Bagaimana rasanya menikah dengan orang yang dicintai? Bahagia bukan?
Membayangkan akan hidup satu atap dengan orang yang sudah lama disukai dengan status sebagai suami istri bukankah itu hal yang sangat diimpikan oleh banyak perempuan.
Jika cinta memang seindah itu, lantas mengapa sendu menghampiri seorang gadis cantik yang kini sedang duduk menyendiri didalam kamarnya? Padahal baru tadi pagi ia melangsungkan pernikahan dengan laki-laki yang sudah lama ia suka.
"Kenapa dia berkata seperti itu?" Tanyanya ambigu pada dirinya sendiri.
Ia tak tau harus bagaimana, memang benar pernikahan ini terjadi karena ayahnya yang tiba-tiba ingin melihat putrinya menikah karena beliau merasa sudah bertambah tua dan kondisi beliau juga sudah sering sakit-sakitan sehingga beliau menyuruhnya untuk menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya.
Senang? Sangat senang, saat ketika ia tau bahwa laki-laki pilihan ayahnya adalah orang yang sudah lama ia sukai dan kagumi sejak pertama kali ia melihatnya di kampus 2 tahun yang lalu.
"Sebenarnya aku belum berencana menikah, tapi orang tua kita yang menginginkan hal ini, jadi sebelum aku mempunyai perasaan padamu lebih baik kita tidak sekamar dulu." Ucap Damar saat mereka selesai dengan acara resepsi siang itu.
"Lalu aku tidur dimana dan bagaimana jika orangtuaku bertanya mengapa kita tidur terpisah?" Annisa bertanya dengan bingungnya.
"Hari ini kita tidur di satu kamar ini, esok saat pindah ke apartemenku aku akan menyiapkan kamar untukmu," ujar Damar. Annisa hanya mengangguk tanda setuju.
"Aku tidak akan melewati batasanku, jadi kuharap kau pun bisa seperti itu, tetap jaga batasan dan privasi masing-masing aku tidak akan mengusik mu." Ucap Damar sesaat sebelum keluar dari kamar Annisa.
Annisa hanya mendesah pasrah saat Damar berkata seperti itu. Dalam hati ingin sekali rasanya bertanya alasannya mengapa dia berkata seperti itu bahkan di hari pernikahan mereka yang belum genap satu hari. Hingga Annisa berfikir apa jangan-jangan desas desus yang mengatakan bahwa Damar adalah seorang "gay" itu benar.
Annisa menggelengkan kepalanya kuat-kuat, tidak mungkin suaminya seorang "gay" asumsi orang lain memang berlebihan hanya karena melihat sesuatu yang belum pasti kebenarannya.
Setelah berperang dengan pikirannya sendiri akhirnya Annisa beranjak untuk mandi, hari sudah semakin menggelap dan hujan juga sudah mulai turun ia mau tak mau harus segera membersihkan dirinya sebelum hari bertambah gelap.
...****************...
Damar melangkah memasuki kamar istrinya. Dilihatnya kamar itu kosong, tapi suara air dari kamar mandi menunjukan dimana istrinya berada.
"Istri ya?" Gumamnya pada dirinya sendiri.
Damar akui Annisa gadis yang cantik, supel dan ramah temannya di kampusnya juga banyak, berbanding terbalik dengan dirinya yang lebih senang menyendiri.
Bukan tanpa alasan sebenarnya Damar belum ingin menikah, obsesinya pada dunia bisnis sedang tinggi-tingginya, dia tidak ingin obsesinya terganggu dengan hal-hal yang akan merepotkan kedepannya bahkan mengencani seorang perempuan saja tidak pernah terbesit di pikirannya.
Hanya bagaimana cara menyaingi perusahaan yang bergerak di bidang yang sama dengannya agar takluk kepada perusahaannya. Saat memegang jabatan tertinggi menggantikan sang ayah ia memang langsung menggebrak dunia bisnis dengan tangan dinginnya, dia yang berwatak dingin dan keras juga ego yang tinggi selalu mendapat apa yang di inginkan.
