"Abang, kapan Adek bisa makan es cream itu," Carla, gadis kecil yang baru berusia 10 tahun, merengek sambil menunjuk gambar es cream yang terpajang di lemari pendingin sebuah warung.
Rain, yang dipanggil Carla Abang, menghentikan langkah. Bocah laki-laki berusia 10 tahun itu menatap lekat adiknya yang berdiri sambil menggigit bibir.
Rain tahu, sudah lama sekali adiknya ingin memakan es cream itu. Namun, selama ini, Rain hanya bisa menjanjikan akan membelikan sekotak es cream itu untuk adiknya.
Sebenarnya, bisa saja dari dulu ia membelikan es cream itu untuk adiknya. Sebab penghasilan mereka dari memulung botol-botol bekas, bisa mencapai kisaran 30 ribu rupiah. Itu adalah penghasilan bersih yang akan mereka bawa pulang, selebihnya sudah mereka gunakan untuk membeli makanan.
Tapi, penghasilan yang mereka bawa pulang, selalu di berikannya pada ibunya, jika tidak ingin menerima amukan.
"Adek tunggu di sini, ya,"
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Rain memutuskan menggunakan uang yang mereka dapatkan hari ini untuk membelikan Adiknya sekotak es cream. Biarlah nanti dirinya menerima amukan sang ibu dari pada melihat wajah murung adik, yang begitu di sayanginya.
"Pak, saya mau beli es cream itu," Rain menunjuk gambar es cream yang di inginkan adiknya.
Pemilik warung menatap bocah kecil di hadapannya dengan tatapan merendahkan. Pasalnya es cream yang di tunjuk Rain harganya tergolong mahal.
Melihat penampilan Rain yang seperti anak jalanan dengan pakaian lusuh tanpa alas kaki, tentu pemilik warung mengira, jika Rain tak akan mampu membeli es cream yang harganya terbilang cukup mahal.
"Harganya dua puluh lima ribu, kamu ada uang?" Pemilik warung bertanya sebelum mengambil es cream yang ditunjuk bocah di hadapannya.
Rain mengembangkan uang kertas yang di genggamnya, lalu memberikan sejumlah yang di minta pemilik warung, menyisakan 5 ribu di tangannya.
Setelah mengambil uang yang di berikan Rain, pemilik warung membuka lemari pendingin, lalu mengambil satu kotak es cream kemudian memberikannya pada Rega.
"Dirumah kamu punya kulkas tidak?" tanya pemilik warung sebelum bocah di depannya pergi.
"Gak ada," jawab Rain.
"Sebaiknya jangan terlalu lama mendiamkan es cream ini, takutnya rasanya akan berubah jika sudah mencair," pesan pemilik warung.
Setelahnya Rain berjalan mendekati Carla yang berjingkrak kesenangan melihat abangnya membawa sekotak es cream.
"Terimakasih, Abang," Carla mengambil es cream itu dari tangan abangnya.
"Adek makannya di sana saja," Rain menunjuk sebuah pohon yang cukup rindang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Gak ah, Adek nanti saja makannya di rumah,"
"Adek mau di marahi Ibu?"
Carla menggeleng.
"Mangkanya, Adek harus habiskan es cream ini disini, agar Ibu gak tau,"
"Ya, baiklah," Mereka pun berjalan ke bawah pohon yang di tunjuk Rain tadi.
Tiba di bawah pohon, Carla meminta Rain membuka kotak es cream itu. Lalu, ia menyendoknya dan menyuap ke mulutnya sendiri.
"Wah, rasanya enak sekali! Cobain deh, Bang," seru Carla, lalu menyendok es cream itu lagi dan menyuapkan ke mulut Rain.
"Adek makan saja, Abang gak suka," Rain menolak, walaupun tenggorokannya ingin juga mencicipi rasa makanan dingin yang tak pernah selama ini di cicipinya.
"Abang, coba dulu," Carla tetap menyuapkan es cream yang telah di sendoknya itu pada Rain.
Terpaksa Rain membuka mulutnya, merasakan betapa dingin dan lembutnya es cream rasa strawbery tersebut yang telah berada di dalam mulutnya.
"Enak kan, Abang?" Carla meminta pendapat.
Rain mengangguk, tak ia pungkiri makanan yang baru pertama kali di rasakannya itu memang begitu lezat.
"Lagi," Carla kembali menyuapkan es cream itu ke mulut Rain.
