“Apa kalian merasa hebat dengan ugal-ugalan seperti itu?”, suara teriakan seorang laki-laki paruh baya menjadi satu-satunya suara yang menggema di lapangan upacara di sebuah sekolah.
“Kamu merasa keren? Hah?”, tangan lelaki itu menoyor kepala salah seorang siswa yang berdiri di tengah-tengah lapangan.
Sebanyak tujuh siswa berdiri menjadi pusat perhatian di tengah lapangan. Kepala mereka menunduk, dan hanya berani memandang satu sama lain melalui sudut mata mereka. pak Hadi yang merupakan kepala sekolah SMAN 24 XXX terlihat menahan amarahnya.
“Pak Hadi yang penyabar, sampai turun tangan. Gila!”. seorang siswa berbisik sambil menyikut lengan teman di sampingnya.
“Untung saja kamu tidak ikut kemarin”, timpal siswa lain sambil berbisik.
Di barisan belakang, seorang siswi menatap teman-temannya yang berbisik-bisik. Terlihat jelas dia mendengar percakapan beberapa teman sekelasnya itu. Wanita muda dengan rambut sebahu itu kemudian mengalihkan pandangannya, menatap satu persatu dari tujuh siswa yang berdiri di tengah lapangan.
“Kenapa mereka harus bikin ulah terus sih?, kan upacaranya jadi lama!”. Keluh seorang siswi yang berdiri tepat di depan wanita dengan rambut sebahu itu.
Bisikan gosip, keluhan karena lelah berdiri, dan juga omelan pak Hadi menjadi satu seperti sebuah harmoni di lapangan upacara Senin itu.
“Amira!”, seorang siswi lain berteriak menghampiri wanita berambut sebahu itu dengan nafas yang tersengal.
“Ke kantin yuk, aku laper banget”, celoteh Nadia sambil menarik Amira yang sedang mengipaskan topinya ke area leher.
“Eh nanti sore aku sama yang lain niatnya mau nonton film yang lagi viral itu. Kamu mau ikut gak?”, Nadia memakan roti di tangannya sambil beriringan berjalan menuju kelas bersama Amira.
Amira hanya menatap Nadia, menyalurkan tegangan rasa malasnya melalui tatapan.
“Hahhh, Mir!. kamu itu harusnya udah bisa menerima keadaan keluargamu. Ini sudah tahun ke tiga, dan kamu masih mau bertingkah seperti pecundang begitu?”. Nadia mengomeli temannya dengan nada kesal.
“aku cuma males keluar aja”, Amira membalas dengan ketus, karena merasa di hakimi dengan tidak adil melalui perkataan Nadia.
“Eh Amira”, suara seorang laki-laki membuat Amira dan Nadia dengan refleks melihat kearah suara itu.
“Habis dari kantin ya?”, Ryan kakak kelas Amira menyapa Amira dengan semangat.
Amira hanya tersenyum dan mengangguk menjawab sapaan Ryan.
“Dia gencar banget deketin kamu Mir”, Nadia berbisik sambil menarik Amira menjauh dari Ryan dan teman-temannya.
“Gila, kamu harusnya dengan tegas nolak dia”, Nadia melingkarkan tangannya ke bahu Amira saat berhasil masuk kedalam kelas.
“Karena kamu gak tegas, dia jadi berasa di beri harapan, dan ngedeketin kamu seenaknya di depan umum”, Nadia menepuk-nepuk bahu Amira.
“apa?, siapa?”, Rani yang duduk di depan bangku Amira dan Nadia, menengok kearah Amira dan Nadia dengan rasa penasaran.
“Itu kak Ryan kelas 12 IPS 2”, ucap Nadia sambil mengangkat alisnya dan memanyunkan mulutnya.
“Iiiiihhh, loe gak tau ya?”, Rani meledek Nadia dengan nada menyeret.
“Hah?”, Nadia duduk di kursinya menatap Rani dengan bingung.
“Eyy, Amira kan baru jadian dua hari yang lalu dengan kak Ryan”, jelas Rani.
