"Beneran ini cuma warung kopi biasa, Nis?"
Ibu Atun yang sedari tadi duduk di salah satu kursi mulai bersua. Aku menghentikan gerakan tangan yang tengah mengelap meja, menatap ke arah wanita bertubuh sedikit tambun itu dengan sorot mata penuh tanya, apa maksud dari ucapan beliau.
"Biasanya nih ya, kalau yang punya warung itu statusnya janda, bisa jadi antara dua. Antara beneran jualan makanan atau jualan anu. haha ... paham kan Bu Rani maksud ucapan saya."
"Lah paham lah, orang yang beli biasanya laki-laki semua. Mana ada pembelinya ibu-ibu kaya kita."
Darahku seakan mendidih mendengar ucapan dari dua orang ibu-ibu yang memang terkenal julid di kampung ini. Aku sudah biasa mendengar ucapan yang memojokkan tentang status jandaku, tapi kali ini rasanya sungguh keterlaluan. Hanya karena aku seorang janda, bukan berarti mereka bebas memberi lebel serendah itu.
Ku lempar kain yang berada di tangan, hatiku memanas menahan marah yang sedari tadi ku tahan.
"Bu, memang apa salahnya kalau saya janda? Saya gak ngelakukan hal yang salah. Saya jualan buat menuhin kehidupan saya, jangan karena status saya janda ibu bisa bilang gitu."
"Kalau engga terbukti gak usah marah to mbak Rengganis. Kami kan cuma bilang, kebanyakan faktanya seperti itu. Kalau Mbak nya gak merasa ya sudah santai saja. Ayo Bu Rani, kita pulang aja." Bu Atun lantas berdiri, menatap ke arahku sekilas lalu membuang muka dengan ekspresi tidak suka.
Bukan hanya mereka, tetapi juga banyak warga lainnya yang menilai status janda dengan berlebihan. Akupun sebenarnya tak ingin hidup dipandang hina, tetapi takdir dan keadaan sudah merubah segalanya.
Di usia yang baru menginjak 22 tahun aku sudah menyandang status janda tiga kali. Tiga kali pernikahanku tak ada yang bertahan lama, semua hanya bertahan tak lebih dari seumur jagung.
Dahulu aku memiliki kehidupan yang normal, hidup sebagai anak sekolah yang juga punya mimpi dan cita-cita. Tetapi semua kandas ketika Ayah menjodohkan ku dengan anak sahabatnya yang umurnya terpaut lima belas tahun denganku, disitulah kehancuran hidupku dimulai.
Lelaki itu bernama Yusri, seorang duda tanpa anak. Ayah Mas Yusri adalah rekan bisnis Ayah. Mereka berdua menjalankan usaha jual beli motor bekas. Entah apa yang terpikirkan oleh ayah saat itu hingga tega menjodohkanku dengan lelaki yang usianya terpaut cukup jauh denganku, hingga aku harus berhenti sekolah.
Mas Yusri terlihat baik dan pendiam, ia seperti layaknya sosok mantu idaman. Bekerja sebagai pegawai di salah satu instansi pemerintah, sudah memiliki rumah dan mobil pribadi. Sayangnya, yang terlihat baik di depan berbanding terbalik dengan kenyataan. Mas Yusri sangat pelit, bahkan seminggu setelah menikah ia sama sekali tak memberiku uang belanja keperluan dapur.
Bukan hanya itu. Jika aku melakukan kesalahan sedikit saja dalam mengurus rumah tangga, maka segala macam cacian jenis hewan kebun binatang keluar dari mulutnya.
Pernikahan kami hanya bertahan dua bulan, aku memutuskan kembali ke rumah orang tua, karena sudah tidak tahan dengan sikapnya.
Bukannya merasa bersalah dengan pilihannya yang menghancurkan hidupku, Ayah kembali menjodohkanku dengan anak temannya. Enam bulan pasca bercerai aku kembali menikah dengan lelaki seumuranku.