Dan hari ini dia harus menambah tanggung jawab dengan menikahi gadis yang kuliahnya saja belum selesai, bagaimana ia bisa mengatasi rengekan gadis seperti itu, dia benar-benar tidak bisa membayangkannya.
Ceklek .....
Lamunan Damar berhenti saat pintu kamar mandi terbuka.
Damar mematung, Annisa juga tidak kalah terkejutnya.
"Maaf aku tidak tau kau di dalam, bisakah berbalik sebentar? Aku ingin mengambil baju," ujar Annisa pelan bercampur malu.
Bagaimana tidak, setelah Damar mengatakan hal-hal tentang batasan dan privasi kini ia malah dengan santainya keluar dari kamar mandi hanya menggunakan selembar handuk yang hanya bisa menutupi bagian dada yang juga tidak tertutup semua sampai satu jengkal di atas lututnya.
Damar yang melihat dari tadi tidak berkedip dengan pemandangan di depannya, Damar laki-laki normal tubuh Annisa walau di balut handuk juga tidak bisa dipungkiri bahwa Annisa memiliki tubuh yang bagus.
"Maaf kak Damar bisakah berbalik sebentar?" Ujar Annisa agak keras.
Walaupun malu tapi dia juga tidak nyaman ditatap seperti itu oleh Damar. Annisa tidak tau kalau Damar sudah kembali ke kamarnya jadi ia bisa dengan santai keluar dengan kamar mandi hanya menggunakan handuk.
Damar terperanjat kaget dan langsung membalikan badannya, pikiran yang tidak-tidak sudah mulai meracuni otaknya. Saat mendengar pintu kamar mandi yang tertutup Damar segera meluruhkan tubuhnya di atas ranjang, Damar berusaha menormalkan degup jantungnya yang menggila hanya dengan melihat tubuh Annisa.
"Mandi. Aku harus mandi!" Ucapnya tegas pada dirinya sendiri.
"Kak," panggil Annisa pada Damar. Damar hanya menoleh tanpa menjawab apapun.
"Ini handuk untuk kakak jika kakak ingin mandi," ucap Annisa seraya menyerahkan sebuah handuk bersih untuk Damar.
"Hmmmm.... terima kasih." Ucap Damar datar.
"Kakak sudah makan malam?" Tanya Annisa sebelum Damar masuk kedalam kamar mandi, yang di tanya pun hanya menggeleng dan berlalu.
"Aku akan menyiapkan makan malam untuk kakak, jika sudah selesai mandi keluarlah aku menunggu di meja makan." Ucap Annisa agak keras karena Damar sudah menyalakan shower.
Tanpa menunggu respon Damar, Annisa segera keluar dari kamar untuk menyiapkan makan malam.
Rumahnya terlihat sepi, mungkin orangtuanya juga sudah istirahat mengingat dari pagi sampai malam tadi masih banyak tamu dan saudara yang datang untuk memberi selamat padanya dan suaminya, juga rekan orang tuanya yang banyak hadir untuk memberikan selamat atas pernikahan keduanya.
Dilihatnya jam dinding yang sudah hampir menunjukan jam 10 malam, Annisa tidak tau harus menyiapkan apa untuk Damar, gadis itu tidak tau apa makanan yang disukai oleh suaminya.
Damar yang sudah selesai dengan ritual mandinya segera bergegas turun menyusul sang istri, dilihatnya gadis itu sudah menunggu di meja makan seorang diri.
"Aku tidak tau makanan apa yang kau suka dan tidak suka, jadi aku memasak seadanya saja," ujar Annisa pelan. Ada nada sedih di kalimat yang ia lontarkan.
"Aku bisa makan apapun, tidak usah membebani dirimu sendiri." Ucap Damar acuh.
