Andrea Kamila, seorang gadis berusia tujuh belas tahun. Pada awalnya merasa sangat beruntung karena memiliki keluarga yang begitu menyayanginya. Tapi suatu malam, Andrea mendapat fakta tentang statusnya yang selama ini dirahasiakan...
Malam hari yang cerah, namun terasa sunyi.
Di sebuah mansion mewah kediaman keluarga Jordan Firdaus. Pemilik Firdaus corp dan Darmawan grup, perusahaan terbesar di negara ini.
Tiga orang tengah berkumpul di sebuah kamar, seorang lelaki paruh baya dengan istrinya dan juga seorang gadis muda.
Gadis cantik berhijab itu menatap nanar pada kedua orang tuanya, mata bening milik gadis itu nampak berkaca-kaca. Baru saja dia tau tentang rahasia terbesar dalam hidupnya.
"Jadi benar Dea bukan anak kandung Ayah dan Bunda?" Tanya Andrea Kamila, atau biasa dipanggil Dea dengan bibir bergetar.
"Sayang, walaupun kamu bukan anak kandung Ayah dan Bunda, tapi kami sangat menyayangimu. Maafkan kami harus mengatakan ini, tapi kamu berhak tau semuanya." Ujar Zia, Bunda dari Dea.
Zia baru saja baru saja menceritakan tentang masa lalu Dea, tentang Dea yang sebenarnya adalah keponakannya bukan putrinya. Dea adalah anak dari kakak perempuan Zia yang bernama Farah, yang sudah meninggal ketika melahirkannya.
Tapi yang menyakitkan bukan hanya itu, ternyata Dea adalah anak dari hasil hubungan di luar nikah.
"Farah kakak perempuan Bunda, usia kami terpaut 5 tahun. Kami hanya tinggal berdua saja karena orang tua kami sudah meninggal. Kak Farah saat itu sudah bekerja di salah satu perusahaan dan menjabat sebagai sekretaris.
Diam-diam Kak Farah menjalin hubungan dengan atasannya sendiri. Mereka menjalin hubungan cukup lama. Bunda juga mengenal lelaki itu, sikapnya sangat baik. Wajar kalau Kak Farah begitu mencintainya. Sandi, namanya.
Sampai suatu hari, Kak Farah menangis, dan memberi tau Bunda kalau dia sedang mengandung anak dari kekasihnya.
Bunda begitu terkejut saat itu. Kak Farah bilang, ia direnggut kesuciannya oleh Sandi saat ada acara di perusahaan tempat mereka bekerja. Saat itu Kak Farah dipaksa minum oleh Sandi hingga akhirnya Kak Farah mabuk, dan mereka berakhir di sebuah hotel.
Awalnya Sandi hendak bertanggung jawab, dan meminta kami untuk menemui keluarganya meminta restu. Karena memang Sandi sengaja berbuat nekat sampai seperti itu agar hubungannya dengan Kak Farah disetujui oleh keluarganya. Tapi nyatanya keluarga Sandi tetap tidak bisa menerima Kak Farah karena bukan dari keluarga kaya. Dan Sandi sendiri telah dijodohkan oleh orang tuanya." Cerita Zia, sepasang netranya menerawang mengingat kejadian pahit itu. Dea terhenyak mendengarnya.
"Jadi benar kata orang-orang, kalau Dea sebenarnya anak haram?" Tanya Dea dengan nada kecewa. Ia ingat dulu, sewaktu kecil tak jarang orang-orang menyebutnya seperti itu.
"Tidak, Dea. Tidak ada kata seperti itu, semua anak terlahir suci. Kamu tetap anak Ayah dan Bunda. Jadi jangan pernah berfikiran seperti itu." Ucap Jordan Firdaus, sang Ayah.
"Dengar, Dea." Jordan memegang kedua lengan putrinya hingga keduanya saling bertatapan.