“kamu gila!?”, Nadia berdiri dari duduknya menatap Amira yang baru saja duduk.
“Kamu kan tahu jelas kak Ryan itu terkenal karena pergaulannya yang tidak baik?. Dia bahkan lebih parah di banding tujuh orang yang di hukum pak Hadi tadi!”, Nadia marah-marah sampai wajahnya merah menahan amarah.
“Itu bukan urusan kamu”, Amira menjawab dengan enteng tanpa menatap Nadia.
Melihat respon Amira, Nadia hanya terpaku menatap Amira dengan urat leher yang mengeras. Lidahnya tak bisa bergerak karena tak habis pikir dengan apa yang di katakan Amira kepadanya.
“Bu guru masuk!”, seorang siswa masuk kedalam kelas sambil bergegas menuju mejanya. Membuat semua murid di kelas itu bergegas ke tempat duduk mereka masing-masing. Termasuk Nadia yang kembali duduk sembari menghempaskan udara dari mulutnya, mengeluarkan sebagian kecil rasa muak nya.
Sepulang sekolah, Nadia yang sepertinya masih marah kepada Amira, meninggalkan kelas dengan langkah besar sambil diam seribu bahasa.
Amira seolah tak peduli dan berjalan santai keluar dari kelas. Di gerbang sekolah, Ryan sudah menunggu Amira dengan motornya sambil tersenyum ke arah Amira.
“Hari ini ayo ikut ke tempat nongkrong ku”, Ryan menyodorkan helem ke arah Amira.
“Tapi..”, Amira melihat jam di ponselnya yang menunjukan jam 5 sore.
“Sudaaah, ngapain musingin bapakmu yang pemarah itu”, Ryan menutup layar ponsel Amira dengan tangannya.
Amira terdiam beberapa saat seolah berpikir. Kemudian memutuskan mengambil helem dari tangan Ryan. Amira naik ke atas jok motor Ryan setelah memakai helm nya. hal itu menjadi pemandangan mencolok di lingkungan sekolah. Karena motor Ryan yang merupakan motor sport bising itu, melintas menjauhi area sekolah membawa Amira yang terlihat berpenampilan seperti siswi pendiam.
“Eyy, kemana aja bro”, Ryan menyapa beberapa orang yang sedang berkumpul di sebuah gedung yang sepertinya terbengkalai. Amira mengikuti Ryan berjalan menyusuri area gedung. Mata Amira tak bisa berhenti berkeliling menatap setiap inci bangunan itu. Suasana tak nyaman membuat Amira merasa ingin cepat-cepat pulang. Dinding berdebu, lantai kotor, dan tatapan orang-orang yang menatap Amira menambah perasaan tak nyaman yang di rasakan Amira.
“Siapa nih?”, seorang lelaki bertanya kepada Ryan sambil tersenyum kearah Amira.
“Pacar gue, namanya Amira”, Ryan memperkenalkan Amira sambil merangkul Amira erat.
“Ini Rio”, Ryan memperkenalkan lelaki jangkung itu kepada Amira.
Rio menatap Amira yang terlihat gugup dalam rangkulan Ryan hanya tersenyum kecil sembari menatap Amira.
“Dapat yang polosan gini dari mana?”, Rio menepuk bahu Ryan.
“Haha, bisa aja loe”, Ryan tertawa menanggapi candaan Rio.
“Tinggal di modif dikit, mantep kan jadinya”, Ryan berbisik kepada Rio sambil tertawa renyah.
Hari itu Amira berusaha menyesuaikan atmosfer suasana tempat nongkrong Ryan. Di beberapa sudut terlihat sebuah mural yang lebih seperti coretan cat bertuliskan The Hell. Amira menatap lekat tulisan tersebut, mencoba menghilangkan rasa bosannya sambil menemani Ryan yang asik mengobrol sambil merokok.
“Mau?”, seorang wanita duduk di samping Amira menyodorkan sebungkus cemilan.
