Seorang cowok tinggi kurus sedang berjalan dengan hoodie yang menutupi seragam atas SMP-nya. Dia selalu menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena saat masa MOPD menjadi murid terfavorit sebab keaktifannya, namun juga karena wajahnya yang manis dengan warna kulit yang tidak putih, tidak juga hitam, terlihat pas. Manis, namun tidak membuat eneg apalagi diabetes.
Angga Pradtya namanya, siswa yang kini baru masuk kelas 2 SMP dan menjadi ketua tim sepak bola di ekstrakurikuler sekolah. Bukan hanya siswi seangkatan dan adik kelas saja yang terpikat oleh karismanya, tak sedikit kakak kelas yang juga pernah terang-terangan menyukai sampai menjadi pacarnya meskipun hubungan yang dijalaninya terpantau jarang lama. Hanya bertahan tiga sampai lima bulan saja dan tak lama kemudian, dipastikan Angga sudah mengganti pacarnya.
Itu yang membuat Rena saat ini merasakan bahagia, siswi yang sudah sejak kelas satu satu kelas dengan Angga itu merasa ketiban rezeki nomplok tatkala secara tiba-tiba Angga menyatakan rasa suka padanya. Rena merasa ini seperti mimpi, apa yang membuat Angga, cowok terkeren di sekolah menyukai Rena dan mengajaknya berpacaran?
Tak ingin kehilangan kesempatan, Rena menerimanya tanpa aba-aba, tanpa ada keraguan. Angga tersenyum lebar dengan ekspresi wajah penuh kemenangan. Suasana kelas semakin riuh karena dua sejoli baru saja mengikrarkan ikatan pacaran.
"Gue menang!" kata Angga berteriak. Matanya menoleh pada teman sebangkunya, Najril namanya. Pandangan mereka menyiratkan sesuatu dan kebingungan melanda pikiran Rena yang melihat itu.
Angga meninggalkannya. Benar-benar sosok playboy yang sebenarnya. Namun Rena tak peduli, dia sudah menjadi pacarnya sekarang dan akan menjadi pacar yang baik agar hubungannya dengan Angga bisa bertahan lama. Tak apa diperlakukan semena-mena seperti barusan, mungkin Angga masih malu untuk menunjukkan keakraban dengannya, pikir Rena.
"Angga! Tunggu!" seru Rena. Gadis itu menyusul pacarnya yang keluar dari ruang kelas begitu saja.
"Lihat si Rena kayaknya girang amat jadian sama Angga. Kecewa baru tahu rasa," ujar Najril pada Dina, pacarnya. Dina adalah teman sebangku Rena. Dina memicingkan matanya, merasa ada yang janggal atas semua yang telah terjadi baru saja.
"Kalian suka iseng, awas aja kalo Rena kalian jadiin korban keisengan kalian!" sahut Dina sementara Najril hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum lebar hingga barisan gigi rapinya kelihatan.
"Iseng dikit doang, nanti aku traktir seblak deh." Najril bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Dina yang perasaannya tak karuan.
Dina tahu betul tabiat Angga karena cowok itu merupakan sahabat pacarnya. Playboy, sering gonta-ganti pacar dan ... nakal. Selain sudah merokok, Angga juga sering katahuan memiliki pacar lebih dari satu dan yang parahnya adalah, pernah terdengar rumor jika Angga adalah PK alias penjahat kelamin.
Sementara Rena di mata Dina hanya siswi biasa yang tidak begitu berprestasi, polos dan kecantikannya takkan mengalahkan mantan-mantan Angga sebelumnya. Ya, sekali lagi, Rena hanya siswi yang biasa-biasa saja sehingga hampir semua teman-teman kelas merasa tak percaya, bagaimana bisa Angga menyukai Rena.
Jam istirahat hampir berakhir, Rena datang dengan senyuman merekah. Dina menatapnya iba, namun pura-pura turut bahagia karena ingin menjaga perasaan sahabatnya.
"Cieee yang baru jadian, pajak jadiannya dong!" ucap Dina yang disambut teriakan usil dari teman-teman kelas lainnya.
"Apaan sih, malu tahu," jawab Rena yang merona.
