Riuh di depan teras mess perwira seakan tidak memahami perasaan pria yang tengah gundah gulana Sabtu pagi itu. Papa dan Mama tidak mengijinkannya menikah dengan gadis pilihannya, kekasih yang sudah empat tahun menemani harinya.
Keributan dengan Mamanya semalam membuatnya membuatnya memutuskan untuk kembali ke mess lebih cepat dari biasanya. Ia tidak bisa menerima perjodohannya dengan gadis kecil, putri komandannya yang sebenarnya juga putri dari litting Papanya.
"Nggak usah di pikir terlalu dalam Sob, yang penting judulnya tetap kawin, sama-sama bisa panjat pinang." Kata Bang Jay sahabat kental Bang Noven. Mereka seakan tidak dapat di pisahkan satu sama lain.
"Nggak mikir matamu... Aku nggak bisa mencintai perempuan lain selain Vindy." Jawab Bang Noven berang setiap bertemu wajah dengan sahabatnya itu.
"Kamu sudah tanya alasannya apa belum? Kenapa Bu Seno melarangmu memiliki hubungan dengan Vindy??" Tanya Bang Jay.
"Hanya bilang akhlaknya tidak baik. Tapi aku tidak pernah keburukan Vindy sedikitpun." Jawab Bang Noven.
"Tapi anak bungsunya Dan Girish tidak buruk Nov, dia juga cantik sekali meskipun lebih muda."
"Bukan muda lagi Jay, anak-anak banget. Masa iya aku kawin sama bocil. Nggak kebayang bagaimana rumah tanggaku." Oceh geram Bang Noven. "Kau tau.. Abang-abangnya itu seperti penjahat semua. Ingatkah kau dengan Bang Novra? B******n tengik, galaknya bukan main."
Sedari tadi Bang Jaya hanya tertawa melihat kekesalan Bang Noven. "Apa bedanya denganmu dan segala kelakuanmu? Bang Novra sama kamu itu sama-sama b******n tengik. Imbang kalian." Bang Jay terbahak-bahak dengan kekesalan sahabatnya.
Bang Noven langsung mengambil rokok dari saku bajunya lalu menyulut rokok tersebut. Wajahnya sangat masam. "Aku harus bagaimana Jay? Orang tua ngotot aku menikah sama anaknya Pak Girish."
Bang Jay menepuk pundak sahabatnya sebagai dukungan terbaik baik pria galau tersebut.
//
"Kalau Bang Novra tau dia itu laki-laki menyebalkan kenapa Abang nggak menolak??" Protes Irene.
"Apa ada yang bisa melawan keputusan Papa??" Kata Bang Novra. "Kamu jalani dulu..!! Kalau ada apa-apa, biar Abang yang turun tangan. Nanti kamu lihat dulu. Noven tidak buruk juga." Bujuk Bang Novra untuk pertemuan dan perkenalan mereka nanti malam sebelum melanjutkan pada sesi selanjutnya. Jauh dirinya datang hanya untuk acara besar adik bungsunya.
"Tapi Noven itu tua sekali Bang."
"Bang Noven. Biasakan panggil Abang." Tegur Bang Novra.
"Nggak aahh.. tua begitu. Apa Papa di guna-guna sampai Papa mau menikahkan Irene sama Om Noven?" Irene masih saja kesal dengan keputusan orang tuanya. Ia hanya duduk *******-***** ujung pakaiannya. Ingin rasanya berteriak kencang tapi semua pasti akan berakhir sia-sia.
Irene termenung mengingat Bang Dwipa. Ia masih sangat mencintai pria tersebut melebihi apapun, pria yang menemaninya mulai saat dirinya masih di bangku SMP hingga pria tersebut kini menjadi seorang tentara berpangkat Prada.
"Apa Papa memandang pangkat??" Celetuk Irene.
"Jangan bilang begitu, orang tua pasti inginkan yang terbaik untuk anaknya terutama putrinya." Kata Bang Novra. "Sudah sana bersiap. Calon suamimu akan segera datang. Jangan meninggalkan kesan buruk..!!" Pesan Bang Novra.
-_-_-_-_-
Mengenakan pakaian batik berwarna maroon, Bang Noven masih berwajah datar hingga membuat Papa dan Mamanya geram.
