NovelToon NovelToon

IPAR

Kepergianya Membuatku Membencinya

Siang itu langit terlihat gelap, angin berhembus bersamaan dengan rintik hujan membuat suhu semakin dingin, musin hujan di kota ini masih berlangsung. Kali ini di musim berkah sebuah keluarga tengah berkabung bahkan langit yang tampak semakin gelap seolah ikut merasakan duka yang dialami keluarga itu.

" ... Sebab engkau dari debu dan engkau akan kembali menjadi debu ..."

Acara pemakaman sedang berlangsung, seorang pendeta memberi nasihat untuk mengobati luka dan air mata yang bercucuran dari mereka yang tertinggal.

Varga Sadah, masih terus terisak bahkan terdengar lebih menyayat hati bagi siapapun yang mendengar. Ia memeluk photo istrinya setelah lubang besar itu di tutup rapat dengan tanah. Tubuhnya bergetar di sandarkan pada siapapun yang ada di belakangnya. Begitu juga dengan Nisa mertuanya air matanya tak ada hentinya terurai. Namun diantara mereka yang berduka ada seorang yang berdiri tampak tenang berlindung dibawah payung hitam dengan kaca mata hitam menutup matanya.

Meski tampak tenang, bukan berarti ia tak berduka. Mungkin bisa di bilang hatinya lebih hancur daripada mereka yang hanya di tinggal tanpa sebuah permintaan yang begitu sulit ia berikan.

Dua belas jam yang lalu ia terlihat tanpa beban, tertawa lepas bersama ketiga temannya. Menertawakan orang -orang disekitarnya yang terlihat konyol hingga berencana akan mengakhiri masa remajanya di sebuah Bar sebagai tanda kalau mereka bukan ABG lagi. Tapi rencana itu buyar sesaat setelah ia mendapatkan kabar dari Ibunya lewat telpon.

Ring --- Ring--- Ring---

"Iya Mama, " sahutnya setelah menekan tanda jawab. Memberi isyarat lewat jarinya pada teman-temannya sedang terbahak untuk memberi ruang baginya.

"Ra ...," Aralia mengerutkan kening suara dari seberang sana terdengar sedih.

"Mama, ada apa?" Sahutnya merasakan ada sesuatu yang terjadi.

"Rena ada di rumah sakit, kakakmu itu sedang di operasi." Kata Nisa tak bersemangat, dari nada itu Aralia bisa merasakan ada kesedihan tersirat di sana. Untuk beberapa saat hening Ara menunggu ibunya mengatakan sesuatu tapi yang terdengar hanya tarikan napas berat.

"Ara akan kesana, Ma." ujarnya mematikan ponsel, Aralia menyesal saat melihat ketiga temannya yang kini sudah menatapnya.

"Teman-teman aku harus pulang, sorry rencana kali ini kita batalkan tapi kalau kalian mau pergi tanpa aku—,"

"Ada apa? Kita sudah sepakat malam ini akan mencoba hal yang belum pernah kita lakuin, yaitu party di Bar." —ucap Cayrol bersemangat

"Iya, kalian tahu aku yang paling bersemangat untuk itu. Tapi ada sesuatu yang terjadi, ah --- begini kakaku akan melahirkan."

"Dan itu kabar baik kan? Kita rayakan—," sahut Ilir tak kalah semangatnya.

"Sorry! mama menelpoku suaranya terdengar sedih. Seperti yang aku bilang kalau kalian mau pergi tidak masalah." kata Aralia dengan raut sedih.

"Mungkin ada sesuatu yang terjadi. Pulanglah! Lain kali kita rencanakan ulang." Lea yang paling pendiam di antara mereka berujar menepuk bahu Aralia, mengerti.

"Sorry ...," ujar Aralia.

Langit terlihat mendung, sementara tubuh Aralia hanya berbalut jeans biru laut dipadukan dengan kaos bewarna putih awan merasakan dinginnya hembusan angin yang membawa gerimis berlabuh kebumi. karena itu ia memilih menghentikan taksi daripada naik transportasi online seperti sepeda motor untuk berjaga-jaga kalau hujan akan turun deras.

