Gadis itu bernama Aurora Zanita. Ia adalah seorang yatim piatu yang ditinggal di sebuah gubuk oleh pamannya sendiri.
flashback On
Malam yang dingin, hujan terasa begitu deras jatuh ke bumi. Terlihat seorang pria sedang berjalan mengendap-endap menuju suatu gubuk seperti saung yang terdapat di pinggir jalan. Kemudian ia meletakkan seorang bayi yang terlihat baru lahir belum menginjak seminggu di saung tersebut. Hujan sedang turun dengan derasnya, namun bayi itu hanya berbekal kain dan juga selimut kecil yang menyelimuti tubuhnya.
Pria itu meletakkan sang bayi secara perlahan lalu menyelimutinya, bersamaan dengan itu sebuah mobil melintasi jalan tersebut. Mobil itu ditumpangi oleh sepasang suami istri yang telah lama menikah, namun belum juga dikaruniai seorang anak. Dalam pandangan yang tertutup hujan, samar-samar sang istri melihat yang dilakukan pria itu.
“Mas, berhenti dulu sebentar di sana,” ucapnya kepada sang suami sambil menunjuk saung yang tak jauh dari jaraknya saat ini.
“Mau ngapain sayang?” tanya suaminya heran.
“Aku lihat ada laki-laki seperti mau buang bayi di situ,” jawab Risa resah.
Mendengar itu Harun, sang suami pun segera menepikan mobilnya tepat di depan gubuk itu. Lalu dengan tak sabaran Risa keluar sendiri menghampiri laki-laki tersebut.
“Sedang apa bapak di sini di malam hujan seperti ini?" suara Risa mengagetkan lelaki itu saat baru saja meletakkan bayi mungil di gubuk itu.
Ia terdiam, rasanya ingin kabur tapi pasti akan terkejar oleh mobilnya, tapi kalau jujur nanti bisa di penjara.
Sungguh buah simalakama.
Harun, suami Risa segera menyusul turun dari mobil, dan menghampiri mereka.
"Kenapa sayang?" tanya nya kepada istrinya lalu menatap punggung lelaki yang masih terdiam itu.
Lelaki itu semakin ciut nyalinya, benar-benar takut sekali jika dimasukkan dalam penjara karena membuang seorang bayi.
Akhirnya mau tidak mau dia membalikkan badan menghadap suami istri itu lalu menundukkan kepalanya.
Risa langsung mengambil bayi yang tergeletak itu lalu menggendongnya.
"Pak, sebenarnya ada apa ini? Kenapa bayi ini seperti ingin ditinggalkan?" tanya Risa.
"Anu Nyonya..hmmm," laki-laki itu terlihat bingung untuk merangkai kata.
Risa dan Harun dengan sabar menanti perkataan yang akan dikeluarkan oleh lelaki itu.
"Maaf Tuan, Nyonya, saya..saya..terpaksa membawa bayi itu ke sini, berharap nantinya akan ada yang mengadopsi," ucapnya takut dengan kepala tertunduk.
"Maksudnya? Bapak mau buang bayi ini?" tanya Risa tak percaya.
"Maaf nyonya, tolong jangan laporkan saya pada polisi Nyonya, saya terpaksa melakukan ini," jawab si bapak dengan memohon.
"Lalu, kenapa Bapak melakukan ini?" Tanya Harun penasaran.
Lelaki itu tertunduk. Merasa bingung ingin menjelaskan dari mana alasan dia ingin membuang bayi itu.
"Jelaskan saja pada kami pak," ucap Harun lembut.
"Ini sebenarnya anak adik saya, tapi pacarnya tak mau bertanggung jawab karena ingin kembali keluar negeri, adik saya merasa frustasi. Lalu beberapa hari setelah melahirkan kemudian ia mendengar kabar bahwa lelaki yang menghamilinya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Lalu adik saya bunuh diri," ceritanya lalu menitikkan airmata.
Risa yang mendengarnya pun tertegun, merasa iba dengan kisah bayi ini. Ia pandangi bayi mungil itu dengan tatapan sedih.
"Lalu kenapa bayi tak bersalah ini mau dibuang?" tanya Risa tak habis pikir.