Namanya Rio, dia cukup tampan dan ramah. Berbeda dengan Mas Yusri, Rio sangat baik dan perhatian. Tiga bulan kami menikah tak ada yang aneh dengan sikap Rio. Namun serapat apapun bangkai di sembunyikan, baunya pasti akan tercium juga. Rio sosok suami yang baik di mataku ternyata tukang selingkuh.
Bukan hanya sebatas selingkuh via handphone, tetapi Rio sampai berani memboking hotel kelas melati untuk mereka menginap.
Alasan itulah yang membuatku untuk kembali ke rumah orang tua. Melihat anaknya gagal membina rumah tangga hingga dua kali, ditambah usaha jual beli motor bekas Ayah yang mengalami kerugian membuat kondisi kesehatannya menurun. Tepat lima bulan setelah aku kembali ke rumah, Ayah harus pergi untuk selamanya setelah berjuang melawan penyakit jantung dan komplikasi.
Kepergian Ayah membuatku menjadi tulang punggung keluarga, dengan berbekal ijazah SMP aku kesana kemari mencari pekerjaan. Namun minimnya lapangan pekerjaan di kampung dan ditambah ijazah yang rendah, membuatku tak ada pilihan lain. Dengan bermodalkan halaman yang tidak begitu luas aku membuka usaha warung kopi dan gorengan. Meski pendapatan tak seberapa tapi cukuplah untuk memenuhi kebutuhan hidupku dengan ibu.
Dua kali menikah karena perjodohan membuatku sedikit trauma. Aku lebih hati-hati jika ada lelaki yang berniat mendekatiku. Aku takut jika mereka seperti yang sudah-sudah, terlihat baik di depan tetapi jauh berbeda di belakang.
Satu tahun menyandang status janda, aku yang awalnya tak terpikirkan untuk menikah lagi merasa goyah saat bertemu dengan lelaki bernama Hanan. Aku memang sudah dua kali menikah, tetapi karena perjodohan bukan karena pilihan hatiku.
Aku yang awalnya tak mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta hanya tersipu malu saat pertama kali bertemu dengan Hanan. Lelaki yang usianya delapan tahun lebih tua dariku. Lewat pertemuan tidak sengaja.
Sore itu hujan baru saja turun dengan derasnya, aku yang tengah termenung menatap butiran bening, sedikit terkejut saat lelaki dengan sepeda motor berplat merah berhenti tepat di depan warung.
Dengan cepat ia turun dari motornya lalu berlari kecil masuk ke dalam warung sederhana milikku sambil mengibas-ngibaskan air yang membasahi seragamnya.
"Kopi manis satu, Mbak," ucapnya kala itu, tanpa menatap ke arahku. Aku hanya mengangguk pelan lalu dengan cepat meracik kopi pesanannya sambil sesekali mencuri pandang.
Tak ada yang istimewa dari pertemuan kami saat itu, tetapi lelaki bernama Hanan itu semakin sering singgah ke warung kopi sederhana milikku, selepas ia pulang kerja.
Cinta datang karena terbiasa, seperti itulah mungkin yang sedang aku rasakan. Aku terbiasa dengan sosok Hanan, terbiasa dengan suara deru motornya, terbiasa membuatkan kopi manis sambil menatap wajah teduhnya.
****
"Saya terima nikah dan kawinnya Rengganis Binti Maslan dengan seperangkat alat sholat dan mahar seratus ribu rupiah dibayar tunai."
"Sah...?"
"Sahhh..."
Aku mencium punggung telapak tangan lelaki yang baru saja menghalalkanku dengan perasaan penuh haru. Meski ini bukan kali pertama aku menikah, tetapi terasa sangat berbeda. Mungkin karena aku mencintai Mas Hanan begitupula sebaliknya.
Aku sempat minder, karena seorang janda sepertiku menikah dengan lelaki perjaka. Terlebih mas Hanan termasuk orang berada di kampungnya.
