NovelToon NovelToon

Anak Genius Dari Istri Yang Tak Perawan

1 : Kembali Bertemu

“Pak Riko, saya ini janda. Saya memiliki seorang putra yang kini berusia empat tahun. Selain itu, saat saya masih kecil, saya juga pernah menjadi korban pe*lece*han se*ksu*al oleh ayah tiri saya.”

“Dulu, ... saya pernah menikah, tapi karena saya tidak pe*rawan dan itu efek dari pelecehan seksual yang saya alami sewaktu saya masih kecil, pria yang menikahi saya sengaja membatalkan pernikahan kami, tepat setelah saya mengabarkan kehamilan saya.”

“Jadi, mohon Pak Riko merenungi niat baik Pak Riko karena saya bukan wanita lajang apalagi perawan, seperti yang kebanyakan laki-laki inginkan menjadi pasangan, istri sekaligus ibu dari anak-anak kalian.”

Suara lembut seorang wanita dari salah satu ruang VIP restoran ternama yang tengah Devandra kunjungi, membuat pria itu ingin mengetahui lebih banyak lagi. “Suaranya seperti tidak asing?” yakinnya lirih sembari memutus sepihak sambungan telepon yang masih berlangsung di ponselnya.

Sementara itu, di tempat berbeda, seorang wanita cantik tak kalah necis dari wanita yang sempat menjelaskan panjang lebar kepada pria bernama pak Riko di dalam salah satu ruang VIP restoran Devandra berada, jadi kurang fokus dengan kemudinya.

“Hallo? S-sayang ...? Devandra sayang, kok s-sepi?” keluh wanita cantik bernama Gissel dan berusaha memastikan layar ponselnya, hingga ia tak sengaja menabrak seorang Bocah yang tengah menyeberang.

“Buuuuuuuugggg!” Tubuh bocah laki-laki yang tertabrak Gissel langsung terpental jauh dan berakhir terjatuh di aspal. Bersamaan dengan itu, di dalam salah satu ruang VIP restoran mewah, wanita yang menjadi lawan bicara pak Riko, tak sengaja menyenggol gelas berisi air putih dan berakhir pecah di lantai.

“Nanda sayang, kenapa firasat Mamah mendadak jadi enggak enak begini? Kamu baik-baik saja, kan?” batin wanita bernama Malini dan sudah langsung termangu, menatap pedih pecahan gelas di lantai sebelahnya, seiring hatinya yang terasa teriris. Benar-benar sakit.

“Ibu Malini, Ibu Malini baik-baik saja?” sergah pak Riko—pria berkacamata bening berparas gagah dan kiranya berusia di awal kepala tiga.

Apa yang pak Riko lakukan memang sama sekali tidak membuat Malini terusik. Namun dering tanda telepon masuk dari ponsel yang menghiasi tas hitamnya, sudah langsung mengusik wanita cantik bertubuh mungil itu.

Ketika Malini menjawab telepon masuk, di luar, di depan pintu ruang VIP Malini berada dan memang tidak tertutup rapat hingga seorang Devandra bisa melihat punggung ramping Malini, pria itu juga menerima telepon dari kontak : Gissel ❤️.

“S-sayang ... Devandra sayangku, aku nabrak anak kecil!” ucap suara wanita dari seberang sana dan terdengar sangat panik.

“Apah ...?” ucap Malini yang refleks berdiri dari duduknya. Wanita itu sudah langsung kacau. Butiran bening tak hentinya mengalir dari kedua sudut matanya, membasahi pipi mulusnya. “N-nanda ... N-nanda, kecelakaan?!” Malini sempat hilang arah, gemetaran, bahkan sempoyongan. Namun beberapa detik kemudian, wanita berambut lurus selengan itu segera menenteng tasnya kemudian pergi dari sana.

Malini mengabaikan pak Riko, tapi berakhir menabrak punggung Devandra dan kebetulan tengah mulai melangkah meninggalkan area depan pintu ruangan yang baru Malini tinggalkan.

Tas kerja yang Malini tenteng berakhir terjatuh bersama tubuh Malini yang telanjur lemas setelah mendengar sang putra semata wayang, mengalami kecelakaan.

