NovelToon NovelToon

ANGKASA

Toko Roti

Sophia berjalan riang sambil memikul pel lantai, bersenandung sambil menari kecil.

"Ibu, ayah, kalian tidak perlu khawatir lagi pada aku dan Peter di sini, karena aku sudah punya pekerjaan dengan gaji yang lumayan besar. Kalian berisitirahat dengan tenanglah di atas sana, kami di sini tidak akan lelah untuk bertahan hidup untuk melanjutkan perjuangan kalian," ucap Sophia menatap langit-langit kamar mandi di tempat kerjanya.

Hari ini adalah tepatnya ke 1 tahun ayahnya meninggal, dan 6 bulan ibunya juga menyusul ayahnya. Ayahnya meninggal saat bekerja di sebuah proyek bangunan, sementara ibunya meninggal karena sakit yang dideritanya selama bertahun-tahun.

Orangtuanya tak meninggalkan harta sedikit pun, wajar saja karena keluarganya miskin. Namun meski begitu ia tidak mengeluh sama sekali, toh hidup bukan tentang harta tapi tentang sejauh mana kamu bisa bersyukur. Setidaknya itu makna hidup menurutnya.

Walaupun tidak munafik bahwa dirinya ingin sekali menjadi orang kaya supaya bisa menghidupi adik dan dirinya dengan baik.

"Sophia, jika sudah selesai di sana, tolong bantu kami di sini!" teriak Milly pekerja sekaligus pemilik dari toko roti.

"Ah, baik. Aku datang," balas Sophia meninggalkan segala alat pembersih di pojok kamar mandi, segera berlari untuk memenuhi panggilan bosnya.

"Hari ini kita kedatangan pelanggan yang cukup banyak. Sepertinya kamu harus bekerja lembur hari ini. Kamu jangan khawatir, aku akan menambah upahmu," jelas Milly sambil memegang nampan berisi makanan yang dipesan.

"Tentu," jawab Sophia langsung berlari ke dapur. Terkadang jika sedang banyak pelanggan seperti hari ini, dirinya akan membantu membuat roti.

Dirinya bisa membuat roti karena dahulu ibunya pun pernah menjadi seorang pembuat roti di toko roti juga. Ia menghabiskan masa kecilnya untuk ikut kerja bersama ibunya alih-alih bermain seperti anak kecil lainnya.

"Hai, Sophia kenapa kamu berseri-seri begitu?" tanya Eve, wanita paruh baya yang menjadi kokinya.

"Aku sangat bahagia karena hari ini kita kedatangan banyak pelanggan, meski aku tidak akan kebagian sisa roti tapi aku pasti mendapat uang tambahan dari bos, dengan begitu aku bisa membelikan Peter makanan yang enak sesekali. Aku sangat bahagia karena itu."

"Kamu kakak yang sangat baik, Sophia. Jangan lupa untuk membuat dirimu bahagia juga!"

"Ah, tentu saja. Terima kasih." Sophia memasukkan roti yang sudah dibentuknya ke dalam open.

Setelah beberapa bulan terus bekerja di tempat yang salah, akhirnya kini ia menemukan pekerjaan yang cukup membuatnya bahagia juga, selain itu gaji dan pekerjaannya pun sepadan.

Bos, teman kerja, bahkan pelanggan yang datang pun ramah-ramah, pokoknya ia sangat suka dengan toko roti ini. Semoga toko roti ini diberkati sehingga selalu banyak pelanggan.

"Sophia, datanglah ke sini! Aku perlu bantuan mu," perintah Milly

Sophia segera bergegas menemui bosnya.

"Tolong hantarkan minuman dan roti ini ke meja paling belakang!"

"Yang empat orang itu?" tanya Sophia memastikan.

"iya. Tidak perlu terburu-buru, hati-hatilah!"

"Baik." Sophia menerima nampan berisi 4 minuman juga satu nampan lagi ada 4 piring yang di atasnya jenis roti yang berbeda-beda.