Annisa mengangguk dan mulai menyantap nasi goreng udang buatannya. Sesekali ia melirik Damar yang fokus dengan makanan di depannya tanpa menoleh sedikitpun padanya, ingin rasanya bertanya bagaimana rasa masakannya apakah itu sesuai dengan selera Damar atau tidak? tapi kata-kata itu tidak pernah terucap dari mulutnya, ia takut sangat takut jika pertanyaan- pertanyaannya malah akan membuat Damar marah padanya.
"Ingat Annisa menjaga batasan dan privasi masing-masing, jangan melampaui batas!" Ucap Annisa dalam hati.
Makan malam itupun berakhir dalam diam, Damar yang sudah menyelesaikan makannya menunggu sang istri yang masih berkutat dengan makan malamnya yang belum habis. Dia memainkan ponselnya, membuka pesan yang belum sempat dibacanya hanya ucapan selamat dari para rekan kerjanya dan beberapa pesan dari temannya.
"Kakak bisa kembali ke kamar duluan, aku mau membereskan piring-piring ini dulu." Annisa berkata sambil menumpuk piring mereka berdua dan berjalan menuju wastafel.
"Hmmm..." jawab Damar tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya.
Saat selesai membersihkan piring kotor Annisa kembali berjalan menuju kamarnya, dilihatnya Damar masih setia duduk di kursi makan sambil memainkan ponselnya, saat Annisa melewati Damar seketika Damar berdiri dan mengekorinya masuk kedalam kamar.
Keduanya kini berbaring di ranjang yang sama dengan penuh kecanggungan hingga akhirnya Damar memposisikan diri membelakangi Annisa, Damar tau dirinya yang sudah membuat suasana menjadi canggung seperti ini, tapi juga tidak bisa di pungkiri bahwa dirinya juga belum siap dengan apa yang akan ia hadapi jika bersikap selayaknya suami istri.
Sebelum subuh Annisa bangun terlebih dahulu, ia mandi dan bersiap untuk solat subuh. Selesai solat subuh Annisa keluar dari kamarnya, ia bersiap-siap untuk membuatkan sarapan seluruh penghuni rumahnya.
Dirumahnya memang ada ART yang bekerja, tapi para ART tidak ada yang menginap di rumahnya, jam kerja mereka hanya dari jam delapan pagi hingga jam empat sore selepas itu semua di lakukan oleh keluarga Annisa.
Saat sedang asik menyiapkan makanan tiba-tiba Annisa mendengar suara kursi yang bergeser dari arah ruang makan, seketika Annisa menoleh dan melihat suaminya sudah duduk di meja makan tak lepas dari ponsel kesayangannya.
Annisa melangkah mendekat untuk bertanya mungkin saja suaminya butuh sesuatu.
"Kak Damar mau kopi?" Ucap Annisa seraya menatap Damar. Damar hanya mengangguk mengiyakan.
Annisa berlalu kembali ke dapur untuk membuatkan kopi suaminya.
"Jam 7 pagi ini kita akan segera berangkat kembali ke apartemenku!" Ucap Damar saat melihat Annisa datang dengan membawa secangkir kopi.
"Apa tidak terlalu pagi?" Tanya Annisa.
"Tidak. Segeralah bersiap!" Damar memerintah Annisa tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.
Annisa mendengus pasrah, ia kira bisa sedikit mengulur waktu untuk sekedar membuat kenangan terakhir dengan orang tua dan adik lelakinya sebelum ia pergi mengikuti suaminya.
Tapi keputusan Damar terdengar seperti tidak bisa dibantah dan Annisa hanya bisa mengangguk pasrah.
...****************...
Setelah selesai sarapan Damar meminta ijin mertuanya untuk kembali ke apartemennya dengan Annisa.
"Hati-hati dijalan nak, semoga selamat sampai tujuan," Ujar Lisa, ibu dari Annisa. Damar mengangguk sambil menyalami tangan kedua mertuanya itu.
"Jaga putriku dengan baik, aku titipkan Annisa padamu." Ucap Hendra ayah dari Annisa dengan haru. Damar lagi-lagi hanya bisa mengangguk.