“Terimakasih”, Amira tersenyum sembari mengambil sekepal kacang dari bungkusan yang di sodorkan wanita berambut ungu itu.
“Baru hari ini ya?”, “apa?”. Amira menanyakan maksud dari pertanyaan wanita berpenampilan nyentrik itu.
“Kumpul di sini”, “oh iya namaku Laura”. Wanita itu lanjut memperkenalkan diri.
“Oh iya, aku Amira”, jawab Amira.
“Kamu sudah gabung grup?”, Laura mengeluarkan ponsel dari sakunya.
“Grup apa?”, Amira bertanya dengan canggung.
“Masukan nomormu”, Laura menyodorkan ponsel miliknya kepada Amira. Yang kemudian dengan patuh Amira mengetikan nomor ponsel pribadinya kedalam ponsel itu.
Beberapa saat Laura fokus kepada ponselnya, dia memasukan nama Amira The Hell pada nama kontak Amira.
“The Hell?”, Amira bertanya setelah mengintip bagaimana Laura menulis nama kontaknya.
“Ya, nama aliansi kita”, Laura menjawab.
“Nah sudah ku kirim link gabung grup chat nya”, Laura menatap Amira.
Amira kemudian memeriksa ponselnya, dan mengklik link yang di kirim Laura. Amira melihat dirinya sudah bergabung dengan sebuah grup chat dengan nama The Hell D4. Amira terpaku saat melihat ada seribu lebih anggota dalam grup chat itu.
“Wah, banyak sekali anggotanya”, Amira bergumam agak keras.
“Ini yang bergabung di distrik 4 saja, setahuku ada sekitar 9 distrik”. Laura menjelaskan.
“Memangnya ini aliansi apa?”, Amira penasaran.
“Kamu tidak tahu?, ini semacam geng motor”, jelas Laura.
Ditengah perbincangannya dengan Laura, Amira merasakan tangan Ryan yang meraba-raba lututnya. Amira berusaha untuk mengabaikan hal itu. Tapi pada akhirnya Amira berdiri dan beralasan ingin ke toilet.
Sejak hari itu, setiap pulang sekolah Amira seringkali ikut dengan Ryan ke perkumpulan geng motor The Hell. Terkadang pawai di sepanjang jalanan kota, nongkrong di sepanjang jembatan yang menghubungkan jalan raya yang terpotong oleh sungai di bawahnya. Tapi lebih sering mereka berkumpul di gedung terbengkalai, menghabiskan waktu untuk mengobrol tak jelas.
Hari itu, merupakan hari ke sembilan Amira bergabung dengan aliansi geng motor The Hell. Amira yang mulai terbiasa dengan suasana tempat berkumpul juga mulai terbiasa dengan rangkulan Ryan, terlihat berjongkok di pojokan ruangan sambil mencoba menyalakan rokok di mulutnya menggunakan korek. Ryan dan Laura serta beberapa orang lain hanya tertawa-tawa kecil, saat melihat Amira yang tak kunjung berhasil menyalakan rokoknya.
“Sudah kubilang kamu harus menyalakannya sambil menghisapnya. Lakukanlah dengan benar!”, Ryan terkekeh melihat kekasihnya yang terlihat sangat serius berusaha menyalakan rokok.
“Nah-nah!, bisa!”, Amira berseru dengan semangat. Namun dari arah pintu luar suara riuh terdengar samar.
“Pemimpin datang!”, “Apa?, mendadak sekali”. Kedua kalimat itu mewakili isi riuh bisikan yang menjalar hingga tempat Amira berdiam diri. Dalam beberapa saat keriuhan itu berubah menjadi keheningan, suasana asing di tempat itu membuat Amira bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.
“Ukhukk,,, ohok.. ukh”, Amira tersedak asap rokok di mulutnya, membuat tenggorokan Amira perih dan matanya mulai berair.
“shutt”, Ryan menyikut Amira meminta Amira untuk berhenti batuk.