Rumah sakit yang ada di kota ini tak hentinya di datangi orang-orang yang berkepentingan. Aralia yang sudah menapak kaki disana mengambil langkah lebar menuju ruang tunggu dimana ibunya berada. Tak butuh waktu lama untuk menemukan tempat itu setelah mendapat arahan dari bagian informasi yang ada di lobi rumah sakit.

Disana dua orang terlihat gelisah, Aralia mendekat tanpa bersuara.

"Kau sudah datang, Sayang." Kata Nisa dengan suara kecil dan bergetar.

Aralia mengangguk mengambil posisi duduk di sebelah ibunya, mengelus lengan Nisa mencoba menenangkan wanita lima puluh tahunan itu agar terlihat tenang.

Sementara pria bertubuh tinggi yang tak jauh darinya berulang kali mengusap wajahnya sembari melangkah mondar- mandir menunggu dengan rasa cemas.

Ceklek

Seorang perawat tiba-tiba keluar dari ruang operasi.

"Pasien meminta suaminya, ibunya dan adiknya masuk sebentar keruang ini."

ketiga orang yang dipanggil itu saling bertatapan, tak seharusnya begitu. Dan apa yang membuat Rena harus memanggil mereka bersamaan.

"Suster bagaimana kondisi istriku?" Tanya Varga sebelum perawat itu kembali masuk kedalam ruangan.

"Dokter akan menjelaskannya nanti di dalam, Tuan."

Tanpa menunggu lama ketiganya mengikuti perawat masuk kedalam ruang bersuhu dingin itu.

"Sayang, " Varga bergegas begitu melihat Rena yang masih terpasang alat-alat medis. Menggenggam tangan Rena sembari mencium kening istrinya itu dengan sangat lembut.

"Hun, Ra." Suaranya kecil dengan tatapan sendu, terlihat lelah dan pucat.

Mendengar namanya di panggil, Aralia melepas tangannya dari lengan Nisa yang sedang menatap bayi merah terbungkus lampin di dalam ranjang kecil. Lalu menghampiri Rena yang terbaring lemah.

Sesaat Rena membuka mulutnya, ia ingin mengatakan sesuatu tetapi terlihat sangat berat. Dari sudut mata wanita yang baru saja melahirkan itu terjatuh air mata yang membuat Aralia kebingungan.

"Kak ... ada apa?" tanya Aralia, mata Rena tak berkedip menatapnya dengan raut sedih. Sesaat keadaan hening, Varga, Aralia maupun Nisa dibuat kebingungan oleh tatapan Rena yang menyendu.

"Rena ... ." Nisa berucap, mengelus kaki Rena tapi karena efek bius Rena sama sekali tak merasakan hangatnya tangan Ibunya itu.

Kedua tangan Rena bergerak, mengambil tangan Aralia yang ada di sisi kiri dan Varga di sisi kanannya. Menggenggam kedua tangan itu lalu berkata.

"Titip pu-putri kita, dia sangat manis. Aku ingin kalian berdua menjaganya. Ara adikku jadilah Ibu bayi i-itu. Kumohon."

"Apa yang kau katakan!" Aralia sontak melepaskan tangannya dari Rena, tak percaya dengan apa yang ia dengar, sementara Varga menggeleng-gelengkan kepala mengeratkan genggaman Rena.

"Kakak mohon ...." Aralia menggelengkan kepala, menolak.

Rena terdiam menampakkan raut mengiba, dan terakhir menatap bayi merah yang ada di ranjang kecil di ruangan itu. Perlahan Varga merasakan genggaman Rena melemas, tangannya tak lagi merasakan gerak Rena.

"Rena."

"Kakak."

"Re."

Ketiga suara itu bersamaan memanggil dengan panik. Tak ada sahutan atau gerakan apupun dari Rena.