"Maaf jika kami telah menyakitimu dengan menceritakan semua ini. Kami hanya ingin tidak ada rahasia yang kami sembunyikan darimu. Jika suatu hari kamu menikah nanti, kamu pasti akan bertanya-tanya mengapa kamu menggunakan nama belakang ibu kandungmu, bukan nama Ayah. Daripada nantinya kamu lebih kecewa, sebaiknya kamu tau mulai sekarang. Dan kamu tidak perlu khawatir, Ayah dan Bunda akan selalu menyayangimu. Kami tetap menganggapmu seperti putri kandung kami sendiri, kami tidak akan membeda-bedakanmu dengan Farhan." Ucap Jordan, tangannya mengusap lembut rambut Dea yang tertutup hijab. Gadis itu mengangguk pelan.
"Tidak apa Ayah, justru Dea senang karena Ayah dan Bunda sudah mau jujur pada Dea. Terima kasih karena selama ini Ayah dan Bunda sudah memberikan status orang tua untuk Dea, dan terima kasih juga karena telah menyayangi Dea selama ini." Dea merangsek ke dalam pelukan Jordan, Zia juga ikut memeluknya.
"Kamu tetap putri kami, Dea." Ucap Zia, ketiganya terlarut dalam haru.
TOK TOK TOK
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian dan melerai pelukan mereka. Dea dan bundanya sibuk menghapus air matanya.
"Masuk!" Sahut Jordan.
Pintu terbuka, seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun masuk ke dalam kamar itu dengan membawa sebuah buku.
"Ayah, Bunda, Farhan cari ke mana-mana ternyata ada di sini." Kata Farhan sambil melangkah menghampiri kedua orang tuanya, tapi pandangannya langsung tertuju pada Dea.
"Kak Dea kenapa?" Tanya Farhan yang melihat mata kakak perempuannya memerah.
"Eh, tidak apa-apa. Memangnya kenapa?" Dea balik bertanya.
"Mata Kak Dea merah, Kak Dea habis menangis?" Tanya Farhan dengan tatapan menyelidik.
"Tidak, Farhan. Kakak tidak menangis, tadi Kakak hanya kelilipan." Dusta Dea, sementara pria kecil itu masih menatapnya curiga. Kelilipan? Tapi kenapa kedua mata kakaknya memerah?
"Farhan, ada apa cari Ayah dan Bunda?" Tanya Zia mencoba mengalihkan perhatian putranya. Farhan memang tidak mudah untuk di bohongi.
"Farhan ada tugas sekolah, Bunda. Dan Farhan tidak mengerti bagaimana cara mengerjakannya." Jawab Farhan sambil menunujukkan buku yang dibawanya.
"Oh, biar Kak Dea saja yang bantu." Dea meraih buku Farhan dan mengajak adik lelakinya duduk di atas lantai yang di alasi dengan karpet bulu.
"Ya sudah, Ayah dan Bunda kembali ke kamar ya? Farhan kalau sudah selesai juga langsung ke kamar dan istirahat, ini sudah malam." Ujar Zia sebelum keluar dari kamar putrinya.
"Iya, Bunda." Jawab Farhan diiringi anggukkan.
"Benar Kak Dea tidak apa-apa?" Farhan bertanya lagi setelah ayah dan bundanya pergi dari sana.
"Iya, Farhan. Ayo kita kerjakan tugasmu." Jawab Dea sambil mengusak rambut Farhan.
Dea nampak begitu serius membaca tugas sekolah adiknya. Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, soal itu lumayan sulit ternyata walau hanya pelajaran kelas 4 SD. Pantas saja Farhan tidak mengerti cara mengerjakannya, padahal adiknya itu salah satu murid yang terkenal pintar di sekolahnya.
"Kenapa, Kak?" Tanya Farhan yang melihat kakaknya hanya garuk-garuk kepala sambil mengernyitkan keningnya.
"Soalnya susah, Farhan." Jawab Dea jujur sambil terkekeh pelan.
"Kan memang susah, kalau mudah Farhan tidak akan minta bantuan." Farhan mencebik, Dea sama saja dengan dirinya.
"Masa Kak Dea tidak tau? Kak Dea kan sudah SMA." Tanya Farhan lagi, Dea dan Farhan terpaut usia tujuh tahun.
"Sebentar, Kak Dea cari petunjuk dulu." Dea membuka-buka halaman buku sebelumnya, dengan teliti ia membacanya.
"Nah! Ketemu!" Soraknya begitu menemukan cara mengerjakan soal itu.