Suasana kelas menjadi sedikit lebih ramai karena beberapa teman Rena mendekat untuk melakukan wawancara padanya. Rena kelabakan, tak mampu menjawab satu per satu pertanyaan mereka yang begitu beruntun dan terdengar heboh.
"Sejak kapan deket sama Angga, Ren?"
"Kok bisa sih nggak ada angin nggak ada hujan dia tiba-tiba nembak lo?"
"Jangan-jangan kalian emang udah deket sejak lama, ya?"
"Hati-hati sama si Angga, dia kan playboy, PK lagi!"
Telinga Rena hampir meledak karena menampung suara yang begitu banyak serta riuh di dalamnya. Beruntung bel masuk telah berbunyi membuat Rena tertawa karena merasa puas telah membuat teman-teman kelasnya penasaran.
Lagian, tak ada yang bisa Rena ceritakan mengingat selama ini dirinya memang tidak begitu dekat dengan Angga. Keduanya bahkan berbeda haluan dalam hal ekstrakurikuler dan organisasi. Angga ketua tim sepak bola sedangkan Rena sama sekali tak menyukai olahraga. Angga juga anggota OSIS, sedangkan Rena anggota Pramuka yang membuat keduanya tentu saja jarang bertemu.
Di kelas pun, Rena lebih banyak akrab dengan teman-teman perempuan. Berbeda dengan Angga yang bisa akrab dengan laki-laki dan perempuan sekaligus. Intinya, Angga dan Rena sangat bertolak belakang dalam banyak hal. Dan perihal Angga menembaknya secara tiba-tiba, anggap saja itu memang takdir yang bagi Rena cukup menguntungkan.
Bagaimana tidak? Menjadi pacar dari Angga Praditya pasti akan membuat Rena ketularan populer di sekolah. Belum lagi masalah jajan, Angga terkenal banyak uang dan sering mentraktir teman-temannya setiap hari. Apalagi pada pacarnya? Membayangkannya saja sudah membuat Rena senyum-senyum sendiri.
"Ren, kok main terima aja sih? Padahal pikir-pikir dulu sebelum terima, kasih waktu tiga hari atau nggak sampe besok kek!" ujar Dina setelah semua teman-temannya duduk di bangku masing-masing.
"Ah, nanti Angga berubah pikiran. Kamu kan tahu aku suka sama dia sejak kelas satu, masa pas dia nembak aku suruh dia tunggu?" sahut Rena tak terima.
"Iya sih, aku kan cuma mau kamu jaga-jaga aja. Seperti yang kita tahu, si Angga playboy." Rena berdecak sambil memalingkan wajahnya dari Dina.
"Tadi minta pajak jadian, sekarang malah kayak yang nggak seneng lihat temennya bahagia gini," kata Rena tanpa menatap lawan bicaranya.
Dina tak menjawab dan hanya geleng-geleng kepala. Cinta memang membutakan segalanya dan membuat orang menjadi buntu dalam berpikir. Seperti halnya Rena. Keduanya saling diam hingga akhirnya guru datang, namun Najril dan Angga belum juga menampakkan batang hidungnya.
Rena yang merasa khawatir pada pacar barunya itu terus saja menatap pintu kelas yang sudah tertutup rapat karena ditutup oleh guru yang tak tahu jika masih ada murid yang belum masuk.
"Angga sama Najril ke mana, ya?" Dina bertanya sedangkan Rena menjawab singkat.
"Gak tahu!"
"Ck!" Dina berdecak kesal. Buru-buru ia merogoh ponsel yang ada di saku bajunya dan ternyata Najril sudah mengiriminya pesan sejak lima belas menit yang lalu.
(Aku di kantin, harus traktir Angga yang udah berhasil jadiin Rena pacarnya.)
Bahu Dina melemas. Sudah ia duga. Pasti ada yang tak beres dengan aksi Angga yang tiba-tiba saja menyatakan perasaan suka pada Rena di depan kelas. Ternyata ini semua settingan, Angga dan Najril hanya taruhan dan entah akan seperti apa nasib Rena setelah ini.
Bel pulang sudah berbunyi, semua murid sibuk membereskan perkakasnya ke dalam tas dan setelah berdo'a bersama, guru meninggalkan kelas disusul dengan satu per satu murid yang akhirnya berhamburan ikut keluar untuk pulang. Najril dan Angga saling pandang sebelum akhirnya Angga bangkit dan menghampiri Rena yang bersiap pulang.