“Maaf ... maaf!” ucap Devandra buru-buru mengantongi ponselnya ke dalam saku bagian dalam jas abu-abunya. Namun ketika akhirnya tatapannya bertemu dengan sosok wanita yang ia tabrak dan sebelumnya sempat mencuri perhatiannya hanya karena suaranya, ia langsung bingung sebingung-bingungnya.

“M-malini ...?” batin Devandra yang juga jadi tidak berani untuk sekadar melirik Malini.

Bukan hanya Devandra yang seketika merasa dunianya menjadi berhenti berputar. Sebab hal yang sama juga Malini rasakan seiring ingatannya yang dihiasi adegan menyerupai sebuah film lawas. Mereka seolah tengah terjebak dalam adegan slow motion sekaligus interaksi dalam yang benar-benar menyakitkan.

“Kamu sudah enggak perawan? Apa maksud dari semua ini? Kamu menipuku karena ternyata, kamu sudah terbiasa berhubungan s*ek*sua*l dengan sembarang lelaki? Demi apa pun, aku beneran enggak bisa toleransi ini, Malini. Mulai sekarang juga, kamu bukan istriku! Mulai sekarang juga, kita sudah bukan siapa-siapa lagi!”

“Tes DNA dan buktikan jika itu memang anakku karena saat malam pertama saja, ternyata kamu sudah tidak perawan!”

Kedua pernyataan tersebut masih diucapkan oleh sosok sekaligus seorang pria yang masih sama di kesempatan berbeda, dan ditujukan kepada Malini. Seorang pria yang kini ada di hadapan Malini. Iya, pria itu Devandra, yang menjadi tidak berani menatap Malini lagi.

Tanpa pamit bahkan sekadar basa-basi, Malini yang teringat nasib sang putra, memilih pergi. Namun bersamaan dengan itu, ingatannya terus dihiasi kebersamaan manis antara dirinya dan Devandra, di masa lalu. Ingatan manis yang juga diakhiri dengan hal tragis dan itu mengenai keputusan Devandra menghapus hubungan mereka.

***

Sekitar lima tahun lalu, Malini dan Devandra memang sempat menikah. Namun tepat setelah mereka menjalani malam pertama, Devandra sudah langsung menjatuhkan talak hanya karena Malini sudah tidak perawan. Karena bagi Devandra, keperawanan menjadi harga mati seorang wanita layak dicintai.

Meski Malini sempat berusaha meyakinkan, berusaha mempertahankan hubungan mereka karena Malini sangat yakin, dirinya benar-benar baru melakukan hubungan se*ks*ual dan itu dengan Devandra di malam pertama mereka, fakta bahwa saat masih kecil, Malini pernah menjadi korban pele*ceh*an se*ks*ual oleh ayah tirinya dan baru Malini ketahui setelah Malini sibuk mencari informasi kenapa ia sampai sudah tidak perawan, langsung membuat Malini jijik kepada dirinya sendiri. Karenanya, saat itu Malini menyanggupi perceraian yang Devandra minta, terlebih Malini ingin melihat pria yang sangat ia cintai itu bahagia bersama wanita terbaik.

Namun selang satu bulan setelah pernikahan, Malini justru dinyatakan hamil, sementara proses perceraian juga masih bergulir. Meski karena kehamilan tersebut pula, Devandra justru membatalkan sekaligus meniadakan pernikahan mereka, hanya karena pria itu tidak mau dimanfaatkan statusnya untuk anak yang sedang Malini kandung.

Kini, hampir satu jam berlalu, akhirnya Malini sampai di lorong rumah sakit Ananda ditangani. Sepanjang perjalanan bahkan sampai sekarang, Malini yang sangat kacau dan tak kuasa mengakhiri air matanya, juga masih menempelkan ponselnya di telinga kanan.

Seorang wanita cantik bertubuh semampai dan gaya penampilannya menyerupai model papan atas, ada di depan pintu IGD Ananda tengah ditangani. Itu Gissel yang memang telah menabrak Ananda akibat kelalaiannya dalam mengemudi.

