"Sayang, aku akan segera menikahi kamu."
Itu adalah kalimat yang tidak pernah terbayangkan oleh seorang wanita bernama Raline Humaira. Seorang kasir minimarket di sebuah kota nomor 2 di negara ini.
Wanita itu memiliki kekasih yang 5 tahun lebih tua darinya. Namanya adalah Adnan Adhikari, mereka telah menjalin kasih hampir 2 tahun lamanya.
Pertemuan mereka sangatlah klasik layaknya sinetron di televisi. Adnan yang sedang kebingungan karena ban mobilnya pecah di pinggir jalan. Secara kebetulan Raline melewatinya ketika hendak menuju minimarket tempatnya bekerja dengan menaiki sepeda.
"Mas, ban mobilnya pecah ya?" tanyanya, kemudian pria itu mengangguk.
"Tapi jam segini belum ada bengkel yang buka di dekat sini," lanjut Raline. Karena ini masih jam tujuh lebih sepuluh menit, dan biasanya bengkel di daerah itu buka jam 8 pagi.
"Bagaimana ini, aku ada rapat penting sebentar lagi," jawab pria itu dengan gusar.
Raline tiba-tiba mendapatkan ide. "Kantornya di mana, Mas? Sudah dekat atau masih jauh? Kalau sudah dekat, Mas pake sepeda saya aja," ucapnya.
"Sudah lumayan dekat. Kalau sepedanya saya bawa, lalu Mbaknya?" Adnan menyadari jika wanita yang ada di depannya itu akan berangkat bekerja. Terlihat dari seragam yang Raline kenakan.
Raline mengulas senyum lembut. "Pakai saja, Mas. Tempat kerja saya sudah dekat" ucap Raline sembari menunjuk ke arah minimarket di seberang jalan.
Pada akhirnya, Adnan membonceng Raline dan menurunkannya di minimarket. Setelah itu, pria itu mengayuh sepeda tersebut dengan laju menuju kantornya.
Singkat cerita, Adnan sering datang ke tempat kerja Raline. Dua bulan saling mengenal, Adnan menyatakan perasaannya.
Raline yang merasa ragu karena mereka memiliki derajat yang berbeda, menolak perasaan Adnan. Tetapi pria itu tidak menyerah begitu saja dan akhirnya berhasil meluluhkan hati wanita pujaannya.
"Kamu lagi gak mabuk, kan?"
Adnan menangkup pipi Raline dan menggeleng. "Aku benar-benar cinta sama kamu. Aku hanya ingin kamu yang menjadi pendamping hidupku selamanya," ucap Adnan meyakinkan Raline.
"Orang tua kamu?"
"Orang tua aku itu urusanku. Kamu cukup ada di sampingku apapun yang terjadi nanti," jawab Adnan dengan yakin.
"Selesai kerja aku akan jemput kamu. Kita ketemu sama orang tuaku."
''Tapi...."
"Buang kekhawatiran kamu. Kamu lanjut kerja, aku balik ke kantor dulu," pamit pria itu dan melangkah keluar setelah mengecup kening Raline dengan lembut.
Setelah kepergian Adnan, Raline melanjutkan pekerjaannya menata etalase makanan instan. Untung saja minimarket sedang sepi. Hatinya bimbang, dia harus siap dengan respon yang di berikan oleh kedua orang tua kekasihnya nanti.
...****************...
3 jam kemudian
"Aku tadi udah telpon Ibu. Aku bilang kalau malam ini mau bawa seseorang ke rumah."
"Terus respon Ibu kamu gimana?" tanyaku penasaran.
"Biasa. Dia tidak tau siapa yang aku bawa ke rumah."
"Gimana kalau misalnya orang tua kamu tidak setuju anaknya menikah sama orang sepertiku?" tanya Raline.
"Jangan merendahkan diri. Aku tidak suka," sela Adnan.
Tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di depan rumah mewah dengan gerbang tinggi menjulang. Adnan menyalakan klakson mobilnya, dan seorang penjaga membukakan gerbang tersebut untuknya.
Rasa gugup Raline semakin menjadi ketika sudah sampai di halaman rumah kekasihnya. "Ayo turun, jangan takut. Semuanya akan berjalan lancar," kata Adnan.