Varga berteriak memanggil dokter. Aralia melangkah mundur tanpa mengalihkan tatapannya dari Rena.

Seketika ruangan itu menjadi tempat ratapan.

Nisa memukul-mukul dadanya yang terasa sesak, air matanya sudah tak dapat dibendung lagi.

Varga berusaha menyadarkan Rena dengan menepuk pipi istrinya itu. Sementara Aralia ia terduduk setelah tubuhnya mentok ke dinding. Menangis sampai tubuh kecilnya gemetar. Gadis itu memeluk kedua kakinya, melihat Rena yang pucat di tangani team medis.

Tangis itu semakin kencang ketika mereka mendengar dokter mengatakan.

"Catat jam kematiannya. Pasien sudah tiada."

Hari itu hari yang menyedihkan, hari yang menyakitkan bagi keluarga Nisa, Varga dan Aralia.

Rena sudah tiada, wanita yang melahirkan bayi cantik itu kini pergi dengan senyum dan rasa tenang. Ia berhasil berjuang menjadikan pria yang ia cintai menjadi seorang ayah, menjadikan seorang wanita yang ia sayangi menjadi seorang nenek dan ... adik terkasihnya, entah permintaanya akan di penuhi atau tidak yang pasti Rena sudah memintanya.

Keluarga berkumpul untuk mengadakan acara pemakaman dan sampai saat itu juga hujan rintik masih turun.

Awan gelap terlalu kejam menyembunyikan sinar terang matahari, begitu juga dengan Rena yang begitu tega meninggalkan orang- orang yang mencintainya.

Sebagian keluarga sudah meninggalkan pemakaman. Begitu juga dengan Varga dan Nisa mereka dibantu keluarga yang lain meninggalkan tempat itu. Tapi Aralia masih berdiri dibawah payung hitam menatap nisan Rena yang sudah basa karena gerimis.

"Aku membencimu." Katanya tak dapat menahan tangisnya hingga kembali pecah.

Pertanyaan yang sulit

Tiga minggu berlalu, langit masih saja mendung tapi waktu terus berjalan dan selama itu juga Aralia menjalani kehidupannya seperti biasanya.

Nisa, Ibunya memilih menyibukkan diri bermain dengan benang-benang cantik yang akan ia bentuk menjadi sebuah sepatu kecil buat cucunya.

"Baiklah besan kita bahas ini besok." Saat Aralia hendak mengetuk pintu kamar ibunya ia mendengar sedikit pembicaraan Nisa dengan seseorang lewat telpon.

Besan?

Aralia menggigit bibir bawahnya. hal penting apa yang akan mereka bicarakan besok. Aralia megurungkan niat menemui Ibunya dan berjalan ke kamarnya. Membuka pintu balkon dan menatap langit yang gelap bergerimis.

"Titip pu-putri kita, dia sangat manis. Aku ingin kalian berdua menjaganya. Ara adikku jadilah Ibu bayi i-itu. Kumohon."

Kata-kata itu selalu muncul dalam ingatannya. Meskipun Varga dan Nisa belum membahas hal itu ia tidak pernah lupa bahkan sampai detik ini. Gadis itu kerap kali berdoa dalam hati supaya semua orang melupakan permintaan konyol kakaknya itu.

Aralia menghela napas panjang, melegakan isi dadanya yang membuatnya sesak bernapas.

Arhhh ...

Teriak Aralia tanpa suara, wajahnya tampak suram dan mata yang selalu bersinar itu memberi sorot kesedihan yang amat dalam.

"Ara ...apa besok kau punya waktu?" Suara Nisa sontak membuatnya berbalik. Wanita itu masuk tanpa mengetuk pintu membawa dua gelas teh hijau yang masih panas.

"Kenapa Ma?" Aralia mengambil gelas teh yang di suguhkan Nisa.

Nisa menatap lurus kedepan, lalu menipiskan bibir.