Sebelum aku memutuskan menikah dengannya, banyak selentingan yang membuat hatiku terluka. Dari hinaan karena statusku yang janda dua kali, hingga tudingan yang mengatakan diriku menikah dengan mas Hanan hanya karena melihat materi. Tetapi, ketulusan hati mas Hanan membuatku yakin dan akhirnya memutuskan untuk mencoba kembali semua bersama dirinya.
***
"Terima kasih sudah menerimaku apa adanya, Mas."
"Lupakan masa lalu mu, Dek. Sekarang saatnya menyusun hidup kita bersama." Mas Hanan mengelus pelan rambutku, lalu menarik tubuhku dalam dekap hangatnya.
Aku terharu, tak mampu berkata-kata. Dia yang masih lajang dengan wajah yang lumayan dan pekerjaan yang bagus seharusnya bisa mendapatkan seorang istri yang lebih dariku. Tetapi nyatanya ia justru menerimaku yang berstatus janda dua kali, dan pendidikan yang hanya sebatas SMP. Terkadang aku berfikir rasanya tak ada yang istimewa dalam diriku yang bisa membuatnya jatuh cinta. Tetapi garis takdir tak ada yang tau, nyatanya hari ini kami sudah terikat dalam janji suci pernikahan.
***
Sudah empat bulan setelah kami menikah aku tak lagi membuka warung kopi di halaman rumah, Mas Hanan memintaku untuk fokus mengurus rumah tangga dan masalah nafkah menjadi tanggung jawabnya. Ia sangat ingin aku segera hamil, karena alasan itu ia melarangku berjualan.
"Mas, yakin cuma bawa kemeja dua lembar sama kaos oblong ini?" Aku memasukan beberapa potong pakaian ke dalam koper yang akan ia bawa untuk pergi dinas ke luar kota.
Mas Hanan akan pergi dinas ke luar kota beberapa hari, namun hatiku begitu berat untuk melepasnya.
"Ia sayang, kemejanya dua lembar cukup. Rapat cuma dua hari aja. Kalau banyak-banyak nanti dikira minggat ke rumah istri muda." Mas Hanan mencubit gemas hidungku.
"Iya juga sih, tapi beneran dinas kerjaan kan, Mas?"
Mas Hanan tak menjawab, mungkin ia mengerti rasa trauma yang pernah kualami. Ia justru mendekatkan tubuhnya, mengecup hangat pucuk kepalaku membuat segala gundah ini lenyap entah kemana.
Ia selalu begitu, berusaha membuatku yakin dengan ketulusannya, namun terkadang karena rasa minder yang begitu besar sering kali membuatku tak yakin dengan perasaan nya.
****
Deru suara mobil yang menjemput Mas Hanan perlahan terdengar mulai menjauh. Pagi-pagi sekali ia sudah harus berangkat karena jadwal pesawat penerbangan pertama. Baru beberapa menit ia meninggalkan rumah rasa rindu terasa sudah menghantui. Membayangkan dua hari tanpa kehadirannya terasa sangat sepi
Aku kembali ke kamar, meraih benda pipih kecil yang berada di dalam nakas. Benda yang kemarin sengaja kubeli dari apotik tanpa sepengetahuan Mas Hanan. Sebenarnya sudah satu Minggu aku terlambat haid, tetapi baru hari ini aku berani untuk melakukan tes kehamilan. Aku takut jika terlalu dini memberi tau Mas Hanan ia nanti akan sangat berharap.
"Alhamdulillah." Aku berkali-kali mengucap syukur dan menatap lekat benda pipih di tanganku. Dua garis merah muncul dengan terangnya. Terbayang sudah saat Mas Hanan kembali nanti ia pasti akan sangat senang dengan kejutan yang akan aku berikan ini.
Aku lantas segera menyimpan tes pack berwana biru itu kedalam kotak kecil yang sudah kusiapkan. Berkali-kali mengulum senyum sambil mengelus perut yang saat ini berpenghuni.
