NovelToon NovelToon

Misteri Dapur Miranti

1

Amanda baru saja dikeluarkan dari pekerjaan dengan alasan yang tidak masuk akal. Tentu saja gadis cantik dan pintar itu mencak-mencak tidak terima. Alasan dia dikeluarkan sangat tidak bisa diterima olehnya, yaitu karena dia menolak cinta sang atasan.

Seorang pria yang sudah beristri dan berumur jauh lebih tua sangat menyukai Amanda. Dialah atasan Amanda. Pria itu ingin menjadikan Amanda sebagai istri kedua. Tentu saja Amanda menolak, dan berujung dengan pemecatan atas dirinya.

Lalu Amanda memutuskan untuk meninggalkan kota Jakarta dan kembali ke kota kelahirannya, sebuah kota kecil di bagian Sumatera. Karena biaya hidup di Jakarta sangat lah mahal apalagi dengan kondisi dirinya tidak bekerja.

Bukannya mendapatkan sambutan dari ibunya, Amanda justru disalahkan atas keputusan tersebut.

"Ibu sangat menyayangkan keputusanmu, Amanda! Sudah tahu perekonomian kita sedang morat marit, kamu malah berhenti bekerja?" Marnita mencak-mencak terhadap Amanda.

"Tapi apa ibu mau jika aku menjadi gundik bosku yang gendut itu?" Amanda menyerang balik ibunya denga pertanyaan, berharap ibunya memiliki sedikit rasa kasihan terhadap dirinya.

"Amanda, kamu tahu kan kondisi kita sedang tidak baik-baik saja. Semenjak ayahmu jatuh sakit lalu meninggal, usaha katering kita bangkrut. Biaya hidup keluarga sangat bergantung padamu. Sekarang adikmu sedang butuh biaya besar untuk sekolahnya!" Marnita terus menuntut Amanda tanpa rasa kasihan.

Gadis itu tidak bisa berkutik sekarang, karena dia pun sangat sadar dengan keadaan keluarga. Amanda juga bingung, bagaimana mereka akan melanjutkan hidup setelah ini.

☕☕☕

Pagi itu, ketika tengah menikmati kopi, Amanda dihampiri Marnita. Perasaan tidak nyaman pun ikut menghampiri Amanda, melihat dari gelagat sang ibu.

"Manda, kamu masih ingat sahabatmu yang bernama Miranti itu, ngga?" tanya Marnita sembari ikut duduk di salah satu sofa yang ada di ruangan itu.

Pikiran Amanda segera terkoneksi dengan Miranti, sahabatnya ketika SMA dulu. Amanda mengangguk. "Ya, Bu. Tentu saja aku masih ingat."

"Kalian masih saling berkomunikasi?" tanya Marnita lagi.

"Sudah lama tidak, Bu. Ada apa?" Amanda tidak mengerti maksud ibunya.

"Sekarang dia sudah jadi pengusaha kuliner yang sukses di kota ini," lanjut Marnita.

"Oya? Miranti sekarang sudah jadi pengusaha? Usaha apa, Bu?" tanya Amanda antusias. Sekelebat harapan tiba-tiba terselip di batinnya.

"Yang ibu dengar, dia punya usaha kuliner gitu, tapi ibu tidak tahu juga pastinya. Ng... restoran mungkin." Marnita mencoba menebak.

"Andai dulu kamu mendengarkan kata-kata ayah dan ibu agar mau membantu untuk mengelola usaha katering kita, pasti sekarang usaha kita juga tidak akan seperti sekarang." Marnita kembali menyudutkan putri sulungnya.

Hati Amanda seakan terbakar atas ucapan ibunya barusan. Kenapa semua kesalahan harus ditimpakan pada dirinya.

"Miranti itu, memulai usahanya dari nol, dan dia bisa sukses sekarang," lanjut Marnita tanpa memikirkan perasaan putrinya. "Kita tahu kan, bagaimana keadaan sahabatmu itu dulu?" Marnita terus saja mengucapkan kalimat demi kalimat yang menyerang hati Amanda.

