NovelToon NovelToon

Merebut Cinta CEO Kulkas

Abang Bakso, Cupid Andalan

“Kamu yang bayar semuanya kemarin?” tanya Susi kesal. Cindy menjawab dengan anggukan pelan. “Cin, kamu dan Toni baru enam bulan pacaran, tapi entah sudah berapa banyak uang kamu yang habis untuk dia. Cowok tak berguna seperti itu nggak pantas buat kamu!”

Susi membanting mangkuk sampai abang bakso yang dari tadi sibuk dengan walkie talkie kaget.

“Bakso Bang Ipul nggak enak ya, Neng?" tanya si abang bakso sedih.

“Oh, nggak. Nggak, Bang. Baksonya tambah satu lagi ya,” jawab Cindy, yang mencoba menghentikan rencana Bang Ipul untuk segera menutup usahanya dan pulang menangis di rumah.

Ternyata bukan hanya baksonya yang lembut. Hati Bang Ipul juga tak kalah lembut. Bang Ipul adalah abang bakso favorit Cindy. Selain rasa mi baksonya yang lezat, bakso Bang Ipul adalah satu-satunya tempat Cindy ditraktir Toni. Saking dekatnya Toni dan Bang Ipul, mereka bahkan jadi satu-satunya pelanggan yang dikasih fasilitas meja dan kursi.

“Cin, kamu sadar kan, kalo kamu layak dapat pasangan yang lebih baik dari Toni. Kamu pantas punya segala yang terbaik di dunia ini, tapi malah bertahan dengan benalu tak bermodal seperti Toni!”

Susi membanting mangkuk sampai membuat air mata menggenang di pelupuk mata Bang Ipul. Entah itu karena dia sedih melihat bantingan mangkuk Susi, atau ada pesan dari walkie-talkie yang membuatnya sedih.

“Bang, tambah satu mangkuk lagi, ya.” Cindy mulai khawatir dengan jumlah mangkuk bakso di depannya. “Ini sudah lebih dari dua mangkuk, apa Toni bisa bayar?”

“Rasa nggak layak ini pasti gara-gara cewek-cewek jahat yang membully kamu waktu pindah sekolah, kan?” keluh Susi dengan wajah cemberut. “Pokoknya, kalian harus putus hari ini!” Susi membanting mangkuknya lagi.

“Demi Tuhan, jika hal ini terus terjadi, mungkin Bang Ipul akan dinobatkan sebagai 10 Tukang Bakso Terkaya di dunia,” pikir Cindy sembari memesan satu mangkuk bakso lagi.

“Cin, aku tuh kasihan sama kamu yang harus selalu bayarin dia. Uang kamu tuh bisa diputar di tempat lain yang lebih menghasilkan, daripada dibuang tanpa hasil ke Toni.” Cindy menatap Susi dengan galau, dan sialnya tertangkap mata Bang Ipul. Dirinya masih tak habis pikir kenapa hari ini Bang Ipul selalu melihat ke arah mereka.

“Bakso abang nggak enak, ya?” tanya Bang Ipul yang terlihat seperti baru saja menonton ending dari film Titanic. Bedanya, kali ini, Cindy yang hampir tenggelam dalam kuah bakso.

Pertanyaan Bang Ipul pun dijawab dengan jari telunjuk Cindy yang diangkat dan disusul dengan perkataan, “Satu lagi, Bang.” Senyum manis segera terulas di wajah Bang Ipul.

“Babang Toni datang.” Pria yang sejak tadi jadi bahan gibah muncul di depan Cindy dan Susi. Cindy tersenyum melihatnya, sementara Susi tak menunjukkan ekspresi apa-apa.

Sebenarnya, Toni adalah pria yang baik dan ramah. Wajahnya juga di atas rata-rata. Tak heran kalau Cindy bertahan dengannya sampai sekarang.

“Maaf ya, sudah bikin kalian menunggu. Aku tadi ada sedikit urusan,” jelas Toni dengan nada khasnya ketika merasa bersalah. Nada tersebut juga dipakainya saat meminta Cindy untuk membayar bermacam- macam hal. Mendengar nada itu membuat Susi tambah kesal padanya.

