“Diakah gadis itu?” tanya gadis berkemeja merah kotak-kotak sambil menyenggol siku teman di sampingnya.
“Kok masih pergi ke kampus, ya? Apa nggak malu?” timpal sosok yang disenggol tadi.
“Sungguh nggak nyangka. Padahal penampilannya seperti cewek baik-baik,” ujar si kemeja merah lagi.
“Namanya Gebri Adinda, kan?”
TAP. Kaki Gebri seketika berhenti. Terpaku sejenak sebelum menghela napas panjang dan kembali melangkahkan kakinya. Mencoba tak menghiraukan. Sebenarnya dia sudah menduga–apalagi sejak melihat salah satu teman di sekolah menengah pertamanya dahulu yang menjadi panitia OSPEK–berita itu akan terkuak, terungkap dari mulut ke mulut dengan sedikit bumbu-bumbu tambahan. Namun Gebri tidak menduga akan secepat ini. Baru saja satu bulan berlalu sejak orientasi studi dan pengenalan kampus kepada mahasiswa baru dimulai. Hanya selang waktu dua minggu sejak berhadapan mata kuliah ber-SKS dan bertemu dengan para dosen yang mengampunya.
Kaki Gebri terus bergerak menaiki anak tangga menuju lantai dua. Ada mata kuliah Pengantar Akuntasi 1 hari ini.
“Geb!”
Gebri membalikkan badan saat suara familiar tertangkap telinganya, mendapati seorang gadis berkacamata dengan baju kemeja biru polos dan celana hitam pensil yang sedang tersenyum. Gadis itu sedikit berlari-lari kecil mendekatinya.
“Di ruang II-7, kan?”
Gebri hanya menganggukkan kepala.
“Yuk!” ucap gadis bernama Koning itu yang mendahului Gebri menapaki anak tangga.
Gebri bergeming. Kembali terpaku di tempatnya dan merasa sedikit aneh. Apakah Koning tidak menghindarinya, atau berbisik-bisik seperti yang lain, menyebut-nyebut namanya dengan berbagai spekulasi-spekulasi negatif, bukan dekat-dekat dengannya apalagi menyapa dengan santai seperti ini?
“Geb, yuk! Kita harus cepat, supaya dapat kursi di belakang. Aku sedang malas berada di depan, apalagi di mata kuliah Pak Edy ini.” Koning melambai-lambaikan tangannya, menyuruh Gebri untuk segera menyusul.
“Kamu tidak malu berjalan di sampingku?” tanya Gebri ketika sudah berada di samping Koning, sesekali dia membetulkan letak tali tas ransel hitam yang hendak turun ke lengan.
“Memangnya kenapa?”
“Tentang kabar kalau aku....”
“Itu hanya gosip, kan? Tidak mungkin kamu seperti itu. Wajahmu terlihat anak baik-baik,” sambung Koning dengan cengiran khasnya yang menampakkan gigi gingsul sebelah kiri.
“Ehm... Itu Fakta. Aku memang pernah....” Gebri tak sanggup melanjutkannya, lidahnya mendadak seperti bertulang. Sangat susah untuk melontarkan.
Peristiwa masa lalunya itu terlalu menyakitkan untuk diingat. Ditambah lagi ekspresi ceria Koning kini sedikit redup, semakin membuat Gebri enggan untuk mengucapkannya. Ah, mungkin inilah cerita masa-masa kuliahnya. Sendiri dan menjadi sosok terbuang. Koning–gadis yang menjadi teman pertama saat hari pertama OSPEK–pasti akan menjauhinya. Siapa yang mau berteman dengan sosok hina sepertinya, pernah melakukan kesalahan fatal di masa remaja, di usia lima belas tahunnya. Huh! Gebri menghela napas, lalu memegang pangkal hidungnya. Sedikit pusing.
Dahulu saat melanjutkan SMA di Solo, kisah tragis itu tidak terungkap sedikit pun. Masa SMA berjalan dengan lancar. Tapi kini situasinya sudah berbeda, masa SMA berbeda jauh dengan masa kuliah. Di masa ini mereka bisa bertemu dengan orang-orang di belahan provinsi manapun, tak terkecuali kota Metropolitan itu. Pasti ada peluang bahwa orang-orang pernah mengenalnya, bahkan mengetahui kisah kelamnya lima tahun lalu.