"Saya dan istri saya hanyalah orang miskin nyonya, kami tak mampu membiayai anak ini, makanya saya bawa ke sini. Sebenarnya saya ingin ke panti asuhan, tapi saya takut jika alasan ini tidak diterima dan malah memenjarakan saya," jelasnya masih memohon.
Risa menatap Harun lalu menatap bayi mungil yang berada di gendongannya. "Kita adopsi saja bagaimana mas? Bukankah kita sudah lama menanti buah hati?"
Harun terlihat berfikir sebentar, kemudian menyetujui usul istri tercintanya. Kebetulan memang mereka sudah lama menanti buah hati, maka tak ada salahnya mengadopsi bayi ini untuk menjadi anak mereka.
"Baiklah, kita akan mengadopsi anak ini, tapi dengan syarat," jawab Harun.
Kening Risa berkerut. "Syarat? Syarat apa mas?"
Harun menatap lelaki yang membuang bayi itu.
"Kami akan mengadopsi bayi ini tapi dengan perjanjian bahwa kelak bapak tidak akan muncul dalam kehidupan kami dan mengakui apapun tentang kebenaran ini," ucap Harun terlihat tegas.
Lelaki itu pun menyetujuinya. "Baik Tuan, akan saya ikuti perjanjian Tuan. Saya tidak dipenjara saja sudah bersyukur Tuan," sahutnya sedikit terlihat lega.
"Baik, mari kita pergi ke rumah saya, untuk menandatangani berkas perjanjian ini," ucap Harun kepada lelaki itu.
"Baik Tuan," jawab lelaki itu pasrah.
"Baik, mari masuk mobil saya," ajak Harun kepada lelaki paruh baya itu lalu memberikan payung yang dibawanya.
Sedangkan dia menggunakan payung yang sama dengan istrinya menuju mobilnya.
Lelaki itu pun hanya bisa pasrah mengikuti kemana arah mobil membawanya.
Sesampainya di rumah Harun Dirgantara, lelaki yang bernama Adam itu pun melihat dengan tatapan kagum. Rumah dua tingkat yang sangat besar, bahkan jarak dari pintu pagar ke pintu rumah terdapat taman yang menyejukkan mata serta air mancur yang cantik.
Dalam hatinya ia bersyukur, keponakannya akan dirawat oleh orang kaya seperti ini, jadi tak perlu merasakan hidup susah seperti dirinya saat ini. Ia pun berjalan mengikuti langkah Harun dan Risa masuk ke dalam rumahnya yang besar itu.
“Silahkan duduk pak,” ucap Harun ketika mereka telah memasuki ruang tamunya.
“Terima kasih Tuan, panggil saja saya Adam Tuan,” jawab Pria itu lalu duduk di kuris yang telah ditunjukkan oleh Harun.
Setelah meminta dibuatkan minuman, Harun pergi menuju kamarnya lalu mengambil beberapa kertas kosong dan dibawanya lagi ke ruang pertemuan tadi. Harun menuliskan beberapa kalimat yang menjelaskan bahwa bayi yang saat ini akan diadopsinya adalah sepenuhnya miliknya dan keluarga bayi itu tidak boleh datang serta membuat pengakuan apapun tentang bayi itu di kemudian hari hingga tutup usia.
Setelah menuliskan beberapa poin penting, Harun menempelkan materai pada kolom tandatangan nama Adam, lalu menyerahkan kepada pria itu untuk disetujui.
Adam menerima berkas itu lalu membaca poin-poin itu dengan seksama. “Boleh aku bertanya?”
“Silahkan,” sahut Harun ramah.
“Apakah aku bisa menemuinya suatu saat nanti?” tanya nya ragu.
“Jika hanya menemuinya boleh pak, namun sesuai dengan poin pada surat itu, jika kalian bertemu maka tidak ada pengakuan apapun yang menunjukkan kepemilikan bayi itu atau asal usul bayi itu,” jawab Harun tegas.
“Baiklah Tuan, saya menyetujuinya,” ucap Adam lalu membubuhkan tanda tangannya pada kolom yang tertera. Setelah itu ia menyerahkan kembali dokumen tersebut kepada Harun.
Lalu Harun mengeluarkan selembar cek dan menuliskan angka 200 juta dalam cek tersebut dan menyerahkannya kepada Adam.
“Apa ini Tuan?” tanya Adam bingung.
“Anggap saja ini adalah kompensasi dari kami untuk bapak,” jawab Harun bermaksud baik.