Toko roti ini mungkin kecil, tapi tempat ini tidak hanya menyediakan roti saja, di sini juga bisa sambil minum jikalau itu hanya sekedar teh hangat atau pun kopi.

Sophia berjalan dengan langkah yang lambat karena berhati-hati, mulutnya tak berhenti bersenandung bahagia, pikirannya sibuk mencari menu makanan yang harus dibelinya untuk Peter nanti saat pulang.

Sophia memejamkan matanya sebentar untuk mencoba menghilangkan rasa lelahnya, kakinya tetap berjalan.

Suara piring dan gelas kaca yang pecah terdengar nyaring di seisi toko, pecahan gelas dan kaca juga roti yang masih utuh dan genangan air dari minuman begitu berserakan di atas lantai.

Itu adalah Sophia yang tanpa sengaja menubruk tubuh seseorang.

"Maaf! Tolong maafkan aku!" pinta Sophia terus membungkuk dan mengangkat badannya sebagai tanda permintaan maaf.

"Aku mohon, maafkan aku. Aku tidak sengaja melakukannya."

"Maafkan aku!"

"Maafkan aku!"

Celaka dirimu, Sophia. Batin Sophia dengan mulut yang terus meminta maaf.

"Berhenti meminta maaf. Maaf mu, tidak akan membuat pakaianku bersih kembali," ucap pria yang ditubruk Sophia begitu dingin sambil mengeprik-ngeprik pakaiannya.

Sophia berlari untuk mengambil tisu di atas meja, karena tergesa-gesa tanpa sengaja kakinya malah menginjak pecahan gelas dan piring, akan tetapi Sophia bertindak biasa seakan tak merasa sakit di kakinya.

"Izinkan aku untuk membersihkan pakaian mu, Tuan!" izin Sophia hanya terus menunduk. Dirinya terlalu takut untuk melihat seseorang yang ditabraknya. Laki-laki yang ada di hadapannya saat ini pasti orang kaya yang jahat.

Angkasa langsung mundur satu langkah ketika Sophia sedikit lagi akan menyentuh dirinya.

"Itu tidak perlu," ucap Angkasa dingin.

Laki-laki yang ditabrak Sophia baru saja tak lain dan tak bukan adalah Angkasa, seorang pengusaha muda yang amat kaya raya bahkan membuat namanya menjadi nama paling teratas di jajaran orang terkaya.

Angkasa terkenal akan kesuksesannya, juga karena sikapnya yang dingin dan tegas. Banyak yang menyukainya, namun hanya segelintir orang saja yang berani bertatap muka dan berbicara untuk waktu yang lama dengan Angkasa.

Rata-rata rekan bisnis atau orang biasa akan berbicara secara singkat dengan Angkasa, bukan karena tak suka akan tetapi mereka takut melakukan atau mengucapkan kalimat yang salah yang akhirnya akan membuat Angkasa marah.

"Sophia, bagaimana kamu bisa seceroboh ini? Kamu menabrak orang yang paling berpengaruh di kota ini. Aku tidak ingin terseret ke dalam masalah yang kamu timbulkan. Mulai saat ini kamu dipecat," putus Milly bahkan di hadapan Angkasa.

"Apa?" Mata Sophia melebar di waktu itu juga, bibirnya langsung terbuka, dan hatinya pun mulai bergemuruh dengan rasa sesak yang mendorongnya untuk menangis.

"Aku sungguh minta maaf atas kecerobohan ku! Aku mohon jangan keluarkan aku dari sini, aku butuh uang untuk,-"

"Sophia, pergilah! Aku tidak akan memberikanmu gaji terakhir karena kamu telah memecahkan barang-barang di toko ku. Pergilah, Sophia!" usir Milly menujuk ke arah pintu, namun kepalanya masih menunduk sebagai tanda hormat kepada Angkasa. Meski Angkasa lebih muda darinya, tapi ia tetap tidak bisa memperlakukan Angkasa seperti yang lainnya.

Sophia tak memiliki pilihan lain, dengan kaki yang tertatih-tatih, ia keluar dari toko, langsung disambut oleh gemercik air hujan yang turun begitu deras.

