Diana memandangi bangunan tua yang berdiri cukup megah di depannya sambil memegang erat koper yang dibawanya. Gadis itu berdecak kagum dengan desain asrama tersebut, walau terkesan kuno namun sangat megah.
Diana mengulum senyum membayangkan teman-teman dan suasana baru yang akan didapatkan nanti sebagai penghuni baru, semoga saja ia betah tinggal disana.
Diana melangkahkan kaki masuk kedalam bangunan tersebut. Suasana didalam cukup sunyi disiang hari, dan itu begitu terasa ketika ia menapaki lorong menuju kamarnya. Diana bahkan bisa mendengar langkah kakinya bergema dilorong asrama. Tidak ada suara apapun, hanya gema dari sepatu kets yang membalut kaki.
Sebelum kesini, Diana sudah terlebih dahulu singgah di lab Buana, kebetulan kepala asrama disana dan sudah memberitahu letak kamarnya secara detail. Kamarnya terletak paling ujung, kamar terakhir yang ada di lantai satu.
Diana menghentikan langkahnya di kamar nomor 15. Diletakkan nya koper di lantai lalu merogoh saku celana jeans yang dikenannya dan segera membuka pintu kamar. Diana masuk kedalam sambil menggeret koper menggunakan tangan kiri, sementara tangan kanan mendorong pelan daun pintu.
Pengat ,
Itu yang dirasakan Diana saat kakinya baru beberapa langkah masuk kedalam, cahaya remang-remang dari ventilasi udara memberikan perasaan tak nyaman, lalu gadis itu menekan sakelar lampu,
ini sedikit lebih baik.
Netranya mengitari ruangan berbentuk persegi itu, ada banyak debu juga jaring laba-laba. Sepertinya sudah sangat lama tidak ditempati. Setelah meletakan kopernya asal, Diana mulai membersihkan setiap sudut kamar. Ada banyak sekali debu.
Diana mencoba menggeser lemari besar yang terletak menempel pada dinding, tentu saja tenaganya tidak cukup kuat mendorong lemari tersebut.
Karena upayanya tidak membuahkan hasil, Diana menyerah untuk menggeser lemari, sebagai gantinya Diana membersihkan bagian dalam lemari lalu menyusun pakaiannya disana.
Setelah berkutat dengan lemari, Diana beralih menyapu dan mengepel lantai, memasang seprei baru di ranjang single.
Terakhir Diana membersihkan kamar mandi. Gadis itu sedikit tercekat melihat lantai yang sangat kotor, terdapat banyak bercak hitam menggumpal yang berserakan disetiap sudut lantai.
Huh.. Sebenarnya sudah berapa lama kamar ini tidak berpenghuni? Kenapa seolah sudah tidak ditempati untuk waktu bertahun-tahun? Bukan hanya lantai, dindingnya bahkan sangat kotor.
Tidak mau berpikir lebih jauh, Diana mulai membersihkan. Ketika Diana mencoba mengalirkan air, keran air sedikit macet. setelah diperbaiki oleh tukang kebun asrama barulah air bisa mengalir dengan lancar.
Hari sudah gelap ketika Diana selesai membereskan dan menata ulang kamarnya.
Selesai mandi, Diana merasa lapar. Ia pergi kedapur asrama untuk mencari makanan yang dapat mengganjal perut.
"Selamat malam, " sapa Diana kepada seorang perempuan berusia awal tiga puluhan yang Diana tebak merupakan salah satu staf asrama. perempuan itu sedang berkutat dengan beberapa bahan masakan, beberapa bahkan sudah jadi.
"Selamat malam, saya Lorena. Koki senior disini" perempuan bernama Lorena itu memperkenalkan diri dengan ramah. Ia tersenyum ramah pada Diana lalu kembali melanjutkan pekerjaan.
"Oh, Hai, aku Diana. Aku baru beberapa hari yang lalu dipindahkan ke laboratorium buana dan siang tadi sampai di asrama, " Ucap Diana sambil tersenyum lebar. Ia merasa lega karena akhirnya bisa berbicara dengan seseorang.