“Apa ini Tuan?” tanya Adam bingung.
“Anggap saja ini adalah kompensasi dari
kami untuk bapak,” jawab Harun bermaksud baik.
“Maaf Tuan, saya tidak memerlukan ini, karena melihat keponakan saya akan dirawat oleh orang sebaik kalian saja saya sudah sangat bersyukur,” ucapnya jujur.
“Tidak apa-apa pak, anggap saja ini membantu keuangan bapak, bukankah tadi bapak bilang bahwa keluarga bapak miskin? Mungkin sedikit uang ini bisa membantu kehidupan bapak ke depannya,” ucap Risa membantu menjelaskan.
Adam terlihat ragu. Uang ini terlalu banyak untuk diterimanya. Ia akan merasa lebih berdosa karena dianggap seperti sedang menjual keponakannya sendiri. Ia menatap cek itu dengan tatapan nanar.
“Maaf Tuan, saya…bukan bermaksud untuk menolak kebaikan yang Tuan dan Nyonya berikan, tapi jika saya menerima uang sebanyak ini, saya merasa semakin bersalah kepada bayi itu. Saya seperti seorang paman yang sedang menjual keponakannya sendiri,” jawabnya agak ragu.
Harun dan Risa berpandangan. Mereka seakan mengerti yang dirasakan Adam.
“Pak Adam, anggaplah ini sebagai bantuan untuk keluarga bapak, bukankah bapak memiliki anak yang harus dibesarkan juga? Dan ketika alm. Adikmu mengandung, pasti juga menghabiskan biaya yang lumayan untuk kebutuhannya kan?” tanya Harun dengan hati-hati.
“Maka terima lah uang ini sebagai bantuan dari kami, dan kami juga akan sangat berterima kasih jika kamu mau menerimanya. Kebahagiaan kami belum utuh jika kami mengambil bayi ini tanpa memberi bantuan terhadap keluargamu,” jelas Harun lagi.
Kali ini sepertinya penjelasan Harun bisa lebih diterima oleh Adam. Ia mulai menatap cek itu dengan tatapan haru.
“Tuhan begitu baik pada kami sehingga Dia mempertemukan saya dan keponakan saya dengan Tuan dan Nyonya. Terima kasih atas bantuannya Tuan,” ucapnya dengan haru dan meneteskan airmata.
Harun melangkah mendekat ke Adam, lalu menepuk pundaknya. “Kamu tidak perlu sungkan Adam, kami yang harusnya berterima kasih kepadamu karena telah menitipkan malaikat kecil seperti ini. Apa yang kami berikan tak sebanding dengan perjuangan adikmu dan juga yang kami terima,” ucap Harun menenangkan hati Adam.
Adam yang telah berurai airmata haru segera memeluk Harun tanpa ragu. “Terima kasih Tuan, terima kasih atas kebaikan Tuan kepada kami.”
“Sama-sama,” sahut Harun tersenyum sambil menepuk punggung Adam.
Kemudian Adam melepaskan pelukannya lalu pamit pada keluarga kecil itu. “Kalau begitu saya permisi ya Tuan, Nyonya, saya titip keponakan saya,” pamitnya kemudian berjalan meninggalkan mereka.
********
Pagi itu di rumah keluarga Dirgantara, aura yang terpancar sangat berbeda dari biasanya. Hari itu itu seperti dunia bersinar lebih terang dari biasanya. Rumah yang biasanya sepi, saat ini terasa ramai dan begitu memancarkan kebahagiaan.
Harun Dirgantara dan istrinya yaitu Risa Anastasya baru saja mengadopsi seorang bayi perempuan yang cantik jelita. Bayi itu ditemukan semalam ketika mereka dalam perjalanan pulang.
“Cantik banget ya mas anak kita,” ucap Risa sambil menunjukkan putri kecilnya pada suaminya.
“Iya sayang, dia cantik sekali, walau gak lahir dari rahimmu tapi wajahnya cantik seperti kamu,” sahut suaminya sambil mengusap pipi si bayi kecil.
“Mas, karena sekarang kita udah punya anak, panggilannya jangan mas dong, tapi papa, yah?” tanya Risa senang.
“Oh iya juga ya sayang, ya udah mulai sekarang panggilan kita jadi mama dan papa aja ya supaya anak kita nanti bisa nyaman dengan panggilannya,” jawab Harun menyetujui.