Aku ingin memberikan benda kecil ini setalah ia kembali pulang dari perjalanan dinas. Surprise kecil yang pasti membuat ia begitu senang nanti.
"Nis...nis... Rengganis..." Suara ibu dari balik pintu kamar mandi terdengar berkali-kali memanggil namaku.
Aku bergegas keluar, nampak ibu tengah berdiri di depan pintu dengan ekspresi cemas.
"Ada apa, Bu?"
"Itu di depan ada Pak Anton."
"Pak Anton? Pak Anton tetangga kita?"
"Sudah, ayo kamu keluar dulu."
Ibu yang masih terlihat panik segera berjalan menuju ruang tamu dengan langkah tergesa. Aku hanya mengekor di belakangnya dengan raut bingung.
"Mba Rengganis, ayo buruan ikut Bapak. Bapak kesini mau ngasih kabar." Kalimat itu menggantung di udara, wajah Pak Anton menyiratkan sesuatu sedang terjadi.
"Anu apa, Pak?"
"Itu Mobil rombongan Nak Hanan kecelakaan dekat bunderan."
Deg, jantungku seakan meloncat keluar mendengar ucapan Pak Anton. Rasanya seakan tidak percaya, baru tiga puluh menit yang lalu Mas Hanan dan dua temannya berpamitan pergi, kini justru kembali membawa kabar yang mengejutkan sekaligus meyakitkan.
Tanpa berganti pakaian aku segera mengikuti Pak Anton untuk naik ke motornya, menuju tempat kejadian yang diceritakan beliau dengan perasaan yang entah. Bening-bening kristal tak mampu lagi kutahan, ia meluncur deras bersamaan dengan bait-bait doa yang tiada henti aku panjatkan. Berharap tak ada hal buruk yang terjadi pada Mas Hanan, Lelaki yang baru beberapa bulan menjadi pelindungku.
Aku berharap mas Hanan tidak kenapa-kenapa, aku berharap jika pak Anton salah memberi kabar. Sepanjang jalan hatiku sudah tak karuan, aku takut. Takut jika kehilangan mas Hanan.
Mobil ambulans yang membawa jenazah Mas Hanan baru saja meninggalkan halaman, suara sirene yang menyayat hati terdengar perlahan menjauh. Para pelayatpun sudah berdatangan. Kudekati tubuh terbujur kaku itu dengan langkah bergetar. Berkali-kali aku meyakinkan diri jika ini hanyalah mimpi, tetapi jika mimpi kenapa begitu nyata dan menyakitkan.
"Sabar, Nduk. Ikhlaskan Mas mu." Ibu mertua merangkul bahuku tanda menguatkan, tetapi aku sendiri yakin jika ia pun sebenarnya merasa sangat kehilangan. Semua tergambar jelas dari wajah sembab yang masih basah oleh air mata.
Rasa sakit yang tercipta tak bisa tergambarkan. Aku tau jika semua mahkluk hidup pasti akan mengalami kematian, tetapi mengapa kepergian Mas Hanan begitu cepat? Bahkan di usia pernikahan kami yang masih sangat baru, terlebih saat ini aku tengah mengandung buah cinta kami.
Kenapa takdir begitu kejam? Bukan hanya padaku, tetapi juga pada anak dalam rahim ini. Belum sempat ia melihat seperti apa sosok Ayahnya tapi Tuhan sudah mengambilnya. Aku hancur, bahkan sangat hancur.
"Jadi janda lagi..."
"Iya, kasian. Masih muda sudah janda tiga kali."
Samar-samar aku mendengar suara beberapa pelayat yang tengah berbisik sambil menatap ke arahku. Aku memilih tidak memperdulikan, kehilangan Mas Hanan saja sudah membuatku sakit apalagi jika harus mendengarkan ucapan orang lain.
