan.

Lucy menghela napas kuat, hingga menarik perhatian Dom.

"Ada apa?"

Lucy menggeleng, lalu duduk di sisi ranjang.

"Kamu ingin makan?" Tanya Lucy.

Dom menggeleng.

"Bodoh! Dengar, ya, jangan membuatku semakin bersalah, jika keadaanmu semakin memburuk karena tidak makan." Omel Lucy dengan bibirnya berkomat kamit karena kesal.

Dom tersenyum kecil, melihat tingkah Lucy.

"Gadis ini, lucu juga." Batin Dom sambil meraih piring berisi makanan yang disediakan dari rumah sakit.

Dom menyuapkan sendok pada mulutnya perlahan, tanpa menoleh pada Lucy, seolah menikmati makanannya.

"Terima kasih, telah menolongku malam itu. Aku sangat takut sekali malam itu, aku tak dapat membayangkan yang terjadi, jika seandainya kamu tak ada malam itu. Kamu dengan berani melawan mereka, bahkan nyaris kehilangan nyawamu karena menolongku."

Dom menghentikan makannya, menoleh pada Lucy.

"Kamu tak sadarkan diri selama tiga hari. Maaf, aku harus membongkar tasmu, untuk menghubungi keluargamu. Namun, aku hanya bisa menghubungi bibimu yang sedang bekerja di luar kota. Hari ini, dia bilang akan kembali dan kemari. Itu ponselmu." Lucy menunjuk ke atas meja.

Dom mengangguk.

"Apa maksudmu berduka tentang Dokter Dom tadi pada Dokter Stella?" Tanya Dom, yang tak dapat menahan lagi rasa penasarannya.

"Dokter Dom meninggal."

"Hah?!" Dom meletakkan piringnya ke meja, dan melotot ke arah Lucy.

"Arthur, ada apa?" Lucy bingung dengan reaksi Dom saat ini.

"Dokter Dom meninggal? Bagaimana bisa?"

Lucy mengerutkan keningnya menatap Dom dengan bingung.

"Kecelakaan, mobilnya terbakar, dan tubuhnya nyaris tak dikenal karena terbakar semua, mobilnya meledak. Forensik sudah mengidentifikasi bahwa itu memang Dokter Dom. Pihak kepolisian sudah menetap korban Dokter Dom, dan sedang menyelidiki kematian Dokter Dom."

Dom terhenyak. Terkejut, mengetahui kenyataan yang menimpa dirinya saat ini.

"Lalu, siapa Arthur? Mengapa aku berada pada tubuh bocah ini?"

Dom mendengus kesal ketika pertanyaan pertanyaan berputar dalam kepalanya saat ini.

Menemani

"Aneh?" Desis Lucy seraya berpikir. Dom menoleh ke arah Lucy sambil mengerutkan keningnya.

"Ada apa? Lucy, kamu tidak harus menemaniku di sini. Pulanglah!"

Lucy mengangguk pelan.

"Kamu tahu? Aku merasa aneh dengan Dokter Stella. Saat kekasihnya meninggal, dia terlihat tenang dan yang lebih janggal, kesedihan yang tergambar dari raut wajahnya seolah palsu. Dia tidak benar-benar sedih karena kehilangan Dokter Dom."

Dom segera menoleh pada Lucy.

"Bagaimana kamu bisa tahu itu palsu?"

"Entahlah, aku seolah bisa membaca raut wajah Dokter Stella saat tadi memeriksamu." Sahut Lucy.

Dom menaikan alisnya, seolah menanyakan.

"Ya, sejak aku sering menemani mamaku ke psikolog, aku sedikit mulai bisa belajar melihat reaksi seseorang dari raut wajahnya."

"Mungkin itu bakat terpendammu." Tukas Dom sambil menggelengkan kepala.

"Aku ke toilet sebentar." Lucy bergegas ke luar ruangan.

Dom termenung memikir ucapan Lucy.

Dom juga merasakan hal yang sama saat melihat raut wajah Stella. Ketenangan Stella seolah dingin. Entah, Dom baru kali ini melihat Stella seperti ini.