"Ren!" sapa Angga yang membuat Rena menoleh dengan senyum yang dibuat semanis mungkin. Tak sia-sia dia memperlambat kegiatannya membereskan alat tulis demi mencari perhatian Angga, cowok itu kini menghampirinya di saat semua murid sudah keluar kelas kecuali Dina dan Najril yang terlihat ngobrol di sudut kelas.
"Ya, kenapa Angga?" tanya Rena dengan jantung yang berdegup kencang. Padahal baru dua jam mereka berpacaran, namun Rena sudah merasakan cinta yang teramat dalam.
Angga tersenyum menunjukkan barisan giginya yang putih, matanya menatap dalam manik Rena membuat cewek itu merona seketika.
"Kita putus!" ucap Angga dengan suara lirih. Pelan. Hampir tak terdengar.
Wajah Rena yang merona karena malu kini merah padam karena marah. Sekelumit tanya berdatangan dalam benaknya namun tak mampu Rena utarakan karena serangan panik yang membuatnya membeku seketika.
Angga sendiri masih berada di hadapannya, menatap datar lalu mencium pipi Rena yang terasa panas. "Hadiah karena udah mau jadi pacar gue selama dua jam," ujarnya lalu meninggalkan Rena yang masih terpaku dengan nafas yang memburu.
Dina yang sibuk mengobrol dengan pacarnya tak menyadari apa yang terjadi, Dina baru tersadar saat Angga mengajak Najril untuk pulang bersama tanpa ada Rena di sisinya.
"Loh, Rena nggak diajak?" tanya Dina langsung menoleh pada sahabatnya yang sedang mengepalkan tangan dengan pandangan mata lurus ke depan.
"Lo apain temen gue, Hah?" Dina gegas menghampiri Rena sementara Angga dan Najril keluar lebih dulu dengan wajah yang tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.
"Ren, lo kenapa? Ayo kita pulang." Dina menarik tangan Rena yang menurut saja, cewek itu belum mengatakan apa-apa.
Rasanya malu, malu sekali seandainya Dina apalagi teman-teman kelasnya yang lain tahu jika dirinya diputuskan oleh Angga pasca dua jam berpacaran padahal tadi satu kelas sudah heboh memberikan ucapan selamat padanya. Ditembak secara tiba-tiba, lalu diputuskan secara tiba-tiba juga. Angga keterlaluan, Rena merasa harga dirinya diinjak.
Keduanya kini menaiki angkot bersama karena arah rumah mereka sama. Dina masih mendesak Rena hingga akhirnya cewek itu mau angkat bicara.
"Angga putusin gue, Din," ujarnya terbata, "Bener kata lo, harusnya gue pikir-pikir dulu sebelum terima. Angga kayaknya emang sengaja deh mempermainkan gue, setelah bilang putus dia cium pipi gue dan bilang kalau ciuman itu sebagai hadiah karena udah mau jadi pacarnya selama dua jam. Gue ... gue malu, Din. Gimana kalau teman-teman kelas tahu gue cuma dipermainkan?"
Dina segera mendekap sahabatnya yang terisak, tangisnya kian pecah tak peduli beberapa pasang mata penumpang angkot melihatnya. Rena tak peduli, rasa malunya sudah terkikis habis oleh perlakuan Angga yang mempermalukan dan menginjak dirinya habis-habisan.
"Angga jahat, Din, gue harus gimana kalau temen-temen kita nanya?" Rena bertanya di tengah isakannya.
"Lo nggak harus gimana-gimana, semua orang tahu kok kalau si Angga emang playboy. Kalau ada yang tanya, bilang aja yang sebenarnya, paling lo cuma dibilang bodoh."
"Huaaaa..." Rena semakin kencang tangisnya.
***
Keesokan harinya, Rena tak masuk sekolah. Cewek itu mengeluh sakit pada orangtuanya dan diizinkan untuk tidak masuk sekolah agar beristirahat di rumah saja. Rena senang karena aktingnya dipercaya sebab cewek itu sebenarnya baik-baik saja, hanya dengan modal hair dryer yang didekatkan pada wajahnya, orangtua Rena percaya bahwa putri mereka sedang demam.