Malini yakin wanita tersebut yang telah menabrak putra semata wayangnya, tapi Malini hanya menatapnya sekilas. Malini memilih buru-buru masuk dan berakhir ambruk ketika mendapati sang putra terbaring tak sadarkan diri, di ranjang rawat.

Seragam pendek berwarna putih kuning yang Ananda pakai sudah tak berupa, benar-benar berwarna darah. Termasuk ketika tatapan Malini naik dan berakhir di wajah tampan sang putra, maupun kepala berambut lurus tebal dan sangat mirip dengan Devandra, kepala dan wajah itu juga sudah berlumur darah segar.

“Bu Malini,” ucap seorang pria paruh baya berseragam biru gelap khas seorang sopir. Ia menghampiri sang majikan yang sudah terlihat sangat kacau, berantakan.

“Ibu, Ibu ini mamahnya pasien? Begini Bu, ... putra Ibu dalam keadaan kritis, selain putra ibu yang kehabisan darah. Sementara setelah kami cek, Ananda memiliki golongan darah spesial dan kabar terbu*ruknya, stok darah yang bisa didonorkan untuk Ananda sedang kosong,” jelas seorang perawat yang sudah langsung menghampiri Malini.

Langit kehidupan Malini seolah langsung runtuh setelah mendengar kabar tersebut. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar hancur, meski ia memang sudah berulang kali mengalami cobaan yang membuatnya hancur.

“Mas Devandra ...,” lirih Malini refleks. Benar-benar hanya pria itu yang bisa menyelamatkan putranya karena golongan darah spesial Ananda juga putranya warisi dari pria yang telanjur tidak mengharapkan kehadiran Ananda, hanya karena bocah tak berdosa itu dikandung oleh istri tak perawan layaknya dirinya.

Demi sang putra selaku alasannya bertahan, Malini berniat menemui Devandra detik itu juga, meski Malini juga tahu, kini, Devandra sedang mempersiapkan pernikahan dengan wanita pilihan pria itu. Wanita yang jujur saja belum Malini ketahui sosok maupun asal usulnya.

“Sayang ... akhirnya kamu datang. Aku beneran takut!”

Suara manja seorang wanita, terdengar dari sebelah pintu IGD, bertepatan dengan Malini yang membukanya secara buru-buru dari dalam. Yang membuat jantung Malini seolah diremas, tepat di saat itu juga tatapannya tak sengaja bertemu dengan tatapan mata tajam milik seorang Devandra. Bahkan, wajah mereka berhadapan, sangat dekat. Meski dagu Devandra justru mengunci bahu wanita pelaku penabrak Ananda. Karena kini, Devandra tengah mendekap penuh sayang wanita itu!

Batin Malini benar-benar terguncang. Malini sungguh tidak baik-baik saja.

2 : Donor Darah Dan Tes DNA

Malini sudah langsung menyimpulkan, wanita bernama Gissel dan disebut oleh sopir yang mengurus Ananda sebagai pelaku penabrak Ananda, justru merupakan calon istri Devandra. Wanita yang juga berdalih akan bertanggung jawab penuh, sekaligus menyelesaikan kelalaiannya dalam mengemudi hingga membuat Ananda kritis, secara kekeluargaan. Gissel berjanji akan menanggung semua biaya, bahkan menganggap Ananda sebagai keluarganya.

Hanya saja, Malini tidak bisa memaafkan siapa pun yang telah melukai bahkan membuat nyawa putranya terancam. Malini sungguh akan memberi wanita seperti Gissel yang bisa saja membahayakan nyawa lain di luar sana, hanya karena kelalaiannya, pelajaran.

Bagi Malini, uang dan kedudukan benar-benar tidak akan menyelesaikan perkara apalagi mengembalikan nyawa, termasuk itu nyawa Ananda. Harus ada tindakan nyata agar bisa meninggalkan efek jera. Karena jika kata maaf sekaligus penyelesaian secara kekeluargaan bisa menyelesaikan masalah, kenapa harus ada polisi, penjara, dan juga aparat hukum lainnya?