“Yuk, kita ke kelas! Keburu Pak Edy datang nanti,” seru Gebri membuyarkan keheningan yang tiba-tiba hadir dan melangkahkan kaki terlebih dahulu, menjauh dari sosok Koning yang masih tercengang di undakan tangga.
Namun belum sampai di depan pintu kelas, langkah kakinya kembali terhenti. Tubuh Gebri kembali terpaku untuk kesekian kalinya pagi ini. Matanya menatap sedikit tak percaya pada sosok berambut model angular fringe yang juga sedang menatapnya.
Sepertinya pepatah lama yang mengatakan dunia tak selebar daun kelor tak selamanya benar. Dari wilayah Indonesia yang memiliki 13.000 lebih pulau, Gebri dan sosok laki-laki yang masih berdiri di depan ruang II-9 dengan massenger bag branded masih tergantung di bahunya, bertemu dan saling bertatap muka di kota ini, kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pelajar. Laki-laki itu tidak banyak berubah, masih tampak angkuh dan mengintimidasi dengan kedua mata yang setajam elangnya. Sudah bertahun-tahun tak melihatnya dan bahkan Gebri menduga mereka tak akan pernah bertemu lagi. Terakhir kabar yang terdengar, laki-laki itu melanjutkan SMA-nya di Singapura, negara kelahiran ayahnya.
Gebri cepat-cepat memutuskan kontak mata diantara mereka, menarik langkahnya masuk ke dalam kelas. Tidak mau terpengaruh sedikit pun. Masa lalu tetaplah menjadi masa-masa yang tak bisa diubah, tak perlu disesali ataupun ditakuti apalagi sampai diajak ke masa kini. Biarlah masa lalu menjadi sejarah dan bukti kisah hidupnya dahulu. Yang harus dilakukannya sekarang adalah fokus kuliah, cepat wisuda, lalu mendapat pekerjaan yang layak dan bisa membahagiakan Bunda juga adik laki-lakinya.
^_^
“Berapa mbak?” tanya Gebri sambil menyodorkan sepiring nasi beserta lauk pauknya.
Wanita yang berdiri di depan meja kasir melihat-lihat isi piring, kemudian mendongakkan wajahnya ke arah Gebri. “Minumnya apa Mbak?” tanyanya.
Gebri menggelengkan kepala. “Tidak usah, Mbak.”
“Semuanya delapan ribu, Mbak.”
“Ini uangnya, Mbak,” ucap Gebri sambil menyerahkan selembar uang berwarna ungu kebiruan dengan desain gambar tokoh pahlawan nasional Sultan Mahmud Badaruddin II.
“Kembaliannya dua ribu. Matur suwun, Mbak.”
“Sami-sami, Mbak.”
Gebri mengambil piringnya kemudian mengedarkan padangan. Matanya menelusuri ruangan yang tidak terlalu besar, hanya berukuran sekitar empat puluh meter persegi. Mencari tempat duduk yang masih kosong. Tak dihiraukannya beberapa mahasiswa maupun mahasiswi yang sedang memandang sinis, sembari berbisik-bisik pula. Saat ini dia hanya perlu tempat duduk, menyelesaikan makan siangnya, dan kembali ke kelas sebelum pukul satu siang untuk mengikuti mata kuliah Matematika Ekonomi.
Gebri sedikit bernapas lega ketika mendapatkan sebuah tempat duduk di pojok ruangan. Tempat yang strategis untuk makan sendiri seperti dirinya kini, dan baru beberapa suap, ponsel android yang berada di saku ransel hitamnya bergetar. Gebri menyendokkan nasi ke dalam mulut sebelum mengambil ponselnya, dan melihat sebuah pesan yang terpampang di kotak dialog berwarna hijau.
Dari Galang. Adik laki-lakinya. Laki-laki remaja itu pasti menanyakan keadaannya, seperti hari-hari biasa sejak menginjak kaki di Yogyakarta.
Gebri segera membalas pesan Line-nya. Memberitahukan kalau dia sedang baik-baik saja, dan tak lupa menanyakan tentang wanita paruh baya bernama Rasti yang telah melahirkannya. Apa kabar wanita itu? Sudah lama mereka tidak pernah saling bercanda ria. Sejak lima tahun yang lalu, mungkin sejak peristiwa memalukan itu. Tentang sesuatu hal yang orang-orang sebut dengan ‘aib’.