Satu tetes air mata mengalir membasahi pipinya, tak terlihat karena wajahnya sudah terkena cipratan air hujan.

"Tuhan, kenapa aku selalu sial di hari hujan?" Sophia menatap gelapnya langit malam, memeluk dirinya sendiri sambil menahan perih yang semakin menjalar ke seluruh tubuhnya.

Sophia duduk di depan sebuah toko pakaian yang letaknya tak jauh dari tempatnya bekerja, berteduh karena sudah tak kuat menahan dinginnya air hujan yang bercampur dengan rasa perih dari kakinya yang sampai saat ini mengeluarkan darah.

Mobil hitam yang dirinya kenal tiba-tiba berhenti di depannya, seorang wanita berumur 40 tahun keluar dari mobil tersebut sembari membawa seorang anak laki-laki di pangkuannya.

"Sophia, maafkan aku, tapi aku harus pergi ke rumah kerabatku yang meninggal. Aku tidak bisa membawa Peter ke sana," lirih Maria. Dia adalah tetangga sekaligus wanita yang dengan sukarela menjaga Peter ketika Sophia sedang bekerja.

"Tidak apa. Terima kasih karena sudah menjaga adikku. Aku turut berdukacita atas kepergian kerabatmu. Semoga kalian semua diberikan ketabahan. Maafkan aku karena sepertinya aku tak bisa ikut bersama mu."

Sophia berlagak baik-baik saja, berdiri dengan tegak lantas mengambil Peter dari pangkuan Maria.

"Amin. Doa mu sudah cukup. Kamu tidak perlu datang ke rumah kerabat ku. Aku memahami mu, Sophia."

"Pakailah ini!" Maria memberikan payungnya akan tetapi langsung ditolak Sophia.

"Aku juga memiliki payung hanya saja tadi dipinjam terlebih dahulu oleh pemilik toko ini untuk membeli makanan katanya. Kamu pergilah saja," bohong Sophia. Maria sudah sangat baik padanya, ia malu jika harus terus menerima kebaikannya.

Maria pun akhirnya pergi bersama dengan mobilnya, meninggalkan Sophia bersama Peter.

Sophia menatap Peter yang pucat wajahnya. Lagi-lagi air matanya menetes tak kuasa menahan sakit di hatinya. Saking dinginnya cuaca malam ini, bahkan air matanya pun terasa lebih panas dari biasanya.

"Maafkan aku karena aku tidak bisa menjadi kakak yang baik untukmu," lirih Sophia memeluk Peter.

"Aku sudah lelah dengan ketidakadilan Tuhan ini, Peter. Aku sungguh sudah lelah harus terus bertahan hidup di kesengsaraan ini."

"Aku membenci diriku sendiri karena aku tak bisa memenuhi satu janjiku pun padamu."

Sophia menerobos menerjang derasnya hujan, memeluk begitu erat Peter, air matanya tak berhenti mengalir membuat pandangannya menjadi kabur, jalannya tertatih-tatih menahan rasa sakit.

"Haruskah kita meninggal saja, Peter?"

"Ayo, kita bersama-sama menyusul ayah dan ibu! Mungkin jika bersama mereka jikapun kita tetap miskin, kita akan bahagia karena ada mereka bersama kita."

Sophia mencium kepala Peter sangat lama, pikirannya terus mencoba untuk meyakinkan hatinya untuk supaya dirinya pergi saja selamanya dari dunia ini.

Laut

Jejak dari kaki yang berdarah tersapu bersih oleh air hujan yang turun kian semakin deras. Namun bukan hanya air hujan yang semakin deras, air mata yang keluar dari mata seorang gadis yang kini tubuhnya semakin melemah pun terus mengalir deras.

Sophia berjalan sudah sangat jauh, kini di hadapannya terdapat hamparan pasir yang tersapu ombak berulang kali.

"Tuhan, kaki ku dilangkahkan oleh Mu dan aku berdiri di sini atas kehendak Mu. Mungkin rencana yang ada di pikiran ku saat ini juga bagian dari takdir yang telah Kau tentukan," ucap Sophia tubuhnya semakin gemetar.