“Jadi orang tuh tepat waktu. Jangan sampai bikin pacar kamu menunggu terlalu lama.” Cindy segera menyikut Susi agar tak terlalu ketus. Susi yang tak bisa menyembunyikan rasa kesal, langsung berdiri dan membawa mangkok baksonya menjauh.

“Kamu cantik hari ini,” puji Toni yang sudah diulangnya beberapa kali, namun tetap berhasil membuat Cindy tersipu. Pria itu memang baik untuk hatinya, tapi buruk untuk kantongnya. Toni lalu berusaha mengisi keheningan dengan tak henti-hentinya bicara.

“Kalau tetap bertahan, mungkin aku akan menjadi seperti Victoria Beckham yang menemani suaminya menjadi pria sukses.” Cindy berusaha meyakinkan diri untuk mempertahankan hubungan mereka.

“Cin, aku lagi nggak ada uang. Boleh kamu yang bayar?” tanya Toni malu-malu.

“Tapi Ton,tagihan bang ipul ini kan bagian kamu,” protes Cindy yang mulai tersulut emosi.

“Iya,sih. Tapi, kali ini saja.” Toni memohon, tapi Cindy sudah mencapai batas kesabarannya.

“Ton, kayaknya kita sudah nggak cocok lagi.” Cindy berusaha terdengar tegas, walau dalam hatinya ada rasa khawatir kalau tak ada lagi pria selain Toni yang akan mencintainya.

“Hanya karena ini? Ayolah,Cin.” Toni menangkupkan tangan dengan wajah mengemis, yang selalu digunakannya setiap menginginkan sesuatu dari Cindy.

“Aku bosan selalu dijadikan sapi perah.” Cindy berusaha tak melihat wajah Toni agar bisa tetap teguh.

“Kali ini saja, Cin. Kali lain, pasti aku yang bayar.” Toni meraih tangan Cindy dan menggenggamnya erat.

“Tapi, kali ini kamu sudah keterlaluan. Masa untuk bayar bakso aja nggak bisa," keluh Cindy.

“Aku memang lagi nggak ada uang dan, aku malu ngutang sama Bang Ipul." Toni masih tetap teguh untuk meminta dibayari.

“Itu bukan urusan aku. Maaf Ton, aku sudah ngga kuat lagi kayak gini. Kita harus putus.” Cindy bergegas berdiri.

“Aku nggak mau, Cin. Aku cinta banget sama kamu. Kamu tega ninggalin aku di saat terpuruk seperti ini?” Toni menarik tangan Cindy, sementara Cindy menatap mata Susi yang melihatnya dari jauh untuk menguatkan. Dirinya ingin pergi, tapi ditahan oleh Toni.

Saat Susi bersiap berdiri untuk menyelamatkan Cindy, tiba-tiba dua pelanggan warung bakso di dekat mereka berdiri mendahului. Mereka berlari mengejar dua pria yang baru keluar dari

rumah. Terjadi adegan pemborgolan seru yang berakhir dengan masuknya empat pria tersebut ke dalam mobil van hitam. Cindy bergegas mengalihkan pandangan ke Bang Ipul yang melihat ke arah van sambil mengangguk. Calon mantan pacar Toni itu mulai curiga kalau Bang Ipul adalah seorang intel.

Setelah situasi tenang, Toni bersiap untuk kembali memohon pada Cindy. Tiba-tiba, sebuah mobil hitam mewah direm secara mendadak di dekat mereka. Seorang wanita berkulit putih turun, dan membanting pintu dengan marah. Langkah penuh kemarahannya diikuti langkah seorang pria yang panik dan bergegas menarik tangan wanita bernama Dhita itu.

“Kamu mau maksa sampai kapan, Tam? Kita sudah nggak cocok lagi. Ngga usah merendahkan diri kayak gini. Kamu tahu kan, kalau aku benci dengan pria lemah yang hanya bisa memohon-mohon.”

Dhita menghempas tangan pria bernama Tama. Cindy menatap pria itu lekat-lekat. Entah mengapa, wajahnya terlihat familiar. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuat jantung Cindy berdetak kencang.