"Bisa tidak kalau wajahmu tidak di tekuk seperti itu. Irene itu cantik sekali Ven. Kamu tidak akan rugi." Bujuk Mama Laras.
"Iya, tidak kalah dari gadis yang kau puja-puja bagai berhala itu." Ejek Papa Seno.
"Papa jangan bilang begitu. Tidak ada gadis sebaik Vindy. Dia menemaniku dari titik nol hingga saat ini." Nada suara Bang Noven mulai meninggi dan Bang Galang mencekal lengannya.
Tau Abangnya sudah memberi peringatan, Bang Noven pun menahan diri. Ia mengepalkan tangan mencoba mendinginkan isi kepala dan hati yang tengah panas.
...
Seorang wanita keluar menyuguhkan hidangan untuk rombongan keluarganya. Bang Noven masih menyisir dan menerka mencurigai setiap wanita yang keluar dari balik tirai rumah besar itu.
'Yang mana yang namanya Diandra Sasikirana. Jangan-jangan dia gemuk, hitam. Astagfirullah.. beginikah rasanya tertimpa nangka busuk karena keinginan orang tua.'
"Mana calon mantuku Mas?" Papa Seno sudah tak sabar lagi ingin melihat calon menantunya.
"Iya ya, kemana dia. Sabar ya Mas Sen. Anakku itu sebenarnya kalem dan lembut, hanya agak sedikit aktif." Ujar Papa Girish mempromosikan putri kecilnya.
gubraaaakk..
"Gendhukk.."
"Suara opo Mas?" Tanya Papa Seno.
Papa Girish mulai cemas. "Ahahaha.. paling bibi menjatuhkan sesuatu.
"Walaah cah Ayu, kainnya sobek."
Papa Girish menggaruk kepala karena merasa tidak enak hati dengan litting yang juga sahabatnya itu.
Papa Seno pun akhirnya tertawa, sedikit aktif berarti putri sahabatnya itu sangat lincah. Ia tidak kaget karena sosok putri sahabatnya itu pernah di ceritakan sang istri padanya. Papa Seno tidak banyak tau tentang putri kecil sahabatnya, yang ia tau hanya Novra yang sangat tegas dalam hal apapun. "Ora opo-opo. Bagaimana pun putrimu, aku akan menyayanginya seperti aku menyayangi Anggun putriku." Janji Papa Seno.
Bang Noven semakin merasa tidak nyaman. Pikirannya berkelana membayangkan seperti apa rupa putri dari sahabat papanya. Ia mendekati Papanya.
"Pa.. bagaimana kalau tidak jadi saja. Aku cemas kalau dia itu tidak bisa di atur, bagaimana kalau bibirnya tebal dan lebar seperti tutup panci." Bisik Bang Noven.
"Kamu ini bicara apa? Nggak mungkin bibir anak Om Gi selebar tutup panci." Papa Seno balik berbisik.
"Aku nggak mau resiko beli kucing dalam karung Pa." Bang Noven semakin tidak tenang.
Tak lama tirai terbuka, ada seorang wanita keluar dan tersenyum manis. Bang Noven kembali resah namun akhirnya wanita itu duduk di samping Bang Novra yang sudah menatapnya penuh ancaman.
'B******n, kenapa Bang Novra terus melihatku begitu. Mana sih bocil biang masalah itu?????'
Tirai kembali terbuka, tiga orang gadis sama menunduk dan berjalan menuju ruang tamu rumah.
"Aaahh akhirnya....." Celetuk Mama Laras.
"Maaa.. yang mana ma??? kanan, kiri atau tengah????" Tanya Bang Noven cemas saat melihat gadis yang berjalan pada posisi tengah. Gadis berkulit sedikit gelap dengan bedak yang bisa di bilang kurang rata. "Maaa.. Ya Allah ma, aku mau pulang..!!" Pinta Bang Noven.
"Duduk Noven..!!"
"Heiii you..!!! Kau pikir aku suka denganmu??" Tegur gadis yang keluar paling belakang."
Untuk sejenak Bang Noven ternganga tapi kemudian duduk kembali dengan mode cool seakan tidak terjadi apapun.