Renungan yang baru saja Malini lakukan sukses membuat tubuhnya seolah dipanggang. Malahan andai menimbulkan efek karena emosi yang telanjur pecah terlebih kelalaian Gissel benar-benar tidak bisa ditoleransi, tubuh Malini pasti sudah mengobarkan api.

“Pak Devandra, saya ingin bicara!” tegas Malini yang sudah menatap Devandra dengan tatapan marah.

Devandra sendiri tidak berani menatap Malini terlebih dengan keadaannya yang sedang berpelukan dengan wanita lain.

Terkejut, itulah yang Gissel rasakan lantaran wanita yang baru keluar dari IGD bocah yang ia tabrak ditangani, justru memanggil nama Devandra. “Kok wanita ini kenal Dev? Dia tahu nama Dev? Tapi jika melihat penampilannya yang mirip wanita karier, sepertinya mereka kenal karena mereka rekan bisnis. Iya, semoga mereka memang rekan bisnis agar aku bisa lebih mudah keluar dari zona enggak nyaman ini. Sumpah aku beneran enggak mau berurusan dengan polisi dan bisa bikin karier aku terancam!” batin Gissel. Devandra baru saja menepuk-nepuk punggungnya kemudian menyusul Malini yang sudah lebih dulu melangkah pergi menuju lorong sebelah.

Melihat dari gaya Malini yang bertubuh mungil dan memiliki tatapan sangat dingin, Gissel yakin, Malini merupakan wanita karier dan memiliki perjalanan karier yang cemerlang. Selain itu, Gissel juga yakin, Devandra calon suaminya bisa meyakinkan Malini untuk menyelesaikan kasusnya secara kekeluargaan.

Malini sengaja berhenti di depan tangga darurat. Ia masih membelakangi kedatangan Devandra di tengah suasana yang sepi dan dirasanya cukup aman untuk menyelesaikan perkara mereka. Meski Malini juga sadar, perkara mereka tidak akan langsung selesai dalam sekali temu. Terlepas dari semuanya, Malini juga tidak percaya jika pertemuan mereka setelah lima tahun berlalu, justru karena tragedi yang menjadikan nyawa Ananda sebagai taruhannya.

Melihat punggung mungil Malini yang tetap agak membungkuk membelakangi kedatangannya, dan makin lama makin memenuhi pelupuk matanya, perasaan seorang Devandra makin campur aduk. Namun, Devandra juga sudah langsung tak percaya ketika Malini yang akhirnya balik badan menghadapnya, mendadak berlutut.

Tanpa menatap Devandra karena Malini yang sampai detik ini masih berlinang air mata memilih menunduk, wanita berwajah dingin itu berkata, “Aku mohon, tolong sumbangkan darahmu. Anakku sedang kritis dan sekarang dia sangat butuh darah kamu. Hanya kamu yang bisa menolongnya karena donor darah untuk golongan darah spesial yang dia miliki stoknya sedang habis.” Namun tanpa direncanakan, tatapan dendam yang juga menahan rasa putus asanya, berangsur naik. Dada bidang milik Devandra memenuhi tatapannya, tapi yang langsung ia tuju adalah kedua mata tajam Devandra. Kedua mata yang dulu pernah menatapnya penuh cinta sekaligus emosi itu, kini menatapnya dengan tatapan yang sulit ia artikan. Kali ini, tatapan Devandra kepadanya cenderung tak sudi. Dan lagi-lagi Devandra menepis tatapannya. “Dia memiliki golongan darah spesial sepertimu. Bahkan dia mengidap katarak kontinental, ... sepertimu ....”

Seorang pria yang mengenakan seragam basket merah hitam, dan tengah duduk di anak tangga darurat, sudah langsung terusik hanya karena nada putus asa dari Malini. Pria bermata biru dan rambutnya yang ikal mirip jambul buah nanas, sudah langsung melongok dan membuatnya mendapati punggung mungil Malini yang dibalut jas abu-abu. Kemudian, tatapan penasarannya berangsur teralih pada sosok di hadapan Malini.