Rena juga mengeluh sakit mata, kali ini ia tidak berbohong sebab memang cewek itu sudah mengalami keluhan buram saat melihat jarak jauh sejak kelas satu SMP dan dibiarkan saja. Kini, saat memasuki kelas dua, Rena merasa penglihatannya semakin buram bahkan dia tak bisa melihat huruf di papan tulis sehingga harus melihat catatan Dina setiap hari.
"Ya sudah, kita ke rumah sakit aja dan langsung ke Poli Mata!" ucap sang ibu yang langsung ditanggapi dengan antusias oleh Rena.
Rena akhirnya bisa melupakan sedikit kegalauan hatinya karena putus cinta sebab selain memeriksakan mata, sang ibu juga mengajaknya jalan-jalan dan membeli pakaian. Rena juga dibebaskan memilih kacamata tanpa melihat harga membuat cewek itu kalap dan mengambil tiga kacamata sekaligus agar bisa gonta-ganti dan bergaya.
"Makasih, Bu, aku kayaknya langsung sembuh deh ini," kata Rena seraya cekikikan.
"Iya, ya sudah kita pulang. Kacamatanya pakai, kan kata dokter juga jangan dilepas kecuali mandi sama tidur!" Rena mengangguk dan memakai salah satu kacamatanya. Cewek itu menatap dirinya di cermin yang ia bawa dan merasa jika wajahnya menjadi lebih cantik jika memakai kacamata.
"Bu, aku cantikan pakai kacamata atau nggak?" tanya Rena.
"Pakai nggak pakai juga cantik kok, tapi kalau pakai gini memang lebih cantik sih. Beda auranya."
Dan benar saja, keesokan harinya saat Rena kembali sekolah, teman-temannya seperti biasa mengerubungi bangkunya bersama Dina dan menanyakan kenapa Rena kemarim tidak masuk sekolah dan kini memakai kacamata.
"Kemarin kepala gue pusing, makanya absen dulu buat periksa. Jadi sekalian aja periksa mata biar gue nggak nyontek mulu sama si Dina, eh ternyata minus 3." Rena menunjukkan kacamatanya yang langsung dicoba satu per satu oleh teman-temannya.
"Buset! Pusing amat. Beneran minus ini, gue kira lo cuma gaya-gayaan aja karena habis diputusin sama si Angga," ujar Wati, teman yang cukup akrab dengan Rena.
"Iya, tapi lo cantikkan pake kacamata sih, lebih dewasa gitu kelihatannya. Hahaha!" timpal yang lain.
"Bener, kali aja si Angga jadi beneran naksir lo terus dapat karma." Wati melipat kedua tangannya.
"Jadi kalian udah pada tahu, ya? Huh ... malu gue, emang dasar cowok br*ngsek." Rena meninju mejanya cukup keras.
"Tahu si Angga br3ngsek, kenapa langsung diterima segala?" sahut Dina sarkasme.
"Ya ... karena cinta!" balas Rena yang akhirnya menyadari bahwa cinta itu masih ada. Sejak dulu saat dirinya sama sekali tidak dilirik oleh Angga hingga sekarang di saat Angga bahkan sudah mematahkan hatinya.
"Bullshit itu namanya! Jangan mau lagi deh, Ren, harus jaga-jaga apalagi sekarang tuh cowok ngelihatin lo sampe terpana gitu. Waspada, Ren!" ujar Wati. Semua yang mengerubungi bangku Rena dan Dina sontak menoleh ke arah Angga yang langsung memalingkan wajahnya.
Rena tersenyum sinis, merasa muak melihat wajah Angga yang so kegantengan tapi memang ganteng sih, manis lagi. Ah, tuh kan, Rena masih saja menyimpan rasa!
Sabtu adalah waktunya semua organisasi berkumpul untuk latihan. Tidak seperti biasanya, kali ini OSIS dan Pramuka mengadakan latihan gabungan dalam rangka mempersiapkan acara perkemahan untuk perayaan Hari Pramuka.
Hal itu membuat Rena dan Angga dipertemukan. Sebagai anggota yang aktif di organisasinya, Angga selalu menjadi pembicara dan juga anggota paling menonjol karena digadang-gadang akan direkomendasikan menjadi kandidat Ketua OSIS tahun ini. Dan hal itu membuat perasaan Rena semakin menggebu-gebu melihatnya.