Dengan sedikit rasa enggan, akhirnya Raline turun. Mereka berjalan beriringan menuju teras rumah yang benar-benar mewah jika dilihat dari dekat. Aku seperti gembel di sini, batin Raline.
Dengan penampilan seadanya, kaos putih yang dilapisi dengan sweater, celana jeans bewarna hitam, serta sepatu putih murah yang dibelinya dari pasar. Berbeda dengan Adnan yang masih mengenakan kemeja serta jas, sepatu hitam mengkilat yang Raline yakini harganya lebih besar dari gajinya selama sebulan.
Saat masuk, Raline melihat sepasang suami istri yang sedang berbincang di ruang tamu. Wanita itu yakin jika mereka adalah kedua orang tua kekasihnya. Merasa gugup sekaligus malu, Raline bersembunyi di belakang punggung lebar Adnan.
"Ayah, Ibu. Aku pulang," sapa Adnan.
"Ya," jawab Ayahnya singkat.
"Oh, siapa itu yang ada dibelakang kamu," tanya Ibunya.
"Sayang, ayo perkenalkan diri kamu. Jangan takut," ucap Adnan lalu menarik pelan lengan Raline agar berdiri di sampingnya.
Raline yang memang dasarnya pemalu, menatap manik hitam kekasihnya. Mencoba memberitahu lewat tatapan mata, jika dia tidak bisa memperkenalkan dirinya sendiri.
"Perkenalkan dia adalah kekasihku, namanya Raline. Aku sudah menjalin kasih dengannya hampir dua tahun" ucap Adnan dengan tegas.
"Sudah selama itu dan kau baru memperkenalkannya kepada kami?" tanya ibunya sedikit kaget.
Adnan menatap kedua orang tuanya dengan tenang. "Aku hanya menunggu waktu yang tepat. Dengan aku membawanya kemari saat ini, aku ingin memberi tahu kalian, jika aku akan menikahinya dalam waktu dekat," jelas pria itu.
"Sebenarnya Ibu sama Ayah sedang mendiskusikan tentang anak rekan kerja Ayah kamu. Niatnya, kami ingin menjodohkan kalian," celetuk Ibu Adnan tanpa ditutup-tutupi.
Ayah Adnan yang sejak tadi diam dan hanya menyimak akhirnya ikut berbicara. "Umur berapa? Lulusan mana? Kerja apa?" tanyanya menuntut.
Mendengar pertanyaan itu, Raline akhirnya memberanikan diri untuk menjawab. Menarik napas pelan, ia mulai berbicara. "Umur saya 20 tahun, lulusan SMA ***, saya seorang kasir di salah satu minimarket yang tidak jauh dari sini," jawabnya.
"SMA?! Tidak ada yang bisa di harapkan!" sarkas Ibu Adnan.
Sungguh, Raline rasanya ingin menghilang saat itu juga. Mendengar respon itu, sudah dapat dipastikan jika dia tidak diterima sebagai menantu di sana.
Bersambung
See you on the next chap
Jangan lupa like dan komen ya
Inilah yang dikhawatirkan oleh Raline, sebuah penolakan. Sedari awal dia sudah paham di mana tempatnya berada. Bisa menjalin kasih dengan Adnan saja sudah membuatnya bersyukur setengah mati, apalagi sampai menikah.
"Ada yang salah dengan itu?! Aku mencintainya sepenuh hati," ucap Adnan dengan tangan mengepal. Dia tidak suka jika ada yang menghina kekasihnya, bahkan jika orang itu adalah orang tuanya sendiri.
"Jangan lupa jika kamu dari golongan terpandang. Kamu anak tunggal, harapan terbesar kami. Kami hanya ingin kamu memiliki pendamping yang tepat dan cocok bersanding denganmu," ucap Ibu Adnan.
"Aku sudah memilihnya! Meskipun Ayah dan Ibu ingin menjodohkanku, tetapi aku tidak menginginkannya. Aku hanya ingin Raline yang menjadi istriku," jelas sang anak.
Mendengar hal itu, Raline menundukkan kepalanya. Matanya memerah dan sudah siap untuk menumpahkan air mata.