"Ayah, Ibu, aku takut ketika aku telah tiada pun aku tak bertemu dengan kalian, akan ku sampaikan permintaan maafku pada kalian di saat-saat terakhir hidupku."

"Ayah, Ibu, aku sudah berusaha, aku sudah berjuang juga. Beberapa minggu lalu, aku membuat banyak janji pada Peter karena aku akhirnya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar, tapi karena kesalahanku juga akhirnya aku dipecat dan aku pun tak bisa menepati bahkan satu janjiku pun pada Peter."

"Aku lelah, Ayah!"

"Ibu, anakmu yang dahulu kau ajarkan untuk berdiri tegak ternyata sampai saat ini dia lumpuh jika tanpa adanya dirimu di sisinya. Anakmu yang dahulu kamu ajarkan berjalan, sampai saat ini langkahnya tertatih-tatih karena ia berjalan sambil membawa beban yang terlalu berat baginya."

"Dan untukMu Tuhan, hambaMu yang Kamu hidupkan ternyata tak bisa bertahan dari hujaman ujian dariMu. Seharusnya Engkau berikan ujian pada mereka yang hidupnya bahagia, bukan pada seorang gadis yang hidup tanpa ayah dan ibu, juga harus mengurus adiknya yang masih kecil. Dia bahkan sampai membenci dirinya sendiri karena tak bisa melewati semua ujian dariMu, Tuhan."

"Ayah, Ibu, dan Tuhan, maafkan aku! Aku tidak memiliki cara apa pun lagi untuk mengakhiri penderitaan hidup ku selama ini selain daripada dengan ini."

Sophia berjalan mendekati ombak, perlahan-lahan masuk ke laut dengan tubuh yang mencoba untuk tetap berdiri tegak, tubuhnya semakin tinggi terendam air laut.

"Aku mencintaimu, Peter Adikku," ucap Sophia tatkala setengah badannya sudah terendam air.

"Gadis gila," umpat Angkasa berlari untuk menyelamatkan Sophia.

Angkasa melompat pada tubuh Sophia yang akan hanyut terseret ombak, dengan erat memeluk perut Sophia, dan dengan susah payah ia membawanya kembali ke daratan.

Cooper sambil membawa payung mendekati Angkasa. Cooper adalah teman sekaligus sekertaris Angkasa.

"Kita harus segera membawa mereka ke rumah sakit," ucap Angkasa begitu tergesa membawa Sophia untuk masuk ke dalam mobilnya.

Untuk saat ini Sophia maupun Peter, keduanya tak sadarkan diri. Dan bahkan ketika kehilangan kesadaran pun Sophia masih begitu erat memeluk erat Peter.

"Cepat jalan!" perintah Angkasa yang saat ini duduk di kursi belakang menopang kepala Sophia di pahanya. Dirinya mengambil Peter yang ada di pangkuan Sophia supaya Peter tak merasa tercekik dengan pelukan erat Sophia.

"Ada apa dengan mu malam ini, Angkasa? Kamu baru melakukan hal seperti ini untuk pertama kalinya. Biasanya jika ada seseorang yang jika dia bunuh diri di hadapan mu pun kamu tidak peduli padanya," ujar Cooper sesekali menatap Angkasa dari pantulan kaca.

"Jika dia bukan wanita miskin yang menyedihkan aku pun tidak akan peduli padanya. Terlebih dia akan bunuh diri setelah dipecat dari pekerjaannya. Dan dia dipecat karena aku."

"Dan dia juga sudah memiliki seorang anak. Jika hanya wanita ini yang mati aku tak peduli, tapi jika dia membawa seorang anak yang masih belum memiliki dosa aku takut anak ini akan mengadu pada Tuhan dan akhirnya Tuhan sendirilah yang menghukum ku."

"Itu masuk logika," jawab Cooper menganggukkan kepalanya.