"Ada apa Diana? Jam makan malam masih setengah jam lagi.. " Lorena menatap Diana sekilas tangannya sibuk menyiapkan makan malam.
"Boleh minta beberapa makanan? Aku belum makan dari pagi, " ringis Diana sedikit malu, namun tidak punya pilihan selain meminta makanan didapur asrama. tempatnya sekarang jauh dari pemukiman dan tidak memungkinkan untuk pergi keluar sekarang.
"Tentu, " balas Lorena lalu dengan cekatan menyiapkan hidangan pembuka Vol au vent yang di tata rapi diatas piring. Appetizer yang satu ini terbuat dari puff pastry lembut dengan pilihan rasa manis atau gurih. Dengan isian yang gurih diisi dengan ayam, jamur dan saus Madeira. Lorena juga memberikan segelas air putih dan jus orange. lalu meletakan ketiganya diatas nampan,
"Nah, ini. Biasanya penghuni asrama hanya menyuruh kami untuk mengantarkan makan malam ke kamar masing-masing. Itu hanya makanan pembuka, sama seperti yang lain setengah jam lagi aku akan membawakan makan malam ke kamarmu" Kata Lorena menjelaskan sambil menyodorkan nampan.
Diana hanya mengangguk, kembali kekamarnya setelah mengucapkan terimakasih.
"Kenapa dia menyiapkan makanan Prancis?" gumam Diana meletakan makanan tersebut diatas meja.
Namun karena sudah lapar Diana tidak mau memikirkan lebih jauh. Mencoba mencicipi makanan tersebut, rasanya sangat enak. Diana sebenarnya tidak terlalu menyukai makanan luar negeri, mungkin karena sedari kecil lidahnya sudah terbiasa dengan makanan lokal.
Selesai makan Diana mengambil laptop dan membuat beberapa analisis Tentang mikroorganisme yang akan dipresentasikan besok didepan Prof. Adams. Seorang profesor yang sudah mengabdi selama lebih dari tiga puluh tahun. Bagi Diana Prof. Adams adalah seorang senior sekaligus guru. Pria itu menyambutnya sangat baik ketika pertama kali menjadi peneliti, ia memberikan bimbingan dan juga masukan yang sangat membantu.
Setahun lalu Prof. Adams di pindahkan ke laboratorium buana untuk menjadi kepala lab sekaligus memimpin penelitian tentang Microbiome bacteria yang hidup pada kulit katak
Sepeninggal prof. Adams Diana merasa sedikit kesulitan, ia tidak bisa lagi mengandalkan Prof. adams untuk permasalahan rumit yang dihadapi. Karena itulah saat lab pusat memberikan pengumuman bahwa lab buana membutuhkan peneliti baru, Diana langsung mengajukan diri. Ia tidak masalah walaupun harus tinggal di pinggir kota yang jauh dari keramaian. Juga tak apa berjauhan dari keluarganya yang tinggal di pusat kota. Karena memang impian Diana adalah menjadi peneliti hebat dan Prof. Adams adalah jalan terang yang membuat Diana yakin impiannya sudah semakin dekat.
Tak peduli seberapa aneh pandangan orang lain tentang Prof. Adams, bagi Diana pria baruh baya itu adalah orang hebat yang baik hati.
Memang banyak rumor di lab pusat tentang prof. Adams. Salah satunya adalah banyak orang meyakini bahwa pria jenius itu tersebut adalah seorang kanibalisme.
Tok... Tok...
Diana menghentikan kegiatannya mendengar ketukan pada pintu kamar.
"Diana, kamu didalam? " tanya Lorena sedikit keras dari luar kamar.
"Iya, sebentar, " Diana menutup laptopnya, lalu segera bangkit dari duduk untuk membukakan pintu.
Lorena masuk membawa nampan besar ditangannya,
"Selamat makan, Diana, " sapa lorena menyodorkan nampan tersebut pada Diana.