"Kakak Iparmu akan berkujung." Katanya menatap putrinya itu dengan hangat.

Aralia menatap teh hijau di dalam gelas yang ia pengan, wanginya masih tercium tapi entah kenapa gadis berlesung pipi itu tak niat menikmatinya.

"Sebenarnya Ara punya urusan tapi tidak terlalu penting. Tapi apa Ara harus ada, Ma?" Tanyanya dengan suara pelan sambil menunduk menatap kakinya yang tanpa alas.

"Ini pertama kali setelah kepergian Rena, keluarga kakakmu berkunjung dan sudah seharusnya kita menyambutnya, sayang. Kau tidak ingin melihat Bianca?"

"Bianca?" Aralia bertanya dengan bingung, nama itu tampak asing baginya.

"Iya ..., Bianca. Putri kakakmu begitu mereka memberi nama." Aralia mengangguk, kini bayi itu sudah di beri nama meskipun belum di sah kan.

"Baiklah besok Ara akan di rumah." Katanya

setelah memikirkan sesuatu dan lagipula semenjak Bianca lahir ia hanya melihat sebentar tanpa menyentuhnya di rumah sakit.

"Sayang kau tidak mengenakan alas kaki? Cuaca sangat dingin ditambah kau masih menyalakan pendingin ruangan. Jangan bermain-main dengan kesehatanmu." ujar Nisa setelah menyadari putrinya itu telanjang kaki, Nisa segera masuk kedalam dan mengambil kaos kaki juga jaket dari dalam lemari.

"Sekarang hanya kau yang aku miliki, kau tidak boleh sakit mama mohon."

Nisa memakaikan jaket pada Aralia dan hendak berjongkok untuk mengenakan kaos kaki yang ia pengan.

"Ma. Maafkan Ara." Gumam Aralia menahan lengan ibunya yang hampir menyentuh kakinya. "Biar Ara saja." Katanya lagi mengambil kaos kaki itu lalu mengenakannya dengan cepat.

Nisa menitikkan air matanya, duka masih belum berakhir dalam hatinya. Tiap hari dalam keheningan wanita itu menangis, menatap dan memeluk photo Rena putri pertamanya. Ia mengeluh pada sang pencinpta betapa sakitnya melihat orang yang ia sayangi segenap jiwanya pergi untuk selamanya.

Melihat itu Aralia merasa bersalah, "aku sayang mama, mari kita hidup saling menjaga." Katanya mengusap kedua mata Ibunya dengan jemarinya.

Nisa memeluk putrinya itu dengan sangat erat, mereka saling menguatkan dimalam yang amat dingin itu.

 _____________________________________________

 

Di dalam ruangan keluarga, tampak Nisa menimang Bianca cucunya dengan sangat bahagia ia menahan air matanya agar tak berurai dan menjadikan suasan menjadi menyedihkan.

Varga dan kedua orang tuanya duduk di sofa. Pria itu kini tampak tenang namun tak dapat dikatakan sepenuhnya jika dilihat dari lingkaran matanya hitam serta tubuhnya terlihat kurus.

"Bagaimana kabarmu Besan?" Ibunya Varga memulai obrolan setelah Nisa duduk dan menyerahkan bayi itu ketangan susternya.

"Sudah lebih baik, Besan sendiri bagaimana kabarnya?"

"Ya seperti yang Besan lihat." Jawab Roland diakhiri dengan kekehan ringan.

Aroma teh tercium saat pelayan rumah itu mensuguhkan teh dan beberapa macam makanan ringan pada tamu dengan sopan .

"Bi, tolong suruh Ara turun ya. Bilang kakak iparnya datang," ujar Nisa saat pelayan rumah itu kembali ke dapur.

"Baik Nyonya." Pelayan rumah itu segera naik ke lantai atas menuju kamar Aralia.

Aralia menatap dirinya dalam cermin, tak bersemangat semenjak melihat mobil keluarga kakak iparnya tiba dari balkon kamarnya.