Amanda berusaha sabar menghadapi ibunya yang seperti kehilangan kendali. Amanda hanya mencoba paham pada kondisi ibunya yang saat ini sedang mengalami banyak tekanan.

Ibunya terbiasa hidup mewah sejak dulu, lalu tiba-tiba harus kehilangan semuanya dan sekarang beberapa aset mereka pun terancam harus dijual demi membayar hutang.

☕☕☕

Amanda mengendarai mobil menyusuri jalan raya yang berada di sepanjang pantai di kota X. Sudah lama dia tidak menyusuri jalan ini. Karena kesibukan bekerja di Jakarta, membuat Amanda jarang pulang. Terakhir kepulangannya adalah ketika ayahnya meninggal sekitar dua tahun lalu, dan itu pun hanya satu minggu di rumah, dan harus segera kembali ke Jakarta.

Amanda berusaha mencari restoran milik Miranti. Dari salah seorang teman lama, Amanda mendapatkan informasi alamat dan nama restoran tersebut.

Amanda menepikan mobil ke sisi kanan jalan, dan memasuki sebuah halaman parkir, tepatnya di sebuah restoran yang bergaya klasik, dan di depannya terpampang sebuah neon box yang bertuliskan Dapur Miranti.

☕☕☕

"Selamat sore, Kak," sapa seorang pelayan perempuan.

Amanda membalas dengan senyuman. Dia terus berjalan menyusuri ruangan, dan diiringi oleh pelayan tadi.

"Di halaman belakang juga bisa, Kak." Pelayanan tersebut memberi tahu Amanda kalau restoran itu juga memiliki area outdoor.

"Owh, ternyata ada ruang terbuka juga?" tanya Amanda sambil menoleh pada pelayan.

"Ada, Kak. Mari saya antar," ujar pelayannya.

Mereka berjalan menuju sebuah lorong yang menjadi penghubung antar ruang utama restoran dengan ruang belakang.

Mata Amanda langsung terbelalak kagum menyaksikan pemandangan yang luar biasa indah dan mempesona di hadapan matanya.

Ruangan terbuka yang didisain seperti sebuah taman, yang berpadu dengan laut. Bahkan beberapa bangunan menjorok ke dalam laut, membuatnya seolah-olah terapung.

"Sungguh hebat Miranti." Amanda berdecak kagum.

2

"Amanda!" Terdengar suara seorang perempuan meneriaki nama Amanda.

Amanda langsung menoleh pada suara yang tidak asing di telinganya. Amanda serta merta berdiri dan setengah berlari ke arah perempuan itu.

"Miranti. Ya ampun, akhirnya kita bisa bertemu lagi."

Kedua orang sahabat lama itu saling berpelukan untuk melepaskan kerinduan. Sudah sangat lama mereka tidak bertemu.

"Kamu semakin cantik," puji Miranti.

"Ah biasa saja. Kamu hebat, sudah sukses sekarang." Amanda balik memuji perempuan yang bertubuh tambun.

Miranti mengajak Amanda mencari tempat duduk yang lebih privat, tepatnya di salah satu pondok yang terapung di atas laut.

"Luar biasa kamu, Mir. Aku mau dong diajarin bikin bisnis," puji Amanda tak henti-henti.

"Ah, hanya kebetulan saja. Aku tidak sehebat kamu yang pernah merasakan jadi menejer di perusahaan besar di Jakarta." Miranti merendah.

"Kamu kok tidak mengabari aku kalau pulang? Bahkan datang ke sini pun dadakan tanpa ngasih kabar," lanjut Miranti.

Amanda tersenyum. "Surprise," jawabnya dengan ekspresi menggoda. Lalu mereka tertawa.

Sambil menunggu hidangan datang, mereka tak henti bercerita tentang kisah hidup masing-masing. Hingga Amanda menceritakan tentang kondisi terkini.