"Ehem.." Bang Noven berdehem melonggarkan tenggorokan yang terasa tercekat. "Lebih baik kita tidak usah mengecewakan orang tua." Jawab Bang Noven.
"Basi lu." sergah Irene.
"Irene.. jaga bicaramu..!!!" tegur Mama Rinjani.
.
.
.
.
Setelah suasana yang sedikit mengandung drama akhirnya para 'tetua' bisa mengambil alih suasana.
Papa Seno menyenggol lengan putranya. Bang Noven pun mengerti.
"Kira-kira Adek minta seserahan apa untuk lamaran secara resmi dan hantaran pernikahan kita?" Tanya Bang Noven merendahkan nada suaranya.
Irene menggoyang kaki dengan malas. Tapi arah matanya itu membidik lurus ke arah Bang Noven. "Ayam geprek nya Mang Dadang di SMA Irene dulu. Ayam segerobak harus Om beli."
'Jabang bayiii, inikah calon istriku????? Begini amat.. apa iya aku harus momong anak belatung blingsatan ini.'
"Irene, itu bukan seserahan atau Mas kawin ndhuk." Kata Papa Girish membenarkan.
"Tergantung pekerjaannya Pa. Irene tidak mau memberatkan, bagaimana kalau uangnya kurang." Celetuk Irene.
Papa Seno dan Mama Laras malah bangga setengah mati dengan ucap Irene yang di anggapnya candaan semata namun tidak bagi Papa Girish yang tobat dadakan karena ulah putrinya yang seakan menghantam wajahnya.
"Irene.. jaga bicaramu..!!!!"
"Maaf Mbak Laras........." Mama Rinjani sampai ikut malu di buatnya.
"Nggak apa-apa Bu Girish. Saya penuhi..!! Ayam geprek saja?? Kalau masih kurang puas biar saya bantu geprek putrinya yang menggemaskan ini." Jawab Bang Noven kini balik membuat malu Papa Seno dan Mama Laras sampai Papa Seno harus menendang kaki putranya.
Tawa canggung antar orang tua pun terlepas begitu saja namun tidak dengan kedua calon pengantin yang saling melempar tatapan jengkel sampai ubun-ubun kepala.
:
"Om tinggal dimana? Kerja apa?" Tanya Irene.
"Kau ini petugas sensus penduduk???" Jawab Bang Noven.
"Irene nggak mau menyesal seumur hidup karena salah pilih jodoh." Kata Irene.
"Saya kuli angkut."
Irene membuang nafas panjang, dalam hatinya membandingkan sang kekasih yang sudah memiliki pekerjaan tetap dibandingkan Bang Noven yang mungkin masih mencari penghidupan di 'jalan'.
"Kenapa?? Ada yang salah dari pekerjaanku??" Bang Noven santai saja menanggapi Irene sambil menyulut rokoknya.
"Tidak juga, itu juga halal tapi Om bisa sesak nafas kalau lihat pacarku yang seorang tentara." Jawab Irene dengan segala kesombongannya.
"Oya, apa pangkatnya??"
"Tidak perlu tau, nanti Om minder." Oceh Irene lagi.
Bang Noven mengangguk gemas, bagaimana tidak.. Vindy sangat dewasa dalam segala hal namun tidak dengan Irene yang kekanakan.
'Bapaknya saja perwira tinggi, sudah pasti lah pacar anaknya ini seorang perwira. Tapi pria macam apa yang keblinger suka sama Irene.'
"Jangan-jangan Om cemburu ya karena Irene sudah punya pacar??? Jangan naksir Irene ya..!!" Ekspresi wajah Irene menaruh puluhan rasa curiga.
"Eehh tumone doro.. dalam rangka apa saya cemburu??? Alam bisa gludug banter kalau saya naksir kamu." Meskipun Bang Noven sangat kesal tapi harus di akuinya bahwa Irene memang sangat cantik, jauh dari kecurigaan nya. Hanya saja dirinya belum bisa menerima perjodohan yang di lakukan kedua orang tuanya.
//
"Gitu ya Mas, tapi saya nggak tega kalau Irene menikah secepat itu." Papa Girish masih ragu dengan permintaan sahabatnya tapi Papa Seno terlihat sangat menyukai Irene terlebih Mama Laras.