Hanya dengan pandangan sekilas saja, sudah membuatnya melamun tentang pesta pernikahan mereka. Lamunan Cindy pun buyar saat pria itu berjalan ke arahnya dengan sempoyongan. Tiba-tiba, dia terjatuh di depan Cindy.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Cindy panik, dan merangkul sang pria untuk membantunya berdiri.

“Tam, itu siapa?” suara Dhita mengejutkan Cindy dan Tama. Sekaget-kagetnya Cindy dengan pertanyaan Dhita, tetap tak mengalahkan kekagetan Cindy saat mendengar jawaban dahsyat Tama.

“Kamu pikir hanya kamu yang bosan dengan hubungan kita? Ini pacar aku. Iya kan, sayang?” Cindy terdiam, lalu melihat Toni yang tak kalah kaget. Di sekitar mereka, Bang Ipul dan para pelanggan serentak berhenti makan dan penasaran menunggu jawaban Cindy.

Hayooo, apa coba jawaban Cindy? Sebelum lanjut baca, yuk coba ditebak di komentar.

Jangan lupa like, vote, subscribe dan share untuk mendukung author ya ❤

Kartu Remi, My Love

“Apa-apaan ini, Cin?!” Toni bertanya dengan nada tinggi sampai semua orang mengabaikan mangkuk bakso masing-masing, dan sibuk menonton.

Susi berdiri tegak di samping Bang Ipul dengan tangan kiri memegang mangkuk kosong untuk berjaga kalau diperlukan aksi kekerasan. Bang Ipul yang terlihat gagah saat mengamati penangkapan, kini menonton dengan gugup. Tampaknya, masalah pertengkaran cinta bukan bagian modul pembelajaran intel.

Setelah mengumpulkan segala keberanian, Cindy akhirnya menjawab, “Ini alasan sebenarnya aku minta putus.”

Tama yang dari tadi khawatir kalau Cindy tak mau bekerja sama, segera bernapas lega. Dhita memicingkan mata ke arah Cindy dan menggeleng tak percaya.

“Kamu lebih milih wanita seperti dia dibanding aku?” tanya Dhita dengan nada meremehkan. Perkataan itu membuat Cindy tenggelam dalam lautan penyesalan. Kalau saja Cindy tahu hari ini dirinya akan dibandingkan dengan wanita cantik high class yang memakai gaun hitam mahal, dia jelas tak akan hanya memakai jeans dan kemeja.

“Dia jauh lebih baik daripada kamu yang nggak setia. Setia itu mahal. Yang murah itu kamu.” Jawaban Tama secara mengejutkan mengundang tepuk tangan meriah dari Bang Ipul.

Saat sadar kalau hanya dirinya yang bertepuk tangan, abang bakso berbadan tinggi besar itu menempelkan kedua tangannya, dan membungkuk untuk meminta maaf karena sudah merusak situasi. Perhatian para penonton pun kembali pada pemain utama.

“Setia? Tapi dia selingkuh dari aku….mmhhh..mmhh….” Sanggahan Toni terpotong karena mulutnya dibekap oleh Susi dari belakang. Dengan segala kekuatan yang dimiliki, Susi menarik Toni berdiri dan membawanya menghilang dari panggung sandiwara yang sedang terjadi.

“Kampungan.” Dhita menyeringai, dan memberi tatapan tajam ke arah Tama. “Sekarang kita impas. Silahkan hidup dengan wanita seperti dia dan dibenci keluargamu. Awas saja kalau kamu masih bilang kita pacaran ke Bu Riyanti.”

Wanita berambut panjang itu lalu berjalan menuju mobil Tama untuk mengambil handphone sebelum pergi menjauh. Para pelanggan bakso yang sadar kalau pertunjukan sudah selesai, kembali melanjutkan hidup dan melahap bakso masing-masing. Bang Ipul juga kembali sibuk dengan walkie talkie seraya mengamati dua insan yang tersisa di meja khusus.

“Nama aku Tama.” Si pria dengan dandanan klimis memulai pembicaraan dengan dua tangan yang terlipat di dadanya.

“Aku Cindy.” Wanita berambut sebahu itu mengulurkan tangan untuk menunjukkan keramahan ala orang Indonesia.