Miranti bahkan tak henti tertawa ketika mendengar cerita Amanda yang ditaksir berat oleh atasan yang berakhir dengan pemecatan dirinya.

"Ternyata sejak dulu sampai sekarang kamu masih terus diincar para lelaki, ya?" seloroh Miranti.

"Aaah, tapi yang mengincar ga pernah ada yang benar," balas Amanda sambil memasang wajah cemberut.

☕☕☕

Keesokan paginya, Amanda sibuk mempersiapkan beberapa berkas sebagai kelengkapan surat lamaran untuk diserahkan pada Miranti.

Tawaran kerja yang diberikan Miranti tidak dapat ditolaknya, karena desakan perekonomian keluarga.

Sebenarnya ada rasa berat di hati Amanda harus bekerja di sebuah restoran yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kantor tempat bekerjanya dulu. Tapi, Amanda sedang tidak punya pilihan. Sedangkan jika harus memulai lagi usaha katering orang tuanya, membutuhkan modal yang besar. Keluarga sedang tidak ada uang untuk itu. Mereka sudah bangkrut.

Sekarang, Amanda harus menerima tawaran Miranti, sambil berpikir untuk mencari jalan yang lain.

Paling tidak, sampai salah satu aset keluarga terjual, dan bisa digunakan untuk modal usaha.

"Kamu mau ke mana?" tanya Marnita ketika melihat putrinya sudah rapi dan bersiap akan pergi.

Amanda menghampiri ibunya yang duduk di depan tv bersama nenek.

"Aku mau kerja, Bu." Amanda menjawab singkat.

Marnita tercengang mendengar jawaban Amanda. "Kerja? Di mana?" tanya Marnita penasaran.

"Di tempat Miranti," jawab Amanda masih sangat singkat.

Amanda tidak ingin mendengar ocehan ibunya di pagi hari yang akan bisa merusak moodnya.

"Oh." Marnita langsung berdiri menghampiri Amanda.

"Ck ck ck. Seorang Amanda dengan pendidikan tinggi dari universitas terkemuka di negeri ini, tiba-tiba harus menjadi bawahan temannya sendiri, yang kuliahnya saja tidak beres." Marnita sungguh gusar mendengar berita yang baru saja diterimanya.

Meskipun sudah hidup morat-marit ternyata jiwa sombongnya belum hilang.

Amanda menarik napas dalam dan mengembuskan dengan kasar. "Aku sedang tidak ingin berdebat, Bu. Aku pergi dulu."

Amanda bergegas menuju garasi, ingin segera meninggalkan rumah yang mulai membuatnya tidak nyaman.

☕☕☕

Miranti menjelaskan beberapa pokok pekerjaan yang akan ditangani oleh Amanda. Miranti memberikan posisi menejer pada sahabatnya tersebut, dengan gaji hanya sebesar empat juta rupiah.

Sebenarnya jumlah tersebut terlalu kecil bagi seorang Amanda. Tapi lagi-lagi dia harus menerima.

Sekitar pukul 10 pagi, tamu mulai berdatangan dan memuncak di saat jam makan siang. Para pelayan tampak sangat kerepotan, hingga Amanda terpaksa harus turun tangan.

Untuk pertama kalinya Amanda melakukan pekerjaan melayani orang, tapi dia berusaha melakukan dengan sangat profesional.

Akhirnya, waktu istirahat tiba juga. Pukul 2 siang pengunjung mulai sepi, meskipun masih ada beberapa tamu yang masih duduk untuk menikmati minuman sambil mendengarkan musik.

Amanda mengambil kesempatan untuk makan siang, bersama beberapa karyawan. Mereka terpaksa harus bergantian dan agak terburu-buru.

Ternyata ada ruangan makan khusus untuk karyawan yang telah disediakan. Amanda bergabung dengan beberapa karyawan yang terlihat sedang makan siang.

"Aku ikut duduk di sini, ya." Amanda menyapa dengan senyum ramah.

"Iya, kak." Ketiga karyawan itu menjawab nyaris serempak.