"Saya yang akan memantau langsung, sementara biarkan Irene bebas dan menikmati harinya hanya saja statusnya sudah jadi mantuku. Aku benar-benar tidak suka dengan Vindy, dia itu...... Ahh sudahlah Mas. Bukankah dulu kita pernah janjian untuk mendekatkan anak kita." Kata Papa Seno.
"Benar juga Mas. Saya juga was-was dengan teman dekatnya Irene. Pokoknya ada lah sesuatu yang tidak bisa saya jabarkan kenapa saya keberatan dengan Prada Dwipa meskipun akhlaknya juga baik."
Papa Seno mengangguk. Beliau paham tapi tidak lagi membahas lebih lanjut, yang beliau tau.. beliau ingin Bang Noven segera menghalalkan gadis tersebut.
"Mas Gi, setelah ini biarkan Irene ikut Noven ya. Saya dan Mamanya Noven akan jaga Irene. Saya janji Irene bisa menikmati masa mudanya tanpa harus terburu-buru punya anak."
Papa Girish terdiam sejenak sambil sekilas memandang Mama Rinjani. Tidak ada dasar untuk tidak percaya pada putra sahabatnya. Letnan Novendra juga jebolan dari tempat pendalaman 'ilmu' yang baik, tidak mungkin putra Seno tidak bisa menahan diri.
"Bagaimana cara 'mendekatkan' mereka? Baru bertemu begini.. tidak mungkin kita langsung minta mereka nikah lho Mas Sen."
Papa Seno terdiam dan menunduk memutar otak memikirkan cara terbaik untuk mereka.
"Pa..." Mama Rinjani menyentuh bahu suaminya.
...
"Sah.."
"Alhamdulillah.." terdengar suara riuh kelegaan di rumah Papa Girish.
"Kira-kira begitu ya Pak Noven. Rasanya, suasananya, auranya. Bagaimana perasaan Pak Noven?" Kata seorang pria setengah baya yang menuntun acara latihan menikah sebelum acara lamaran di laksanakan. "Coba di pandangi wajah gadis di sebelah Pak Noven. Sekarang gadis ini adalah tanggung jawab Pak Noven. Sayangi, kasihi, dan didik dia dengan sepenuh hati dan penuh rasa tanggung jawab."
Untuk sejenak hati Bang Noven merasa tenang, haru dan campur aduk.
"Tanyakan pada hati Pak Noven. Sanggupkan bapak menyakiti tulang rusukmu sendiri? Tegakah bapak menyakiti gadis ini??" Bapak tersebut menuntun perasaan Bang Noven secara perlahan. "Ucapkan syukur pada Tuhan jika bapak bisa menerimanya. Segala sesuatu di dunia ini akan terasa bahagianya jika kita menjadi pribadi yang penuh dengan rasa syukur di barengi dengan keikhlasan."
"Alhamdulillah.. saya bersyukur dan saya menerima Diandra Sasikirana dengan ikhlas."
Papa Seno dan Papa Girish tersenyum lega, Mama Rinjani dan Mama Laras juga saling berpelukan.
Rasa bahagia itu terhenti saat Irene melepas tudung di atas kepalanya dan Bang Noven. "Ini sudah khan Ma? gerah nih." Kata Irene.
"Astaga Ireneee.. kamu bisa tenang sedikit atau tidak sih???" Tegur Papa Girish.
Irene tak peduli teguran Papanya dan langsung berdiri dan melangkahi Bang Noven. "Awas Om..!!"
Karena kain jarik nya terlalu sempit, Irene melangkah tidak seimbang dan jatuh menimpa Bang Noven.
"Deeekk.. deeeekkkk.." Bang Noven yang panik berusaha menahan tubuh Irene namun dirinya tidak sengaja menyentuh kembar menggemaskan milik Irene.
"Aaaaaaaaa.. kurang ajaaaar.. Papaaaa.. Om Noven pegang-pegang Irene..!!!!!!!" Pekik Irene membuat seisi ruangan salah tingkah dan serba salah.
Tau tak ada yang meresponnya, Irene naik di atas kedua paha Bang Noven dan menghajarnya tanpa perhitungan. "Rasakan kau mesum...!!!!!!!"
buuugghhh..