Tama mengernyitkan dahi seolah menganalisa arti dari uluran tangan Cindy. Setelah pertimbangan singkat, dia membiarkan tangan kanannya menyambut dan menggenggam tangan mungil yang tadinya menganggur. Genggamannya memang tak lama, tapi mencipta setitik cahaya kebahagiaan di hati Cindy.

“500 juta, cukup?” Tama bertanya tanpa basa basi setelah melepas genggaman.

Dalam keadaan biasa, Cindy akan merasa terintimidasi dengan penampilan orang seperti Tama dan pertanyaan anehnya. Dirinya bahkan mungkin akan berpikir kalau otaknya tak sampai karena tak mengerti arti dari pertanyaan Tama. Anehnya, Cindy justru merasa percaya diri di dekat pria yang baru ditemuinya itu.

Oleh karena itu, dia memilih untuk tak menghiraukan pertanyaan yang barusan dilempar, dan malah menarik satu mangkuk bakso di depannya. Cindy lalu menatap tempat sendok dan garpu di samping Tama. Tangannya bersiap meraih, tapi kalah dengan kesigapan tangan Tama yang langsung mengambil sendok dan garpu dan mengelapnya dengan tisu.

Tangan yang tertutup kemeja hitam itu lalu meletakkan alat makan yang dicari Cindy di mangkuknya. Cindy bertanya-tanya dalam hati tentang hubungan pertanyaan 500 juta tadi dengan perilaku manis yang baru didapat.

Setelah itu, wanita yang baru putus itu makan dalam diam, sementara Tama konsisten menatapnya tanpa ekspresi. Saking heningnya mereka berdua, sampai Cindy menyadari ada suara misterius yang beberapa kali terdengar. Cindy berusaha mengabaikannya dan mengalihkan perhatian pada percakapan Bang Ipul yang sibuk melayani pelanggan.

“Bang Ipul, katanya nggak boleh merokok di sini, ya?” tanya seorang pria berusia 30-an. Tangan kanannya menjepit sebatang rokok yang belum dinyalakan. Pertanyaannya hanya dijawab dengan anggukan Bang Ipul yang sibuk menyiapkan pesanan.

“Masa nggak boleh sih, Bang? Lain kali sediain dong, area untuk yang merokok dan nggak merokok. Kalo semua pelanggan Bang Ipul suka merokok seperti saya, nanti usahanya bisa bangkrut.” Pria tersebut masih gigih memperjuangkan haknya untuk merokok, dan akhirnya ditanggapi Bang Ipul dengan berhenti beraktivitas.

Mata abang bakso itu melirik rokok di tangan lawan bicaranya, dan mulai mengeluarkan suara serak, “Ada kok, Mas.”

Informasi itu membuat senyum lebar terulas di wajah si penanya, tetapi berakhir dengan cemberut karena sambungannya. “Area tidak merokok di sekitar sini. Area merokok di rumah masing-masing.”

Cindy terkekeh mendengar jawaban Bang Ipul, tetapi buru-buru memasang wajah tanpa ekspresi saat sadar masih ditatap Tama.

“500 juta untuk jadi pacar aku. Aku janji akan memperlakukanmu dengan baik. Oke?” Tama mengulurkan tangan ke arah Cindy seolah ingin menutup deal dengan klien. Cindy mengernyitkan dahi dan mendorong tangan Tama untuk menolak.

Ini adalah hal paling jauh yang pernah dilakukannya dengan orang lain. Jangankan menolak uluran tangan, dirinya hampir tak pernah berkata tidak kalau dimintai sesuatu. Cindy mengangkat telunjuknya agar Tama menunggu. Tangan kanannya membuka tas dan sibuk mencari-cari sesuatu. Setelah yang dicarinya ketemu, Cindy meletakkan satu pak kartu remi di tengah meja.

“Kamu mau main judi?” Tatapan Tama beralih sebentar ke kartu remi, tapi segera dikembalikan ke Cindy. Cindy menggeleng.

“Ada 52 kartu dalam 1 pak. Aku ambil 26, dan kamu simpan sisanya. Setiap orang berhak menggunakan 1 kartu untuk 1 permintaan. Kalau ada yang menolak permintaan, perjanjian otomatis batal.”

Wanita 26 tahun itu menjelaskan seraya membuka boks kartu remi dan mengeluarkan 26 kartu. Tangannya mendorong boks berisi sisa kartu pada Tama, tetapi segera didorong balik oleh Tama.