"Ini jadi begini..." Dea menjelaskan dan Farhan menyimaknya dengan serius. Keduanya terlarut dengan buku pelajaran Farhan, sesekali Farhan bertanya saat ada bagian soal yang tidak dipahaminya.
"Bagaimana menurutmu, Zia?" Tanya Jordan begitu mereka berada di kamar.
"Ku rasa Dea bisa menerimanya, Mas. Yah walaupun Dea terlihat sedih. Tapi aku yakin, ini tidak akan menjadi beban fikiran untuk Dea." Jawab Zia sambil menyandarkan kepalanya di bahu Jordan.
"Andai orang tua kandung Dea tidak pergi secepat ini, aku pasti tidak akan mengatakan semua ini pada Dea sekarang." Ucap Jordan, tangannya mengelus lembut lengan Zia.
Hubungan Sandi dan Zia memang sudah membaik karena lelaki itu terus menerus memohon maaf pada Zia, Sandi merasa sangat menyesal dengan apa yang terjadi pada Farah. Hingga akhirnya hati Zia luluh dan memaafkannya, Zia juga mengizinkan Sandi beserta istrinya ikut merawat Dea.
Sayangnya ayah kandung Dea beserta istrinya meninggal dalam kecelakaan sebulan yang lalu. Saat itu Dea merasa sangat sedih karena kehilangan dua orang yang selalu ia panggil Papa dan Mama, tanpa Dea tau jika Sandi memang ayah kandungnya.
"Sudah takdirnya seperti ini, Mas. Mungkin kita memang diminta untuk segera jujur pada Dea." Ujar Zia sambil menghembuskan nafas beratnya ke udara.
"Terima kasih karena Mas dulu sudah menerima kami." Sambungnya sambil merengkuh pinggang Jordan.
Setelah Farah meninggal, Zia lah yang merawat Dea seorang diri, padahal dulu usianya baru tujuh belas tahun.
Zia ingat, kalau bukan karena Jordan yang menolongnya, tidak mungkin ia berada di kehidupannya yang sekarang. Mungkin saja dirinya dan Dea masih hidup dengan penuh derita dan caci maki dari orang-orang yang menganggapnya mempunyai anak tanpa suami.
"Aku mencintaimu dan juga Dea, dari dulu sampai sekarang. Jadi tidak perlu berterima kasih." Satu kecupan hangat mendarat di kening Zia.
"Aku juga mencintaimu, suamiku." Keduanya saling berpelukan erat. Walaupun usia pernikahan mereka sudah belasan tahun, cinta di antara mereka tidak pernah pudar dan terus bertambah setiap harinya.
_
_
_
Setelah selesai membantu Farhan, Dea membaringkan tubuhnya di tempat tidur.
Dea menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, hanya kepalanya saja yang menyembul keluar. Ini sudah tengah malam tapi matanya tak kunjung dapat terpejam. Fakta yang baru saja diterimanya, membuat Dea sulit untuk menutup mata.
"Dea tidak punya ayah! Dea tidak punya ayah!"
Kata-kata itu kembali terngiang di telinga Dea, saat di mana dirinya masih berusia lima tahun dan menjadi bahan ledekkan oleh anak-anak lainnya.
Dea menggenggam ujung selimutnya dengan perasaan getir.
"Kenapa? Kenapa harus seperti ini? Ayah dan Bunda yang selama ini aku bangggakan, nyatanya bukanlah orang tua kandungku. Aku adalah anak dari hubungan di luar nikah, ini terlalu menyakitkan untukku..."
...****************...
Pagi harinya di sebuah rumah minimalis bercat biru langit, kediaman keluarga Arya Firaz dan Rubby Az Zahra.
Rumah yang tidak pernah sepi karena ada tiga saudara kembar yang tinggal di sana, mereka selalu berdebat setiap harinya, lebih tepatnya dua orang yang selalu berdebat.
Dua orang pemuda berwajah serupa berdiri di bawah tangga. Dengan mengenakan seragam sekolah, menunggu seseorang yang begitu lama keluar dari kamarnya. Yang satu nampak tenang-tenang saja dan yang lain sudah menekuk wajahnya.
"Kak, cepat panggil dia." Pinta salah seorang di antara mereka.
"Iya, iya." Jawab Arby, si sulung dari tiga bersaudara kembar itu.