Setelah berpamitan dengan orang tua dan adik Annisa mereka pun berlalu pergi.
Sepanjang perjalanan hanya ada sunyi yang menghampiri kedua suami istri ini. Annisa yang terus-terusan menatap keluar jendela mobil dan Damar yang berfokus untuk menyetir, tidak ada minat dari mereka berdua untuk memulai sebuah percakapan.
Sampai di basement apartemen Damar pun mereka juga tetap saling diam, bahkan saat berjalan menuju unit apartemen Damar tidak ada yang mau membuka percakapan terlebih dahulu.
"Itu kamarmu." Ucap Damar saat mereka telah memasuki apartemen.
"Baiklah," Annisa mengangguk patuh, tanpa berlama-lama Annisa menyeret kopernya ke arah kamar yang telah di tunjuk Damar.
"Tidak usah saling ikut campur, kita menikah bukan atas kemauanku kalau-kalau kau lupa." Ujar Damar mengingatkan Annisa kembali,
Annisa mengangguk dan melanjutkan langkahnya menuju kamarnya. Sebenarnya hatinya sakit mendengar kata-kata yang Damar ucapkan, tapi bagaimana lagi dia sudah setuju menikah dengan laki-laki itu dan segala konsekuensinya akan ia terima dengan besar hati.
Saat malam tiba Annisa sudah berkutat di dapur untuk membuat makan malam dengan bahan makanan seadanya. Annisa maklum bahwa Damar hidup seorang diri apalagi ia juga seorang laki-laki pekerja jadi Annisa maklum jika kulkas Damar hampir tidak ada ada stok bahan makanan sama sekali. Untung saja ada telur dan kornet yang masih layak makan di dalam kulkas hingga Annisa bisa menghidangkan omelet kornet untuk makan malam ia dan suaminya.
Damar mendekati meja makan saat Annisa selesai menyediakan air putih di atas meja. Ia langsung duduk dan menunggu Annisa mengikutinya untuk duduk di depannya.
Tidak ada protes atau komplain yang keluar dari mulut Damar saat ia hanya memakan makanan yang di bilang seadanya sekali.
"Aku ingin berbelanja untuk kebutuhan kulkas," ucap Annisa to the point.
Damar mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan salah satu ATM untuk di berikan pada Annisa.
"Gunakan itu termasuk untuk kebutuhanmu dan kuliahmu, PIN nya akan ku kirim lewat pesan nanti." Damar berucap tanpa menoleh ke arah Annisa sama sekali. Annisa mengangguk setelah itu mereka melanjutkan makan malam sampai selesai.
...****************...
Hari berganti hari,
Minggu berganti minggu,
Bulan berganti bulan,
Bahkan tidak ada kemajuan dalam hubungan pernikahan Damar dan Annisa, pernikahan yang telah berjalan satu tahun itu nyatanya sama sekali tidak membuahkan apapun di dalamnya. Mereka berinteraksi seperlunya jika tidak ada hal penting mereka berdua hanya akan diam tidak pernah bertegur sapa.
Lelah? Annisa sudah sangat lelah sebenarnya dengan keadaan rumah tangganya, sudah berbagai cara ia coba untuk membuat Damar setidaknya melihat atau menganggapnya ada, tapi hasilnya nihil.
Damar tetap dingin, tidak pernah ada usaha Damar untuk sekiranya memperhatikan sang istri, ia tetap bersikap acuh tak acuh bahkan saat ia tau istrinya berusaha mencairkan suasana rumah tangganya.
"Kak sarapan sudah siap," ucap Annisa seperti biasa. Komunikasi Annisa hanya sekedar mengingatkan Damar untuk sarapan dan makan malam, jika Damar libur ia juga akan menawari makan siang.
Tak pernah sekalipun Damar berterima kasih dengan apa yang Annisa lakukan dan Annisa pun tidak pernah berharap lebih pada suaminya.
"Apa hari ini kakak ada waktu?" Tanya Annisa saat melihat Damar sudah siap untuk berangkat kerja.