"Terimakasih, " Diana menerimanya, tidak sengaja menyentuh tangan Lorena yang terasa sangat dingin. Aneh. kenapa tangannya sangat dingin? Pikir Diana. Walaupun cuaca disini memang dingin tapi tidak akan sampai sedingin itu.
Lorena menarik tangannya, ia tersenyum manis lalu beranjak pergi. Diana masih sempat memandangi wajah Lorena sebelum pintu ditutup.
Diana baru menyadari kalau Lorena memiliki wajah yang sedikit pucat, ia tidak ingin berprasangka buruk namun bagaimana kalau Perempuan itu sedang tidak sehat. Apa dia sakit?
Diana menggeleng pelan, ia menyimpan Makanan tersebut kedalam lemari es mini. Perutnya belum begitu lapar sekarang.
Diana menyambar cardigan hitam yang menggantung dibalik pintu, ia masih penasaran tentang keadaan Lorena. Apa dia sakit? Dari yang Diana lihat perempuan itu baik dan juga ramah, jika dia memang sedang sakit Diana ingin membantu.
Lorong asrama sangat sunyi pada malam hari, lampu di sekitar dinding juga tidak begitu terang.
Sssttt..... Sstttt...
Diana menatap sekilas pada kamar nomor 14, apa ada orang didalam? Seperti ada yang mendesis dari dalam.
Diana mendekatkan telinganya pada gagang pintu untuk mendengar lebih jelas.
Sayup-sayup Diana mendengar suara tangisan, pelan dan seakan datang dari jauh. Siapa yang menangis malam-malam begini?
"Apa yang kamu lakukan? " Seseorang menyentuh pundak Diana membuat gadis itu terlonjak kaget.....
BERSAMBUNG....
...***...
"Apa yang kamu lakukan disini? "
Diana terlonjak kaget, ia menoleh kebelakang.
Ternyata madam susan, kepala asrama yang bertanggungjawab mengelola asrama Buana. Perempuan yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu menatap tajam kearahnya. Rambutnya yang sebagian sudah beruban disanggul sedemikian rupa, ia juga mengenakan gaun lengan panjang bewarna hitam yang membuatnya nampak anggun.
"Selamat malam madam, " sapa Diana sambil tersenyum canggung,ia sedikit merinding. Wajah judes dan tatapan tajam madam Susan membuat Diana tak nyaman.
"Malam. Kenapa kamu belum tidur? Kamu peneliti baru kan?," tanya madam Susan dengan tatapan menyelidik.
"Tadi saya mau kedapur, madam. Tapi ketika saya lewat didepan kamar ini, saya mendengar suara tangisan.... "
"Siapa yang akan menangis didalam sana? kamar ini sudah lama tidak ditempati dan sudah dijadikan gudang," potong madam Susan sambil tersenyum geli.
"Sebaiknya kamu istirahat, sepertinya kamu kelelahan. " lanjut madam susan menarik tangan Diana lalu menuntun Diana kembali ke kamarnya.
Meski sedikit ragu Diana mengikuti kepala asrama. Ia yakin mendengar suara tangisan, tapi kalau kamar itu beneran kosong lalu siapa yang menangis?
*
"jangan, "
" Il ne sait pas,.. "
" berhenti!,"
" et si nous étions les prochains, sortons d'ici. "
Diana seketika terbangun mendengar suara pelan yang datang dari kamar sebelah. Ada yang berbicara didalam sana dengan bahasa yang dicampur-campur. Tangan Diana terulur mengambil ponsel diatas nakas, pukul satu dini hari. Siapa yang mengobrol tengah malam begini?
Diana bangun dari ranjangnya lalu berjalan kedekat lemari, menempelkan telinganya di dinding untuk mendengar lebih jelas.
Hening.
Tidak ada suara apapun. Apa yang tadi itu mimpi? Ah, mungkin saja tadi Diana memang sedang bermimpi. Diana menghela nafas panjang lalu kembali ke tempat tidur.
"combien de temps sommes-nous ici ?"
Suara itu kembali terdengar ketika Diana baru saja hendak kembali ke ranjang. Suara lirih yang berbicara pelan sekali, hampir berbisik namun mampu didengar oleh Diana dengan jelas.