Di sela makan, Amanda menyempatkan diri untuk berkenalan, sebelum akhirnya Amanda harus ditinggalkan sendirian, karena karyawan lain juga akan makan.

Selang beberapa menit sepeninggal ketiga karyawan tadi, seorang perempuan masuk ke ruang makan, dan duduk di meja yang sama, tepatnya berhadapan dengan Amanda.

Perempuan itu tidak menyapa sedikit pun, dia hanya menunduk sambil fokus pada piring makannya.

Amanda memperhatikan dengan seksama, tetapi matanya tidak bisa melihat dengan jelas, karena wajah perempuan itu tertutup oleh rambut yang terurai ke depan.

Namun kalau dilihat dari postur dan pakaiannya, Amanda yakin kalau perempuan itu masih muda.

"Kamu namanya siapa?" Amanda mencoba untuk membuka pembicaraan.

Sayangnya orang yang ditanya tidak menjawab. Tetap fokus dengan makanannya.

"Apa dia tuli?" pikir Amanda.

Amanda mencoba sekali lagi. "Maaf, kamu namanya siapa?"

Tapi lagi-lagi perempuan itu bergeming.

Amanda mulai jengkel dengan sikap perempuan itu. Sebagai menejer dia merasa tidak dihargai oleh sikap seperti itu. Amanda berdiri dengan kesal hendak memanggil salah satu karyawan. Dia ingin menanyakan perihal perempuan itu.

Ketika hendak meraih gagang pintu, ternyata pintu sudah dibuka lebih dulu oleh dua orang karyawan lelaki.

"Eh, kak. Sudah selesai makannya?" sapa salah satunya dengan sikap penuh hormat.

"Iya sudah. Oiya kalian kenal dengan dia?" Amanda mengarahkan telunjuk ke arah mejanya tadi, tanpa menoleh dikarenakan masih kesal terhadap orang yang masih ada di sana.

"Ng, siapa kak?" tanya salah satu karyawan tersebut.

Dengan gerakan sedikit kasar dikarenakan kekesalan, Amanda memutar badannya menghadap ke arah meja.

"Itu, di sana!" ujarnya dengan nada ketus.

Akan tetapi, mata Amanda terbelalak karena sudah tidak menemukan siapapun di tempat yang dia maksud.

"Lho, dia sudah pergi? Tanpa pamit?" Amanda semakin kesal.

Kedua laki-laki yang masih berdiri di dekat Amanda saling berpandangan dengan raut muka yang kebingungan.

"Wah, kak. Jangan nakut-nakutin dong," ujar salah satu karyawan itu.

Amanda mengalihkan pandangannya pada kedua laki-laki itu.

"Nakut-nakutin? Engga?" sergah Amanda.

"Tadi aku berdua dengan seorang perempuan di situ." Amanda kembali menunjuk ke arah meja. "Tapi kok dia pergi begitu saja?" Amanda tampak kebingungan.

"Kak, kalau ada yang mau keluar masuk tempat ini, musti lewat pintu ini. Kan kita dari tadi berdiri di sini." Salah seorang karyawan itu kembali menjelaskan.

Kening Amanda mulai berkerut, dia memutar tubuhnya beberapa kali seperti mencari sesuatu.

"Tapi bener, aku tadi duduk berdua di situ." Amanda berusaha meyakinkan keduanya. "Itu lihat, piringnya! Masih di situ kan?" Amanda sekarang merasa menang karena dia punya barang bukti.

Kedua karyawan itu mulai ketakutan, wajahnya tampak tegang.

"Kak, kami makan di halaman belakang saja, ya." Keduanya berpamitan pada Amanda dan bergegas pergi.

"Lho kok?" seru Amanda.

Amanda pun mulai bergidik, ingin ikut keluar bersama kedua karyawan itu, tetapi teringat pada piringnya yang masih ada di meja.

Dengan jantung berdebar, Amanda memaksakan langkah menuju meja.

Tangannya buru-buru meraih piring, dan ketika membalikkan badan Amanda terlonjak kaget, karena perempuan itu telah berdiri tepat di hadapannya.