“Jangan serakah. Aku tahu rencana licik kamu. Kamu mau minta 500 juta sebanyak 26 kali, kan?” Pertanyaan pria 29 tahun itu membuat Cindy merengut.

“Dilarang meminta uang. Puas?”

Cindy mendorong kembali boks kartu remi pada Tama. Pikiran CEO perusahaan produsen makanan itu mulai dipenuhi berbagai skenario kalau rakyat jelata di depannya sedang merencanakan penipuan. Walau khawatir, dia harus menerima fakta kalau kehadiran Cindy penting untuk membuat Dhita marah.

“Oke. Aku setuju dengan tambahan syarat : dilarang jatuh cinta. Gimana?” Tama memegang boks kartu remi dan mengangkat alisnya untuk bertanya, sekaligus menantang Cindy. Cindy mengangguk, dan Tama segera mengambil boks kartu remi untuk mengeluarkan satu kartu.

“Kamu masih dengar suara itu?” Tama menjepit kartu joker hitam dengan jari jempol dan telunjuknya. Sungguh kartu yang sesuai untuk menertawakan kejadian sinting di antara mereka berdua.

“Kamu juga dengar suara aneh itu?” Cindy lega karena ternyata suara itu bukan hanya khayalannya saja. Tama mengangguk dan mendekatkan dirinya.

“Kamu mau ketemu dengan sumber suara itu?”

Suara apa yang sebenarnya didengar Cindy? Yuk coba ditebak di kolom komentar.

Jangan lupa like, vote, subscribe dan share untuk mendukung author ya ❤

Orang Tua, Uang Tua

“Memangnya, suara apa itu? suara hantu?” tanya Cindy dengan mengelus kedua lengan atasnya seperti sedang kedinginan.

Dirinya mulai lupa dengan karakter dingin yang harus dimainkan. Tama menepuk dahi dan menggeleng seolah tak percaya pacar kontraknya adalah penggemar takhayul, lain halnya dengan Bang Ipul yang menatap Cindy dengan sedih.

“Bakso abang laris karena enak, Neng. 100% bukan karena pakai tuyul.”

Entah bagaimana caranya Bang Ipul bisa selalu update dengan pembicaraan mereka berdua. Mungkin ini salah satu bagian penting dari pelatihan intel.

“Nggak kok, Bang. Saya percaya Bang Ipul nggak pake tuyul. Kalau pakai juga nggak apa- apa. Tuyul kan juga berhak mendapatkan pekerjaan dan dilindungi negara.” Perkataan Cindy mulai kacau dan semakin jauh dari karakter yang ingin dia ciptakan.

“Kamu akrab ya, sama si abang bakso?” tanya Tama penasaran.

“Dari mana kamu tahu?” Cindy balas bertanya sebelum meminum air mineral di samping mangkuk. Dirinya menatap mangkuk yang hanya berisi sisa kuah. Di sekitarnya, masih ada beberapa mangkuk lain yang menunggu digarap gara-gara bantingan mangkuk Susi.

“Kamu hangat banget ke si abang. Beda waktu ke aku,” Tama menjawab dengan tenang. Tak ada ekspresi tertentu di wajah si manusia kulkas, tapi Cindy mendengar sedikit nada merajuk dan merasa itu sangat imut.

“Kalau begitu, kamu juga harus jualan bakso.” Tak ada tanda-tanda senyum di bibir Tama, dan Cindy berusaha untuk tak peduli. “Nggak usah bahas Bang Ipul lagi. Mari bahas asal suara misterius," sambungnya.

Tama mengangguk. “Itu jepretan kamera dari orang suruhan mamaku. Sekarang sudah tak terdengar lagi. Pasti laporan tentang kita sudah sampai di telinga mama.”

Tama menjelaskan sembari mengambil tisu dan menyerahkannya pada Cindy yang kebingungan. “Pakai ini untuk mengelap.”

Cindy mengambilnya dan mengelap meja. Tama yang tak sabar langsung mengambil lagi dua lembar tisu, dan mengelap wajah Cindy yang berkeringat. Situasi langsung jadi canggung, tapi kembali cair saat Tama kembali bicara.