"Kenapa?" Tanya Damar penasaran.
"Malam ini temanku mengadakan pesta kelulusannya sekaligus resepsi pernikahannya, jika kakak punya waktu luang, bisakah menemaniku ke acara temanku?" Ucap Annisa takut-takut. Ia tidak berharap lebih pada suaminya, tapi jika suaminya bisa ikut tentu senang sekali rasanya.
"Jam berapa acaranya?" Damar kembali bertanya.
"Jam tujuh malam ini," ucap Annisa antusias.
"Aku tidak berjanji, tapi akan ku usahakan." Jawab Damar sambil berlalu pergi. Annisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya berkali-kali.
Sesampainya di kantor, Damar memanggil sekretarisnya untuk membacakan jadwalnya hari ini.
"Hanya ada pertemuan dengan investor setelah jam makan siang pak," ucap Vina sang sekertaris dengan sopan.
"Baiklah, kau boleh kembali!" Vina pun menunduk hormat sambil berlalu dari ruangan Damar.
Di sela pekerjaannya Damar teringat permintaan istrinya tadi pagi, ia mulai berfikir bahwa istrinya tidak pernah meminta apapun darinya. Dirinya salah menilai bahwa menikah hanya akan menambah beban dengan mendengar rengekan istrinya.
Annisa tidak pernah meminta atau menuntut apapun darinya, bahkan ia menghargai permintaan Damar tentang batasan-batasan mereka.
"Apa aku keterlaluan?" Gumam Damar pada dirinya sendiri.
Jika Annisa mendengar hal ini pasti ia akan berkata bahwa Damar sangat keterlaluan, bahwa Damar tidak pernah bisa menghargainya sebagai istri, tapi itu akan terjadi jika Annisa punya nyali untuk menyampaikan pada suaminya.
Setelah pertemuan dengan investor Damar tidak kembali ke kantor melainkan langsung pulang ke apartemennya, dalam hatinya ia juga tidak ingin menambah rasa kecewa Annisa oleh sebab itu ia menyempatkan waktunya untuk menemani istrinya ke pesta pernikahan temannya.
"Kakak sudah pulang?" Annisa terperanjat kaget saat suaminya sudah menginjakkan kaki di dalam apartemen.
Ia bolak balik melihat jam dinding dan Damar dengan rasa tidak percaya. Selama ini Damar selalu pulang di atas jam enam sore dan hari ini waktu masih menunjukan jam lima sore dan batang hidung Damar sudah sampai di dalam apartemen.
"Kenapa kaget begitu?" Ucap Damar.
"Tidak, hanya saja tumben kakak sudah pulang jam segini," jawab Annisa.
"Kau minta di temani ke pesta temanmu bukan?" Annisa hanya mengangguk.
"Kau tidak ingin terlambat kan?" Annisa kembali mengangguk.
"Lalu apa yang aneh dengan aku pulang sore ini?" Tanya Damar memastikan.
"Tidak ada yang aneh, terima kasih kakak sudah mau menyempatkan waktu menemaniku," Annisa berujar tulus.
Damar hanya mengangguk dan melanjutkan langkahnya menuju kamar Damar.
"Dingin seperti biasa." Ucap Annisa dalam hati
Damar dan Annisa sudah sampai di salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta. Ia berjalan pelan memasuki ballroom tempat di adakan resepsi temannya.
"Kak," Annisa memanggil Damar lirih. Damar seketika melihat ke arah Annisa bingung.
"Bolehkah aku menggandeng lengan kakak? Itu juga jika kakak berkenan, maaf jika permintaanku lancang," Pinta Annisa malu-malu sekaligus gugup.
Damar diam saja, tapi ia meraih tangan Annisa dan mengapitnya di lengannya. Annisa tentu saja senang dengan tindakan Damar. Ia bisa tersenyum lebar sekarang.
Damar tau Annisa tidak ingin orang lain tau tentang rumah tangganya, apalagi sekarang ia berada di antara teman-temannya, sebisa mungkin Annisa pasti berusaha untuk menunjukan bahwa rumah tangganya berjalan normal seperti kebanyakan.