Amanda ingin menjerit, tapi mulutnya terkunci. Tubuhnya menggigil ketakutan. Matanya dapat melihat dengan jelas perempuan yang memakai seragam lengkap karyawan, namun wajahnya tertutup rambut yang terurai ke depan. Wajah itu masih menunduk seperti tadi.

"Tolong aku," rintih perempuan itu setengah berbisik.

Tiba-tiba pintu terbuka dan beberapa orang karyawan masuk bersama dengan dua orang karyawan laki-laki yang tadi meninggalkan Amanda.

Seketika tubuh Amanda merasa lunglai, piring di tangannya terlepas bersamaan dengan ambruknya tubuh Amanda di lantai.

☕☕☕

3

Amanda membuka mata perlahan, lalu menyipitkan beberapa kali karena terganggu dengan cahaya yang masuk menyentuh kedua bola matanya.

Kepalanya masih pusing dan terasa berat. Untuk sesaat Amanda belum ingat apa yang telah terjadi. Amanda melihat beberapa orang tengah duduk mengitari sofa tempat dia terbaring. Salah satunya Miranti.

"Amanda, kamu sudah bangun?" Miranti mengusap lembut kepala Amanda.

Amanda kembali memejamkan mata beberapa detik demi menekan rasa sakit di kepala.

Pikiran mencoba mengingat apa yang telah terjadi.

Seorang perempuan muda memijit telapak kaki Amanda dengan minyak kayu putih.

Dan seorang perempuan lainnya memberikan segelas air putih lengkap dengan pipet.

Setelah merasa agak pulih, Amanda berusaha bangun dan dibantu oleh Miranti dan yang lainnya.

"Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Miranti kembali. Raut khawatir terpancar dari wajah bos restoran tersebut.

"Sepertinya, aku disapa oleh penghuni restoranmu ini," ujar Amanda lemah.

Miranti tersenyum. "Biasalah, yang begitu di mana-mana suka ada." Miranti mencoba menenangkan Amanda.

"Banyak-banyak istighfar aja, Kak." Perempuan yang tadi memijit kaki Amanda ikut bicara.

"Makasih banyak ya, Vi," ucap Amanda pada perempuan muda itu.

"Ya sudah, Via dan Nia silakan kembali bekerja. Amanda biar aku yang temani." Miranti memberikan instruksi.

"Maafin aku ya Mir. Di hari pertama kerja, aku malah merepotkan semua orang." Amanda sangat bersalah.

"Kenapa minta maaf? Ini kan bukan salahmu," balas Miranti tersenyum.

"Eh, tapi beneran seram lho," lanjut Amanda sembari mengingat kembali sesosok yang tadi menakutinya.

"Sudah, jangan diingat lagi. Lain kali hati-hati aja." Miranti berusaha terus menenangkan Amanda.

☕☕☕

Miranti berdiri di salah satu jendela ruang kerja yang menghadap ke laut. Ruang kerja itu berada di lantai dua restoran. Lantai dua itu, merupakan tempat tinggal Miranti bersama keluarganya.

Demi kenyamanan, ruang kerjanya pun dibuat di sana.

Wajah Miranti tampak cemas, pikirannya berkecamuk, dan hatinya merasa tidak tenang.

Tiba-tiba seorang membuka pintu yang tidak terkunci, Miranti menoleh.

Seorang wanita paruh baya mendekati Miranti.

"Mama baru saja mendengar cerita dari karyawanmu," ujar wanita yang ternyata adalah ibu dari Miranti.

Miranti menatap pias. "Ma, kenapa tiba-tiba dia datang?" tanya Miranti dengan suara bergetar.

"Apa kamu yakin, itu dia?" Mirna sang ibu balik bertanya.

"Dari penuturan Amanda, aku yakin itu dia."

Kali ini, Mirna pun ikut khawatir. "Bukankah jiwanya sudah dipasung oleh Pak Cik?"