"Hallo, kamu tidak tidur? Ini sudah malam lho," Diana mengetuk pelan dinding.
Tidak ada jawaban. Kamar tersebut kembali hening,
Diana mengerutkan dahi lalu matanya sedikit melotot teringat perkataan kepala asrama tadi, kamar sebelah kan kosong. Dengan jantung berdegup kencang Diana kembali ke ranjang, Diana membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut. Berharap matanya kembali terlelap.
Kamar itu jelas kosong. Ada makhluk lain yang tinggal disana, membayangkan ada makhluk lain yang tinggal disana membuat tubuh Diana gemetar. Kantuk nya sudah hilang sedari tadi.
"Diana... "
"Diana.... "
Suara itu tiba tiba memanggil namanya, Diana semakin gemetar. Kedua telapak tangannya menekap erat telinga.
"Diane, s'il te plaît... "
Namun suara itu seakan masuk kedalam otaknya,
"Si-siapa?, " cicit Diana, suaranya hampir tercekat ditenggorokan.
Tidak ada jawaban.
Sekali lagi hening.
Diana menarik nafas lega sambil mengubah posisinya menjadi duduk. Punggungnya basah oleh keringat, Diana mengambil ponsel untuk menghubungi Feby yang merupakan rekan peneliti sekaligus teman dekatnya di Lab. Kebetulan dia juga tinggal di asrama Buana, tepatnya di kamar nomor 5. Cukup jauh dari kamar Diana.
Memanggil......
Tapi sialnya ponsel Feby tidak aktif. Kenapa disaat seperti ini sahabatnya itu tidak bisa dihubungi ? Ingin sekali Diana pergi ke kamar Feby tapi untuk keluar kamar saja Diana sudah sangat takut.
Saat sedang panik menghubungi Feby, dari kamar sebelah terdengar suara alat operasi yang sedang digunakan. Diana menatap takut kearah dinding, dadanya naik turun, nafasnya tersendat-sendat.
Suara itu awalnya terdengar tidak begitu keras namun makin lama semakin keras dan nyaris membuat gendang telinga Diana pecah.
"Lorena, "
Diambang ketakutannya Diana refleks memanggil Lorena. Entah kenapa nama itu yang keluar dari mulutnya.
Suara itu berhenti.
"Huuh..." Diana mengembuskan nafas lega. Lalu tanpa berpikir panjang Diana keluar kamar sambil melawan ketakutannya.
Dilorong sangat gelap tanpa penerangan apapun, pasti kepala asrama yang mematikan lampu lorong. Diana merasa kepala asrama tersebut terlalu berlebihan, seharusnya dia tidak perlu membuat lorong menjadi se-gelap sekarang yang membuat Diana kesulitan berjalan.
Untung saja Diana membawa ponselnya, sedikit lega setelah menghidupkan senter. Tujuan Diana sekarang adalah ke dapur asrama untuk menemui Lorena walaupun kecil kemungkinan dia akan berada disana mengingat sekarang masih jam tidur.
Diana mempercepat langkahnya saat melewati kamar nomor 14, kamar itu membuat bulu kuduk Diana meremang. Ada yang tidak beres dengan kamar tersebut, kamar tersebut lebih suram dibanding kamar lainnya.
Diana membuka pelan pintu dapur, hampir tidak mengeluarkan suara.
"Lorena, "
Disana Lorena sedang sibuk memotong beberapa bahan masakan, meski tidak terlalu terang Diana dapat melihat dengan jelas wajah Lorena masih pucat. Lorena menoleh sekilas sambil tersenyum ramah.
"Ada apa, Diana? Kamu sudah bangun? " tanya Lorena sambil menumis daging. Ia sudah selesai dengan kegiatan memotong,
" eum, Kamu masak sebanyak itu untuk siapa? Kamu gak tidur? " Diana jelas tidak mengerti kenapa perempuan itu memasak sebanyak itu ditengah malam. Apa untuk sarapan besok pagi? Bukankah itu terlalu cepat?