“Tes DNA dan buktikan jika itu memang anakku karena saat malam pertama saja, ternyata kamu sudah tidak perawan!” marah Devandra kepada Malini yang mendadak berlutut sekaligus memohon kepadanya. Balasan yang juga masih sama persis dengan lima tahun lalu, ketika Malini mengabarkan kehamilannya.

Mendengar itu, Malini terdiam membeku menatap Devandra layaknya patung hidup. “Golongan darah sama dan penyakit keturunan juga masih sama, ... semua itu belum cukup?” ucapnya tak habis pikir dengan suara yang tertahan di tenggorokan. Setelah kedua matanya yang menatap tak habis pikir Devandra mengerjap, butiran bening mendadak berjatuhan lebih sering, dari kedua ujung matanya.

Pria di anak tangga belakang Malini dan dahinya diplester, berangsur berdiri meski hal itu membuatnya terpincang-pincang. Namun pria bernama Jason itu langsung tercengang ketika Malini yang berangsur berdiri, menarik sebelah lengan Devandra, tapi dengan cepat tubuh Malini terban*ting karena Devandra menghempaskannya dengan kasar. Padahal untuk menyingkirkan tangan Malini yang bertubuh mungil, tanpa harus mengeluarkan tenaga, bagi Jason itu sudah lebih dari cukup. Alasan itu juga yang membuatnya maju karena hatinya tergerak seiring tatapannya yang menatap miris kejadian di hadapannya.

“Aku sudah akan menikah dan aku yakin kamu tahu itu. JADI TOLONG, JANGAN MENGGANGGU KEBAHAGIAAN YANG SUSAH PAYAH AKU BANGUN!” marah Devandra.

Kemarahan Devandra benar-benar mencabik hati Malini. “Darah dagingmu sedang kritis dan itu karena ditabrak oleh calon istrimu, Dev! Di mana hati nurani kamu, sementara orang lain saja menangis melihat keadaannya!”

“Apa golongan darahnya?” Jason sengaja menyela ucapan Malini. “Aku memiliki banyak kenalan manusia dengan golongan darah yang berbeda, termasuk golongan darah spesial maupun langka.” Jason bahkan sengaja menuntun Malini. “Jangan pernah berurusan apalagi memohon kepada manusia yang tidak punya hati sepertinya. Cukup lempar saja kasus ini ke polisi. Dari kasus calon istrinya yang telah menabrak darah dagingmu, juga kasusnya yang telah menelantarkan darah daging sendiri. Jangan lupa diviralkan biar mereka juga mendapatkan sangsi sosial! Biar mereka diawasi sekaligus dihakimi oleh seluruh dunia!” Jason mengakhiri ucapannya dengan menatap tajam Devandra. Detik itu juga dunia mereka mendadak berputar lebih lambat layaknya adegan slow motion.

Sekitar setengah jam kemudian, Jason sungguh sudah mendatangkan temannya yang memiliki golongan darah sama, dengan Ananda. Malini merasa sangat bersyukur atas kenyataan tersebut, meski wanita itu tetap belum bisa bernapas lega apalagi baik-baik saja karena sang putra belum melewati masa kritis. Ananda masih di ruang operasi.

Sampai detik ini, di ruang tunggu, Malini tidak hanya sendiri. Malini ditemani keluarganya yang di Jakarta, selain Devandra yang juga masih ada di sana. Hanya saja, alasan Devandra di sana bukan untuk Ananda apalagi Malini. Melainkan untuk menemani Gissel dan sampai detik ini masih menempel, memeluk erat Devandra.

Sekitar satu jam kemudian, selain Ananda yang akhirnya keluar dari ruang operasi, polisi yang Malini panggil atas kasus anaknya, juga datang. Polisi tersebut langsung menghampiri Gissel, memboyongnya pergi. Malini mengirim Tuan Mahesa dan sopir Ananda, untuk ikut serta memberikan kesaksian.

3 : Si Buta yang Enggak Punya Papah

Dunia Devandra seolah berputar lebih lambat ketika pandangannya yang menoleh ke belakang, dan itu keberadaan ranjang rawat Ananda tergolek tak sadarkan diri. Wajah Ananda, wajah dari anak Malini selaku wanita yang langsung ia buang sejak ia ketahui sudah tak perawan, benar-benar mirip dengan wajahnya!