Bagaimana ini? Apa mereka hanya sekedar berkunjung atau----

Ketukan pintu membawa Aralia dari lamunannya, tanpa menunggu jawaban pelayan itu masuk.

"Nona ... Nyonya minta nona Aralia turun kebawah, ada tuan Varga." Katanya dengan lembut.

Aralia mengangguk, " tutup pintunya." Ujarnya saat pelayan itu kembali keluar.

Aralia yang masih berdiri di depan cermin mencoba tersenyum, kaku dan dingin. Dia berdecak kesal melihat bayangan yang ada di depannya yang seolah lupa bagaimana caranya tersenyum.

Di ruang tamu Aralia mendengar keluarga berbincang bincang, sesekali ada kekehan ringan. Roland ayahnya Varga ternyata memiliki selera humor yang baik untuk menghangatkan suasana di ruang itu.

Kekehan itu terhenti saat mereka menyadari kehadiran Aralia.

"Paman, tante." Sapa Aralia meyungingkan senyum pada kedua orang tua Varga.

"Hai ...," Ibunya Varga menyahut lalu berkata " Putrimu semakin cantik aja ya, Besan." katanya menoleh pada Nisa.

Nisa tersenyum, melihat putrinya, lalu menepuk sofa di sampingnya, "duduk sayang." Katanya.

Varga menarik napas, menghembuskanya perlahan lalu mengambil gelas teh kemudian meminumnya. Matanya tak sengaja beralih pada Aralia yang juga sedang menatapnya.

Sesaat mereka saling bertatapan. Nisa yang menyadari hal itu menepuk lengan Aralia pelan. Gadis itu segera mengalihkan tatapanya.

Setelah berbincang -bincang hal-hal sepele Roland menarik napas rautnya terlihat serius dan menatap ke arah Aralia duduk membuat gadis itu merasa canggung.

"Besan," ucap Roland suaranya terdengar serius menghentikan tawa kedua wanita yang terlihat akrab membicarakan selebritis yang semakin terkenal karena kehaluannya.

Nisa menarik napas," Ya." jawabnya mengangguk. Tiba saatnya mereka membahas hal penting seperti yang sudah mereka rencanakan lewat telpon.

"Seperti yang kita bicarakan lewat telpon ...," kata Roland dengan nada serius. Aralia dan Varga yang sedari tadi diam, mendengar dengan serius.

Degub jantung Aralia semakin kencang, menelan salivanya berlahan menatap Varga yang sedang melihat serius pada Roland.

Gadis itu belum siap jika yang akan dibahas saat ini adalah permintaan Rena, kakaknya.

"Varga sudah menceritakan semua keinginan terakhir menantu kami. Mengejutkan memang tapi bagaimana pun sebagai orang tua Varga, kami hanya bisa mendukung apapun keputusan yang di buat." Ucap Roland melihat Aralia dan Varga bergantian.

Nisa melihat Aralia yang kini sudah menunduk, merasakan sesak di dadanya. Nisa menyetuh tangan Aralia membuat gadis itu mengangkat kepalanya.

"Sebagai orang tua aku juga hanya bisa mendukung apa yang terbaik menurut mereka." Kata Nisa menatap Varga, menyerahkan keputusan padanya.

Varga melihat Aralia yang menatapnya dengan tatapan susah diartikan, kenyakinan yang ia miliki sesaat penuh menjadi keraguan. Merasa gugup, beruntung tatapan hangat dari Nisa mertuanya membangkitkan sedikit rasa keberanian dalam dirinya.

"Ara, bagaimana pendapatmu?" Begitu mendengar pertanyaan itu Aralia menengan jemarinya saling bertautan. Pertanyaan yang sangat sulit dia jawab kemudian Aralia mengangkat wajahnya menatap Ibunya. Nisa memberinya senyum sembari mengelus kepala putrinya itu lembut.

Ruangan itu sejenak hening, menunggu suara dari Aralia. Tapi gadis itu tak kunjung bersuara.