Pikiran Gebri menerawang jauh. Mengingat masa-masa seminggu setelah keputusan dari kedua keluarga. Saat itu dia sedang duduk lesehan di lantai sambil berselonjor. Di tangannya telah terbentang sebuah koran. Baru dibelinya ketika mau pergi ke rumah sakit. Sekali-kali matanya melirik ke sosok laki-laki yang beranjak remaja dengan mata terpejam. Tali infus mengalir dan berakhir di sebelah tangan kiri. Kondisinya sekarang sudah cukup stabil.
KRIEEET...
Gebri menolehkan ke arah pintu, terlihat seorang wanita berpakaian terusan sebatas lutut dan kacamata yang bertengger di hidungnya. Wajah itu terlihat lebih tirus dari sebulan yang lalu dengan lingkaran hitam mengelilingi kedua maniknya. Terlihat jelas raut kelelahan di sana.
“Apa kata dokter, Bun?”
Wanita paruh baya itu tak menggubris. Pandangannya terus tertuju ke arah tempat tidur, memandang sosok Galang yang masih senang memejamkan mata.
Gebri bangkit dari tempat duduknya. Beranjak mendekati Rasti. “Bun, apa yang dokter katakan?” Gebri mengulang kembali pertanyaannya, mungkin tadi sang bunda tidak mendengarkannya.
“Cukup baik.”
“Tapi kenapa Galang belum sadar-sadar, Bun?” Gebri kembali melontarkan pertanyaan, merasa jawaban itu belum memuaskan.
Seperti tadi. Rasti kembali tak acuh.
“Bun—”
“Pulanglah! Kamu tak dibutuhkan lagi di sini,” ucap Rasti yang masih belum mau mengalihkan pandangannya dari Galang.
“Tapi aku ingin menemani—”
“PULANGLAH!” potong Rasti lagi yang kini menaikkan nada suaranya menjadi beberapa oktaf.
Gebri sedikit tersentak. Selama ini, wanita paruh baya itu sangat jarang menyerukan suara lantang. Bisa dihitung jari. Tapi bila itu memang terjadi, berarti beliau dalam kondisi sedang sangat marah, mungkin sama seperti hari ini. Maka mau tak mau, dengan berat hati Gebri menjauh dari ruang inap Galang. Dan sejak hari itu, dia mulai menyadari sesuatu. Meskipun selama ini beliau tidak pernah menunjukkan secara gamblang, ternyata sang bunda membencinya. Mungkin sangat membenci dirinya dan semua berawal dari aib itu.
Gebri sedikit tersentak. Selama ini, wanita paruh baya itu sangat jarang menyerukan suara lantang. Bisa dihitung jari. Tapi bila itu memang terjadi, berarti beliau dalam kondisi sedang sangat marah, mungkin sama seperti hari ini. Maka mau tak mau, dengan berat hati Gebri menjauh dari ruang inap Galang. Dan sejak hari itu, dia mulai menyadari sesuatu. Meskipun selama ini beliau tidak pernah menunjukkan secara gamblang, ternyata sang bunda membencinya. Mungkin sangat membenci dirinya dan semua berawal dari aib itu.
Lamunan Gebri membuyar saat ponsel di atas meja kembali bergetar. Balasan dari Galang. Kabar tentang bundanya dan beberapa kata di kalimat terakhir yang membuat bibirnya tersungging lebar.
[LINE 12:38 PM]Galang~~~~
Minggu nti ak ke kosan Mbak
Kalimat itu terkesan biasa, tetapi berbeda bagi Gebri. Kalimat singkat itu seperti penguat dirinya. Masih ada yang mau memedulikannya. Memberikan sedikit pelindungan untuknya. Setelah semua peristiwa kelam yang terjadi, tidak banyak orang yang mau berinteraksi dengannya, bahkan sanak saudara dari pihak ibu dan almarhum ayahnya tampak enggan untuk berdekatan.
Sejak ayah mereka meninggal, Galang memang selalu menjadi pelindung. Seperti perisai. Siap menangkis berbagai hantaman pedang yang hendak menghunus. Semakin beranjak usia, remaja itu semakin terlihat seperti pribadi ayah mereka. Galang selalu menjaganya dan memberikan kekuatan.
“Aku duduk di sini ya!”