Perlu kalian ketahui, Raline adalah yatim piatu. Orang tuanya meninggal saat dia duduk di bangku SMA tahun pertama. Mereka meninggal akibat tabrak lari oleh orang tidak bertanggungjawab. Dia juga tidak memiliki sanak saudara karena orang tuanya tidak pernah memberitahunya.
Raline menarik pelan jas yang dikenakan kekasihnya. "Tak apa. Semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya," ucap wanita itu.
"Tidak! Aku sudah memilih, sebagai orang tua mereka seharusnya mendukung pilihan anaknya." nada Adnan mulai meninggi.
"Jika kalian tidak merestui kami, itu bukan masalah besar. Aku akan tetap menikahinya dengan atau tanpa restu kalian," finalnya.
"Kamu sudah benar-benar memikirkannya dengan matang? Kamu tau resiko apa yang akan dia dapatkan, bukan?" tanya pria tua yang ada di sana.
"Apa yang Ayah katakan! Ayah tidak berniat merestui mereka, kan?!" tanya Ibu Adnan tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh suaminya.
"Bagaimana dengan nasib anak Pak Yuda? Kita sudah membahas perjodohan ini! Akan sangat memalukan bagi kita jika membatalkannya begitu saja!" jelasnya.
"Masalah itu biar jadi urusan Ayah."
"Adnan! Apa kamu berniat membuat kami kecewa? Pikirkan sekali lagi, Nak," pinta wanita tua itu dan memohon kepada anaknya.
"Bu! Di sini aku yang akan menjalani. Aku sudah siap dengan segala resiko itu," jawab Adnan dengan tegas.
Sang Ayah menganggukkan kepalanya pelan. "Baiklah. Hanya saja, jika ada masalah pada rumah tanggamu, jangan pernah meminta tolong pada Ayah," putusnya lalu melangkah menaiki tangga.
Satu-satunya wanita tua yang ada di sana menatap anaknya dengan kecewa, setelah itu tatapannya beralih ke arah Raline dan menatapnya dengan amarah dan juga kebencian. Wanita itu berbalik dan berniat menyusul suaminya.
Raline menghela napas panjang. Jika memang tidak di restui pun dia tidak masalah, dia tidak memaksa. Tetapi ketika melihat dan mendengar sendiri kesungguhan hati kekasihnya, membuatnya tersentuh.
Apa yang pria itu lihat darinya? Bahkan hingga berani menentang keputusan orang tuanya. Orang tua yang sudah merawat dan memberinya kemewahan sedari kecil, pikir Raline.
"Jangan di masukkan ke dalam hati perkataan mereka. Mereka tidak akan bisa menentang keputusanku," ucap Adnan dan mengelus pelan punggung kekasihnya.
...****************...
Sekarang di sinilah mereka, di tempat salah satu penjual bakso pinggir jalan. Tempat langganan Raline sedari lama. Tempat di mana wanita itu untuk melepas rasa sedihnya.
"Jangan banyak-banyak sambalnya. Udah malam," ucap Adnan memperingati kekasihnya.
"Bawel! Aku lagi sedih, enaknya makan yang pedes-pedes," balas Raline dengan sengit.
Adnan hanya bisa menghela napas pasrah. Dia tidak pernah bisa menentang keinginan kekasihnya itu.
Selesai makan, Adnan mengantar Raline pulang ke rumah sederhana peninggalan orang tuanya. Rumah yang penuh kenangan sebelum kejadian naas itu terjadi.
"Aku pulang ya, kamu langsung bersih-bersih dan istirahat. Jangan lupa pintu sama jendela di kunci," kata Adnan.
"Iya. Hati-hati di jalan."
Setelah kepergiannya, Raline masuk ke dalam dan segera mandi. Guyuran air dingin di malam hari membuat tubuh serta pikirannya sedikit tenang.
Keesokan paginya, Raline melanjutkan rutinitas seperti biasanya. Dia harus tetap bekerja untuk menyambung hidupnya yang pas-pasan.
Biasanya dia bekerja dengan menaiki sepeda. Tetapi karena kemarin dia di jemput oleh Adnan, maka hari ini dia harus jalan kaki menuju minimarket tempatnya bekerja.