"Cooper, bukankah wanita ini terlalu muda untuk memiliki seorang anak?" tanya Angkasa menatap wajah Sophia yang begitu pucat namun terlihat damai.

"Ya, mungkin saja dia menjual dirinya untuk bertahan hidup. Dan siapa yang tahu mungkin saja terjadi kecelakaan yang membuatnya memiliki anak dan ayah dari anak itu tidak mau bertanggung jawab. Well, cerita seperti itu tidak asing lagi di kalangan gadis jalanan sepertinya."

"Kenapa kamu bertanya?" Cooper menatap curiga Angkasa.

"Apa salah jika aku bertanya?" tukas Angkasa intonasi suaranya begitu dingin.

"Tidak."

Angkasa menatap Sophia untuk waktu yang cukup lama, sesekali menatap Peter juga yang kini dirinya balut menggunakan jasanya untuk menghangatkan tubuh kecil Peter.

Tangannya menyapu bibir ranum Sophia. Kecil, tipis, pink alami, dan terlihat sangat menggoda. Sangat pas dengan bentuk wajahnya.

Angkasa tersenyum smirk ketika melihat ibu jari bekas menyapu bibir Sophia. "Tidak heran," ucapnya melihat tidak ada sedikit pun bekas lipstik yang tertinggal di ibu jarinya.

"Mereka terlihat sangat mirip," ujar Angkasa yakin setelah menelisik wajah Sophia dan Peter.

"Tentu saja. Mereka anak dan ibu," sahut Cooper.

Sebenarnya sesaat setelah Sophia dipecat....

"Tuan, saya sangat menyesal atas kecerobohan pegawai kami. Tolong maafkan kami. Kami akan ganti rugi dan juga berjanji hal tersebut tidak akan terulang lagi di masa depan," lirih Milly membungkuk di hadapan Angkasa.

Angkasa membuang muka dari Milly, tangannya yang kekar disembunyikan di balik saku celana. Sebab inilah dirinya malas untuk pergi ke suatu tempat yang di mana mereka adalah kalangan orang biasa. Mereka terlalu mengagungkan dirinya seakan dirinya ini Tuhan. Hal itu sungguh membuatnya risih dan jengah.

Sejujurnya, ia lebih suka diperlakukan biasa saja seperti layaknya orang pada umumnya.

"Ayo, pergi!" ajak Angkasa keluar terlebih dahulu lantas Cooper menyusulnya.

Angkasa menatap Sophia yang sedang duduk di depan toko pakaian dari dalam mobil. Sedikit rasa bersalah terasa di hatinya melihat keadaan Sophia yang menyedihkan.

"Ke mana kita akan pergi?" tanya Cooper sebelum menyalakan mesin mobilnya.

"Pulang," jawab Angkasa memalingkan wajahnya dari Sophia.

Lupakan saja, dia hanya gadis miskin yang jika pun dipecat karena dirinya itu tidak akan membuat dia berani melawan dirinya.

Tak seharusnya ia berlarut memikirkan gadis tersebut.

Cooper memutar arah, mulai menerjang derasnya hujan untuk mengantarkan Angkasa pulang.

"Berhenti!" perintah Angkasa masih belum jauh dari toko roti tadi.

"Ada apa?" tanya Cooper membalikkan badannya.

"Kita kembali lagi ke toko roti tadi," perintah Angkasa. Ia mencoba untuk tidak peduli pada gadis tadi, namun pikiran dan hatinya benar-benar membuatnya frustasi.

Hujan jenis apa malam ini sehingga membuatnya ingin berbaik hati pada gadis yang bahkan tidak dirinya kenali?

"Memang ada apa?" tanya Cooper masih belum melajukan mobilnya.

"Berhenti bertanya. Putar arah saja," perintah Angkasa tatapannya begitu tak bersahabat.

Cooper pun memutar lagi arah mobilnya, berjalan kembali ke toko roti.

Sesampainya di sana Angkasa tak mendapati Sophia lagi. Ia menatap ke dalam toko roti namun tak menemukan wajah Sophia di antara yang lainnya.