"Sudah, buat Adek saja. Abang gak terlalu suka rasanya," Rain menolak, ia hanya ingin Carla sendirilah yang menghabiskan es cream itu, tanpa ia ikut serta memakannya, ia ingin adiknya bisa puas merasakan makanan terlesat yang baru pertama kali ini di rasaknnya.
Rain tersenyum senang, melihat Carla begitu lahap menyantap es cream yang di belinya.
"Adek, nanti jangan bilang Ibu, kalau Abang membelikan Adek es cream, ya," pesannya.
Adelia mengangguk sambil terus menyantap es cream di tangannya.
*
Biru langit kini telah menghilang. Cahaya mentari di ufuk barat pun semakin menghilang. Suara azan isya sudah terdengar berkumandang dari mesjid-mesjid. Setelah beraktifitas sedari subuh, kini Rain dan Adiknya mengarahkan langkah menuju rumah.
"Abang, nanti kalau Abang ada uang lagi, belikan Adek es cream yang rasa coklat ya," celoteh Carla sembari berjalan ber iringan dengan Abangnya.
Rain tersenyum sembari mengangguk pelan.
Sebenarnya, saat ini ia tengah menyembunyikan rasa cemasnya, jantungnya semakin berdebar, membayangkan amukan sang ibu tiba di rumah nanti.
Perlahan langkah kaki kecil mereka semakin tiba di dekat rumah.
Samar-samar, di depan rumah yang tanpa di terangi cahaya lampu listrik, Rain melihat sang ibu tengah duduk di kursi kayu. Pastinya sengaja menunggu kepulangan ia dan adiknya.
Rain semakin ketakutan tatkala wanita itu berdiri lalu mendekati mereka.
"Kalian dari mana saja? Kenapa lama sekali pulangnya?" Wanita itu menghadang lengkah mereka.
"Maaf kan Abang, Bu..." Rain berkata dengan bibir yang bergetar.
"Sudah, cukup! Sekarang berikan uang yang kalian bawa?" Maya--ibu anak itu lansung merogoh kantong anak-anaknya.
"Apa ini, Rain! Kenapa uang yang kau bawa hanya lima ribu saja?" Maya semakin meradang ketika menemukan hanya ada selembar saja uang di kantong anak-anaknya.
"Ma-maaf, Bu..."
"Berani kau sekarang menyembunyikan uang dariku, ya! Dasar anak tidak tau diuntung kau! Harusnya kubiarkan saja kau mati dari dulu!" Puas mencerca dan memukul tubuh bocah itu. Kemudian Maya, menyeret kedua bocah itu masuk kedalam rumah yang hanya di terangi lampu minyak tanah.
"Ampun Bu! Ampun..."
"Ini hukuman untuk kau karna berani menyembunyikan uang dariku!" Bertubi-tubi Maya menghujani pukulan ke tubuh kecil Rain tanpa ampun.
"Ibu, ini semua salah Adek, Abang nggak salah," Carla menangis sambil menahan tangan Maya yang memukul abangnya.
"Diam kau, Carla!" Maya mendorong tubuh gadis kecil itu hingga terjengkang ke lantai.
"Rain! Katakan, kau kemanakan uang nya?"
"Ampun Bu.. Ampun..." Tubuh Rain kini telah meringkuk di lantai, namun Maya masih saja memukulnya.
Tok. Tok. Tok.
Maya menghentikan aksinya saat mendengar pintu rumahnya di ketuk.
Tok. Tok. Tok
"Sssstt. Diam kalian! Atau kutambah hukuman untuk kalian," tekan Maya pada kedua anak nya yang masih menangis.
Seketika tangis anak-anak itu berhenti, hanya tersisa isak tangis saja.
Kemudian Maya berjalan mendekati pintu yang masih di ketuk dari luar.
Cek lek.
Di ambang pintu berdiri seorang Pria bertubuh tinggi besar.
"Cih! Mau apa kau datang ke rumahku?" Maya menatap sinis pria yang berdiri di depan pintu rumahnya.
"Eh, kau itu tau waktu lah! Ini sudah malam, orang juga butuh istirahat. Bisa tidak, sehari saja kau berhenti memukuli mereka?" jawab pria itu tak kalah sengit.
"Itu bukan urusan kau! Mereka anak-anakku, terserah aku mau apakan mereka, hak aku tidak ada urusan sama sekali dengan kau!" dengus Maya mengomeli pria itu.