Namun Amira yang tak bisa menahan rasa gatal di tenggorokannya, hanya bisa berusaha menutup mulutnya yang masih terus terbatuk-batuk dengan kedua tangan, dengan rokok yang masih di jepit diantara telunjuk dan jari tengah tangan kanan Amira.
Tiba-tiba Amira merasakan rokok di tangannya di ambil oleh seseorang, Amira berusaha melihat siapa orang di depannya. Amira berusaha melihat dengan benar sembari mengelap matanya yang berair.
Saat membuka mata, Amira melihat seorang lelaki dengan tubuh tegap dan tinggi menyodorkan sebotol air mineral sembari menghisap rokok yang baru saja lelaki itu ambil dari tangan Amira.
Dengan gugup amira mengambil air itu, karena memang tenggorokannya memaksanya untuk menerima air mineral itu. Yang kemudian Amira minum dengan terburu-buru.
Saat tenggorokan Amira mulai membaik, amira menyadari suasana dingin yang terasa seolah mencekam mengelilinginya. Orang-orang menatapnya tajam. Dan yang paling membuatnya gugup adalah orang di depannya.
“Te.. terimakasih”, Amira berucap sambil berusaha berpikir harus menunjukkan pandangannya kearah mana. Matanya kelabakan mencari tempat yang harus di lihat, karena merasa gugup setelah melihat jelas seorang lelaki dengan wajah yang tampan berdiri di hadapannya. Tubuhnya tegap, tinggi dan auranya berhasil membuat tempat yang biasanya bising itu menjadi sepi.
“Minggu depan kita akan mengadakan pawai gabungan, seluruh anggota The Hell. Mari kita tunjukan bahwa tak ada celah untuk geng lain tumbuh di pulau ini”, Lelaki itu berkata sembari berjalan membelakangi Amira.
Semua mata tertuju fokus pada lelaki itu, dadanya membusung seolah sang raja sedang mengumumkan bahwa area itu adalah wilayah kekuasaannya.
Kunjungan singkat lelaki itu menyisakan bising di area markas The Hell distrik 4. Orang-orang mengeluarkan binaran semangat di bola mata mereka.
“Oh jadi dia Arthur yang itu?”, “Ini adalah pawai pertamaku!”, “Aku tak sabar ingin cepat-cepat ke hari H”.
Semua orang riuh bersemangat. Namun Amira hanya melamun menatap tangan kanannya yang terasa kosong karena kehilangan rokok.
“PLAKK!!!”, suara tamparan keras terdengar di ruang tamu rumah Amira. Amira yang baru melangkah 3 langkah dari ambang pintu, disambut layangan telapak tangan ayahnya.
“Kau sudah tak waras Amira?”, urat di leher ayahnya menegang, membuka lebar kelopak mata sang ayah.
“Ayah di hubungi wali kelasmu, katanya kamu seminggu ini sering bolos dari siang hari”. Teriakan dengan volume keras yang konsisten sejak awal memekak di telinga Amira.
“Salah makan apa kamu?, kamu ingin mempermalukan ayah?, haahh!?”. Rentetan kata-kata itu datang bersamaan dengan cengkraman tangan kiri ayah Amira ke dagu Amira.
Wajah Amira memerah menahan rasa sakit, keringat bercucuran bersamaan dengan mulai munculnya bibit-bibit kebiruan di sekujur tubuh Amira. Di banding menjawab apa yang dilontarkan mulut ayahnya, Amira hanya menangis. Sesekali matanya melihat kearah seorang wanita cukup muda dibanding ayahnya berdiri gugup di belakang ayahnya.
“Mas, sudah cukup”, suara wanita yang berusia sekitar 35 tahunan itu hampir senyap tak terdengar. Teredam suara keras dari pukulan ayah Amira ke tubuh anaknya.
Di tengah malam, Amira berbaring perlahan di tempat tidurnya. Dia menyalakan ponselnya dan menatap wajahnya dari layar ponsel.
“Untung saja wajahku tak kena banyak”, gumam Amira saat melihat pelipisnya yang agak membiru.