"Temukan gadis tadi yang menabrak ku!" pinta Angkasa secara tersirat meminta supaya Cooper melajukan lagi mobilnya dan jangan berhenti sebelum menemukan Sophia.

"Untuk apa kamu mencarinya? Apa kamu akan minta ganti rugi?"

"Aku bilang berhenti bertanya dan jalankan saja semua perintah ku!" tegas Angkasa.

Jalanan yang dilewati dari toko roti cukup jauh, dan Angkasa saat ini sudah mendapati Sophia yang sedang berjalan kaki di bawah derasnya air hujan, ia mengikuti dengan mobil.

Dan tibalah Sophia di pantai.

"Dia mencoba untuk bunuh diri!" teriak Cooper.

Angkasa langsung keluar dari mobilnya, berlari untuk menyelamatkan Sophia.

"Gadis gila," umpatnya.

Rumah Sakit

Angkasa masuk ke ruang yang diarahkan oleh Cooper, di mana di sana Sophia dan Peter dirawat.

Sebuah rumah sakit yang mewah dengan peralatan medis tercanggih di kotanya. Bahkan kini Sophia dan Peter dirawat di ruangan VVIP.

"Apa yang akan kau lakukan dengan ibu dan anak ini setelah mereka sadar?" tanya Cooper dengan tangan kiri yang memegang Ipad dan tangan kanannya memegang kacamata kerjanya.

Angkasa membuka kancing jasnya, duduk di kursi tepat di samping kasur Sophia.

"Pekerjakan dia di rumahku," ucap Angkasa menyilangkan kakinya.

"Apa yang bisa dikerjakan seorang ibu yang memiliki anak? Dia hanya akan menjadi beban," bantah Cooper.

"Aku memintamu untuk mempekerjakan dia di rumahku, bukan rumahmu. Rumahku, terserah pada diriku," sahut Angkasa penuh penekanan.

"Kau benar. Kalau begitu aku keluar dulu untuk menghubungi kepala pelayan di rumah mu dan aku juga sepertinya harus pergi ke kantor untuk mengambil beberapa dokumen yang perlu kau tandatangani sore ini juga," jelas Cooper.

"Pergilah!"

"Baik, aku permisi," pamit Cooper lantas menutup kembali pintu ruangannya.

Angkasa menatap serius wajah Sophia yang masih enggan untuk tersadar. Entah kenapa ia merasa begitu damai hanya dengan melihat wajah Sophia. Seakan beban yang dirinya tanggung selama bertahun-tahun dapat dilepaskan hanya karena melihat wajahnya.

Angkasa membuang muka dari Sophia.

"Peter!" panggil Sophia masih memejamkan matanya, tubuhnya bergerak gelisah.

Angkasa langsung datang menghampiri.

"Peter!" panggil lagi Sophia.

"Siapa Peter? Mungkinkah kekasihnya atau nama anaknya?" gumam Angkasa.

"Peter!"

Dalam sekejap Sophia membuka matanya, menatap wajah Angkasa seperti orang linglung. Ia melirik ke kiri dan kanannya, melihat ke kasur yang sedang di tidurinya.

Matanya berbinar melihat kemewahan yang terdapat dalam ruang rawatnya. Sekali lagi ia menatap Angkasa.

"Jadi begini rasanya berada di surga?" Sophia tersenyum, memejamkan matanya menikmati kenikmatan yang ia rasakan di ruangan ini.

"Surga pantatmu," cibir Angkasa tersenyum smirk seraya menggelengkan kepalanya berulang kali, membuang muka dari Sophia dengan tangan yang menyilang di dada.

"Nyaman sekali. Tahu kalau aku akan masuk surga mungkin aku akan meninggal sudah dari dulu. Ah...aku berharap aku berada di surga selamanya."

Sophia langsung mengernyitkan keningnya tatkala kakinya berdenyut sakit. Mengangkat kakinya ke langit, lantas melihatnya.

"Wow, kenapa kaki ku dibungkus? Ah, aku terluka saat masih di bumi. Tapi kenapa kaki ku harus dibalut? Aku pikir di surga aku tidak akan merasakan sakit lagi. Hm, mungkin saja di surga ada pembaruan."