“Kamu sudah selesai makan, kan?”

Tama mendekatkan diri dan membisikkan permintaan kartu pertamanya pada Cindy. Walau terkejut dengan permintaan Tama, dia terpaksa mengangguk.

“Kita belum bisa pergi. Ada banyak bakso yang belum habis.” Wajah Cindy mendadak muram saat melihat mangkuk-mangkuk tak berdosa yang menunggu dihabiskan. Tama menarik tangan Cindy untuk berjalan menuju Bang Ipul. Di depan mereka, ada satu wanita yang bersiap membayar.

“Bang, baksonya satu. Nggak pakai kerupuk, nggak pakai minum,” jelas si pelanggan yang terheran dengan Bang Ipul yang memakai kalkulator untuk menghitung 15.000x1. Hitungan Bang Ipul terhenti saat mendengar perkataan Tama.

“Bang, saya bayar semua pesanan hari ini, termasuk punya mbak yang ini.”

Tama menunjuk wanita di depannya. Air mata segera menggenang di pelupuk mata Bang Ipul dan si wanita. “Hitung saja semuanya. Nanti dibagi-bagi ke yang membutuhkan.”

Kini, Bang Ipul sudah mengelap air matanya dengan punggung tangan. Entah mengapa seorang intel bisa terharu seperti ini karena dagangannya laku. Mungkin, dia sudah terlalu melekat dengan penyamarannya.

“Bang, jangan nangis, dong. Saya lagi buru-buru. Kalau perlu, saya beli aja gerobaknya biar nggak perlu ada drama.” Cindy menyikut Tama ketika melihat tangisan Bang Ipul yang semakin menjadi. Untungnya, Bang Ipul bisa kembali profesional, dan segera memproses pembayaran Tama.

***

Tama dan Cindy berdiri di depan Rumah Eropa Klasik berwarna putih dan dilengkapi dengan pilar tinggi. “Nggak ada larangan untuk mengubah permintaan. Kamu masih punya waktu untuk meminta yang lain.”

Cindy berusaha membujuk Tama agar tak menciptakan masalah dengan sang calon mertua kontrak. Sayangnya, Tama menolak mentah-mentah dan tetap teguh dengan apa yang dia mau.

Di ruang makan, ada meja panjang dengan kursi yang diduduki mama dan adik Tama. Di dekat meja, ada seorang pria berseragam hitam yang berdiri tegak menunggu perintah. Kedatangan Cindy dan Tama mengalihkan perhatian mereka berdua. Tama menarik lembut tangan kanan Cindy dan memimpinnya berjalan menuju meja.

“Jangan duduk di situ.” Calon mertua kontrak bernama Bu Riyanti berkata pelan tapi dingin saat Cindy akan duduk di kursi yang berhadapan dengannya. “Kursi itu hanya untuk wanita yang cocok dengan Tama.”

Walau hubungan mereka hanya pura-pura, perkataan Bu Riyanti seperti pisau yang mengiris hati Cindy, dan membuka luka lama yang berusaha dia pendam. Dirinya juga sedikit kecewa karena Tama bahkan tak membela dan malah menarik kursi di samping kursi sebelumnya untuk Cindy.

“Papa mana, Ma?” tanya Tama saat mengambil ikan dari begitu banyak menu udang yang tersedia di meja.

“Kerja,” Bu Riyanti menjawab singkat tanpa melepas tatapan dari Cindy.

“Mama pikir, kamu berpisah dengan Dhita karena bertemu dengan yang lebih cantik.” Wanita berusia 51 tahun itu menusuk udang dengan garpu lalu tersenyum mengejek. “Dari dulu, kamu selalu saja bermasalah. Sejauh ini, Dhita adalah satu-satunya hal yang kamu lakukan dengan

baik. Sayang, itu pun berakhir kacau. Bagaimana nanti kita mengekspor produk dengan sukses tanpa bantuan keluarga Dhita?”

Seperti anaknya yang tak menunjukan ekspresi, Bu Riyanti juga sama. Hanya sang adik yang sesekali tersenyum ke arah Tama dan Cindy.