Pria itu kemudian menyentakan tangan Maya, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga wanita judes itu. "Kau pikir aku tidak tau, siapa Rain? Dia bukanlah anak kau!"
"Dasar bujang lapuk! Urus saja urusan kau sendiri!" sengit Maya tak mau kalah.
"Ya, memang bukan urusanku. Tapi bagaimana kalau kulaporkan kau ke Komnas Perlindungan Anak? Katakan! Apa kau ingin ku laporkan?" ancam Pria itu.
BRAK!
Maya menutup pintu rumahnya dengan sangat keras.
"Awas saja kau Maya! Sekali lagi kudengar mereka menangis. Siap-siap kau menyusul si Bobi di dalam penjara!" peringat pria itu sebelum beranjak pergi.
"Arrrgh? Sialan kau Zakir! Bujang lapuk gak tau diri!" umpat Maya sambil mengacak kasar rambutnya yang kusut.
*
Malam semakin larut. Di dalam rumah yang hanya di terangi cahaya lampu minyak itu. Suara erangan seperti orang kedinginan semakin nyaring terdengar.
Mata Rain belumlah bisa terpejam, tubuhnya masih terasa sakit-sakit setelah di pukul ibunya tadi. Sekarang, ia malah ketakutan karna mendengar erangan yang berasal dari kamar Maya. Meski suara itu sudah biasa ia dengar, tetap saja setiap kali mendengar dirinya ketakutan.
Rain membuka matanya saat melihat sekelebat bayangan keluar dari kamar ibunya. Meski dirinya tidak begitu jelas melihat orang itu, tapi ia sangat yakin jika itu adalah ibunya.
Tidak lama Rain mendengar pintu rumahnya terbuka di sertai masuknya cahaya yang sangat terang ke dalam rumahnya yang gelap, dan tak lama pintu kembali tertutup.
Rain kemudian duduk diatas tikar tempat ia tidur, di lihatnya Carla yang sudsh terlelao disebelahnya. Lalu, ia berdiri dan berjalan mengendap melihat apa yang di lakukan Ibunya di luar sana.
Di sela jendela kayu yang berlubang. Rain melihat ibunya yang sedang bicara dengan seseorang yang duduk diatas motor. Ibunya berdiri di samping motor, sambil mengusap bahunya, seperti orang kedinginan.
"Ada uang, ada barang," Rain mendengar kata-kata pria yang bicara dengan ibunya.
"Aku hanya punya ini, Ton!"
Rain melihat ibunya menyerahkan uang pada pria yang duduk diatas motor.
Pria itu tertawa mengejek. "Lo kira gue menjual permen! Kalau lo nggak ada uang, mending mulai sekarang lo berhenti saja memakai!" Setelahnya pria itu menyalakan motor, bersiap pergi.
"Tonii, tunggu!"
Rain melihat Ibunya berdiri di depan motor pria itu, menghalangi jalannya.
" aku akan bayar dengan cara lain,"
"Lo mau bayar pakai apa?"
"Aku bisa memberikanmu kenikmatan,"
"Kenikmata? Dengan tubuh lo ini?" Pria itu terbahak-bahak.
"Bahkan lo gratiskan pun gue gak akan sudi. Mending Lo jajakan saja pada orang lain, jika sudah laku, baru lo cari gue,"
"Ton, tolong lah! Aku sangat membutuh kan barang itu,"
"Itu bukan urusan gue,"
"Fon, tolong mengertilah! Aku sangat butuh barang itu, akan kubayar dengan cara apa pun,"
"Lo yakin, akan membayar dengan apa pun?"
"Ya,"
"Gue ingin meniduri putri lo,"
"Jangan gila kau, Ton! Putriku itu masih kecil!"
"Semua terserah lo sih? Gue juga nggak memaksa,"
"Minggir sana! Gue mau cabut!"
Rain yang tak mengerti apa-apa, masih menyimak pembicaraan ibunya dengan pria itu, tanpa mengerti apa yang sedang mereka rencanakan.
"Baiklah, Ton, aku setuju,"
Pagi-pagi sekali, Rain dan Carla sudah berada di jalanan, untuk mengumpulkan botol-botol bekas di tong sampah. Mereka harus datang pagi-pagi sekali sebelum sampah-sampah itu di angkut petugas kebersihan.