"Lupakan saja. Bahkan jika aku tertidur selamanya di sini, aku rela. Manusia miskin mana yang akan menolak kenyamanan seperti ini?"

"Ah, Tuhan. Aku tidak menyesal telah bunuh diri."

Angkasa menyentil kening Sophia sangat kuat. Lelah sekali ia mendengar ocehan gadis bodoh.

"Ah," rintih Sophia menyentuh keningnya.

Ia membuka mata dan menatap Angkasa.

"Apa kau malaikat yang Tuhan utus untuk menjadi pangeranku?" tanya Sophia bangkit dari tidurnya. Menatap dengan detail wajah Angkasa.

Laki-laki yang ada di hadapannya bisa dikatakan sangat sempurna. Garis rahangnya terbentuk dengan indah, wajahnya tampan bahkan ia tak pernah melihat ketampanan seperti laki-laki yang ada di hadapannya semasa hidup, dan postur tubuhnya sangat sempurna.

"Eey, Sophia kau sangat beruntung. Pahala apa yang kau lakukan selama di dunia sehingga kau ditempatkan di surga dan bahkan diberi pangeran yang sangat tampan? Kau beruntung sekali Sophia. Mungkin ini berkat kesabaran kau selama di dunia." Sophia memegang dadanya.

"Kau sangat tampan. Aku menyukai mu bahkan sebelum kamu berbicara."

"Tapi tunggu!" Sophia memegang dagunya, ia merasa ada yang hilang tapi ia tidak tahu apa itu.

Sophia menjentikkan jarinya tatkala mengingat. "Adikku Peter," ucapnya.

"Pangeranku, di mana adikku?" tanya Sophia melihat Angkasa.

Pangeran pantat mu. Bagaimana mungkin aku menjadi pangeran untuk gadis bodoh seperti mu. Batin Angkasa menggerutu.

"Aku bertanya padamu. Kenapa kamu hanya diam?" Sophia meraih tangan Angkasa.

"Di mana kamu meletakkan adikku? Aku harus bertemu dengannya. Dia mungkin sedang kebingungan mencari ku saat ini."

"Maksud mu anak yang ada di samping mu itu?" tanya Angkasa menujuk menggunakan dagunya.

Sophia langsung saja melihat ke sampingnya, menatap ke arah tempat bayi yang di dalamnya terdapat Peter yang sedang asik bermain dengan mainannya.

"Oh, Pangeranku yang tampan dan baik hati, terima kasih karena kamu tidak menjauhkan aku dengan adikku. Aku akan sangat bersedih jika berjauhan dengan dia," aku Sophia memegang kembali tangan Angkasa.

"Jadi dia bukan anak mu?" tanya Angkasa menatap silih berganti antara Peter dan Sophia.

"Anakku? Bagaimana mungkin aku memiliki anak? Selama di dunia aku sibuk membiayai hidup ku dan adikku. Bahkan aku tidak pernah kenal dengan satu pria pun. Aku ini gadis yatim-piatu yang miskin. Makanya bertemu dengan mu adalah sebuah anugerah untukku," curhat Sophia tersenyum manis pada Angkasa. Tersenyum hingga membuat matanya menyipit.

"I LOVE YOU, TUHAN."

"AKU BAHAGIA KARENA BERADA DI SURGA MU," teriak Sophia seraya merentangkan tangannya, kepalanya menengadah ke langit dengan mata yang terpejam.

"Surga pantatmu. Kau berada di rumah sakit, bukan di surga," ucap Angkasa menoyor kepala Sophia dengan jari telunjuknya, sedikit mendorongnya namun siap sangka malah membuat Sophia jatuh terbaring.

"Rumah sakit?" ulang Sophia menatap kembali ke setiap pojok ruangan ini.

"Tidak mungkin. Rumah sakit tidak mungkin ada yang semewah ini. Aku pernah ke rumah sakit dan di sana bahkan tidak ada kursi tunggu yang mewah seperti di sini, bahkan ranjang rumah sakit pun sangat tidak nyaman," elak Sophia masih yakin bahwa saat ini dirinya di surga.