"Mengapa dia berubah? Apa karena kehilangan diriku? Lalu, mengapa aku bisa masuk dalam tubuh bocah ini? Aarrgh...!" Dom mengacak rambutnya dengan kesal.

"Arthur, kamu kenapa?" Lucy berlari kecil mendekati lalu memeluk dan menjauhkan tangan yang tersambung infus dari kepala. Lalu Lucy memeriksa tubuh Dom dari ujung kepala hingga kaki.

"Ada apa Arthur?"

Dom hanya bisa menggeleng.

"Kamu pusing?"

Dom menggeleng.

"Kamu merasa tidak nyaman?" Lucy menatap Dom.

Dom mengangguk pelan.

"Aku akan memanggil perawat."

Lucy membalikkan tubuh, namun, dengan cepat Dom meraih lengan Lucy.

"Tidak perlu. Aku hanya ingin kamu menceritakan yang terjadi padaku, hingga aku sampai di sini."

Dom menatap Lucy dengan sungguh-sungguh. Dom meregangkan cengkeraman pada lengan Lucy, dan membiarkan gadis belia itu duduk.

Lucy menatap Dom, lalu mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara.

"Malam itu, aku terjebak tawuran pelajar sepulang sekolah. Aku tak tahu jika saat itu ada peristiwa itu. Beberapa pemuda mengikutiku, dan mereka hendak melakukan hal yang buruk padaku. Aku melawan, namun, jumlah mereka lebih banyak, dan dalam pengaruh rokok, obat terlarang atau alkohol atau semacamnya. Tiba-tiba kamu datang memukuli mereka dengan kayu. Tapi, lagi lagi, jumlah mereka lebih banyak, yang terjadi, mereka memukulimu hingga babak belur, dan kamu pingsan."

Lucy menatap Dom dengan wajah sendu, lalu memegang punggung tangan Dom yang terpasang infus.

"Aku pikir kamu meninggal saat itu, tubuhmu telah berlumur darah. Beruntung polisi datang meredakan tawuran, dan menangkap para berandal itu, lalu membawamu ke rumah sakit. Kamu sempat mengalami kritis saat itu, dan sepanjang malam aku terjaga untuk memeriksa keadaanmu. Aku takut mendengar alat itu berbunyi nyaring dengan tanda lurus. Aku berhutang padamu. Kondisimu stabil keesokannya, namun kamu belum sadarkan diri, dan baru sadar setelah tiga hari."

"Bagaimana keluargaku?"

"Aku mencoba mencari datamu di sekolah, namun, rumahmu kosong, dan bibimu yang selama ini menjadi walimu, sedang bekerja di luar kota. Aku sudah menghubunginya, dan dia seharusnya hari ini tiba. Namun, tadi dia menghubungi, mengalami delay karena badai, sehingga pesawatnya baru diberangkatkan besok pagi."

Terang Lucy sambil menatap Dom.

"Kamu tidak pulang?"

Lucy menjawab dengan menggelengkan kepala.

"Lucy? Mengapa kamu ada di sini?" Seorang dokter melangkah masuk menghampiri Lucy dan Dom.

Sosok itu adalah Erick, ayah Lucy yang bekerja sebagai dokter di rumah sakit.

"Papa. Aku menemani temanku. Dia yang kemarin menolong, saat aku terjebak tawuran beberapa hari yang lalu."

"Pasien Dokter Stella?"

"Ya." Lucy menjawab sambil tersenyum pada Erick.

Dom terkejut, kala mengetahui Lucy adalah putri Erick, salah satu rekan dokter bedahnya.

"Mengapa kamu tidak pulang?" Erick menatap puterinya.

"Di rumah tidak ada orang, Pa. Mama sedang konsultasi, dan baru pulang besok. Papa bekerja. Jadi, aku ingin di sini. Lagi pula, bibinya Arthur baru kembali besok karena pesawatnya delay."

"Dia hanya temanmu?" Erick melirik ke arah tubuh Arthur.