Matahari pagi sudah mulai memancarkan sinarnya. Seperti biasa, Rain akan membawa botol-botol bekas yang di kumpulkan nya itu ke pengepul, lalu uang nya akan ia gunakan membeli makanan untuk ia dan adik nya. Kemudian mereka akan mengumpulkan kembali botol-botol bekas itu. Agar bisa membawa pulang uang untuk ibu nya.
Di dalam perjalanan menuju ke pengepul ronsokan Rain melihat ada cairan merah di belakang celana Carla.
"Dek, tunggu dulu," Rain memegang tangan Clara, lalu memperhatikan cairan merah yang melekat di celana belakang adiknya.
"Kok celana Adek berdarah?" tanya Rain merasa khawatir.
"Berdarah?" Clara memutar leher nya kebelakang melihat darah yang melekat di celana nya itu.
"Lho, kok bisa berdarah Bang," nada suara Clara terdengar cemas.
"Abang juga nggak tau Dek," Lalu Rain mengedarkan pandangan nya ke sekitar. Di lihatnya sebuah Masjid yang tidak jauh dari tempatnya.
"Itu ada Mesjid, kita bersihkan dulu di sana," Ucap Rain lalu menyuruh Carla berjalan di depan. Ia sendiri berjalan di belakang Carla, menutupi tubuh belakang adiknya agar tidak terlihat orang-orang.
"Besok Adek di rumah saja, biar Abang sendiri yang cari uang," ucap Rain sambil terus mengayun langkah pelan di belakang Carla.
Carla menggeleng lemah.
"Nggak mau, Pokok nya Adek akan ikut kemana Abang pergi,"
****
Setelah sampai di depan Masjid Rain meletakkan karung berisi botol bekas yang mereka kumpulkan sejak subuh tadi di sekitar pekarangan Mesjid. Kemudian ia mengajak Carla pergi ke toilet.
"Masuk lah, Buka celana Adek, biar abang bersihkan." ucap Rain.
Carla menurut ia masuk ke dalam bilik toilet. Kemudian ia berikan celana nya itu pada Rain.
Rain masuk ke bilik toilet lain untuk membersihkan noda darah di celana Carla.
Setelah selesai membersihkan noda darah di celana Carla. Rain mengganti celana nya dengan celana Carla yang sudah basah. Lalu memberikan celana yang di pakainya pada Carla.
"Bang, darah nya keluar terus," Carla merengek dari bilik toilet.
Rain kemudian membuka baju yang di pakainya.
"Lapisi pakai ini Dek," Rain mengulurkan baju nya dari bawah pintu toilet.
"Ini kan baju Abang, nanti Abang pakai apa? " tanya Carla dari bilik toilet.
"Nggak apa-apa dek, nanti kita bisa pulang dulu, setelah menjual botol-botol yang kita kumpulkan itu.," ucap Rain.
**
Sementara itu di rumah Maya. Toni datang menagih janji yang di sepakati Maya semalam. Ia lansung mendorong pintu rumah yang tidak di kunci itu.
Para tetangga di sana sudah maklum, mereka tidak mau ikut campur urusan Maya. Bahkan mengucilkan Maya yang seorang pecandu.
"Maya.... Maya.... Bangun kau," bentak Toni yang sudah berada di dalam kamar.
Maya dengan malas membuka mata nya.
"Kau kenapa? Pagi-pagi berisik di rumah ku," ucap Maya dengan suara yang masih terdengar serak. Ia kemudian membalikkan tubuh nya membelakangi Toni. Seakan tidak terjadi apa-apa.
"Eh. Pecun!!! Apa kau lupa dengan janji yang kau ucap kan semalam?!!" bentak Toni yang emosi.
"Janji apa?" tanya Maya yang masih mengantuk.
Toni yang sudah geram. Menarik rambut wanita itu seraya berkata.
"Kau jangan pura-pura lupa dengan janji yang kau ucap kan semalam," ucap Toni penuh penekanan.
"Eh, Bajingan! Putri ku masih sangat kecil. Kalau kau mau, aku akan melayani kau sekarang," ucap Maya menahan sakit di kepalanya.
Toni dengan kasar menghempaskan kepala Maya, hingga membentur papan ranjang yang hanya beralaskan tikar.
"Kau jangan menguji kesabaran ku Maya."
"Baiklah, tapi kau harus memberikan ku barang itu setiap hari," pinta Maya.