"Itu karena rumah sakit yang kau tempati adalah rumah sakit orang miskin seperti mu. Kali ini berbeda," cemooh Angkasa menyandarkan tubuhnya ke tembok, menyilangkan kaki dan tangannya.

"Apa kau tidak berbohong?" tanya Sophia menghadapkan tubuhnya pada Angkasa.

"Tuhan mana yang akan memasukkan gadis bodoh seperti mu ke surganya, hah?"

"Lalu kenapa aku ada di sini? Bukankah terakhir kali aku akan bunuh diri di pantai?" Sophia menggaruk kepalanya yang semakin kebingungan.

"Cih." Angkasa berdecih. Ia sampai kehabisan tenaga dan kata-kata berhadapan dengan gadis yang ada di hadapannya saat ini. Sangat bodoh dan cerewet, membuat gendang telinganya sakit saja.

"Apa kau menyelamatkan aku?" tanya Sophia.

"Menurut mu?" tanya balik Angkasa.

"Jika itu benar, tapi kenapa kamu menyelamatkan aku?"

"Siapa dirimu?" tanya Sophia.

Hening. Angkasa enggan untuk menjawab dan Sophia masih menunggu Angkasa untuk berkata sehingga terciptalah keheningan saat ini.

"Siapa namamu?" tanya Angkasa.

"Sophia Willen," jawab Sophia menyentuh dadanya. "Dan itu adikku, Peter Willen."

"Dan siapa dirimu?"

"Aku,-" Angkasa kembali mengatupkan bibirnya tatkala pintu ruangan terbuka.

"Permisi, Tuan Muda. Saya datang atas panggilan Cooper!" ucap Arthur berdiri dengan tegap, masih memakai seragam kerja hitam putih yang rapi.

Arthur adalah kepala pelayan di rumah Angkasa. dia sudah mengabdikan hidupnya pada keluarga Phoenix semenjak orangtua Angkasa baru menikah hingga sekarang Angkasa sudah dewasa ia masih bekerja dengan baik di rumah tersebut. Arthur sudah berusia lima puluh tahun saat ini.

"Angkasa, malam ini kita ada pertemuan penting bersama beberapa pemilik perusahaan. Dan masih banyak dokumen yang perlu kau tanda tangani di kantor. Aku tidak merasa bahwa aku bisa membawa semuanya ke mari, karena itu menurutku ada baiknya kita pergi saja ke kantor," saran Cooper yang baru saja tiba.

"Dan tentang mereka, aku pikir Arthur bisa mengurusnya untukmu." Cooper berbicara tentang Sophia dan Peter.

"Hm, baiklah." Angkasa mengangguk menyetujui usul Cooper.

"Arthur, bawa mereka ke rumah ku!" Angkasa menggaruk kelopak matanya yang tiba-tiba gatal.

"Jangan biarkan dia melakukan apa pun sebelum kakinya sembuh. Dan panggil dokter ke rumah setiap hari untuk mengecek keadaannya. Jika dia sudah sembuh, kamu bisa menempatkan dia di pekerjaan yang paling cocok dengannya!" perintah Angkasa.

"Baik, Tuan Muda."

"Aku percaya padamu!" Angkasa menepuk pundak Arthur sebelum akhirnya keluar dari ruang rawat ini.

Sophia hanya bisa terdiam sebab tak mengerti dengan semua yang terjadi saat ini.

Jadi saat ini dirinya belum berada di surga? Ugh, menyebalkan sekali.

"Aku ingin pergi ke surga," rancau Sophia kembali berbaring.

Jika benar dirinya masih di dunia, maka saat ini dirinya harus menikmati ranjang rumah sakit dan segala halnya yang ada di sini sebelum kembali ke rumahnya yang bahkan alas tempat tidurnya hanyalah kain yang sudah usang.

"Huft!" Sophia menghela napasnya.

^^^Follow Ig : maeee331^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!