Gebri memalingkan kepalanya dari ponsel, menghadap ke sosok perempuan yang telah duduk di sampingnya dan sedang menyesap cairan kuning dari dalam gelas. Gebri tampak terkejut menyadari gadis berkacamata dan berkemeja itu mau berdekatan dengannya. Beberapa jam lalu, ekspresi dan sikap tidak suka tampak jelas. Bahkan selama perkuliahan Pak Edy, mereka tidak saling duduk berdekatan. Gebri memilih duduk di depan, sedangkan Koning tetap di belakang seperti rencana awal. Padahal biasanya, kalau hanya ada satu kursi kosong di belakang, mereka pasti memutuskan untuk duduk di mana saja, yang penting berdua.
“Kenapa?” tanya Koning yang merasa sedikit risih dengan tatapan tak percaya dari perempuan di sebelahnya.
Gebri menggelengkan kepala. “Tidak. Hanya....”
“Aku minta maaf, mungkin sikapku pagi tadi keterlaluan.” Koning menghela napas sedikit. “Nenekku pernah berkata, seburuk atau sekelam apapun masa lalu kita, yang perlu diketahui adalah masa depan masih tetap suci dan akan baik,” lanjutnya dan kembali mengambil napas dan menghela. “Jadi tidak ada salahnya kita berteman dan menurutku, kamu adalah sosok teman yang baik selama sebulan ini,” kata Koning lagi sambil tersenyum lebar. “Dan besok maukah kamu menemaniku ke Hartono Mall lagi?” tanyanya sambil menyeruput lagi jus jeruk yang ada di hadapannya.
Gebri mesam-mesem melihat tingkah gadis di sampingnya, kemudian menganggukkan. Inilah sosok Koning yang dikenal selama sebulan ini, sosok yang sangat ceria dan mudah bergaul dengan orang lain tanpa melihat status apapun, bahkan mungkin latar belakang. Tapi sangat disayangkan, Koning memiliki sifat yang boros. Hal itu mungkin karena Koning terlahir dari keluarga yang sangat berada. Ayahnya merupakan anggota DPRD Provinsi Riau dan kakeknya memiliki kebun sawit yang berlimpah di sana. Jadi sangat wajar apabila Koning sedikit menghambur-hamburkan uang dengan berbelanja, membeli sesuatu yang menarik matanya meskipun barang tersebut tak terlalu berguna. Tak peduli seberapa mahalnya harga barang tersebut. Selama sebulan ini, hampir semua Mall dan Plaza di Yogyakarta telah dikunjungi. Sebenarnya Gebri beberapa kali ingin menolak, tetapi dia merasa tidak enak hati. Lagipula tidak ada salahnya juga menemani Koning, sembari mengenal kota yang menjadi tempat tinggal selama kurang lebih empat tahun ini.
“Kon!” panggil Gebri.
“Ya?” jawab Koning dengan mengerutkan kening.
“Terima kasih,” lanjut Gebri sambil merangkul lengan gadis bergigi gingsul itu.
Koning terkekeh kecil sebelum menimpali perkataan gadis berambut berekor kuda dan beralis hitam tebal di sampingnya kini. “Tidak perlu berterima kasih. Sudah sepatutnya aku bersikap seperti ini. Bukankah kita berteman?”
“Terima kasih,” ulang Gebri lagi seraya melepaskan rangkulannya, kemudian melanjutkan lagi kegiatan makan siang mereka yang sempat tertunda dan sesegera mungkin menghabiskannya. Sekitar sepuluh menit lagi, jarum panjang dari jam dinding di atas rak berisikan aneka lauk pauk tepat menunjukkan angka dua belas, menunjukkan bahwa mereka harus segera berada di dalam ruangan III-4 dan mengikuti mata kuliah Matematika Ekonomi dari Ibu Arum.
^_^
Mata Gebri melirik jam di atas bufet kecil di samping tempat tidur, tepat di samping figura foto yang menampilkan empat orang sosok berbeda umur yang memasang senyum lebar, foto yang diambil lebih kurang sepuluh tahun lalu. Sekarang sudah hampir jam 8 malam. Wajar suara lambungnya sekarang bergemuruh. Terakhir mulut Gebri menerima sesuatu saat berada di kantin kampus tadi, saat makan siang dengan Koning.
Gebri mengambil jaket berbahan parasut yang tergantung di pintu, mengambil dompet berwarna merah yang tergeletak di dalam tas dan ponsel android di atas kasur, kemudian membuka pintu kamar dan menjauh dari area kosan. Setelah menelusuri jalan aspal sepanjang lima ratus meter, akhirnya dia sampai di simpang empat lampu merah. Sebelah kiri apabila menghadap ke arah utara, ada sebuah gerobak dan ruangan kecil di belakangnya yang beralaskan karpet dengan beberapa meja kecil. Tampak Pak Otot–nama panggilannya karena memiliki otot-otot besar seperti pengulat profesional–terlihat sibuk di depan panci, mengaduk-aduk olahan nasi dengan spatula di tangannya.