"Dan setiap hari kau juga harus memberikan putrimu padaku," ucap Toni dengan seringai di wajah nya.
***
Setelah mendapatkan uang sepuluh ribu dari hasil menjual botol-botol bekas yang mereka kumpulkan sedari shubuh. Rain berniat akan membeli makanan untuk mengganjal perut adiknya yang sejak tadi terus merengek mengatakan lapar.
"Bocah, sini." panggil Zakir tetangganya yang sedang menikmati sarapan di dalam warung tenda.
Rain dan Carla saling pandang. Mereka takut jika ibu nya tau mereka akan di marahi kalau dekat dengan Pria itu.
Zakir berdiri dari duduk nya lalu mendekati mereka.
"Apa kalian lapar?" tanya Zakir yang sudah berjongkok di depan mereka.
Carla mengangguk cepat.
"Tidak Om, kami akan pulang," Rain menarik tangan Carla pergi dari sana.
"Tunggu Bocah," Zakir mengejar mereka lalu memegang tangan Carla. Tapi, lansung di tepiskan oleh Rain. Ia menarik tangan Carla agar berdiri di belakang nya. Matanya menatap tajam pada Zakir yang terkekeh.
"Wow. Oke, oke. Saya tidak akan memegang Adik mu," Zakir mengangkat kedua tangan nya ke atas.
"Biarkan kami pergi!" ucap Rain dengan tatapan tajam nya.
"Apa kamu tidak ingin mengajak Adik mu makan di sana?" Zakir menunjuk sebuah restoran cepat saji yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Tidak!" tolak Rain tegas.
"Aku mau Om," Carla mengangkat tangan nya cepat.
"Adek!" Rain membentak Carla. Hingga gadis itu menunduk sedih.
Lagi, Zakir terkekeh melihat sikap Rain.
"Apa kamu tidak kasihan dengan adik mu, lihatlah wajah nya jadi sedih begitu," ucap Zakir membujuk nya.
Rain menoleh melihat wajah Carla yang menunduk sedih.
"Adek mau kesana?" tanya Rain.
Carla mengangguk cepat.
"Pergilah, Abang tunggu di sini saja," ucap Rain.
Carla mengangkat wajah nya.
"Kalau Abang nggak ikut, Adek juga nggak akan pergi," ucap Carla.
Lalu ia menengadah melihat Zakir yang berdiri di depan.
"Aku nggak jadi ikut Om," lirih nya.
"Hei jagoan. Kenapa kamu tidak mau ikut?" tanya Zakir.
"Aku tidak lapar," jawab Rain dingin.
"Tapi Adik mu lapar. Apa kamu tidak kasihan dengan dia?" ucap Zakir.
Rain menoleh melihat Carla yang memegang perut nya.
"Tapi aku tidak menggunakan baju," ucap Rain dengan wajah tertunduk.
"Itu gampang, ayo ikut dengan saya," Zakir melangkah menuju deretan pertokoan.
Carla melangkah cepat mengikuti Zakir. Tidak dengan Rain yang masih berdiri diam.
Melihat Rain yang tidak bergeming, Carla berbalik langkah mendekati Abang nya itu.
"Ayo Bang," Carla menarik tangan Rain yang masih berdiri.
Dengan terpaksa Rain melangkah mengikuti Adik nya.
"Adek saja yang masuk, Abang malu," ucap Rain dengan kedua tangan yang menyilang di dada.
"Hai bocah. Kalian sedang apa disana? Sini cepat," teriak Zakir yang sudah berdiri di depan sebuah toko pakaian.
"Baiklah, Abang tunggu di sini ya. Jangan kemana-mana," ucap Carla memperingati.
"Iya," balas Rain.
Tidak lama berselang Carla keluar dari toko pakaian itu dengan langkah riang, membawa satu pa perbag di tangan nya.
Carla lalu mengambil satu pakaian di dalam paper bag itu menyerahkan nya pada Rain.
"Ini Bang, pakai," Carla menyodorkan sebuah baju kaos pada Rain.
Rain mengambil baju itu. lalu meneliti nya.
"Ini bagus sekali Dek. Adek saja yang memakainya." Rain mengembalikan baju yang di pegang nya itu pada Carla.
"Ini buat Abang." Carla memberikan lagi baju itu pada Rain.
"Adek juga di beliin Om Zakir nih," Carla mengeluarkan satu steal pakaian dari dalam paperbag yang di pegang nya.