Dom yang sempat mendengar hanya diam, pura-pura tak mendengar, namun penasaran ada hubungan apa Lucy dan Arthur ini. Bocah yang tubuhnya dimasuki oleh Dom.

"Serius, Pa. Arthur hanya teman. Dia sekelas, tapi, aku juga tidak pernah bertegur sapa. Dia kebetulan menolongku kemarin. Apa papa tidak kasihan padanya? Dia hanya memiliki bibi, dan keadaannya seperti itu." Lucy berargumen pada Erick.

Sekali lagi Erick melirik ke arah bocah yang tergeletak di ranjang rumah sakit.

"Baiklah, pakai jaketmu, dan pulanglah besok. Temanmu itu juga sudah boleh pulang besok, bukan?"

Lucy mengangguk sambil tersenyum lebar dan memeluk papanya.

"Terima kasih, Pa! Oya, apakah aku boleh ikut menghadiri upacara pemakaman Dokter Dom?" Tanya Lucy sambil mendongak menatap Erick.

"Ya."

Erick mengangguk sambil membelai rambut puterinya.

"Terima kasih, Pa!" Lucy memeluk erat papanya.

Erick meregangkan pelukannya pada Lucy.

"Papa harus kembali bekerja, besok pagi upacara pemakaman pukul sepuluh. Jangan lupa kenakan jaketmu!"

"Baik, Pa. Selamat bekerja!"

Erick meninggalkan Lucy dan Dom, Lucy melambaikan tangan pada papanya.

Dom membalikkan tubuh menatap Lucy.

"Kenapa? Ada yang aneh?"

Lucy menghampiri Dom dan duduk di kursi di sisi ranjang.

"Kamu dekat dengan orang tuamu?"

"Ya. Aku dekat dengan mereka. Mamaku mengalami depresi usai keguguran dua tahun silam. Itulah yang membuatku semakin berusaha untuk peduli pada orang tuaku."

"Mengapa kamu masih di sini? Bukankah, di rumah ada mamamu?"

"Mamaku sedang berobat, dia sedang konsultasi dan terapi di sebuah klinik psikiater. Besok baru kembali. Di rumah aku sendiri."

"Kamu takut sendiri?"

Tanya Dom sambil tersenyum mengejek.

Lucy membulatkan matanya, melotot ke arah Dom.

"Heh, aku bukan anak penakut, ya! Aku hanya merasa sepi saja di rumah. Itulah mengapa aku menyibukkan diri dengan menghabiskan waktu di lab sekolah. Selain untuk olimpiade penelitian, juga untuk kestabilan mentalku."

"Jadi begitu mengapa kamu bisa terjebak malam itu?"

Lucy mengangguk.

"Maaf, membuatmu seperti ini."

"Tidak masalah. Lagi pula, aku akan sembuh dalam beberapa hari lagi."

"Sombong! Tidak sebentar, ya, luka di kepalamu cukup dalam, semoga tidak menimbulkan efek samping untukmu."

Lucy berdiri sambil memeriksa luka yang ada di kepala Dom.

Dom menatap Lucy sambil tersenyum.

"Heh, kenapa senyum senyum? Kamu suka padaku?" Tembak Lucy sambil menatap wajah Dom dengan tajam.

Dom terkekeh mendengar pertanyaan Lucy.

"Kamu terlalu percaya diri, Nona. Aku hanya sedang memperhatikanmu saja. Lagi pula kamu bukan tipeku." Elak Dom.

"Baguslah jika begitu. Lagipula aku juga sudah punya pacar." Ungkap Lucy.

"Oh ya? Siapakah gerangan pemuda itu, Nona?"

Dom pura-pura memasang raut wajah terkejutnya.

"Heh, nggak usah memasang tampang seperti itu! Jangan sok tua!" Lucy memukuk punggung Dom dengan keras.

Dom terkekeh sambil meringis menahan sakit.

Lucy ikut tertawa dan mereka saling bercanda sesaat.

"Lucy, apakah aku boleh ikut ke acara pemakaman?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!