Para pelayat satu persatu telah pulang, hanya tinggal aku seorang diri yang masih terpekur menatap gundukan tanah merah bertabur bunga. Dalam lirih aku terus memanggil namanya. Meski aku tau, sekeras apapun aku memanggil, dia tak akan pernah kembali hadir.
***
Dalam kebisuan malam, suara tangis bayi menggema. Seolah mengatakan pada dunia, jika ia telah siap untuk merasakan pahit dan manisnya kehidupan. Ku peluk erat tubuh mungil yang masih merah itu dengan derai air mata. Menguatkan hati bahwa mulai detik ini, aku bukan hanya menjadi Ibu, tetapi juga menjadi sosok Ayah untuk bayi laki-laki yang kuberi nama Bumi. Bumi yang bermakna kehidupan. Ya, kehidupan. Kehidupan baru untuk aku yang sudah kehilangan segala alasan untuk tetap hidup.
***
Ibu baru saja pulang dari rumah tetangga, tampak di kedua tangannya membawa bungkusan plastik berisi pakaian yang harus di cuci dan setrika. Ada perasaan letih, tersirat dari raut wajah yang kini tampak menua itu. Namun, semua ia sembunyikan dengan senyum tulus yang tak bisa aku jabarkan.
"Bumi rewel gak, Nduk?"
"Engga Bu, itu lagi tidur di kamar."
"Ini, Ibu tadi beli rawon kesukaanmu. Kamu pasti belum makan siang kan?" Di letakkan nya bungkusan berisi pakaian di atas kursi, tubuh ringkih itu lalu melangkah menuju dapur.
Aku hanya mematung, berusaha sekuat hati menyembunyikan kristal bening yang ingin meluncur. Tak ingin terlihat rapuh di depan beliau. Meski kenyataannya di dalam terasa babak belur. Entah dengan apa aku harus membayar semua ini. Ibu, meski dengan keadaan susah seperti ini, beliau masih tetap ingat dengan kesukaanku, bahkan tanpa mengeluh, beliau rela bekerja menjadi tukang cuci untuk anak dan cucunya.
Sudah satu bulan ini sejak aku melahirkan Ibu bekerja menjadi buruh cuci dari pintu ke pintu. Tak banyak rupiah yang di dapat, karena situasi dan kondisi di kampung membuat tidak semua rumah tangga memerlukan buruh cuci. Sebagian dari mereka juga hidup juga pas-pas an. Di bandingkan harus menggunakan jasa buruh cuci, mengerjakan sendiri justru akan lebih hemat dan uang nya bisa digunakan untuk keperluan lain, begitulah pikir mereka.
"Banyak Bu cucian hari ini?"
"Lumayan lah, Nduk. Dapat dari Bu RT, anak mantunya yang di kota pada datang. Jadi itu cucian milik anak mantunya," ucap Ibu sambil menyuap nasi ke mulut.
Tanpa Ibu sadari, aku terus memperhatikan beliau yang tengah makan. Ibu begitu menikmati makanannya, terbukti dari suapan demi suapan yang ia makan dengan lahap. Air mata yang sedari tadi telah susah payah ku bendung akhirnya luruh. Bukan tanpa alasan, sosok renta itu hanya makan nasi dengan kuah rawon, tanpa ada satu potongpun daging yang ikut di piringnya. Aku tau, jika Ibu sengaja menyisihkan daging rawon untukku. Ia pasti berfikir jika anaknya ini perlu makanan yang baik agar bisa memberikan asi untuk cucunya.
Tak ingin Ibu melihat anaknya yang cengeng ini menangis, aku memilih kembali ke kamar. Meninggalkan Ibu yang masih makan dengan kuah rawon nya. Ah Ibu, sehatlah selalu agar kelak engkau melihat. Jika anak semata wayang mu ini nanti akan sangat mampu membelikan rawon untukmu.
***
"Bu, gimana kalau kita pindah saja." Aku memberanikan diri menyampaikan apa yang selama ini ingin aku lakukan.