"Aku bangun setengah jam lalu. Tentu saja aku masak sarapan untuk penghuni asrama,"
"Kenapa tidak besok pagi saja?, "
" ini sudah hampir pagi, Diana. Lihat!, " Lorena menunjuk jam dinding yang berada tepat dibelakang Diana.
Diana menoleh kebelakang, pukul setengah lima.
Diana membelalak terkejut, benar sudah hampir pagi. Diana berpikir cepat, tidak mungkin waktu secepat itu berputar, Diana terbangun belum sampai satu jam dan Diana terbangun tepat jam satu. Atau karena suara-suara aneh dari kamar 14 yang membuat Diana tidak sadar sudah lebih dari tiga jam sejak ia terbangun.
"Aku pikir tadi masih malam, " ucap Diana menghampiri Lorena, meski masih sedikit tak yakin namun Diana tidak mau berpikir lebih jauh.
" sepertinya tidurmu tidak terlalu nyenyak? Kamu pasti belum terbiasa tinggal disini, sabar, nanti kamu juga akan betah dan terbiasa, " kata Lorena tersenyum menenangkan,
"Dulu aku juga seperti kamu, pertama kali datang kesini aku kurang nyaman dan hampir seminggu tidak bisa tidur nyenyak. Mungkin karena aku membutuhkan pekerjaan ini jadi lama-kelamaan aku menjadi terbiasa, " lanjut Lorena.
Diana mengangguk kaku, tidak yakin akan terbiasa tidur dengan suara aneh tersebut.
"Apa benar kamar yang disamping kamarku tidak ada yang menempati? " tanya Diana. Meskipun sudah dijelaskan oleh madam Susan jika kamar tersebut memang kosong Diana masih berharap suara yang ia dengar itu berasal dari manusia bukan dari makhluk lain yang hendak mengganggunya.
"tentu saja ada yang tinggal disana, "
"Siapa? Kepala asrama mengatakan tidak ada yang menempati, " kata Diana terkejut.
"Sebenarnya ada staf asrama yang tinggal disana tanpa sepengetahuan kepala asrama, "
Diana mengangguk mengerti lalu kembali bertanya " tadi aku mendengar suara orang berbicara pelan dari sana? Kamu tahu ada berapa orang yang tinggal disana? "
" dua orang. Satu orang staf asrama dan satu lagi seorang dokter spesialis bedah. Mereka memang sering ngobrol seperti itu tengah malam, aku harap kamu tidak terganggu." jelas Lorena.
Diana diam tidak menanggapi atau bertanya lagi. Dalam keadaan yang tidak terlalu terang Diana dapat melihat wajah Lorena yang pucat. Perempuan cantik itu masih sibuk memasak. Ingin sekali Diana menanyakan tentang penyakit apa yang diderita oleh Lorena sehingga wajahnya terlihat pucat. Apa leukemia? Diana menggeleng, tidak, Diana tidak akan menanyakan hal tersebut takut menyinggung perasaan Lorena.
BERSAMBUNG....
...***...
Pagi ini setelah selesai presentasi Diana memilih berdiam diri diruang spektro, lingkaran bawah matanya sedikit menghitam karena kurang tidur.
Diana menatap lurus ke lantai, banyak hal yang tidak Diana mengerti perihal tadi malam. Tentang suara orang berbicara yang hampir seperti bisikan dari kamar empat belas, apalagi mereka berbicara menggunakan bahasa luar yang tidak Diana mengerti. Juga tentang waktu yang sangat cepat berlalu setelah ia datang ke dapur. Bukan hanya itu saat ingin mengobrol lebih jauh dengan Lorena, mata Diana tanpa sengaja melihat jam yang tertera dilayar ponsel yang masih menyala menunjukan pukul dua lewat lima belas menit. Diana dengan ragu menoleh kearah jam dinding, disana jelas jam setengah lima namun yang tidak ia sadari sebelumnya adalah jarum jam sama sekali tidak berputar, hanya stop di angka setengah lima. Jam tersebut mati. Lalu apakah Lorena tidak tahu kalau jam itu mati? Apa karena perempuan itu mengira hari sudah pagi makanya dia mulai memasak?