Risa menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. “Pa, kita belum kasih nama anak perempuan ini loh.”
“Oh iya papa sampai lupa, kita kasih nama siapa ya bagusnya? Kamu ada ide?” tanya suaminya antusias.
“Gimana kalau kita kasih nama dia Aurora aja pa? Aurora Zanita,” usul Risa.
“Aurora Zanita?” ujar Harun dengan tangan di dagu terlihat berfikir.
“Iya pa, seperti fajar di pagi hari, supaya bisa menerangi keluarga kita dengan cahaya,” ucap Risa terlihat sangat bangga.
“Boleh juga, nama itu juga terdengar cantik,” jawab Harun pertanda setuju.
“Syukurlah kalo mas Harun suka, eh papa suka hehehe,”ucap Risa lalu tersenyum memandangi putri kecilnya.
“Gimana sih ma, baru aja bentar tapi udah lupa sama panggilan yang dibuat sendiri,” sahut Harun heran.
“Hehehe iya soalnya kan baru, oh iya kapan kita mau akikahkan Aurora pa?” tanya Risa.
“Oh iya ya, minggu depan aja ya, karena kita kan harus menyiapkan semuanya dengan matang,” jawab Harun mengusulkan.
“Oke pa aku ikut aja,” sahut Nisa lalu membawa Aurora dalam gendongannya.
“Aku mau bawa Aurora ke taman belakang pah, biar hirup udara segar, yuk,” ujar Risa mengajak sang suami untuk mengikutinya.
Harun pun mengikuti istrinya dengan perasaan senang.
Sejak hari itu, Risa dan Harun sibuk merawat Aurora dengan penuh kasih sayang. Ia bahkan membelikan baju dan juga sepatu yang cantik dan banyak jumlahnya untuk Aurora pakai bergantian setiap kali ingin pergi keluar rumah.
Risa dan Harun sangat senang karena akhirnya penantian mereka yang begitu lama dalam menanti buah hati, dijawab sudah dengan kehadiran Aurora. Mereka merawat Aurora seperti anak kandungnya sendiri.
Seiring berjalannya waktu, Aurora tumbuh menjadi gadis yang cantik tanpa mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Kasih sayang yang diberikan kedua orang tua angkatnya membuatnya tak pernah merasa seperti anak angkat.
Flashback Off
********
Aurora saat ini berusia 18 tahun dan baru saja lulus Sekolah Menengah Atas di sekolahnya. Ia memiliki kekasih bernama Arvin.
Mereka bertemu saat mengikuti sebuah lomba cerdas cermat antar sekolah yang diselenggarakan masing-masing sekolah mereka saat itu. Usia Arvin lebih tua dua tahun dari Aurora, sehingga ketika Aurora saat ini lulus sekolah, Arvin telah menjalani semester IV pada Perguruan Tingginya.
Tidak seperti Aurora yang hidup di lingkungan keluarga kaya, Arvin adalah laki-laki sederhana yang hidup dalam lingkungan keluarga sederhana juga. Namun karena kegigihan dan juga kelembutan sikapnya, Aurora pun jatuh cinta pada Arvin tanpa syarat apapun.
“Ra, selamat ya kamu akhirnya lulus dengan nilai yang bagus,” ucap Arvin ketika sedang menjemput Aurora di sekolahnya, setelah melihat pengumuman.
“Arvin, kamu ini ngagetin aja,” sahut Aurora kaget karena Arvin tiba-tiba muncul dari belakangnya.
“Hehehe, ini aku kasih bunga yang kamu suka,” jawabnya lalu memberikan setangkai bunga mawar kepada Aurora.
Aurora menerimanya dengan hati senang, jarang-jarang Arvin memberinya bunga mawar seperti ini. “Uhh pacar aku romantis banget sih,” sahut Amira menerima mawar itu.
“Iya dong kan pacar aku request bunga di hari kelulusannya,” jawab Arvin tersenyum.
“Tapi maaf ya Ra, kalo bunga nya cuma setangkai, aku gak bisa kasih bucket kaya cowok-cowok lain,” ucapnya sedih.
“Ih gak apa-apa sayang, gini aja aku udah seneng kok,” jawab Aurora menggandeng lengan Arvin.