"Pindah kemana?" Jemarinya yang tengah sibuk memotong bawang mendadak berhenti.
"Kita pindah ke kota saja, Bu. Di sana lapangan pekerjaan lebih banyak di bandingkan di desa."
"Mau di desa atau kota sama saja, Nduk. Gak ada tempat untuk orang kecil kaya kita."
"Lah terus Ibu mau terus terusan seperti ini? Mengharapkan pekerjaan yang gak pasti? Di tambah omongan tetangga yang gak ngenakin ati," ucapanku tertahan, jantung seakan bergetar hebat saat mengingat hal tidak mengenakan yang tadi pagi aku alami. Saat duo tukang gosip itu mampir ke warung dan menyudutkanku dengan ucapan-ucapan yang tak masuk akal.
"Ya sudah, Ibu manut aja. Yang penting kita bertiga tetap sama-sama. Ibu gak mau kalau harus tinggal di sini sendirian. Cuma kamu sama Bumi yang Ibu miliki saat ini." Suara Ibu terdengar bergetar, seolah mempertegas jika ia sendiripun sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Kupeluk tubuh ringkih Ibu, berharap menemukan kekuatan agar tetap kuat menjalani hari esok yang entah akan seperti apa. Aku sendiri pun tak yakin dengan keputusan yang ku tawarkan. Apakah pindah menjadi salah satu pilihan terbaik atau justru membuat semua semakin runyam.
***
"Mba Rengganis, katanya mau pindah ya?" Bu RT yang baru pulang dari pasar mampir ke warung ku.
"Iya, Bu. Rencananya sih gitu."
"Memang mau pindah kemana?"
"Belum tau Bu, yang jelas ke Jakarta," ucapku gamang.
"Gini aja, kemarin mantu Ibu bilang. Di kantornya ada lowongan untuk OB tapi pendidikan minimal SMA. Tapi nanti coba Ibu tanyakan sama Nak Rama ya, siapa tau kamu bisa masuk. Kebetulan Mantu Ibu HRD di sana."
Seperti mendapat angin segar, aku segera mengangguk senang tanpa bisa menjawab ucapan Bu RT.
***
Jam sudah menunjukan pukul 10.00. Hujan yang turun sedari malam tadi tak jua menunjukan tanda akan segera reda. Tak ada satu orangpun pengunjung yang datang ke warung. Entah harus dengan cara apa agar aku bisa menghasilkan uang untuk bisa membeli popok Bumi yang tinggal dua lembar. Samar dari jauh sosok Ibu RT berjalan melewati hujan dengan payung ditangannya.
Dengan sedikit berlari ia berjalan ke arahku.
"Nak Gendis, Maaf ya sebelumnya. Ibu sudah tanya sama Nak Rama soal lowongan OB. Ternyata posisi itu sudah di isi," ucap Bu RT hati-hati.
Seperti suara kaca yang jatuh ke lantai, di dalam sini. Harapan untuk merubah nasib kini pupus sudah. Entah harus bagaimana kujalani hari esok, sepertinya nasib tengah mempermainkan diriku.
Bumi tengah terlelap bersama Ibu. Aku sengaja tidak membangunkan beliau, karena malam tadi, Ibu baru bisa tidur saat menjelang shubuh. Semalaman Bumi rewel karena demam, dan hanya mau di gendong oleh sang Nenek.
Dengan hati-hati aku membuka pintu kamar, membersihkan diri lalu bersiap membuka warung pagi ini. Tak banyak yang ku jual, hanya gorengan beserta minuman teh dan kopi. Jika ditanya apakah cukup? Jelas tidak cukup. Namun, tak ada pekerjaan lain yang bisa aku kerjakan, karena latar pendidikanku yang hanya sampai SMP.
"Rengganis, kamu kok buka warung sih? Memangnya gak ke rumah mertua kamu?"
Aku mengernyit, mencoba memahami maksud ucapan Bu Atun.
"Memangnya ada apa di rumah mertua saya, Bu?"