Saat Diana menoleh kearah Lorena ingin memberitahu hal tersebut, ia tidak melihat siapapun,
kosong,
Lorena yang tadi sedang memasak tidak ada lagi disana. Hanya ada meja dapur yang kosong tanpa apapun. Tidak ada bahan masakan sama sekali, bahkan dapur terlihat seperti belum digunakan sama sekali.
Diana mengucek matanya berharap ia hanya sedang berhayal, tapi tetap saja tidak ada apapun.
Tidak ada Lorena yang sedang memasak,
Tidak ada bahan masakan,
Tidak ada kompor yang menyala,
Dan tidak ada daging yang ditumis.
Hanya ada Diana yang seakan baru terbangun dari mimpi.
"Lorenaaa!!" panggil Diana gemeteran, matanya penuh ketakutan menatap sekeliling.
Hening.
Tidak ada sahutan.
Karena ketakutan yang amat besar Diana pingsan di dapur. Diana beru sadar saat mencium aroma minyak kayu putih yang dioleskan pada hidungnya oleh Feby yang kebetulan pergi kedapur untuk sarapan.
"Hoii, mikiran apa sih? "
"Eum-Enggak, " Lamunan Diana tentang kejadian tadi malam buyar saat Feby duduk didepannya, perempuan yang katanya blasteran Indo-korea itu menatap penasaran pada Diana. Dua tangannya memegang masing-masing segelas kopi yang masih mengepul.
"Mau kopi gak? Kebetulan aku ambilnya dua, " kata Feby menawarkan segelas kopi yang ia bawa.
"Kamu emang sengaja ambilnya dua gelas buat dikasih sama aku kan? Pasti ada sesuatu nih mendadak jadi baik, " cibir Diana yang sudah hapal dengan tabiat sahabatnya itu, tangannya terulur mengambil gelas kopi yang Feby tawarkan.
" tau aja, " Feby tertawa renyah lalu meletakkan kopi miliknya diatas meja.
"Jadi, kali ini kamu butuh bantuan aku tentang apa?, "
"Bukan. Aku cuma penasaran kenapa Kamu bisa pingsan di dapur, Na? " Tanya Feby penasaran, sejak mengenal Diana beberapa tahun lalu, Feby belum pernah mendapati Sahabatnya itu pingsan. Bahkan perempuan yang tahun ini genap berusia dua puluh tujuh tahun itu tergolong kuat.
"Kalau aku cerita, kamu bakalan percaya gak? " Diana tahu Feby tidak percaya dengan hal-hal mistis. Baginya orang yang sudah mati bisa gentayangan lagi itu hanya omong kosong, dongeng yang digunakan untuk menakuti anak kecil.
" pake nanya, aku kan selalu percaya sama kamu, " Feby menoyor gemas kepala Diana.
" tapi yang ini beda, kamu gak akan percaya, " kata Diana tak yakin Feby akan percaya dengan apa yang akan dia ceritakan.
"Cerita aja dulu, "
Diana mengangguk lalu menceritakan kenapa dia bisa pingsan. Berawal dari Diana yang mendengar suara pelan dari kamar sebelah, lalu memutuskan untuk pergi kedapur mencari Lorena, kemudian sempat mengbrol dengan Lorena. Sampai akhirnya perempuan itu menghilang tanpa jejak seakan tidak pernah ada didapur sebelumnya.
" lorena? Asrama kita punya koki? " tanya Feby, wajahnya nampak bingung.
" kamu belum pernah bertemu koki asrama? Kamu kan lebih dulu tinggal disini? Astaga, apa pekerjaan disini memang se-sibuk itu sampai kamu tidak pernah bertemu dengan Lorena? " ujar Diana kaget menatap Feby tak percaya.
"Bukan gak pernah ketemu, Na, "Feby menatap serius, ia sedikit menggeser posisi duduknya lebih kedepan sambil menyesap kopi yang sudah mulai dingin.