"Sayang, kau tidak perlu menjawabnya hari ini. Pikirkan matang-matang sebelum mengambil keputusan. Apapun keputusan yang kau buat kami akan mendukungnya." Kata Ele memberi pengertian.

Aralia perlahan melihat ke arah Varga. Menatap pria itu dengan tatapan memberi nilai. Sungguh jika Aralia menginginkan pria tampan dan berkarisma Varga adalah pilihan yang tepat.

Tinggi tubuhnya diatas 180cm, hidungnya mancung dengan tulang yang langsing. Biji matanya hitam pekat disempurnakan dengan bulu mata yang lebat. Belum lagi pria ini memiliki brweok halus yang menunjang ketampanannya. Penampilannya tidak kalah dengan model yang wara-wiri di media.

Tapi kembali lagi pada pilihan, Aralia tidak boleh hanya melihat dari penampilan semata.

Menyadari tatapan Aralia padanya. Varga terlihat gugup, dia menarik napas berlahan menutupi rasa gugupnya.

Tiba-tiba tangisan bayi terdengar dari arah tangga, dimana suster membawanya turun dari lantai atas.

Perhatian tertuju pada Bianca yang menangis.

Nisa langsung mengambil Bianca dari tangan suster dan mencoba menenangkannya tapi bayi itu malah menangis semakin kencang.

"Napa ya sus, kok nangisnya kencang ngini?" Tanya Nisa panik.

"Kurang tahu Nyonya tiba-tiba aja bangun terus nangis kencang begini."

"Popoknya sudah di periksa?" Tanya Varga, berdiri mengambil Bianca dari tangan Nisa dan mencoba menenangkan putrinya itu.

"Sudah tuan."

"Mungkin haus, Ga?" Sahut Ele

Varga meminta botol susu dari suster dan mencoba memberi pada Bianca. Bayi itu tak mau dan masih menangis kencang.

Suasana di ruangan itu terlihat sedikit repot, dimana Varga dan yang lain mencoba menenangkan Bianca secara bergantian, kecuali Aralia yang memilih diam duduk dengan pikirannya sendiri.

catatan :

Buat teman yang sudah baca terima kasih banyak, aku baru pemula. Alur mungkin tidak segreget yang lain dan penulisan juga masih berantakan jadi mohon di pengertianya.

Menimang Bayi

"Sayang kenapa ..., Cup,cup,cup ya." Ronald mengambil Bianca dari tangan Varga. Mencoba membujuk bayi mungil itu sambil berdiri.

"Aku telpon dokternya dulu," ujar Varga mengambil ponselnya dan mencari sebuah nama disana.

"Bianca baik-baik aja kan, Varga?" Mendengar ucapan Varga Nisa khawatir kalau-kalau cucunya itu ada masalah pada kesehatannya ditambah lagi Bianca tak juga berhenti menangis.

"Kata dokternya sih sehat, Ma." Jawab Varga, gerakannya gelisah kala orang yang ia hubungi belum juga menjawab.

Ele dan suaminya bergatian menggendong Bianca.

Aralia? Gadis itu masih diam dalam duduknya mengabaikan apa yang sedang terjadi di sana.

"Ara ...," Nisa menyentuh lengan Aralia yang sedari tadi membisu. Aralia terkesiap lalu mendongak melihat ibunya yang khawatir.

Merasa tak ada yang harus ia lakukan di sana Aralia berdiri ingin meninggalkan ruangan itu.

"Ara ke kamar dulu, Ma." Lirihnya, Nisa mengangguk mengiyakan tapi saat Aralia menginjak anak tangga langkahnya terhenti, seseorang memanggil namanya. Suara itu milik Ele.

Wanita yang masih terlihat cantik di usia tuanya, melangkah sambil menggendong Bianca mengghampiri Aralia.

"Kenapa kau tidak coba menggedongnya, sayang?" Tanyanya dengan lembut. Menyerahkan Bianca padanya.