“Nasi goreng satu, Pak. Pedes. Dibungkus,” ucap Gebri kemudian duduk di kursi kayu panjang yang ada di samping gerobak, tempat biasa orang-orang menunggu makanannya yang khusus untuk dibungkus.
Mata Gebri melirik ke dalam ruangan, menampakkan beberapa orang sedang membuat sebuah grup yang mengeliling meja, menikmati hidangan-hidangan yang terhampar di atasnya, dan Gebri sedikit terperanjat ketika menyadari seseorang sedang menatapnya intens, seseorang yang tadi pagi berdiri di depan ruang II-9 dengan kostum yang berbeda kini. Gebri sesegera mungkin menolehkan ke arah jalanan besar, melihat lalu-lalang sepeda motor dan mobil yang melintas, berharap dapat mengusir kebuncahan yang tiba-tiba hadir.
“Mbak.”
Gebri sedikit tersentak, ternyata tadi dia sempat melamun tadi. “Ya, Pak?”
“Pedes, kan?”
Gebri mengangguk, “Iya, Pak.”
“Bentar ya, Mbak,” ucap Pak Otot sebelum kembali beraktivitas di depan gerobak, menyiapkan beberapa bahan di sana.
Kepala Gebri kembali menghadap ke arah jalanan, menyibukkan diri dengan suara deruman dan cahaya-cahaya dari lampu sepeda motor dan mobil. Tiba-tiba Gebri merasakan sesuatu bergetar dari balik celana training, memaksa tangannya merogoh ke dalam saku. Sebuah pesan terlampir di aplikasi Line.
[LINE 08:11 PM]Askoning
Kpn kta bwt tgas mkalah dri Pk Hakim?
Jemari Gebri kemudian menyentuh huruf-huruf di touchscreen ponselnya, membalas pertanyaan Koning. Dan sesaat setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, Pak Otot menghampiri dengan menenteng kantong plastik putih transparan. Dia segera membuka dompet, mengambil selembar uang sepuluh ribu, kemudian mengucapkan terima kasih dan beranjak menjauh dari gerobak.
Lima meter lagi, Gebri sudah bisa berada di dalam kosan dan bisa langsung menyantap nasi goreng buatan Pak Otot yang menurutnya sangat enak. Tapi mendadak lengannya merasa ditarik seseorang. Gebri langsung menoleh ke belakang dan matanya langsung terbelalak lebar. Tak menyangka sosok berambut angular fringe itu akan berada di sini, di hadapannya yang hanya berjarak beberapa sentimeter.
“Bisa kita bicara sebentar?” pinta laki-laki di depannya kini dengan tatapan khasnya yang terkesan menjorok ke dalam, seperti tatapan mata elang.
Untuk apa? batin Gebri, mendadak mulutnya merasa terkunci.
“Bisakah?” ulang sang laki-laki itu lagi.
“Kalau yang ingin kamu bicarakan adalah agar aku tidak memberitahukan orang-orang tentang kejadian lima tahun lalu, kamu tidak perlu khawatir,” ucap Gebri cepat, seolah mengerti arah pembicaraan laki-laki yang suaranya sudah berubah dari lima tahun lalu, terdengar lebih parau dengan wajah yang mulai tampak dewasa.
“Tidak. Bukan tentang—”
“Aku harus pergi. Permisi,” potong Gebri tatkala matanya menangkap pintu kosan yang terbuka, mendapati salah satu penghuni di sana yang sedang keluar, lalu berniat untuk berlari, tidak ingin orang lain melihat interaksi diantara mereka, tapi lagi-lagi lengan kirinya ditarik, memaksanya untuk kembali menghadap laki-laki berambut angular fringe itu.
“Aku—”
“Please, biarkan aku pergi! Aku janji tidak akan memberitahu orang-orang,” tutur Gebri terburu-buru sebelum menghempaskan cengkraman itu dan segera berlari menuju gedung bertingkat dua yang menjadi tempat tinggalnya saat ini.
Diletakkan kantong plastik yang dibawanya di atas bufet kecil, kemudian langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Pikirannya mulai melayang-layang, mengusik dirinya dengan perumpamaan ‘seandainya’.