"Di Asrama Buana kita masak sendiri, hanya bahan masakan yang diganti sekali tiga hari oleh madam Susan. Jadi enggak ada koki seperti yang kamu katakan, " lanjut Feby menggeleng pelan.
Pupil mata Diana membesar, lantas siapa yang kemaren menyiapkan makanan? Siapa yang mengantarkan makanan untuknya? Apa yang dia makan itu beneran makanan? Oh, tidak. Apa Lorena bukan manusia?
"Na, Dianaa!," panggil Feby mengibaskan tangannya didepan wajah Diana. Sahabatnya itu terlihat syok juga linglung.
Diana menatap nanar kopi yang sudah mulai dingin. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Lalu yang tadi malam siapa? " gumam Diana, menggigit bibir bawahnya cemas. Buluk kuduknya meremang memikirkan berbagai kemungkinan. Hatinya menjadi gelisah,
Feby diam, lalu otaknya mencoba mengingat apa ia pernah mengenal perempuan bernama Lorena di asrama? Atau setidaknya pernah mendengar nama itu sejak pindah ke asrama? Nihil. Tidak ada staf asrama ataupun peneliti yang bernama Lorena disini.
"Kamu mungkin cuma kelelahan, Na. Mungkin itu cuma ilusi karena efek capek setelah membersihkan kamar" kata Feby menenangkan sambil mengelus pelan tangan Diana.
" itu bukan ilusi, Feb, aku mendengarnya, aku juga berbicara dan berkenalan dengan Lorena. Semua itu nyata, aku masih ingat perkataan Lorena juga wajahnya" racau Diana, ia mengacak kasar rambutnya. Kenapa Feby tidak bisa mempercayainya?
"Jadi, menurut kamu beneran ada orang bernama Lorena tinggal di asrama tanpa se-pengetahuan madam Susan?"
"Bagaimana kalau bukan orang? " cicit Diana pelan, rasa takut membuat tubuh Diana gemetar.
"Maksud kamu hantu? "
Diana mengangguk ragu.
"Hantu itu gak ada, Na. Cuma perasaan kamu aja kali, " ejek Feby sambil menandaskan kopinya dalam sekali tegukan.
"Aku gak bohong, Feby. Aku beneran bertemu dan berkenalan dengan Lorena, "
"Oke. Mungkin memang ada orang bernama Lorena yang menyelinap masuk asrama lalu berpura-pura menjadi koki, " Feby mengangguk mengerti.
"Kamu beneran gak percaya? "
"Aku percaya sama kamu, Na. Lorena itu orang bukan hantu. Hantu itu gak ada, Jangan kebanyakan nonton horror. "
Diana mengatupkan mulutnya, ia menatap Feby kesal.
"Feby, Diana, ke ruang rapat sekarang! Ada rapat bersama pak Eddie, " panggil Bian dari luar pintu, seorang ahli kimia yang kesehariannya berkutat dengan cairan kimia.
" terserah kalau kamu gak percaya, aku akan cari tahu tentang kamar empat belas. Aku yakin ada sesuatu disana. "tegas Diana sambil berdiri lalu berjalan keluar tanpa menyentuh kopi yang tadi dibawakan oleh Feby.
Feby menghela nafas panjang lalu menyusul Diana keluar.
"Naa, tunggu!," panggil Feby, ia berjalan cepat menyusul Diana.
Diana menoleh kebelakang tanpa menghentikan langkahnya.
" jangan ngambek dong. Nanti aku bantu kamu cari tahu siapa Lorena dan apakah dia yang tinggal di kamar empat belas, " celetuk Feby setelah berjalan sejajar dengan Diana.
"Siapa yang ngambek? Orang aku mau keruang analisis, " cibir Diana
Feby tertawa pelan lalu merangkul Diana. Mereka berjalan beriringan ke ruang rapat. Mereka tidak boleh telat, jangan sampai pak Eddie yang menunggu mereka. Pria itu adalah orang yang sensitif, dia tidak segan mendepak orang menyinggungnya dan bahkan bisa memusuhi orang tersebut seumur hidupnya.
Bersambung.....
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!