"Ren, ada yang kirim salam buat lo," ujar Wati yang juga sama-sama anggota Pramuka dengan Rena. Mereka sedang istirahat dan duduk di taman sekolah sekarang.
"Waalaikumsalam."
"Yaelah, nggak mau tahu siapa yang kirim salam?" tanya Wati jengah.
"Siapa?"
"Ketua Pratama kita, kak Hamzah!" kata Wati antusias.
Rena cukup terkejut, sempat merasa senang namun tak ia teruskan sebab takut kejadian seperti minggu kemarin terulang di mana tak ada angin tak ada hujan Angga menyatakan cinta pada Rena dan ternyata cowok itu hanya mempermainkannya. Pengalaman adalah guru terbaik, Rena tak boleh gegabah kali ini.
"Ngapain Kak Hamzah titip kirim salam segala? Emang dia nggak bisa masuk aja ke kelas kita besok terus ketuk pintu sambil ucap salam gitu?" Rena mencemooh.
"Gausah pura-pura nggak ngerti deh, itu tandanya Kak Hamzah naksir sama lo!" ucap Wati bersemangat.
Rena mendengus, dia benar-benar trauma. Ditembak oleh Angga adalah sesuatu hal yang amat membahagiakan baginya dan Rena belum bisa membuka hati lagi pada sembarang pria setelah dikecewakan bahkan dipermalukan sedemikian rupa. Tapi, bukan hanya itu masalahnya.
"Ah, takut gue. Ada ilham dari mana coba Ketua Pratama tiba-tiba naksir gue? Emang spesialnya gue apa? Sekelas Angga aja cuma jadiin gue bahan mainan bahkan taruhan, apalagi Kak Hamzah yang ... ah, nggak usah dijelasin deh, malu gue buat bilang kalo gue cuma cewek biasa-biasa aja buat cowok sekelas Kak Hamzah." Rena memalingkan pandangannya dan matanya tak sengaja melihat Hamzah yang sedang kumpul dengan anggota inti Pramuka.
"Dia minta nomor WhatsApp lo loh!" Wati tak hentinya menggoda.
"Nomor WhatsApp gue 'kan ada di grup keanggotaan, ngapain dia minta sama lo segala?" balas Rena masih dengan nada sensi.
"Ya, udah gue bilang kek gitu kok!"
"Kapan emang?" Rena akhirnya penasaran juga.
"Barusan."
"Hah?" sahut Rena yang langsung membuka ponselnya karena benda pipih itu tiba-tiba bergetar.
Satu pesan diterima.
Nomor ini tidak termasuk dalam daftar kontak Anda.
(Assalamu'alaikum, Rena.)
Rena tersenyum miring, bahkan dia tak pernah berani menyimpan nomor kakak-kakak kelasnya termasuk Hamzah karena memang kakak kelasnya pun tak pernah ada yang mengiriminya pesan. Sebiasa itu memang cewek ini.
Kehadirannya sebagai anggota Pramuka juga seperti hanya sebagai pelengkap saja, dibutuhkan tidak, tidak dibutuhkan juga tidak. Padahal jika mengikuti berbagai kegiatan, Rena selalu tampil all out dan percaya diri namun entah kenapa keberadaannya tak pernah dianggap istimewa. Kesannya selalu biasa saja.
Berbeda dengan Dina, selain dari kalangan berada, cewek yang lebih memilih masuk organisasi OSIS itu sangat disukai banyak orang. Memang ya, aura orang kaya itu selalu berbeda, orang-orang bawaannya selalu ingin dekat saja. Apa pun yang dilakukan Dina pasti selalu diapresiasi bahkan meskipun masih kelas delapan, Dina sudah didapuk menjadi sekretaris OSIS yang seharusnya masih dipegang oleh anggota kelas sembilan.
Lupakan tentang Dina.
Ini adalah kali pertama Rena menerima pesan dari kakak kelas, Ketua Pratama pula. Ada apa gerangan? Batinnya. Rena tak berniat membalas pesan itu cepat-cepat, dia lebih memilih menoleh kembali ke arah Hamzah yang ternyata kini sendirian seraya menatap layar ponsel. Mata Rena lalu beralih ke layar ponselnya dan melihat jika Hamzah sedang dalam mode mengetik di kolom percakapan mereka.