“Makasih ya, kamu selalu ngertiin aku,” ujar Arvin merasa bersyukur.
“Sama-sama, kamu juga pengertian dan baik banget,” jawab Aurora senang.
“Itu karena aku sayang sama kamu dong hehehe. Yuk pulang Ra,” ajak Arvin lalu pergi bersama meninggalkan tempat itu.
Hari ini adalah pengumuman ujian masuk Perguruan Tinggi yang telah diikuti Aurora. Dengan senang ia membaca pengumuman itu dan mencari namanya. Ia ingin sekali bisa berkuliah satu kampus dengan kekasihnya, Arvin.
Aurora begitu senang ketika menemukan namanya lulus dari ujian itu dan diterima menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi pilihannya. Namun ia terkejut karena ternyata ia diterima pada pilihan fakultas yang kedua, yaitu Fakultas Ekonomi.
Aurora inginnya diterima di Fakultas Hukum, agar bisa satu fakultas bersama Arvin. "Ah sedih sekali, gak bisa bareng Arvin kuliahnya," batinnya.
"Gimana Ra? Kamu diterima nggak?" Tanya mamanya yang baru saja datang dari dapur membawa minuman dan cemilan.
"Diterima sih ma, tapi bukan di Hukum," jawab Aurora kecewa.
"Memangnya kamu diterima dimana?" Tanya mama sambil memberikan gelas berisi susu pada Aurora.
Aurora menerima susu itu lalu meminumnya, setelah itu meletakkan di atas meja sebelah kursi yang ia duduki saat ini.
"Aku masuk Fakultas Ekonomi, pilihan kedua aku," jawabnya lesu.
"Ekonomi juga bagus kok sayang, nanti kamu kan bisa aplikasikan ilmu ekonomi kamu ketika kamu bekerja di perusahaan," ucap Risa menjelaskan.
"Iya sih tapi kan aku jadinya gak satu fakultas sama Arvin ma, padahal aku pengennya bisa kuliah bareng dia," jawab Aurora jujur.
Risa tersenyum mendengar alasan putrinya menjadi tak bersemangat. "Kamu kan masih bisa ketemu dia di kampus sayang, kalian masih satu kampus loh."
Risa memang telah mengetahui hubungan putrinya dan Arvin. Ia juga pernah bertemu dengan lelaki itu beberapa kali. Arvin adalah lelaki yang tampan, berkulit hitam manis dengan wajah lebih mengarah ke wajah Timur Tengah. Risa senang dengan Arvin karena ia adalah laki-laki yang baik dan bertutur kata lembut.
"Iya sih, tapi kan kadang suka beda jadwal mah, dan gak bisa sering ketemu kaya kuliah satu fakultas," jawab Aurora lagi.
"Ya udah gak apa-apa Ra, yang penting masih satu kampus, daripada beda kampus malah lebih susah lagi kan? Seenggaknya kalian nanti bisa pulang bareng," sahut Risa menenangkan putri kesayangannya.
Aurora mengangguk, membenarkan perkataan ibunya. Tiba-tiba Bi Imah menghampiri mereka
"Non, nuwun Sewu, itu ada Den Arvin di ruang tamu," ucap Bi Imah kepada Aurora.
"Oh iya Bi, aku akan temuin dia sekarang, makasi ya Bi," jawab Aurora senang.
"Oh iya Bi, tolong bikinin minum sekalian buat Arvin ya, biar dia bisa nunggu sambil minum," ucapnya lagi lalu ia bergegas untuk mengganti pakaiannya.
"Kamu mau pergi sama Arvin ya Ra?" Tanya Risa memperhatikan putrinya yang sedang berganti pakaian.
"Iya mah, aku kemarin janji pergi sama Arvin, aku sampe lupa karena pengumuman ujian tadi," sahut Aurora sambil berdandan tipis.
"Hmm ya udah deh kalo gitu, mama nemuin Arvin dulu ya," ucap Risa lalu pergi menemui Arvin.
Aurora yang telah selesai bersiap pun ikut turun menghampiri kekasihnya itu.
"Maaf ya Vin lama," ucap Aurora yang saat ini sudah berada di hadapan Arvin.
"Ga apa-apa kok Ra, yuk kita berangkat," ajak Arvin lalu berpamitan kepada Risa.
"Tante, kita pergi dulu ya," pamit Arvin bersalaman dengan Risa.