Seandainya dia tak bersekolah di SMP 216 Jakarta.
Seandainya dia tak menjadi petugas PMR sekolah.
Seandainya dia tak mengobati luka laki-laki itu.
Seandainya dia tak bertemu lagi di Mal Kelapa Gading.
Dan banyak lagi kata-kata ‘seandainya’ lainnya yang terus berputar-putar di benak Gebri, meskipun dia tahu kalau semua perumpamaan itu tidak bisa mengubah apa-apa. Kehidupan masa lalunya tetap terukir kata ‘aib’ untuk dirinya dan keluarga.
Huh! Gebri menghela napas panjang sebelum bangkit dari tempat tidur, berharap dapat meredakan rasa sesak yang tiba-tiba datang. Kakinya bergerak menuju bufet kecil, mengambil kantong transparan beserta piring plastik dan sendok stainless. Sudah saatnya lambung Gebri diisi. Sejak tadi cacing-cacing di dalam perut sudah membuat suara gemuruh penuh protes. Tapi baru sesuap sendok nasi goreng masuk ke dalam mulut, air matanya tiba-tiba menetes dan sesaat kemudian mulai mengalir membasahi kedua pipinya.
Tidak ada yang patut dipersalahkan atas kejadian lima tahun lalu. Tidak pula untuk laki-laki bermata setajam elang yang tadi menarik lengannya. Mereka suka sama suka melakukan perbuatan tak seharusnya dilakukan, dan inilah yang harus diterima olehnya, hukuman dari Sang Pencipta karena melanggar larangan-Nya dan tergoda atas kenikmatan sesaat.
Hingga sampai sekarang, Gebri tak sekalipun melupakan hari mengerikan itu, hari di mana dia dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah tepat tiga hari sebelum UN SMP. Hari di mana pula awal kerenggangan dengan bundanya dimulai dan segala caci maki dari orang-orang sekitar mulai terlontar. Semua bermula dari kehamilannya, kehamilan tanpa status sah di usia muda, usia lima belas tahun yang seharusnya masih mencecapi indahnya masa-masa remaja. Dan tragisnya, laki-laki itu tak mau mempertanggungjawabkan, meninggalkannya dalam kubangan penuh penyesalan hingga saat ini. Penyesalan yang selalu datang belakangan dan tidak ada gunanya lagi. [ ]
CTEK!
Ruang beraksen gelap dan berlantai kayu yang memberikan kesan maskulin seketika menjadi terang-benderang. Seorang laki-laki yang memiliki ciri khas dengan mata yang menjorok ke dalam seperti elang dan berambut angular fringe melangkah masuk, mendekat ke arah ranjang dan menghempas tubuhnya di sana hingga bunyi berderit. Jemari tangannya mulai memijit-mijit ujung pangkal hidung, sedikit pusing. Lalu tubuhnya tiba-tiba bangkit saat kedua maniknya menangkap sesuatu di pojok ruangan.
Rion–nama panggilannya–berjalan menuju ke sudut kiri ruangan. Bila diperhatikan dengan saksama, ada sebuah pintu yang terhalang sebuah rak buku setinggi badan dengan roda di bawahnya. Rion mendekat ke arah benda kubus itu, mendorong sedikit ke sebelah kanan hingga sebuah pintu kayu bisa terlihat jelas. Diputar knop pintu hingga tampaklah sebuah ruangan 2 m x 2 m dengan beberapa lukisan di dinding, maneken lengkap dengan rambut palsu, dan sebuah lemari pakaian yang terbuat dari kaca.
Kaki Rion mendekat ke sebuah maneken yang full body, tubuhnya berbalut baju terusan khusus ibu hamil yang semakin memperlihatkan perut buncit sang boneka. Awalnya maneken itu seperti boneka seluruh tubuh lainnya dengan tubuh berlekuk bak gitar spanyol. Namun sejak gangguan kepribadian yang disebut dengan OCD itu muncul, Rion mengubah tubuh maneken-maneken tersebut menjadi berperut buncit dengan bantuan bola pantai yang sedikit kempes dan dilakban di sekitar perut, hingga boneka-boneka itu tampak seperti wanita-wanita dengan usia kehamilan empat bulanan lebih.
“Sehat-sehat di dalam perutmu Bundamu, nak,” lirih Rion sembari mengusap-ngusap perut sang maneken.