“Tama akan berusaha mencari koneksi lain untuk ekspor.” Tama terdengar gugup dan hal itu membuat Cindy bertanya-tanya mengapa dia meminta dirinya melakukan hal yang sudah pasti tak disukai mamanya.

“Jangan omong kosong. Menjaga satu wanita saja kamu tak bisa. Untung kami masih punya Nathan.” Bu Riyanti menatap Nathan dengan bangga. “Hari ini, Nathan juara umum di sekolah. Menurut gurunya, Nathan juga akan diikutkan olimpiade matematika. Nathan pintar di sekolah

dan akan lebih baik dari kamu. Karena itu, hari ini kita rayakan keberhasilan Nathan dengan menu serba udang.”

Tama hanya menunduk dan tak berani membalas hinaan sang ibu. Cindy bisa melihat dua tangan Tama yang terkepal erat untuk menahan diri. Perhatian Bu Riyanti lalu beralih ke Cindy.

“Cindy, kamu pernah dengar cerita tentang wanita dan buaya?”

“Belum, Bu.” Tak seperti Tama, Cindy memberanikan diri menatap Bu Riyanti. Kalau tidak, dia tak akan bisa melakukan apa yang diminta Tama.

“Seorang wanita mendapat informasi tentang lokasi harta karun. Karena ingin cepat kaya, dia pun bergegas pergi ke sana. Sayang, tak semua wanita bisa mencapai lokasi harta karun. Sudah terdapat peringatan di depan kalau wanita tak terpilih yang memaksa masuk, akan bertemu dengan buaya penjaga harta karun. Sang wanita yang sudah terlanjur rakus, memilih untuk masuk walau sebenarnya tak pantas. Sesuai dengan peringatan, dirinya pun bertemu dengan buaya yang melihatnya dengan buas. Menurut kamu, bagaimana akhirnya?” tanya Bu Riyanti dengan senyum mengejek.

Cindy mengumpulkan semua keberanian dan menjawab, “Menurut saya, buaya tersebut membuka mulutnya besar-besar, dan bertanya pada sang wanita, ‘hai cantik, mau kemana nih?”

Tama memuncratkan air yang baru saja diminum saat mendengar jawaban Cindy. Bu Riyanti terlihat kesal, sementara Nathan memejamkan matanya erat-erat untuk menahan tawa. Tak ada yang menyangka kalau Cindy akan melihat buaya dalam cerita sebagai buaya darat.

Melihat ini, Cindy langsung mengambil kesempatan untuk melakukan permintaan Tama. Dirinya menyendok sedikit nasi dan mengarahkannya ke mulut Tama. “Aaaaaaa…..”

Tama yang masih terbatuk-batuk segera meminum air, menenangkan diri dan membuka mulutnya untuk menyambut sendok yang disuap Cindy. Bu Riyanti tak berkata apa-apa. Wanita elegan itu melanjutkan makan lalu berdiri setelah selesai makan dengan alasan pekerjaan.

Saat ada kesempatan, Nathan mendekati Cindy. “Nathan suka sama kak Cindy. Ternyata, kak Cindy lebih cantik dan keren dari kak Dhita.”

Remaja berusia 14 tahun itu tersenyum tulus dan menghangatkan hati Cindy. Semoga senyum ini tak hilang seiring berjalannya waktu.

“Memangnya Nathan baru lihat kak Cindy pas di rumah? Bukannya foto kakak dan kak Tama sudah sampai sebelumnya?” Nathan menjawab pertanyaan Cindy dengan gelengan kepala.

“Nathan dan mama nggak bisa melihat jelas wajah Kak Cindy, karena di semua foto ada punggung abang bakso yang menghalangi.” Cindy tersenyum mendengarnya. Bang Ipul memang tak ada duanya.

“Kak Cindy, mumpung kak Tama lagi nggak ada, Nathan mau kasih tahu rahasia penting tentang kak Tama.” Cindy mengangguk dan menutup mulutnya karena kaget mendengar rahasia itu. Mungkin, itu yang bikin Tama meminta disuapi saat makan. Rahasia itu pun memberi Cindy ide untuk permintaan pertamanya.

Menurut kamu, apa rahasia Tama? Yuk coba ditebak di kolom komentar.

Jangan lupa like, vote, subscribe dan share untuk mendukung author ya ❤

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!