"Iya, hati-hati ya Vin bawa motornya, Tante titip Aurora ya," sahut Risa dengan senyuman.
"Siap Tante," sahut Arvin dengan gaya memberi hormat.
"Aku juga pamit ya ma," ucap Aurora mencium tangan mamanya.
"Iya, ya udah sana, pulang nya jangan terlalu malam ya," ucap Risa mengingatkan Aurora.
Aurora mengangguk dengan penuh senyuman kepada Risa, lalu ia berjalan menjauh menuju motornya Arvin.
Aurora dan Arvin segera berangkat menggunakan motor Arvin. Aurora tak masalah jika kekasihnya hanya memiliki motor, karena baginya bisa bersama Arvin sudah membuatnya senang.
Dalam perjalanan, Arvin mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Namun entah kenapa tiba-tiba mobil di depannya mendadak berhenti sehingga membuat Arvin terlambat mengerem motornya dan menabrak mobil itu dari belakang. Sang pengemudi mobil yang mendapat hantaman dari belakang pun kaget.
Rupanya mobil itu berhenti karena melihat kucing sedang menyebrang jalan, sehingga mau tak mau ia menghentikan mobilnya secara mendadak. Namun karena kesal ditabrak dari belakang, pria tampan itu pun segera keluar dari mobil nya dan menghampiri Arvin.
"Lo gimana sih bawa motornya? Hati-hati dong jangan main tabrak aja kaya gini, kepala gue sampe terbentur tau!" Pekik lelaki itu.
"Maaf mas, tapi anda duluan yang berhenti mendadak jadi saya gak sempat untuk ngerem motor saya," ujar Arvin terdengar sopan membela dirinya.
"Tetep aja Lo salah, harusnya Lo bisa rem yang kuat begitu mobil depan Lo berhenti. Lihat nih mobil gue jadi rusak," balas pria itu sedikit berteriak sambil menunjukkan letak kerusakan pada mobilnya.
Arvin yang melihat mobil belakangnya jadi sedikit tergores itu pun merasa bersalah.
"Bagaimana ini, uang pun aku gak punya kalo suruh ganti," batinnya.
Melihat kebingungan yang terpancar dari wajah Arvin, Aurora yang dari tadi diam akhirnya melangkah mendekat pada pria tampan si pengemudi mobil itu.
"Heh, dari segi mana pun yang salah itu kamu tau, kamu yang berhenti mendadak dan buat pacar aku nabrak kamu, kalo kamu gak berhenti mendadak juga dia gak akan nabrak kamu!" ucap Aurora tak kalah galak dengan pria itu.
"Kamu siapa? Malah ikut-ikutan urusan laki-laki," sahut pria itu kesal.
"Gak penting aku siapa, yang jelas sekali salah ya tetep salah. Dan kamu itu salah!" sahut Aurora sambil menunjuk wajah pria dihadapannya.
"Jangan nunjuk-nunjuk ya kamu gak sopan!" Tukas pria itu menepis tangan Aurora dengan kesal.
"Eh udah-udah jangan malah ribut disini dong sayang," Arvin berusaha melerai mereka dan memegang lengan Aurora berharap bisa meredakan kekesalan kekasihnya itu. Namun Aurora sudah terlanjur panas dengan sikap pira sombong di depannya ini.
"Mobil cuma tergores aja kamu berlebihan. Kamu gak bisa benerin mobil belakang kamu ini? Oke aku yang kasih uang buat kamu benerin itu!" ucap Aurora dengan kesal lalu mengambil puluhan lembar uang ratusan ribu dan melemparkannya tepat di tempat kerusakan mobil pria itu.
"Itu uang buat kamu pergi ke bengkel untuk benerin baret di mobil mahal kamu ini. Dan ingat, jangan pernah ganggu aku atau pacarku lagi," ucap Aurora lalu menarik Arvin agar menjauh dari lelaki itu.
Laki-laki itu pun merasa sangat terkejut dan kesal karena sudah dipermalukan dan diinjak-injak harga dirinya oleh perempuan yang tak dikenalnya.
Belum pernah ada yang berani menghinanya seperti ini.
"Liat aja nanti cewek sombong, kita pasti akan ketemu lagi, melalui takdir atau aku sendiri yang mencari kamu," ucapnya tersenyum SMIRK.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!