Ketika jam makan siang, Raline hanya memakan roti yang disediakan oleh pemilik minimarket. Biasanya bosnya itu akan menggantikannya sebentar agar dia bisa makan siang di luar, tetapi karena sedang ada kesibukan bosnya itu tidak bisa datang.
Saat sedang menyuap roti, Raline mendengar pintu minimarket terbuka. Dari kejauhan, ia bisa melihat kekasihnya berjalan ke arahnya tangan kanan membawa plastik berwarna hitam.
"Ada masalah di kantor ya?" tebak Raline ketika melihat penampilan kekasihnya. Lengan kemeja yang sudah digulung sebatas siku, dasi yang sudah tidak ada di tempatnya, serta rambutnya yang terlihat lepek.
"Iya. Ada sedikit kendala, tetapi sekarang sudah beres. Oh ya, ini aku bawa nasi ayam kesukaan kamu,'' ucapnya sambil menyerahkan kantong plastik itu kepada Raline.
Ayana mengulas senyum lebar dan menerima plastik tersebut. "Terima kasih. Kebetulan aku juga gak bisa keluar buat makan siang," ucapnya mengadu.
"Kalau begitu habiskan makanannya. Aku balik kantor dulu, masih ada yang perlu aku urus," pamit Adnan.
Sedari tadi pria itu terlihat tidak tenang. "Buru-buru banget. Gak mau makan bareng?" tawar Raline dengan wajah cemberut.
Adnan tersenyum tipis dan mengelus rambut Raline pelan. "Aku udah makan sebelum ke sini. Aku pergi dulu."
Raline mengangguk. "Jangan lupa istirahat," ujarnya yang mana langsung mendapatkan jempol dari kekasihnya.
"Pulang kerja ada yang mau aku bicarakan sama kamu. Nanti aku jemput," ucap Adnan lalu melangkah keluar.
Kira-kira apa yang ingin dia bicarakan? batin Raline.
Bersambung
see you on the next chap
ini masih yang ringan-ringan dulu ya...(. ❛ ᴗ ❛.)
Benar saja, tepat 5 menit sebelum jam kerja Raline selesai, Adnan datang untuk menjemputnya. "Tunggu sebentar. Mau beresin ini dulu," ucap wanita itu.
Adnan mengangguk dan menunggu kekasihnya dengan memainkan ponselnya. Tak lama kemudian, Raline sudah selesai dan sudah siap untuk pergi. "Ayo!" ajaknya.
Raline hanya bekerja di sana dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Jika sudah malam, minimarket akan dibuka kembali dan dijaga oleh pemiliknya sendiri.
Kini keduanya sudah berada di atas motor milik Adnan, "Tumben pake motor?" tanya Raline agak mengeraskan suaranya.
"Iya. Biar lebih romantis," jawab Adnan tak kalah kerasnya. Raline yang mendengar hal itu mencubit pelan perut Adnan dan mengeratkan pelukannya.
Sore ini jalanan terlihat begitu ramai, mungkin inilah alasan Adnan lebih memilih pakai motor. Tak sampai satu jam, mereka sudah sampai di salah satu Cafe yang ada di pusat kota.
Mereka masuk ke dalam Cafe yang sepertinya masih baru. Terlihat jelas ada beberapa karangan bunga ucapan selamat dan juga tulisan promo yang tercetak jelas di kertas yang ditempel di samping pintu.
Di dalam suasana cukup ramai pengunjung, hanya tinggal beberapa kursi kosong, "Mau makan apa?" tanya Adnan saat mereka sudah menemukan tempat duduk yang pas. Pria itu menyodorkan buku menu kepada Raline.
Raline menerima buku menu itu dan membukanya, "Aku mau Toast, minumnya Lemon tea aja," ucapnya setelah memilah-milah buku menu tersebut.
Adnan mengangguk dan memanggil pelayan untuk mencatat pesanan mereka. Setelah pelayan itu pergi, Ayana memberikan diri untuk bertanya.
"Kamu mau ngomong apa? Tumben sampai ngajak keluar," tanya Raline sembari menatap kekasihnya dengan pandangan bertanya-tanya.
Adnan berdehem pelan sebelum menjawab pertanyaan kekasihnya. "Sebenarnya aku udah nyiapin kebutuhan pernikahan kita dari kamar. Udah 80%," balas pria itu dengan satu tarikan napas.