Dada Devandra langsung kebas, bergemuruh, dan membuat pria berahang tegas itu merasa sangat tidak nyaman. “Dia benar-benar anakku?” pikirnya. Namun karena dari depan, Gissel tak hentinya merengek manja, minta didampingi sekaligus diselamatkan, ia tak memiliki pilihan lain selain mengakhiri pandangannya kepada Ananda yang sudah dikawal Malini. Ia memutuskan menyusul Gissel dan menutup rasa ingin tahunya kepada Ananda.

“Sekejam ini kamu ke Nanda, Mas!” batin Malini benar-benar dendam. “Jangan salahkan takdir jika kamu sampai dibenci oleh anakmu sendiri!”

***

“Papah ....” Itulah kata pertama yang keluar dari bibir mungil Ananda, ketika akhirnya bocah itu tersadar.

Pandangan Ananda masih kabur, benar-benar tidak jelas. Namun, ada sosok bertubuh tegap berpenampilan santai dan sampai detik ini masih belum pergi dari pandangannya.

Biasanya, keadaan seperti itu, yaitu pandangan Ananda yang akan menangkap bayang-bayang sosok pria, dan Ananda yakini sebagai sang papah yang akhirnya datang, hanya akan berlangsung sesaat. Karena biasanya, selalu saja bayang-bayang yang Ananda harapkan sebagai papahnya, justru hilang tak mau menemuinya. Namun kali ini, sosok pria berambut nanas itu malah menghampirinya.

Sosok pria tersebut merupakan Jason. Pria itu tak segan jongkok hanya agar bisa membuat wajahnya dekat dengan wajah Ananda, guna mempermudah komunikasi mereka. “Hai Boy ... kamu sudah merasa lebih baik? Kamu harus cepat sehat, ya. Biar kamu bisa jagain mamah kamu!”

“Papah ...? Apakah kamu Papah aku?” tanya Ananda yang berusaha duduk, tapi sampai detik ini, pandangannya jauh dari kata jelas. Ia begitu antusias lantaran kali ini, selain menghampirinya, sosok yang ia yakini sebagai papahnya juga sampai mengajaknya berbicara!

Jason yang segera merangkul punggung Ananda, menjadi memiliki penilaian lain atas keadaan sang bocah yang tampak jelas berusaha mengenali wajahnya. “Apakah anak ini sama sekali belum pernah melihat papahnya? Namun jika mengingat pertemuan kedua orang tuanya kemarin, tampaknya pria sint*ing itu memang lepas tanggung jawab dari awal. Jadi, kemungkinan mereka saling bertemu bahkan pernah bertemu, tampaknya juga tidak ada,” pikir Jason.

“Pah, ... aku janji aku mau operasi katarak lagi, asal Papah tetap bersamaku. Asal Papah mau bersama kami. Aku dan mamah benar-benar butuh Papah. Aku sudah capek dipanggil ‘si buta yang enggak punya papah’. Karena di saat mamah tahu itu, Mamah akan kembali sedih.” Ananda tersedu-sedu, mengadu sekaligus memohon kepada Jason yang tetap tidak bisa ia lihat karena katarak bawaan sejak lahir dan telah membuatnya kerap menjalani operasi pergantian lensa mata.

Sejak lahir, Ananda memang mengidap katarak kongenital, dan itu menjadi salah satu yang Ananda warisi dari keluarga sang papah. Katarak kongenital sendiri merupakan kelainan yang biasa ditemukan di bagian lensa mata, dengan adanya keruh di sekitar lensa yang membuat bayi kesulitan melihat dengan jelas. Masalah, seorang pengidap katarak, tetap memiliki kemungkinan kembali terkena katarak, sementara satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan itu ialah menjalani operasi pergantian lensa mata lagi. Itulah yang dialami oleh Ananda, tapi jika bocah itu tetap tidak bisa bersama papahnya dan membuat papahnya bersama-sama dengannya sekaligus sang mamah, Ananda memilih buta dan perlahan mati agar tidak membuat mamahnya sedih lagi.