"Lah piye, kan hari ini Desi adiknya Hanan nikahan. Masa kamu gak di bilangin?"
Deg, Jantungku seperti ditimpa batu besar. Jika benar apa yang di ucapkan Bu Atun, kenapa Mertuaku tidak mengundang kami? Bukankah aku menantu beliau? Ini membuatku semakin berfikir aneh, karena memang sejak tiga bulan lalu aku melahirkan Bumi, Ibu mertua sekeluarga memang belum ada datang menjenguk. Hanya ucapan selamat via WhatsApp yang Desi sampaikan tanpa ada bubuhan undangan perkawinan. Padahal jarak rumah kami hanya sekitar dua puluh menit jika menggunakan sepeda motor, tetapi ternyata langkah mereka yang memang berat untuk sekedar menjenguk cucunya.
"Kenapa, Nduk? Kok mukanya masam gitu?" Ibu yang sedang menggendong Bumi, menghampiriku di warung.
"Hem, anu, Bu. Kata Bu Atun tadi, hari ini Desi adiknya Mas Hanan nikahan. Aku cuma mikir, kok kita gak dibilangin," ucapku, pelan.
"Oh."
"Memang Ibu tau?" Aku terkejut melihat ekspresi Ibu yang biasa saja.
"Iya tau, kapan hari pas Ibu ngambil cucian ke rumah Bu RT, gak sengaja ketemu Desi yang lagi ngantar undangan."
"Ibu gak dibilangin buat datang?"
"Ndak ada. Dia cuma bilang ngantar undangan terus pamit pulang. Ibu mikir, mungkin nanti mertua kamu yang kesini bilangin, tapi ternyata gak ada."
"Ibu, kok gak bilang sama Ganis?"
"Buat apa? Ibu gak mau kamu kecewa. Mungkin mereka terlalu sibuk, jadi lupa. Sudah gak usah di ambil hati, nanti sore kamu kesana. Bawakan sembako, biarpun nilainya gak seberapa."
"Tapi, Bu." Dadaku terasa sesak, ada perasaan kecewa dan marah yang bercampur jadi satu.
"Meski Nak Hanan sudah Ndak ada, tapi Bumi kan tetap cucu mereka. Kelak Bumi berhak tau, siapa keluarga Ayahnya. Terlepas dari sikap mereka, jangan sampai kamu malah ikut-ikutan menjauhkan diri."
Aku hanya diam, tak meng iyakan ucapan Ibu tetapi juga tidak membantahnya. Mungkin ada benarnya apa yang Ibu katakan, mau bagaimana pun Bumi tetap bagian dari mereka.
***
Suasana halaman rumah mertuaku tampak ramai, beberapa orang pria terlihat sibuk memasang tenda. Sedangkan di sisi lain para Ibu-ibu sedang memasak untuk acara. Melihat banyaknya tenda dan adanya panggung untuk acara hiburan, sepertinya resepsi adik Mas Hanan di adakan secara besar-besaran. Berbeda dengan pernikahanku dahulu dengan Mas Hanan, yang di gelar sederhana tanpa resepsi. Kami menikah di KUA, dengan dihadiri orang tua dan beberapa orang saksi.
Aku sempat mendengar selentingan para tetangga yang bergosip, jika mertuaku pernah berucap,"Untuk apa mengadakan resepsi, toh wanitanya Londo. Dua kali malah."
Aku hanya tersenyum masam mendengar ucapan Bu Atun kala itu, mengingat beliau memang tukang gosip aku pikir pasti sedikit banyak akan dilebihkan jika bercerita. Tetapi kini aku paham, mungkin benar gosip dahulu.
Jika di nilai dari materi, orang tua Mas Hanan termasuk orang berada di kampung. Ayahnya seorang pegawai dan memiliki usaha ternak kambing yang cukup besar. Jadi wajar jika acara pernikahan Desi di gelar besar-besaran, ditambah Desi satu-satunya adik Mas Hanan.