Raline melotot seketika mendengar hal tersebut. "Hah! Kamu itu kebiasaan suka membuat keputusan sendiri tanpa diskusi dulu sama aku!" jawabnya dengan nada meninggi.
"Biar cepat prosesnya. Saat kamu udah siap, kita bisa langsung nikah," balas Adnan dengan entengnya.
Raline menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Kamu buat keputusan tanpa diskusi dulu, padahal yang akan menikah itu aku sama kamu. Kamu sendiri tau gimana respon orang tua kamu kemarin, kan?"
"Sayang. Masalah orang tuaku itu gampang. Aku bakal melakukan apapun agar bisa bareng sama kamu. Aku cinta dan sayang sama kamu," jawab Adnan dengan lembut. Meskipun di bawah meja tangannya mengepal kuat.
Wajah Raline yang memang sudah terlihat lelah, kini terlihat lebih kusut. "Jangan karena kamu anak satu-satunya, kamu berbuat semau kamu. Aku--"
Ucapan Raline terpotong saat seorang pelayan membawa pesanan mereka. "Permisi, ini makanan dan minumannya. Silahkan dinikmati," ucap pelayan itu.
Setelah meletakkan pesanan di atas meja, pelayan itu pun pamit pergi. "Makan dulu," ucap Adnan.
Tanpa menjawab, Raline mulai memakan pesanannya. Tak ada obrolan yang keluar dari mulut keduanya. Mereka sibuk dengan isi pikirannya masing-masing.
Hingga 20 menit kemudian, Raline sudah menyelesaikan makanannya. "Aku gak mau nikah kalau gak dapat restu dari orang tua kamu," celetuk wanita itu.
Adnan yang belum menyelesaikan makanannya, menghentikan kunyahannya. Kepala mendongak dan menatap kekasihnya dengan dalam. "Aku udah bilang, orang tuaku itu urusanku. Mereka seperti itu karena belum mengenal kamu sepenuhnya. Nanti mereka juga luluh sendiri," jawab pria itu penuh keyakinan.
Setelah jeda, ia kembali melanjutkan. "Kalau kamu masih belum siap menikah dalam waktu dekat. Aku tunggu sampai kamu siap. Tapi jangan terlalu lama," jelasnya.
Raline menghela napas kasar. "Pernikahan adalah hal yang sakral. Aku cuma mau menikah sekali seumur hidup. Jangan terlalu memaksakan jika nantinya akan menjadi bumerang untuk kita," balasnya.
Adnan mengangguk mengerti. "Oke. Kamu tunggu sebentar. Aku akan bujuk mereka sampai mau menerima kamu dengan senang hati."
"Apa motif kamu yang sebenarnya? Selain karena kamu cinta sama aku," tanya Raline. "Apakah karena sedari awal pacaran aku selalu menolak ketika kamu ajak ciuman atau berhubungan badan?" lanjutnya. Kata-kata itu terlintas begitu saja di otaknya.
" A..A..Aku..."
Raline tersenyum miring ketika melihat kekasihnya tergagap saat ingin menjawab. "Aku udah tau jawaban kamu. Sekarang kamu antar aku balik ke minimarket buat ambil sepeda," ujar wanita itu dengan nada datar.
"Jangan ya. Aku langsung antar rumah kamu aja," pinta Adnan dan menarik tangan Raline untuk dia genggam.
Dengan pelan, Raline melepaskan tangan kekasihnya dan berdiri dari duduknya. "Iya atau aku balik ke minimarket sendiri," ucapnya dan langsung melangkah keluar.
Dengan cepat, Adnan berdiri dari duduknya dan melangkah menuju kasir untuk membayar terlebih dahulu. Setelah itu, dia melanjutkan langkahnya untuk menyusul kekasihnya yang sudah di luar.
Dengan berat hati, pria itu akhirnya mengantar Raline sampai minimarket. Biasanya, dirinya sendirilah yang selalu mengantar jemput Raline ketika hendak pergi bekerja. Tetapi karena beberapa hari ini dia memiliki urusan, akhirnya ia membiarkan Raline pergi sendiri.
Bersambung
Udah siap buat masuk konflik?😁
Semoga suka sama chap ini, see you on the next chap 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!