Aralia tersenyum, berpikir jika mereka yang sudah berpengalaman tidak dapat menenangkan bayi ini, lalu bagaimana dengannya? Gadis manja berusia sembilan belas tahun itu sama sekali belum pernah menggedong bayi, cukup memandang dan menyetuh pipinya itulah yang ia lakukan.

Bianca masih saja menangis. Aralia ingin menolak tapi wanita itu masih berharap. Ragu-ragu Aralia mengulurkan tangan dan Ele menyerahkan Bianca.

Ini pengalaman pertamanya, Aralia tersenyum lalu mencoba menimang layaknya seorang Ibu pada bayinya. Perlahan bayi itu mengecilkan suaranya dan tak lama kemudian Bianca diam memandangi Aralia dengan tatapan kosong.

"Aku telpon lagi nanti ya ...," kata Varga saat melihat Aralia menimang bayinya dan yang paling mengejutkan bagi mereka adalah Bianca diam seolah merasa nyaman.

"Sayang ..., " guman Aralia lembut.

Ele dan yang lain merasa lega sekaligus cemburu, Bianca berhasil membuat mereka kebingungan.

"Kau memang pantas jadi ibunya," ujar Ele menatap Aralia. Mendengar itu ekpresinya berubah masam, ia memalingkan wajah agar tak terlihat wanita itu.

Varga menarik napas, melihat perubahan raut Aralia seperti tidak senang. Ia menggigit bibir sambil meremas ponsel yang ada pada tangannya.

"Sus ikut aku ke kamar,"

Suster yang masih berdiri di samping Varga, segera mengiyakan lewat anggukan kepalanya. Ia mengikuti Aralia dari belakang.

"Tidak masalah jika mereka menikah, Besan bujuklah Aralia demi cucu kita." Kata Ele setelah Aralia ke kamarnya.

 

______________________________________________

 

"Menikah?" Ilir sontak kanget mendengar pernyataan temannya itu, saat ini mereka sedang duduk di anak tangga kampus lantai tiga tempat mereka berkuliah.

Aralia hanya mengangguk, menatap Ilir dengan malas.

"Serius?" Ilir bertanya dengan nada serius memastikan.

"Mmm ...," Jawab Aralia dengan nada tidak enak.

Ilir terkekeh mencubit pipi temannya itu hingga Aralia mendengus kesal.

"Emang kamu punya pacar?" Aralia menggelengkan kepala.

Mendengar itu Ilir makin mengeraskan volume tawanya.

"Terus kamu nikah sama siapa?"

"Ipar aku."

"Apa?" Kali ini Ilir benar-benar terkejut, suaranya yang keras menjadi pusat perhatian yang juga berada di sana. Baginya ini adalah kabar baru.

Ilir melihat raut muka Aralia sedih, sejak tiga minggu ini temannya itu lebih banyak diam. Lingkaran matanya hitam dan juga tak ada semangat dalam dirinya. Ilir dan temannya yang lain mengerti mengingat duka masih menyelimutinya.

Tapi menikah? Ilir dapat merasakan bagaimana sedihnya Aralia.

"Sorry, aku tidak tahu harus berkomentar apa? Tapi ini bukan ide kakak iparmu kan?" Tanya Ilir.

Aralia menarik napas, lalu menggeleng.

"Amanah," katanya pelan.

"What? amanah siapa? sahut Ilir dengan segala rasa penasarannya.

"kak Rena,"

"Oh my ..., jadi ini kakakmu yang minta?"

"Di akhir hidupnya."

"Terus bagaimana dengan kakak iparmu? Setuju?"

"Setujulah, kalau dia tidak setuju dia tidak akan cerita sama kedua orang tuanya masalah keinginan almarhum istrinya."

Aralia kembali menarik napas, bangun berlahan menurin anak tangga dan Ilir mengikutinya dengan perasaan prihatin.

Di Bank

Sebagai manager di sebuah Bank swasta di negeri ini, Varga berusaha semaksimal mungkin agar tidak membuat kesalahan pada pekerjaannya.