Tangan kanan Amira bergetar hebat, tak sanggup menopang ponsel untuk waktu yang lama. Rasa sakit di beberapa titik membuat Amira bahkan malas untuk memiringkan tubuhnya.
“Trak”, suara pintu di buka, Amira dengan reflek memejamkan matanya. Hembusan angin yang tipis, membuat Amira merasakan kehadiran seseorang. Beberapa saat kemudian, Amira merasakan baju bagian bawahnya di angkat perlahan.
“Apa yang anda lakukan?”, Amira bertanya, sembari tangan kirinya menggenggam pergelangan tangan ramping yang berusaha menyibak pakaian Amira.
“I.. ini, kamu bisa melakukannya sendiri kan?”, ibu tirinya menyerahkan kantung kompresan es kepada Amira.
Amira hanya menerimanya, dan melihat ibu tirinya itu pergi sembari menutup kembali pintu kamarnya. Amira melirik kearah meja kecil di samping kasurnya. Segelas air, beberapa roti dan beberapa obat tergeletak bersamaan dalam sebuah nampan.
“Haaahh”, Amira menghembuskan nafasnya, sembari berbaring bersamaan melekatkan kantong kompres itu ke area perut dekat tulang rusuknya. Area itu adalah area yang paling banyak terkena pukulan.
“Drrrrtttt… Drrrrttt”, getaran dari ponsel Amira membuat Amira terbangun, dengan keringat memenuhi tubuhnya. Entah sejak kapan dia tertidur, tapi cahaya matahari yang ke orenan mengintip di antara celah gorden. Amira duduk dari tidurnya, menyadari es di kantung kompres sudah sepenuhnya mencair, bahkan cenderung bersuhu hangat yang berasal dari hangat tubuh Amira.
“Ya”?, Amira berbicara pada ponsel yang baru saja dia ambil dari meja.
“Kemana saja kamu?”, Suara Ryan terdengar dari ponsel itu di iringi oleh suara bising di belakangnya. Yang membuat Amira jelas tahu bahwa Ryan sedang nongkrong seperti biasa.
“Aku tidak enak badan kak”, suara serak Amira menjelaskan segalanya.
“Ya ampun, yasudah istirahat saja. Nanti besok kita ketemuan”. Ryan menutup panggilannya.
17:25, angka itu tampil di layar ponsel Amira. Saat keluar dari kamarnya dia melihat ibu tirinya yang sedang bersantai menonton TV. Amira melangkah ke dapur mengisi gelas kosong dengan air. Mereka berdua hanya saling diam tak menghiraukan satu sama lain.
“Drrt”, suara notifikasi chat terdengar dari ponsel Amira. Dia melihat sebuah chat dari Ryan di layar ponselnya.
“Yang aku kangen”, isi chat itu tak merubah mimik muka Amira sedikitpun. Perasaan tak nyaman setiap Ryan mulai mengatakan rindu atau sayang sudah mulai tertanam di alam bawah sadar Amira. Hal itu karena Amira harus berusaha sebaik mungkin mempertahankan kewarasannya.
“PAP dong!”, susulan pesan dari Ryan membuat Amira merengut. Karna tentu saja tak cukup hanya dengan photo selfi biasa.
Amira berdiri menghadap jendela. Cahaya orange redup dari luar menyinari Amira,”cklikk” satu buah photo selfie berhasil di jepret. Tak lama satu buah photo selfie itu berhasil di kirim ke Ryan.
“Kamu gak gerah ngancingin baju sampai ke leher seperti itu?”, jawaban pesan dari Ryan di ikuti emotikon tertawa.
“Satu lagi dong sayang”, pinta Ryan.
Amira kembali berdiri sambil menarik nafas dalam, jelas dia melihat lehernya terbuka tanpa ada yang menghalangi, tapi karena Ryan sepertinya tak cukup dengan hal itu, Amira mulai membuka dua kancing atas baju kemejanya. Memperlihatkan gundukan daging yang menyembul mengintip malu dari celah bajunya.