"Firza! Cepat! Nanti kita terlambat!" Teriak Arby memanggil adik kembarnya.
"Sebentar, Kak!" Terdengar sahutan dari balik pintu.
Tak lama kemudian seorang gadis muda berhijab turun dari tangga dengan tergesa-gesa, dengan sebuah tas ransel di punggungnya dan juga beberapa buku di tangannya.
"Lama sekali." Celetuk Zahfi yang merupakan anak kedua begitu Firza sampai di depan mereka.
"Berisik! Kak Arby juga tidak protes!" Tukas Firza, si bungsu dan satu-satunya perempuan di antara mereka.
"Apa saja sih yang kamu lakukan? Pakai make up dulu? Kita ini mau sekolah, bukan mau fashion show." Tanya Zahfi sinis.
"Aku tidak pernah make up, Kak Zahfi. Wajahku ini kan cantik alami, jadi tidak perlu make up." Jawab Firza sombong, Zahfi langsung mendelik mendengarnya. Percaya diri sekali adiknya itu, padahal faktanya juga memang begitu.
"Tadi aku cari buku dulu, ada temanku yang mau pinjam." Lanjut Firza.
"Alasan!" Tukas Zahfi.
"Astagfirullah, Kakakku yang satu ini kenapa ketus sekali..." Ucap Firza sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Walaupun saudara kembar, tapi sifat dan karakter mereka jauh berbeda. Arby Ibrahim Firaz, si sulung yang selalu nampak tenang dan ramah pada siapa saja. Zahfi Ibrahim Firaz, anak kedua yang terkenal datar dan dingin, kata-kata yang meluncur dari mulutnya juga selalu pedas. Sedangkan Firza Mikaila Firaz si bungsu, gadis yang baik hati namun manja dan juga cerewet.
"Sudah, kenapa kalian jadi ribut? Ayo kita sarapan, Ayah dan Bunda sudah menunggu kita di ruang makan." Si sulung Arby melerai perdebatan tidak penting kedua adik kembarnya dan menarik tangan keduanya menuju meja makan.
Segalak-galaknya Zahfi, dia akan tetap menurut pada Arby karena bagaimanapun Arby tetaplah kakaknya walau mereka hanya beda beberapa menit saja saat lahir.
"Gara-gara kamu aku jadi terlambat sarapan." Gerutu Zahfi sambil mendaratkan tubuhnya di kursi makan.
"Kalau Kak Zahfi sudah lapar, Kak Zahfi bisa sarapan lebih dulu." Sahut Firza sambil melirik sinis pada Zahfi.
"Ayah dan Bunda tidak akan mengizinkan kita memulai sarapan sebelum anak-anaknya lengkap dan duduk manis di meja makan." Timpal Zahfi tak kalah sinisnya.
"Hei, hei apa yang kalian ributkan?" Tanya Arya, sang ayah yang baru datang dari dapur setelah tadi membantu istrinya menyiapkan sarapan.
"Kak Zahfi nya, Ayah. Dari tadi marah-marah terus, galak sekali dia." Firza mengadu dengan nada manjanya.
"Kamu yang selalu lama. Masa setiap pagi kami harus menunggumu dulu." Sahut Zahfi sambil bersungut.
"Sudah ku bilang, tadi aku cari buku dulu." Timpal Firza tak mau kalah.
"Masa iya setiap pagi harus dadakan cari buku? Kenapa tidak dari semalam kamu siapkan? Apa saja yang kamu kerjakan semalam?" Tanya Zahfi beruntun, sementara Arby hanya menyimak kedua adiknya yang kembali berdebat.
"Aku kan ingatnya baru sekarang, kalau semalam aku tidak ingat apa-apa jadi langsung tidur saja." Jawab Firza sekenanya.
Arya hanya bisa menghela nafas panjang ke udara melihat kelakuan anak-anak kembarnya, ada saja yang selalu mereka ributkan setiap harinya.
"Kenapa Mas?" Tanya Rubby, sang istri yang baru ikut bergabung.
"Seperti biasa, mereka selalu saja ribut." Arya menggeleng sambil memijat pangkal hidungnya dengan jari telunjuknya. Sedangkan Rubby malah tersenyum.