"Annisa," secepatnya Annisa menoleh ke arah sumber suara, temannya bernama Mia memanggilnya sesaat setelah ia turun dari atas panggung pelaminan.
Annisa dan Damar mendekat ke arah segerombolan teman Annisa yang masing-masing juga membawa pasangan.
"Hai semua," Annisa menyapa teman-temannya.
"Ini suamimu?" Tanya Mia penasaran. Maklum saja selama ini Annisa tidak pernah menunjukan suaminya ke siapapun baru malam ini teman-temannya bisa melihat langsung suami Annisa.
"Iya, perkenalkan ini Kak Damar suamiku." Annisa memperkenalkan Damar. Merasa di perkenalkan Damar menjabat tangan teman-teman Annisa satu persatu.
"Ganteng begini, makanya sama Annisa di umpetin terus gak pernah di kenalin, takut di tikung ya Nis?" Salah satu teman Annisa bernama Gita akhirnya ikut buka suara saat melihat Damar untuk pertama kali.
Bagaimana tidak, Damar laki-laki yang gagah, wajahnya pun blasteran Indonesia dan Rusia mempunyai kulit putih bersih, tingginya pun mencapai angka 180cm. Siapapun yang melihat pasti akan berkata bahwa Damar itu tampan.
Annisa hanya tersenyum canggung, ia tidak tau harus menjawab apa.
"Saya memang tidak terlalu suka terpublikasi." Ucap Damar saat melihat istrinya kebingungan.
"Bagaimana kalian bisa menikah? Apa selama ini Annisa mengejar-ngejar kakak?" Tanya Gita penasaran.
Dilihat sekilas saja Damar tau bahwa Gita tertarik padanya, mungkin sikapnya tidak terlalu menunjukan bahwa Gita tertarik padanya, tapi mata tidak akan pernah bisa berbohong.
"Kami saling cinta." Ucap Damar santai. Annisa yang mendengar kata-kata Damar langsung menoleh ke arah suaminya.
Kaget. Itu hal pertama yang Annisa rasakan saat mendengar kalimat Damar, walaupun Annisa tau itu hanya kebohongan tapi ia tetap senang mendengarnya.
"Lalu kamu sudah isi belum Nis? Kalian kan sudah lama menikah, kamu juga sudah lulus dan wisuda tahun ini jadi apa sudah ada program segera memiliki bayi?" Tanya Mia penasaran.
"Emmm..... untuk itu aku minta doanya saja ya semoga di berikan yang terbaik." Annisa tidak tau harus menjawab apa. Jangankan memiliki bayi, membuatnya saja tidak pernah.
"Aduh Nisa kamu ini gimana, kalau suami kamu malah kecantol perempuan lain yang bisa segera ngasih dia anak gimana?" Gita kembali bersuara.
Annisa bingung tidak tau harus menjawab apalagi, dia hanya melihat Damar seakan meminta pertolongan.
"Maaf tapi kata-kata anda bisa menyakiti hati istri saya, dan bagi saya tidak ada yang boleh menyakiti hati istri saya termasuk anda dan teman-teman Annisa yang lain." Damar segera menarik Annisa pergi dari hadapan teman-temannya.
Damar berlalu sambil melepas gandengan tangan Annisa, lalu ia beralih untuk merangkul pinggang Annisa agar teman-teman Annisa bisa melihat bahwa ia sangat melindungi Annisa.
"Terima kasih." Ucap Annisa lirih.
"Masih ingin disini?" Damar bertanya saat melihat Annisa hanya terdiam setelah bertemu dengan teman-temannya.
Damar tau bahwa Annisa pasti sangat tersinggung dengan ucapan temannya, apalagi saat menyinggung soal momongan.
"Ayo pulang saja kak!" Annisa berjalan mendahului Damar. Damar hanya mengikuti sambil merangkul pundak Annisa, ia ingin malam ini saja ia berguna bagi istrinya.