Amira mengirimkan photo itu, dan kemudian memasukan ponselnya kedalam laci. Suara getaran ponselnya terdengar kembali, namun Amira hanya mengabaikannya. Dan memilih berusaha menenangkan rasa hina diri yang mulai naik ke ubun-ubun.
Dua hari kemudian, Amira duduk di tempat duduknya di dalam kelas. Mencoret-coret buku dengan tulisan-tulisan atau gambaran tak jelas. Hanya untuk menghilangkan rasa bosannya. Sedangkan di sampingnya Nadia terus menatap ponselnya dalam diam, terlihat jelas bahwa dia berusaha mengabaikan Amira.
“Amira, kak Ryan nunggu di depan kelas”, seorang siswi memanggil Amira dari ambang pintu.
Amira beranjak dari duduknya dan menghampiri Ryan.
“Besok kita pawai, kamu sudah sembuh kan?”, Ryan mengusap rambut Amira perlahan.
“Iya”, Amira tersenyum selebar mungkin menjawab pertanyaan Ryan.
“Tapi, kenapa kamu mengabaikan semua chat dan panggilanku?”, Ryan menarik keras sehelai rambut Amira. Yang membuat Amira mengusap-usap kepalanya karena merasakan perih bercampur gatal karena rambut yang tercabut itu.
“Aku lupa menaruh ponselku”, Jelas Amira.
“Ke kantin yuk kak”, Amira menarik lengan Ryan dengan manja, berusaha menenangkan Ryan yang terlihat agak marah. Sedang sekelilingnya menatap ke arah Amira dengan tatapan jijik karena melihat tingkah Amira.
Malam minggu tiba, malam itu Amira menaiki sepeda motor Ryan sembari memeluk Ryan erat dari belakang. Ratusan motor dengan suara bising berdengung di sepanjang jalan raya, dengan klakson yang di bunyikan berkali-kali bak suara terompet yang bernyanyi.
Angin malam terasa berusaha menyeruak melalui celah sempit baju Amira, padahal malam itu Amira mengenakan jaket yang cukup tebal.
Suasana ramai dan euforia aneh menarik bibir Amira, membuatnya tanpa sadar tersenyum sambil beberapa kali tertawa dan berteriak.
“Wooooo..”, “Yooo”, Suara sahut menyahut tanpa arti itu seolah saling mengantarkan perasaan semangat malam itu. Mengesampingkan asap knalpot yang menerpa mereka semua.
“Loh, kenapa?”, Amira bertanya saat menyadari Ryan keluar dari rombongan dan menepi.
“Ke kamar kecil bentar”, Ryan menarik Amira untuk mengikutinya ke sebuah kamar mandi umum tanpa penjagaan.
“Bentaran aja”, Ryan menahan Amira ke dinding wc umum yang sudah di kunci dari dalam.
“Apa?, kita bakalan ketinggalan rombong..”, namun sebelum Amira menyelesaikan ucapannya, mulutnya terbungkam bibir Ryan yang terasa tergesa.
Mereka berdua beradu lidah, menghembuskan nafas dengan tergesa, sehingga menghasilkan suara aneh.
Perlahan lengan Ryan mencoba meraih dada Amira, namun dengan refleks Amira menahan tangan Ryan, dan hal itu membuat Ryan berhenti menciumi Amira.
“Hahh!, yang benar saja!”, Ryan mendengus sembari menatap tajam ke arah Amira yang berusaha memalingkan pandangan.
Beberapa saat kemudian Ryan keluar dari kamar mandi sembari membanting pintu. Amira yang berusaha tenang mengikuti Ryan dari belakang. Seorang wanita paruh baya yang berpapasan dengan Amira menatap Amira aneh, jelas karena menyadari Ryan dan Amira keluar dari bilik kamar mandi yang sama.
Amira menaiki motor Ryan dengan tergesa tanpa di minta, gerungan motor Ryan membawa Amira melesat dalam kecepatan yang cukup diluar kendali. Jantung Amira berdetak kencang, menahan perasaan takut mengalami kecelakaan lalulintas, karena cara membawa motor Ryan yang menggambarkan Emosi Ryan.