Rain melihat Zakir yang baru saja keluar dari toko pakaian itu.
"Kenapa kamu belum memakai nya? Apa kamu tidak suka?" tanya Zakir.
Rain menggeleng dengan wajah menunduk ia mengucap kan terimakasih.
Zakir tersenyum miring.
"Kalau begitu pakailah cepat, Adik mu sudah lapar,"
Makanan sudah terhidang di meja. Carla lansung menyantap makanan didepan nya itu dengan lahap. Sedang kan Rain hanya duduk diam dengan kedua tangan menyilang di dada. Makanan yang terhidang di depannya belum ia sentuh sama sekali.
Zakir yang sejak tadi memperhatikan bocah laki-laki di depan nya mengernyitkan dahi.
"Kenapa kamu tidak memakannya? Apa makanan nya tidak enak," tanya Zakir.
"Aku tidak lapar," jawab Rain dingin memalingkan wajah nya kearah lain.
Zakir manggut-manggut mendengar jawaban angkuh seorang anak kecil yang duduk di depan nya itu.
"Saya mau ke toilet dulu," ucap Zakir lalu melangkah pergi. Pikirnya mungkin bocah laki-laki itu malu dengan keberadaan nya.
Namun, setelah Zakir pergi, Rain masih tidak menyentuh makanan itu. Ia hanya memperhatikan Carla yang makan dengan lahap.
Baginya, melihat Carla yang makan begitu lahap, membuat kebahagian tersendiri. Ia sadar, selama ini tidak bisa membelikan makanan enak untuk sang Adik.
"Abang, ini rasa nya enak sekali. Abang cobain deh!" Carla menyuapkan makanan di piring nya itu pada Rain.
Rain membuka mulut nya, menerima suapan dari Carla.
"Enak kan bang?" tanya Carla tersenyum padanya.
Rain mengangguk pelan.
"Kalau begitu, Abang makan lah. Kan sayang makanan seenak ini tidak di habiskan," ucap Carla lalu kembali menyantap makanan di piring nya.
"Adek suka makanan ini?" tanya Rain sembari mengusap puncak kepala Carla.
"Suka," Carla tersenyum senang.
"Nanti kalau Abang punya banyak uang, Abang akan selalu bawa Adek makan di sini," ucap Rain.
"Benar, ya Bang, "
Rain mengangguk.
"Adek juga ingin nanti punya restoran seperti ini," ucap Carla dengan polos nya.
***
"Bagaimana? Makanan nya enak kan? " tanya Zakir menatap piring kosong di depan Rain.
"Iya Om, enak banget," jawab Carla.
"Hei jagoan! bagaimana, Enak tidak," Zakir menatap Rain yang menunduk.
"Ya, enak. Terimakasih, " ucap Rain tulus dengan wajah yang masih menunduk.
Zakir tersenyum miring.
"Apa kamu ingin memakan nya lagi?" tanya Zakir.
Rain menggeleng.
"Kenapa?" tanya Zakir lagi yang seperti ingin menggoda bocah di depannya itu.
"Aku tidak ada uang," jawab Rain apa adanya.
"Kalian makan lah setiap hari di sini, saya akan membayarnya," ucap Zakir.
"Tidak perlu, semua yang Om berikan ini, suatu hari nanti aku akan menggantinya," ucap Rain penuh keyakinan.
***
Setelah keluar dari restoran cepat saji. Rain dan Carla melanjutkan lagi mencari botol-botol bekas, yang nantinya akan mereka tukar dengan uang. Rain yang tadinya berencana akan pulang mengambil baju, mengurung kan niat nya, karna sudah mendapatkan baju yang di belikan Zakir.
"Bang, Om Zakir itu baik ya. Tapi, kenapa Ibu melarang kita dekat dengan dia?" Carla terus mengoceh sembari memunguti botol-botol bekas.
"Kita memang harus hati-hati dengan orang asing Dek. Siapa tau dia itu memang punya niat nggak baik dengan kita," ucap Rain menanggapi.
"Tapi, Adek yakin Om Zakir itu orang baik," ucap Carla tak mau kalah.
"Iya," balas Rain.
Tiba-tiba Sebuah motor berhenti di dekat mereka.
"Ibu!" Carla berlari ke belakang tubuh Rain ketika melihat Maya yang duduk di belakang jok motor.
"Carla! ikut Ibu sekarang," Maya lansung menarik paksa tangan putrinya.