Beberapa minggu sejak menginjak kaki di negara dengan julukan Negeri Singa lima tahun silam, ucapan dan tingkah laku seperti itu mendadak timbul dan dia sering melakukannya. Mungkin orang yang melihatnya pasti menganggap gila. Tapi bagi Rion, semua tindakannya merupakan bentuk pelampiasan atas kebungkaman di hari itu, hari saat dia hanya bisa menundukkan kepala dan membiarkan kedua orang tuanya mengambil keputusan. Bahkan saat itu, tidak satu kata pun terucap dari mulutnya, apalagi sekedar untuk memandang ke arah gadis yang duduk di kursi santai dekat kolam renang.
Usia menuju enam belas tahun adalah masa-masa emas untuk mengembangkan bakat dan minat, tapi di usia tersebut Rion justru melakukan kesalahan besar. Brengseknya, dia tidak bisa berbuat apa-apa, selain menuruti semua keinginan kedua orang tuanya dengan segala kebungkaman. Ada rasa takut yang begitu menggerogoti, membuat dirinya enggan untuk menyerukan pendapat yang bisa mengancam kemewahan dan kesenangan yang didapat selama ini. Tidak peduli apakah sosok itu merasa terluka dan teraniaya. Hingga kemudian, dari tiga minggu saat berada di Singapura hingga sekarang, tanda-tanda penyesalan mulai menyerangnya dan menyebabkan gangguan pikiran itu mendadak menyeruak ke dalam otaknya. Rion menjadi terobsesi dengan barang-barang yang berbau kehamilan. Tidak ada yang mengetahui tentang hal itu, kecuali Riyan–kakak laki-lakinya–dan Bik Sumi yang sering membersihkan ruang tersebut.
Di dalam kamar itu, ada lima buah maneken dengan berbagai model baju hamil dan perut buncit yang disusun sejajar di tengah-tengah ruangan. Di pojok kanan terdapat sebuah lemari kaca dengan gantungan pakaian-pakaian hamil berbagai model di dalamnya, dari celana berbahan katun karet hingga terusan berbagai warna. Di setiap sisi dinding, terdapat lukisan-lukisan wanita hamil yang sengaja dipesan kepada pelukis terkenal asal Singapura dan Indonesia.
Rion menghentikan kegiatan mengelus-ngelus perut sang maneken, kemudian menggerakkan kakinya ke pojok kanan ruangan. Berdiri di depan lemari, mengamati sejenak sebelum membukanya. Jemari Rion menelusuri pakaian-pakaian yang tergantung, seolah menikmati serat-serat kain yang lembut. Kemudian kakinya menekuk, tubuhnya berjongkok di depan dua buah kotak hitam yang berukuran serupa. Dibukanya penutup kotak pertama, banyak terdapat tablet, botol-botol berisi obat-obatan, dan kotak-kotak yang berisi susu bubuk khusus ibu hamil dengan berbagai variasi rasa.
Bibir Rion sedikit menyungging senyum, menampakkan gigi putih bersih dan rapi, dan tangannya kembali membuka kotak berikutnya. Isi kotak ini berbeda dengan kotak pertama. Kotak ini berisi foto hitam putih yang di tengahnya terdapat selimut kerucut tanpa runcing di atasnya. Ada puluhan jumlah foto itu dari usia satu minggu yang hanya berbentuk titik hitam kecil hingga sudah berbentuk organ tubuh bayi yang lengkap.
Jemari Rion menggambil sebuah foto hasil USG favoritnya, foto janin berusia tujuh minggu, yang merupakan usia saat gadis itu memberitahukan tentang kehamilannya untuk pertama kali. Foto itu menunjukkan embrio yang mulai terbentuk yang diperkirakan berukuran 11-17 mm dengan jantung sudah terbentuk lengkap dan lebih sempurna, saraf dan ototnya pun mulai bekerja bersama, dan bagian hidung, bibir, lidah, dan gigi juga mulai terbentuk, serta cikal bakal mata yang terlihat berwarna hitam tanpa kelopak dan tuas-tuas lengan sudah menyiku, sementara jari-jari tangan sudah mengarah terpisah satu sama lain.
Tiba-tiba tubuh Rion yang semula berjongkok menjadi terduduk, dan perlahan-lahan suara isak pilu terdengar. Setiap melihat foto USG itu, Rion tak dapat menahan air matanya, selalu ingin keluar tatkala bayangan pertemuan keluarganya dengan keluarga perempuan itu menerobos otaknya, hingga sedikit demi sedikit membuat hatinya mengkerut perih. Sungguh, Rion sangat menyesal telah membiarkan sang gadis menanggungnya sendiri, padahal mereka melakukan dosa itu berdua.