Dengan langkah yang sedikit berat, kuberani kan diri untuk masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum sallam."
"Masuk, Mbak." Desi yang sedang sesi foto sedikit terkejut melihat kehadiranku.
"Maaf ya cuma bisa ngasih kamu ini." Aku menyerahkan kado yang di dalamnya berisikan seprai.
"Terima kasih, Mbak. Itu Ibu ada di dapur sama Bapak."
Aku mengangguk, mencoba memaklumi Desi yang tak mengajakku berbasa basi. Ia justru seolah-olah menginginkan aku pergi. Ku tinggalkan Desi dan suaminya yang kembali sibuk berfoto dengan beberapa tamu.
"Bu," ucapku singkat,saat bertemu dengan mertua, karena bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Ibu mertua hanya tersenyum datar tanpa menyapaku.
"Nak Ganis, sendiri aja tah?" Bapak mertua yang juga berada di dapur, lantas menghampiri diriku yang masih diam mematung. Dengan cepat aku meraih punggung tangan beliau lalu menciumnya. Tak lupa menyerahkan bungkusan plastik berisi sembako yang sedari tadi kubawa. Ya, aku juga membawakan beberapa kilo gula. Tak banyak memang.
Sebenarnya aku hanya berniat memberi kado saja, mengingat keuangan kami yang terbatas. Tetapi Ibu menyuruhku membeli gula dengan uang hasil mencuci pakaian milik beliau. Biar pantes, ucap Ibu sebelum aku berangkat tadi.
"Iya, Pak. Ibu di rumah jaga cucu," sahutku, mencoba memancing percapakan. Berharap mereka tersindir.
"Oh, iya. Monggo disambi-sambi makan. Bapak mau keluar sebentar, nyari rokok buat bapak-bapak yang rewang."
Bapak mertua lantas pergi berlalu. Ibu mertua yang sedari tadi tengah duduk sambil mengupas bawang seolah tak bergeming dengan kehadiranku.
Dengan perasaan tak enak hati, kuberanikan diri menghampiri Ibu mertua dan bertanya apakah ada yang bisa kubantu. Mungkin jika bukan karena para ibu-ibu yang juga berada di dapur, ibu Mertua sudah pasti tidak ingin meladeniku bicara.
Aku membantu Ibu mertua mengupas bawang, selama kami duduk berdampingan, kami banyak berbicara. Tepatnya akulah yang banyak bertanya. Tetapi lucunya, tak ada sedikitpun beliau bertanya soal Bumi. Bukankah Bumi cucunya? Padahal saat pemakaman Mas Hanan, kami menangis bersama dan saling menguatkan. lantas, kenapa sekarang seperti orang asing yang tak saling mengenal?
Jam sudah menunjukan pukul delapan malam. Bu RT yang sedari tadi ikut membantu di dapur berpamitan pulang. Dengan terpogoh-pogoh Ibu mertua menyiapkan bungkusan berisi makanan untuk dibawa pulang oleh Bu RT dan beberapa Ibu-ibu yg juga ikut berpamitan. Akupun berniat untuk pulang. Aku lantas berpamitan dengan mertua dan adik ipar. Namun lagi-lagi aku dibuat kecewa. Jangankan bungkusan makanan, ucapan basa basi terima kasih dan undangan untuk datang saat acara resepsi hari Minggu nanti pun tak ada.
Dengan langkah lunglai ku tinggalkan rumah mertua. Seperti ini kah rasanya kecewa? Bukan kecewa karena tidak diberi bungkusan makanan seperti Bu RT, atau kecewa karena tidak di ajak foto bersama mempelai. Tetapi kecewa karena aku dan Bumi kini benar-benar menjadi orang lain bagi mereka.
Sepanjang perjalanan kubiarkan air mata ini tumpah. Berharap air mata ini habis saat nanti aku tiba di rumah. Aku ingin terlihat tegar dimata Ibu dan Bumi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!