“Kalau Papah tetap enggak mau sama-sama kami, aku enggak mau operasi mata lagi. Lebih baik aku buta kemudian mati agar mamah enggak sedih-sedih lagi!” Ananda makin tersedu-sedu dan tampak sangat sedih.

Seorang bocah bisa berbicara seperti itu, membuat Jason yakin, bocah di hadapannya sudah melalui banyak masa-masa sulit. Tak semata karena matanya yang tidak bisa melihat dengan jelas dan sampai membuatnya dipanggil ‘Si Buta yang Tak Punya Papah’, tapi juga mengenai rasa sayang Ananda kepada sang mamah yang selama ini harus berjuang sendiri mengurus Ananda! Kenyataan tersebut membuat hati Jason terasa remuk, dan pria itu memilih untuk membagi pelukannya kepada Ananda.

“Anak laki-laki harus kuat. Kamu harus operasi agar kamu bisa lihat papah kamu!” yakin Jason.

Sementara itu, di luar, di lorong sebelah tangga darurat tapi bukan tempat dua hari lalu, pertemuan antara Malini dan Devandra kembali terjadi.

“Cabut laporanmu karena apa yang kamu lakukan sudah membuat karier Gissel hancu*r!” tegas Devandra lirih sambil menatap Malini yang bersedekap sekaligus menyikapinya dengan dingin. Ia menatap marah Malini yang sudah langsung melayangkan peperangan kepadanya hanya karena Ananda sudah melewati masa-masa kritis.

“Jika tujuan Mas ke sini hanya untuk itu, maaf. Jawabannya tetap sama, AKU TIDAK AKAN PERNAH MELAKUKANNYA!” tegas Malini yang juga bertutur lirih.

“Katakan kepadaku, apa yang sebenarnya kamu inginkan!” tegas Devandra yang sudah langsung menyikapi Malini dengan lebih dingin.

“Keadilan. Agar manusia seperti calon istrimu, jera!” singkat Malini yang memilih pergi dari sana. Ia melewati Devandra begitu saja. “Jangan pernah menemui kami jika tujuanmu tetap untuk hal yang sama!”

“Jadi, kamu berharap alasanku mendatangi kalian untuk hal lain, selain memohon kebebasan untuk Gissel?!” marah Devandra sambil menghadap sekaligus menatap punggung Malini.

Karena Malini tidak menjawab dan malah makin cepat melangkah, Devandra sengaja menyusul. “Malini! Aku pastikan, sampai kapan pun, anak itu tidak akan punya papah jika cara kamu seperti ini!” tegas Devandra sengaja mengancam.

Malini yang mendengar itu langsung geram. Malini segera balik badan dan menatap pria di hadapannya penuh kekecewaan.

“Papah ...?” ucap seorang bocah laki-laki dari belakang Malini.

Malini sudah langsung terkesiap karena wanita itu mengenali suara bocah tadi sebagai sura Ananda, anaknya. Jantungnya sudah langsung berdetak sangat kencang lantaran ia tak rela andai sang putra bertemu dengan Devandra. Karena setelah apa yang terjadi, dan bahkan sampai detik ini, Devandra tetap tidak peduli kepada Ananda yang sakit dan sempat kritis, bagi Malini, hukuman paling pantas untuk Devandra ialah tidak dikenali oleh darah dagingnya sendiri. Namun setelah Malini menoleh sekaligus memastikan, putranya tidak sendiri. Sebab seorang pria tengah mengemban Ananda sambil menenteng botol infus.

“Pah, kita mau ke mana?” tanya Ananda dan tentu saja kepada Jason.

Bukan hanya Malini yang melongo menyaksikan pemandangan di depan sana, dan itu kebersamaan Ananda dengan Jason. Karena Devandra yang sempat yakin bahwa Ananda merupakan putranya, juga langsung merasa tertam*par.

“Kenapa dia memanggil laki-laki itu papah? Bukankah papahnya itu, aku?” pikir Devandra.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!