Sesampainya di apartemen Annisa langsung masuk ke dalam kamarnya, ia tidak ingin siapapun mengganggunya saat ini.
Damar yang melihat hanya bisa menghela nafas pasrah, dia juga turut andil dalam hal ini karena bagaimanapun ia adalah suaminya dan mereka juga sudah menikah, jadi pertanyaan-pertanyaan seperti tadi adalah hal wajar bagi pasangan suami istri yang kehidupan rumah tangganya normal.
"Annisa?" Damar mengetuk pintu kamar Annisa, tidak ada respon dari dalam.
"Annisa, keluar!" Damar memanggil istrinya kembali dengan sedikit keras.
"Annisa jika kamu tidak segera keluar maka saya yang akan masuk!" Ucap Damar tanpa basa basi sambil membuka pintu kamar Annisa.
Dan di saat bersamaan Annisa baru keluar dari dalam kamar mandi hanya menggunakan selembar handuk seperti saat pertama kali Damar melihat Annisa di rumahnya setelah pernikahan.
Mereka mematung, Damar juga tidak bergerak menjauh malah melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Annisa.
"Kakak mau apa?" Annisa mengeratkan simpul handuk yang ada di depannya agar tidak melorot.
Damar tidak menjawab tapi langkah kakinya terus mendekat ke arah istrinya dengan pandangan yang sulit di artikan.
Saat tepat berada di depan istrinya, Damar melihat ke dalam mata Annisa.
"Annisa, percayalah aku laki-laki normal yang melihatmu begini pikiran liar ku sudah tidak bisa ku kendalikan, tapi...." belum sempat Damar menyelesaikan kalimatnya Annisa sudah menyela.
"Jika kakak meminta hak kakak sebagai suami aku akan memberikannya, dengan atau tanpa cinta kakak adalah suamiku jika kakak mau kakak bisa memintanya dariku kapan saja." Ujar Annisa dengan suara bergetar.
Damar paham bahwa ini pengaruh ucapan teman-temannya Annisa di pesta tadi. Damar tidak menyalahkan siapapun toh orang tua mereka juga selalu bertanya tentang cucu, jadi bagi Damar ini bukan hal yang baru.
Jika ada yang berfikir Damar selama ini diam saja tidak pernah menyentuh wanita sama sekali itu berarti pemikiran mereka salah.
Damar termasuk salah satu Casanova ibu kota, hanya saja ia selalu bermain apik dan bersih seolah-seolah ia tidak pernah bersinggungan dengan hal semacam itu.
"Aku tau kau terpukul dengan ucapan temanmu tadi, tidak usah di pikirkan sekarang ganti bajumu dan keluarlah aku akan memesan makan malam!" Ucap Damar hendak berlalu dari hadapan Annisa.
Annisa meraih tangan Damar sebelum Damar melangkah meninggalkannya.
"Aku sungguh-sungguh kak, jika kakak mau aku bisa memberikannya sekarang!" Saat Annisa berkata seperti itu, tanpa disadari ia mengeratkan genggamannya pada simpul handuk yang ia kenakan dan itu tidak luput dari penglihatan Damar.
"Berpakaian sekarang, aku tunggu di meja makan!" Damar melepas genggaman Annisa perlahan dan melangkah keluar.
Seketika Annisa terduduk sambil menangis tertahan. Bahkan ia rela membuang malu untuk menyerahkan dirinyapun Damar tetap tidak mau menyentuhnya.
Annisa sudah di titik ia lelah menghadapi Damar, ia sudah tidak mau lagi berurusan dengan lelaki itu tetapi hatinya tetap tidak mau untuk bekerja sama dengan pikirannya.
Annisa sudah terlanjur teramat dalam mencintai Damar, dengan perasaan sebesar ini yang ia dapat hanya sia-sia belaka.
"Ibu, ayah Nisa ingin pulang, Nisa sudah tidak kuat lagi rasanya." Ucapnya lirih dengan air mata yang terus saja berderai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!