"Ya itulah makanya aku khawatir, kenapa sekarang dia tiba-tiba muncul?" Miranti semakin berkecamuk. Karena dia sudah tahu apa yang sedang dihadapi saat ini.

"Ma, aku tidak mau kehilangan apa yang sudah aku dapatkan. Aku sudah bersusah payah membangun restoran ini. Aku sudah berkorban banyak untuk ini." Miranti menangis sesenggukan.

Mirna memeluk tubuh Miranti. "Mama akan bicara pada Pak Cik mu." Mirna mencoba menenangkan Miranti yang kini menjadi anak satu-satunya.

Pembicaraan mereka terhenti oleh kegaduhan di luar ruang kerja. Miranti dan Mirna segera berlari ke sana. Tampak Azka kepanikan mengejar adiknya yang berlari-lari sambil menggenggam sebilah pisau yang sangat tajam.

Miranti dan Mirna syok melihat pemandangan itu. "Ya ampun, Fatur!" jerit Miranti cemas.

Miranti melangkah pelan mendekati Fatur, putra bungsunya yang kini sedang berdiri di atas jendela. Anak laki-laki yang berusia 5 tahun itu tertawa senang sambil mengayun-ayunkan pisau.

"Fatur, turun ya, nak. Itu bahaya." Miranti mencoba membujuk, dia tidak ingin gegabah sehingga bisa mencelakakan Fatur.

Tanpa peduli, Fatur tetap dengan aksi berbahayanya. Bahkan melompat-lompat di atas jendela sambil cekikikan.

"Putri akan datang. Putri akan datang." Fatur mengucapkan kalimat itu berkali-kali dengan nada penuh kebahagiaan.

Miranti melirik pada Mirna begitu mendengar ucapan Fatur. Keduanya saling berpandangan. Ketakutan menghantui ibu dan anak tersebut.

"Fatur. Turun yuk. Biar kakak gendong belakang," bujuk Azka.

"Ga mau. Maunya sama papa." Fatur merengek.

"Iya, nanti kakak gendong ke tempat papa." Azka berusaha mendekati jendela.

"Yuk, turun yuk. Sini pisaunya biar kakak yang pegang," bujuk Azka kembali.

"Gak mau...gak mau. Ini buat Putri. Ini buat ambil jantungnya Putri." Fatur berjingkrak kegirangan.

Mulut Miranti dan Mirna ternganga mendengar perkataan Fatur. Mereka kembali saling berpandangan dengan mata saling melotot.

"Maaa!" jerit Miranti panik.

Mirna mengangguk tak karuan. Wanita paruh baya itu pun tak kalah gusar.

"Fatur, ayok turun! Itu berbahaya!" Mirna mulai berteriak dan kehilangan kesabaran.

Fatur berhenti, lalu menjulurkan lidahnya seolah mencibir papa Mirna. Ekspresinya sekarang berubah menjadi marah.

"Nenek jahat!" Fatur berteriak pada Mirna.

Tubuh Mirna bergetar menahan amarah, tapi berusaha dikendalikan demi menjaga situasi. Dia mencoba menarik napas dalam-dalam demi bisa menenangkan diri.

"Fatur, kita ke kamar papa yuk." Azka dengan penuh kesabaran terus membujuk adiknya.

Akhirnya Fatur menurut. Ketika akan menjatuhkan tubuh pada punggung Azka, mata Fatur melirik tajam dan bengis pada Mirna lalu bergantian ke arah Miranti.

☕☕☕

"Papaaa." Fatur kegirangan ketika melihat sesosok pria yang tengah duduk bersandar lemah di kursi roda. Dengan rasa tidak sabar Fatur ingin segera melompat dari punggung Azka, namun Azka menahan agar Fatur tidak jatuh.

"Kasih dulu pisaunya sama kakak. Nanti takut melukai papa lho," bujuk Azka.

Tanpa ada perlawanan, Fatur menyerahkan pisau itu kepada Azka. Lalu turun dari punggung Azka dan berlari ke pangkuan papa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!