"Ireneeeee..!!!!" Bang Novra menarik tangan adiknya. "Kamu ini kenapa barbar seperti kera???"
"Ya Allah.. Noveeen..!!!!" Papa Girish panik melihat Bang Noven tumbang tanpa suara.
.
.
.
.
"Bangun kau Nyo..!!" Bang Novra berkacak pinggang di samping Bang Noven.
Mau tidak mau Bang Noven membuka matanya dan melihat gaya khas seniornya itu.
"Apa maksudmu membuat panik semua orang?" Tanya Bang Novra.
"Kalau saya tidak pura-pura pingsan, Irene akan terus menghajar saya Bang."
"Cemen betul kau ya..!!" Ledek Bang Novra.
"Memangnya Abang terima kalau karena perdebatan tadi saya jadi berbuat yang tidak-tidak???" Ucap Bang Noven bermaksud balik menyerang Bang Novra.
"Terserah kau lah, Irene sudah hak mu. Tapi ingat.. berani kau buat macam-macam, ku pisahkan kukumu dari kulitnya..!!" Ancam Bang Novra.
gleekk..
Bang Noven menelan salivanya dengan susah payah tapi tetap menyembunyikan rasa cemasnya.
Sesaat kemudian Mama Rinjani datang membawakan obat untuk Bang Noven. Pria itu langsung memasang wajah memelas dan kesakitan sedangkan di luar Papa Girish masih terdengar menceramahi putrinya.
:
"Irene minta maaf..!!" Kata Irene dengan nada terpaksa di bawah tekanan Papa dan Mamanya.
"Hmm.." jawab Bang Noven santai, sesekali dirinya masih belaga nyengir merasakan sakit. Rasanya wajah lugu Irene begitu membuatnya terhibur.
"Om.. maafin donk..!!!!"
"Irene.. minta maaf itu tidak memaksa nak. Kamu sudah buat Bang Noven pingsan. Yang benar kalau minta maaf..!!!!!" Tegur Mama Rinjani.
Irene memalingkan wajahnya karena sudah malas.
"Cepat salim sama Bang Noven..!!!!" Perintah Papa Girish.
Saat ini Bang Noven bagai di atas angin karena Pak Girish membelanya.
Irene meraih tangan Bang Noven lalu mencium punggung tangannya tersebut. Hanya beberapa detik saja namun tiba-tiba saja hati Bang Noven bergetar tanpa ia bisa mengerti. Refleks tangan itu menyentuh puncak kepala Irene.
"Saya memaafkanmu" jawab Bang Noven.
"Iihh apa sih???" Irene menepis tangan Bang Noven. "Jangan pegang kepala Irene."
Papa Seno dan Papa Girish yang tadinya sudah lega kini jadi kembali was-was.
"Duuhh Mas Gi, ini biar Irene di bawa langsung saja ya sama Noven." Kata Papa Seno.
"Nggak..!!!!"
"Nggak mauuuu..!!!!" Jawab Irene dan Bang Noven bersamaan.
"Mau tinggal dimana Pa? Kalau di asrama sangat mencolok. Masa masih baru kenal saja sudah berani bawa perempuan." Protes Bang Noven sekalian menolak.
"Di rumah kontrakanmu saja le. Disana tidak begitu banyak penduduk dan tidak banyak menarik perhatian." Saran Mama Laras.
"Lalu apa selanjutnya??? Mama minta aku jaga Irene??? Aku sibuk Ma..!!" Bang Noven kembali menolak Irene.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri." Teriak Irene.
"Bisa apa kau ini. Sudah di jodohkan begini tentu saya harus menjagamu. Asal kamu tau ya, saya bukan orang nganggur yang bisa selalu memantau mu setiap saat." Jawab Bang Noven.
"Astagfirullah hal adzim.. kalian ini apa tidak bisa kalau tidak ribut????" Papa Girish menegur Irene dan Bang Noven.
"Alaah terserah lah. Siapkan pakaianmu. Sepuluh menit harus sudah beres..!!" Perintah Bang Noven.
"Om pikir Irene robot??? Make up Irene banyak..!!" Kata Irene.