Dia berusaha fokus tapi sayangnya usahanya sia-sia saat mengingat bagaimana tatapan Aralia padanya dua hari lampau. Tatapan itu penuh kemarahan bercampur sedih. Sungguh membuat Varga tidak enak hati telah menyeret adik iparnya itu masuk kedalam kehidupannya.

Varga, menghentikan tangannya yang menari di atas laptopnya. Menarik napas berat melihat Photo Rena bersamanya masih tertata rapi di meja kerjanya.

Sayang, apa yang harus aku lakukan sekarang?

Diambilnya photo itu dan tanpa terasa air matanya menitik.

Dua hari yang lalu saat Varga berkunjung kerumah mertuanya, ia menitipkan sebuah pertanyaan bagi Aralia, sorenya sebelum kembali pulang. Mertuanya mengajaknya berbicara di kamar yang biasa mereka tempati kala berkunjung kerumah itu.

"Varga, kau nyakin akan menunaikan keinginan almarhum istrimu?"

"Jika Tuhan mengizinkanya, Ma." ucap Varga nyakin.

"Amin semoga Tuhan memberi izin, mama akan mendukung apapun itu keputusan kalian, dan mama minta bantu Ara membuat keputusan ya, Nak. "

Varga menipiskan bibir. Hatinya perih Mengingat tatapan Aralia yang saat ini terngiang dalam pikirannya.

Maafkan aku sayang, sepertinya keinginanmu tidak akan terpenuhi.

meletakkan kembali photo itu di atas meja dengan perasaan sedih.

Menyerah?

______________________________________________

Aralia berjalan melewati kamar Ibunya di sore hari saat ia pulang kuliah. Perlahan kakinya melangkah dan terhenti saat hendak membuka pintu kamarnya. Samar-samar ia mendengar suara tangisan.

Suara itu berasal dari kamar Nisa. Wanita itu sudah pasti menangis, merindukan Rena.

Aralia, menghela napas membuka pintu kamarnya pelan, melepaskan tas yang ada di pundakkan. Duduk di tepi ranjang melihat photonya bersama Rena.

"Kau berhasil mengacaukan segalanya kak?" Gumamnya, duduk terdiam membawa pikirannya kembali pada perbincangannya dengan Nisa ibunya.

"Kamu sudah ada jawaban, mengenai pertanyaan kakak iparmu, sayang?"

Aralia terdiam, ia memilih memainkan ponselnya dan sengaja mengabaikan pertanyaan Ibunya.

"Ra ...?" Aralia menggeleng tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel itu.

"Berdoa ya sayang, minta sama Tuhan petunjuk." ujar Nisa dengan lembut, menarik putrinya itu dalam pelukannya yang hangat.

"Ma ...,"

"Mmm,"

"Kenapa kakak meminta hal seperti itu pada Ara?"

Nisa berlahan melepas pelukannya, ia melihat putrinya itu dengan bongkahan air mata yang siap lepas.

"Karena dia nyakin kau bisa melakukannya."

"Apa mama setuju dengan keinginan kakak?

Hening sejenak.

Nisa mengalihkan tatapannya ke arah lain. Andai Aralia tahu, di dalam dukanya Nisa bukan hanya memikirkan kepergian Rena yang begitu mendadak, sebagian tangisnya untuk Aralia dan dalam doanya ia meminta agar sang maha kuasa memberi jalan yang terbaik untuk putrinya itu.

"Sayang, kau sudah mengenal Varga, dia pria yang sopan baik dan pengertian. Bukan hany—,"

"Ara tanya mama setuju?" Aralia menyela, satu satu jawaban yang ingin ia dengar adalah kata 'tidak' dari ibunya.

Nisa mengangguk, terdengar tarikan napas panjang dari Aralia, sedih.

"Tapi kembali pada kamu, Ra. Semua keputusan ada ditanganmu." Kata Nisa lembut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!