“Maaf... Maaf...,” lirih Rion dengan kondisi menutup kepala dengan lutut. “Maafkan aku, nak! Maafkan aku... Gebri!” ucapnya nyaris tak terdengar, tapi suara isakan kian jelas.
^_^
“Cieee... Cieee... Rion Michael Fernandez dan Lalisa Anastasya. Cie... cie... cie... Selalu berduaan ke mana-mana. Cie... cie... cie... ibarat lem dan perangko, nempel terusss...,” ledek Asep kepada dua sosok yang baru saja datang dengan raut yang berbeda, sang laki-laki tampak cuek dengan tatapan tajam yang menjadi ciri khasnya dan sang perempuan dengan wajah berseri-seri.
“Apaan sih? Jangan mulai deh! Kami cuma teman, kok,” jawab Lisa dengan sedikit bernada ketus, tapi tidak dapat menyembunyikan semburat merah yang menghiasi kedua pipinya.
Rion tak terlalu menggubris, justru duduk di hadapan Asep, tepat di samping laki -laki berwajah baby face yang sering menjadi partner tongkrongannya dan partner beberapa tugas kuliah mereka, Kharisma. Tangan Rion mencomot tempe mendoan di atas mangkok plastik dan menikmatinya, tak mengindahkan perbincangan Lisa dan Asep yang menyangkut-pautkan namanya.
“Habis kuliah Komunikasi Bisnis?” tanya Kharisma sambil ikut mencomot tempe mendoan.
Rion hanya menganggukkan kepala dan kembali mengambil tempe mendoan Bu kantin yang memang terkenal enak. Suasana di kantin fakultas sekarang memang cukup ramai, meskipun pukul 1 siang telah berlalu beberapa menit lalu. Kebanyakan yang ada di sini hanya sekedar untuk duduk-duduk santai, mengistirahatkan lambung sejenak setelah diisi penuh sambil bercengkrama ria.
“Nanti ada kuliah lagi?”
“Ada. Jam setengah empat.”
“Kuliah pengganti Bu Siska?”
Sekali lagi, Rion menganggukkan kepala.
“Apakah kita tugas? Dua minggu lalu aku hanya titip absen,” nimbrung Asep sambil cengar-cengir tidak jelas.
“Ada,” jawab Rion yang kembali mengambil tempe mendoan ketiganya.
Sebelum datang ke tempat makan Delima yang terletak di samping parkiran dosen ini, dia dan Lisa memang sempat makan di kantin Fakultas Industri, karena ingin menikmati soto ayam Mang Asep yang selalu menggiurkan. Tapi tempe mendoan Bu Kantin ini memang tidak bisa diabaikan. Rasanya yang enak dan empuk bikin ketagihan.
“Di kumpul kapan?”
“Saat UTS.”
Asep mendengus sebentar, merasa sedikit kesal. “Tugasnya tentang apa?”
“Makalah berkelompok.”
“Yon, aku tahu kamu selalu irit bicara. Tetapi tidak bisakah kalau masalah kuliah seperti ini, dihilangkan sikapmu itu? Bikin aku kesel saja,” ucap Asep mendumel, kemudian matanya melirik ke samping kiri, ke arah gadis berambut sebahu. “Dan aku heran, kok bisa Lisa menyukai cowok sepertimu?” lanjutnya dengan memberikan tatapan geli ke arah gadis di sampingnya.
“Apaan sih lo, Sep? Aku tidak menyukai Rion, kami hanya teman,” celetuk Lisa meskipun semburat merah masih terlihat jelasnya di wajahnya.
“Teman tapi mesra yang ke mana-mana berdua. Di mana ada Rion, di situ ada Lisa,” timpal Asep lagi seraya mengedip-ngedip mata, berniat kembali menggoda gadis berbehel itu.
“Aish... Awas lo yah!” seru Lisa dengan ancang-ancang hendak menabok Asep yang masih mengedip-ngedipkan mata, masih menggodanya.
BAK... BIK... BUK... Lisa memukul tubuh Asep dengan sadis, membuat laki-laki itu meringis kesakitan. Kharisma yang ada di depan mereka hanya tertawa kecil. Pemandangan di depannya cukup menarik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!