"Sembilan menit..!!" Bang Noven mengurangi menit untuk Irene.
"Oomm..!!!!"
"Delapan..!!!!"
"Oohh awas ya Om..!!" Irene pun berlari menyiapkan perlengkapan dirinya.
Para tetua hanya tertawa saja melihat keributan kecil mereka.
"Sampai ada make up yang tertinggal, Om harus ganti..!!" Ancam Irene dari dalam kamar.
"Mau bersolek macam apa? Modelan basreng begitu pakai tepung mendoan juga cukup." Ejek Bang Noven dan dirinya benar-benar melupakan kalau di ruangan itu masih ada Pak Girish yang tersenyum penuh arti.
-_-_-_-_-
Sore menjelang malam mereka tiba di kontrakan Bang Noven.
Irene menyisir melihat rumah kontrakan tersebut, sangat rapi dengan warna cat hitam dan abu-abu tua mix abu-abu muda. Nampak gelap namun sarat dengan jiwa lelaki.
"Irene disini sendiri Om?" Tanya Irene pada Bang Noven yang menyeret kopernya masuk ke dalam rumah.
"Iya. Kenapa?? Takut?" Bang Noven balik bertanya.
"Si_apa takut. Enak tinggal sendiri, nggak ada yang ganggu." Jawab Irene sok pemberani.
Irene kembali masuk dan di sana tergantung pakaian PDL tentara.
"Om ten_tara??" Tanya Irene ragu.
"Bisa baca nggak?? Siapa nama disana?" Tunjuk Bang Noven.
"Jaya Perkasa.. Oohh, bukan punya Om..!! Jelas bukan lah, tentara itu biasanya ganteng, nggak di bawah standard SNI seperti Om Noven." Jawab Irene karena sudah tau nama pria 'yang akan mengganggu' dirinya seumur hidup adalah Novendra Mahameru.
"Kurang ajar betul kau ini. Jangan sampai kamu naksir sama saya." Gertak Bang Noven.
"Ciiihh.. nggak usah mimpi Om. Irene sudah bilang kalau Irene punya pacar. Dia tentara. Om Nov nggak takut sama tentara???" Dengan sombongnya Irene berceloteh di depan Bang Noven.
"Eehh cimol.. kau tidak lihat. Teman saya saja tentara, buat apa saya takut."
Irene tak menggubris kemudian membuka lemari baju yang setengah terbuka. Disana pandang matanya kembali melihat baju PDL namun kali ini ada nama N. MAHAMERU disana.
"Ini nama Om khan???" Mata Irene terbelalak kaget.
Bang Noven tersenyum puas. Akhirnya Irene akan punya rasa takut dan sungkan juga padanya.
Irene menepuk dahinya. "Kenapa Irene bisa sebodoh ini. Pasti Om Nov sama Om ini sedang karnaval." Ucap santai Irene.
Senyum Bang Noven mendadak hilang. "Inilah anak sisa koretan lemak. Nyumbat di kepala jadi bebal." Bang Noven mengambil langkah panjang lalu meninggalkan Irene sendiri di kamar kontrakannya.
"Om mau kemana?" Tanya Irene.
"Beli makan. Jangan sampai kamu kelaparan. Kenyang saja masih tidak pintar, bagaimana kalau lapar." Ledek Bang Noven.
Bibir Irene mengikuti gerak bibir Bang Noven lalu menirukan caranya berjalan. Bang Noven hanya menggeleng melihat tingkah aneh 'calon tunangannya."
"Kalau bukan karena perkara jodoh-jodohan, sudah ku pelintir bibir mu itu."
Seakan tak mengenal rasa takut, Irene memonyongkan bibirnya menantang Bang Noven.
"Okeee.. tunggu saja tamatmu..!!"
Irene mengibaskan rambutnya. "Oya.. lihat saja nanti, Om atau Irene yang tamat."
"Lap dulu itu ingus sebelum menantang pria dewasa." Bang Noven segera keluar lalu menutup pintu dengan rapat. "Astagfirullah.." Bang Noven memejamkan matanya sejenak lalu mengusap dadanya. "Mata masih kuat, tapi sinyal radarku ini lama kelamaan bisa korsleting arus."
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!