"Dia ada chat, 'kan?" tanya Wati kepo.
"Ada, dia ucap salam tapi belum gue balas," jawab Rena.
"Kenapa?"
"Kak Hamzah lagi ngetik, tunggu aja dia mau chat apa, kalo ucap salam lagi fix gue nggak akan balas." Rena dan Wati cekikikan.
Tak lama, Dina yang merupakan sekretaris OSIS itu mengumumkan melalui micropon jika semua anggota OSIS dan Pramuka harus segera berkumpul di aula untuk melaksanakan rapat membuat dua cewek itu langsung bangkit tanpa mempedulikan ponsel Rena yang kembali bergetar.
Dari kejauhan, Hamzah terlihat kecewa sebab pesannya tak kunjung dibalas bahkan dibaca. Cowok itu lantas bangkit dan bersiap memimpin rapat dan berniat akan mengajak Rena bicara jika rapat sudah selesai.
***
Sore menjelang, suasana basah sehabis hujan gerimis menemani para anggota OSIS dan Pramuka yang sedang istirahat makan. Rena, Wati dan Dina sepakat memesan mie goreng di kantin dan membawa makanan itu ke dalam aula di mana anggota lain sudah duduk melingkar.
Saat hendak memasuki aula, ketiga cewek itu tak sengaja berpapasan dengan Najril yang tentu saja bersama sahabat karibnya Angga yang memperlihatkan wajah tanpa dosa padahal minggu kemarin sudah jelas menyakiti hati Rena.
Di saat yang sama, Hamzah juga keluar. Matanya berbinar melihat Rena yang sedang membawa mangkuk mie membuat cewek biasa itu tersenyum kikuk.
"Ren, kok chat dari Kakak nggak dibalas?" tanya Hamzah sontak membuat Angga yang sedang berjalan memberhentikan langkahnya.
"Oh, hmmm ... itu Kakak, ya? Aku belum sempat jawab salamnya, maaf. Aku dosa kali, ya?" jawab Rena sementara dua temannya saling sikut sembari menahan tawa.
"Dosa lah, sebagai sesama Muslim kita wajib loh jawab salam. Oh ya, Kakak juga kirim pesan lain, kayaknya kamu belum baca," sambung Hamzah.
"I-iya udah deh waalaikumsalam. Ponselnya di tas, aku nggak bawa. Maaf, Kak." sebelah tangan Rena menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Nggak papa, Kakak yang salah chat kamu di waktu yang kurang tepat. Nanti pulang rapat, Kakak anterin pulang, ya? Mau?"
Dina yang belum tahu perihal masalah itu hampir saja menjatuhkam mangkuk mie yang dia pegang saking kagetnya. Kak Hamzah mengirim pesan pada Rena? Ingin mengantarnya pulang? Apa tidak salah? Itu yang ada dalam benaknya.
"Rena mau kok, kebetulan aku mau pulang sendirian, terus Dina juga pulang sama Najril. Iya 'kan, Jril?" seru Wati sedikit berteriak pada Najril yang jaraknya kurang lebih satu meter dari mereka. Mendengar itu, Angga yang ada di samping Najril memutar bola matanya.
"Apaan sih, lo?" bisik Rena.
"Udah, diem aja napa!" bentaknya.
"Kalau Rena nggak mau juga gapapa kok, Kakak nggak maksa." Hamzah menyentuh tengkuknya.
"Mau kok!" jawab Rena buru-buru.
"Serius? Ya sudah, kita ketemu di depan nanti, ya." sahut Hamzah antusias sementara Rena tersenyum puas sebab melihat Angga yang entah kenapa terlihat jengah sedari tadi.
"Cieee yang mau dianterin pulang sama Ketua Pratama ... mimpi apa lo semalam, Ren?" goda Wati yang disambut tawa oleh Rena. Bukan karena candaan Wati, tapi karena melihat Angga yang menendang tong sampah lalu pergi begitu saja.
"Si Angga kenapa?" tanya Dina heran.
"Dapet karma pasti dia!" balas Wati sambil tertawa puas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!