"Nggak, nggak mau. Adek nggak mau ikut Ibu," Carla berteriak sambil menangis memegang erat tangan Rain.
"Ibu mau bawa Adek kemana?" tanya Rain yang juga menarik tangan Carla.
"Bukan urusan kau Rain! Cari saja uang yang banyak, jika kau tak ingin aku pukul lagi!" bentak Maya menunjuk Rain dengan penuh amarah.
Mendengar ancaman Maya Rain pun melepaskan tangan nya yang memegang tangan Carla.
"Adek nggak mau ikut Ibu....... Abang tolong Bang. Adek nggak mau ikut Ibu," Carla terus meronta menggapai tangan nya pada Rain.
"Diam!!!" bentak Maya lalu mengangkat tubuh Carla naik ke atas motor di susul dirinya yang mengapit tubuh Carla.
"Jangan bawa Adek Bu, jangan bawa Adek Bu," Rain memegang kuat kaki Maya dengan kudua tangan nya.
"Lepas Rain! atau kau akan mendapat hukuman dariku nanti," bentak Maya menepis kan tangan Rain.
Rain melepaskan tangan nya. Dirinya terlalu takut dengan wanita itu. Takut dengan siksaan yang akan di Terima nya nanti, jika menentang ucapan nya.
"Jalan sekarang," titah Maya pada pengendara motor.
Motor pun melaju kencang. Rain hanya berdiri diam dengan linangan air mata menatap kepergian Carla diatas motor itu.
Kemudian ia melanjutkan kembali memunguti botol-botol bekas itu. Namun, tangisan Carla terngiang-ngiang di telinga nya. Hingga ia memutuskan kembali pulang.
***
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Rain akhirnya tiba di rumah. Langkahnya sejenak terhenti menatap heran motor yang terparkir di halaman rumah. Di luar tidak ada siapa-siapa. Bahkan ia juga tidak melihat Ibunya.
Tiba-tiba dari dalam rumah ia mendengar suara jeritan kesakitan Carla.
"Adek!" Ia berlari, mendorong pintu rumah yang tidak pernah terkunci itu.
Didalam rumah ia melihat Carla yang terbaring di lantai yang beralaskan tikar. Didalam kamar ia melihat Maya yang tertidur pulas.
"Aduh,. Sakit........ Sakit........." Carla merintih menahan sakit.
"Adek kenapa?" Rain melangkah mendekati Carla.
"Abang tolong. sakit.... Sakit," Carla terus merintih sambil memegang bawah pusarnya.
Ceklek
Pintu kamar mandi terbuka. Terlihat Toni keluar dari sana sambil menarik resleting celananya.
"Apa kau lihat?!" Bentak Toni.
Rain mengepalkan tangan nya kuat, menatap tajam pada Toni.
"Kau apakan Adik ku!?" bentak Rain dengan dada yang naik turun.
Toni hanya melihat bocah kecil didepannya itu dengan tatapan sinis.
Dada Rain yang sudah di penuhi amarah lansung menyerang Toni. Namun, Tubuh nya yang masih kecil tentu pukulan nya tidak terasa bagi Toni. Namun, Rain terus saja melayang kan pukulan nya.
"Dasar! bocah gembel." ucap Toni lalu menendang perut Rain, membuat tubuh kecil itu terpental jauh.
"Cuihh!!! Dasar bocah gembel," Ucap Toni menghinanya serta meludahi tubuh Rain. kemudian ia meraih jaket kulit yang ter gantung di dinding ruangan itu.
Rain bangkit, mengambil sebilah pisau yang terletak di atas meja. Lalu ia berlari kearah Toni.
Sekuat tenaga ia menusukkan pisau itu ke punggung Toni yang sedang mamasang jaket.
"Aaaaaakh!!!" Toni mengerang kesakitan seketika menoleh kebelakang.
"Anak sialan kau!!" Toni menarik Rambut Rain dengan kuat.
Namun Rain tidak mengerang kesakitan sama sekali. Pisau itu ia cabut, lalu menusukkan ke perut Toni.
"Aaaaakh!!! Anak sialan kau!!! " Toni mengerang ke sakitan. setelah itu tubuh nya terhempas ke lantai. Tak berhenti di situ Rain menduduki tubuh Toni yang sudah terbaring di lantai, lalu menusuk dan menyayat tubuh itu tanpa rasa takut sedikitpun.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!