"Sabar. Mereka kan memang seperti itu, tapi dengan begini kan rumah kita jadi ramai." Ucap Rubby sambil mengelus lembut lengan suaminya.
"Tapi Zahfi memang mirip denganmu, Mas." Sambung Rubby setengah berbisik, Arya langsung merengut mendengarnya.
Memang Arya sewaktu muda terkenal dingin dan galak, tapi rasanya dirinya dulu tidak seketus dan segalak Zahfi, mungkin hanya sedikit mirip saja.
"Ya, ya kamu benar. Sudah, ayo kita sarapan." Arya mengalah saja, ia menuju kursinya dan duduk di sana, sedangkan Rubby duduk di sampingnya. Sementara Zahfi dan Firza masih saling melempar lirikan sinis.
"Kita tidak akan sarapan sebelum kalian berdua saling meminta maaf." Titah Arya sambil menatap Zahfi dan Firza bergantian.
"Ayah..." Firza merengek dan mengerucutkan bibirnya menatap malas ke arah Zahfi yang ternyata tengah menatapnya juga.
"Ayo Zahfi, Firza, apa kalian tidak dengar apa kata Ayah?" Tanya Rubby.
Dengan malas Firza bangun dari duduknya dan mengulurkan tangannya. Bagaimanapun dirinya yang paling muda, jadi menurut hukum alam dia lah harus meminta maaf lebih dulu.
"Maaf." Ucap Firza malas.
"Minta maaf yang benar, Firza." Ujar Rubby yang melihat putrinya itu ogah-ogahan. Firza menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Kakakku Zahfi Ibrahim Firaz, maafkan adikmu ini." Ucap Firza sambil memasang senyum secerah mentari di wajahnya. Arby yang melihatnya malah ingin tergelak. Sedangkan Zahfi masih memasang wajah datar tapi ia tetap ikut bangun dari duduknya.
"Adikku Firza Mikaila Firaz. Aku juga minta maaf." Katanya sambil menyambut uluran tangan adik perempuannya. Keduanya bersalaman kemudian saling melempar senyum. Walau senyum Zahfi setipis tisu dibagi dua.
"Nah, begini kan enak. Kalian itu bersaudara, jadi harus akur. Mengerti?" Tanya Rubby sambil menatap anak-anaknya bergantian.
"Mengerti, Bunda." Sahut ketiganya serentak.
Ya walaupun mereka sering ribut, atau lebih tepatnya Zahfi dan Firza yang selalu berdebat, tapi sebenarnya mereka saling menyayangi satu sama lain.
"Ya sudah, kita mulai sarapannya."
Seperti bisa, Rubby melayani suaminya terlebih dahulu kemudian disusul dengan anak-anaknya.
Selesai sarapan mereka berempat sudah siap untuk berangkat. Arya mengantarkan ketiga anaknya ke sekolah lebih dulu, baru mengantar Rubby ke toko kue miliiknya.
Arya dan Rubby memiliki tempat usaha masing-masing. Arya memiliki coffe shop dan rumah makan, sedangkan Rubby memiliki toko kue yang bernama Rubby's Cake.
Setiap harinya mereka selalu mengantar jemput anak-anak mereka. Selama masih sekolah, Arya belum mengizinkan mereka untuk membawa kendaraan sendiri walaupun semua anaknya sudah bisa menyetir dan memiliki SIM. Usia saudara kembar itu sendiri sudah menginjak tujuh belas tahun.
_
_
_
Mobil hitam yang Arya kendarai berhenti tepat di depan gerbang sekolah.
"Kami masuk dulu ya Ayah, Bunda." Pamit Arby, Zahfi dan Firza. Mereka mencium punggung tangan orang tuanya bergantian.
"Iya, belajar yang benar ya. Ingat, sekolah itu untuk belajar." Pesan Rubby.
"Iya, Bunda." Jawab ketiga remaja itu bersamaan. Arya dan Rubby kembali ke mobil setelah memastikan ketiga anaknya masuk ke sekolah.
"Tidak terasa ya, Mas. Anak-anak kita sudah kelas tiga SMA dan sebentar lagi lulus dan kuliah. Rasanya baru kemarin kita menggendong mereka." Ucap Rubby begitu masuk ke dalam mobil, Arya meraih jemari istrinya dan menggenggamnya erat.
"Kamu ibu yang hebat." Ucap Arya sambil mengecup tangan Rubby.
"Dan aku tidak bisa menjadi ibu yang hebat tanpamu, Mas. Mas Firaz adalah ayah yang terbaik." Netra di balik kacamata itu menatap Arya penuh cinta.
Arya Firaz, pria pertama dan satu-satunya yang berhasil menaklukan hatinya bahkan saat pertama kali bertemu.
"Jangan menatapku seperti itu, Rubby. Atau kita tidak akan pergi bekerja." Ujar Arya, Rubby langsung tergelak.
"Sudah ayo cepat, antar aku ke toko kue." Ajaknya, kalau tidak mereka pasti akan menghabiskan waktu di rumah.
_
_
_
Di sekolah
Firza langsung mengambil langkah sendiri begitu memasuki kawasan sekolah. Ia tidak mau terus menempel pada kedua kakak kembarnya meskipun mereka satu kelas. Gadis itu mengedarkan pandangannya mencari seseorang.
"Dea!" Panggilnya begitu melihat sahabatnya sedang berjalan seorang diri di koridor. Firza langsung berlari kecil menghampirinya.
"Hai, Firza." Sapa Dea dengan senyum tipis di wajahnya.
"Hai juga, Dea." Firza menyapa balik.
"Ini, buku yang ingin kamu pinjam." Firza menyerahkan beberapa buah buku yang dibawanya pada Dea.
"Terima kasih." Ucap Dea sambil memasukkan buku-buku itu ke dalam tasnya, keduanya berjalan beriringan.
"Kamu kenapa?" Tanya Firza, ia merasa Dea berbeda. Lebih banyak diam, tidak seceria hari biasanya.
"Tidak apa-apa." Jawab Dea sambil meneruskan langkahnya.
"Jangan bohong!" Firza berhenti dan menangkup wajah sahabatnya.
"Aku tidak bohong, Firza." Jawab Dea sambil menatap sepasang netra Firza. Ada sorot kesedihan di mata bening Dea.
"Sepertinya ada yang kamu sembunyikan dariku?" Tanya Firza dengan tatapan menyelidik. Mereka sudah lama bersahabat, jadi baik Dea maupun Firza pasti hafal jika ada masalah dengan sahabatnya.
"Tidak ada, Firza." Jawab Dea. Dea sudah memutuskan, untuk masalahnya kali ini ia tidak ingin berbagi dengan siapapun, termasuk Firza.
"Kamu..."
PUK!
Ucapan Firza terputus karena seseorang menepuk bahunya, gadis itu langsung menoleh.
"Minggir! Ini jalanan umum, jangan seenaknya berhenti di tengah jalan!" Seru Zahfi yang mau lewat bersama Arby. Firza memutar bola matanya malas.
"Ih, Kak Zahfi ini. Itu jalanan masih lebar, Kak Zahfi kan bisa lewat sana." Firza menunjuk jalanan kosong di sampingnya.
"Tapi aku mau lewat sini, kamu yang minggir." Sahut Zahfi tak mau kalah. Firza baru akan membuka mulutnya ingin menimpali ucapan Zahfi, tapi Dea menarik lengannya untuk menepi.
"Sudah, Firza. Kita yang salah, kita yang sudah berhenti di tengah jalan." Ucap Dea.
"Dengar itu kata temanmu, kalian yang salah." Zahfi menimpali, dan melanjutkan kembali langkahnya. Firza mengepalkan tangannya ke udara, merasa gemas dengan saudara kembarnya itu. Tidak di rumah, tidak di sekolah, selalu mencari masalah saja dengannya.
"Ayo cepat masuk. Sebentar lagi bel akan berbunyi." Ucap Arby, pemuda itu melirik ke arah Dea sekilas yang ternyata tengah menatapnya. Arby tersenyum tipis pada gadis itu kemudian melanjutkan langkahnya menuju kelas.
"Iya, Kak." Sahut Firza. Dea menatap punggung Arby yang menjauh dengan pandangan yang tak biasa.
"Ayo, Dea! Kita masuk!" Ajak Firza membuyarkan lamunan Dea tentang Arby.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!