Beberapa kali Ryan mencoba mengajak Amira melakukan hal yang tak seharusnya di lakukan sepasang kekasih yang belum cukup umur, namun Amira tak kehilangan cara untuk menolaknya, membatasinya sampai pada bercumbu. Karena bagaimanapun Amira jelas tahu, kalau Ryan bukanlah tipe orang yang bertanggung jawab.
Kala itu Amira dan Ryan ketinggalan rombongan, karena sejak awal mereka berada di barisan belakang, di tambah mereka berhenti beberapa saat, dan hal itu membuat mereka ketinggalan cukup jauh.
Jam 3 subuh, Amira dan Ryan menyusuri jalanan sepi. Dari arah belakang terdengar beberapa motor mengikuti mereka. Amira mengira mereka adalah anggota The Hell yang ketinggalan rombongan sama seperti Ryan dan dirinya. Tapi semakin dekat, motor-motor itu jelas memepet motor Ryan, hingga mau tak mau Ryan harus menepi.
“Kalian The Hell ya”, seorang lelaki seumuran mereka tersenyum cengengesan sambil menendang-nendang kecil ban motor depan milik Ryan.
“Bu,bukan”, Ryan menjawab gugup.
“Gue yakin, mereka tadi keluar dari rombongan buat ke kamar mandi di persimpangan tadi” seorang lain menimpali jawaban Ryan.
“Sini lo!”, kerah baju Ryan di tarik oleh seorang dari mereka, menjauh dari tempat Amira berdiri.
“Sekitar 5 orang mengelilingi Ryan, dan 4 orang lain berada di sekitar Amira, berdiri dalam diam sembari menghisap rokok mereka.
Amira menatap sekeliling, mencari sesuatu yang bisa di pakai untuk memukul, bila saja pukulan pertama mendarat ke Ryan di hadapannya.
Amira melihat Ryan yang terlihat agak membungkuk, seperti memohon untuk di lepaskan. Beberapa saat kemudian Amira menyadari beberapa orang di sekitar Ryan termasuk Ryan melihat kearahnya beberapa detik, sebelum kemudian kembali saling berbicara.
Perasaan lega dengan sedikit waspada menghampiri Amira, saat melihat Ryan berjalan ke arahnya. Amira yang melihat Ryan menaiki motor di sampingnya, membuat Amira bersiap untuk ikut menaiki motor juga.
“Santai dong dek, jangan buru-buru. Cowokmu mau beli dulu minuman sebentar”. Tangan salah seorang yang berbicara dengan Ryan tadi menarik lengan Amira. Saat melihat kembali kearah Ryan,Amira melihat Ryan sudah melesat menggunakan motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Amira sendirian.
Tatapan kosong amira terpaku ke ambang kosong, menatap punggung Ryan yang mulai tak jelas karena jarak yang semakin merenggang.
Kengerian merambat dengan cepat, saat seseorang melingkarkan tangannya pada pinggang Amira, Amira di tarik hingga tak bisa menapak, di bawa ke pojokan gang buntu yang cukup gelap.
“Aakkkkhh!!”, Amira berteriak sekencang mungkin berkali-kali, berharap ada seseorang yang akan menolongnya.
“Kumohon lepas!”, permohonan yang hanya di jawab oleh tawaan orang-orang itu membuat Amira tak bisa menahan air matanya.
Rasa mual beberapa kali menyumbat tenggorokannya, setiap kali tubuh Amira merasakan rabaan yang membuatnya merasa jijik.
“AAkkkhh”, suara teriakan yang bukan keluar dari mulut Amira membuat semua orang di sana terdiam.
“Memangnya apa yang membuat kalian berani menyentuh anggota The Hell?”, Suara yang terasa tak asing itu membuat Amira merasakan kelegaan di sekitar tubuhnya. Orang-orang yang berusaha merebut pakaian Amira jelas menjauh dari Amira.
Di sana Amira hanya terdiam meringkuk, mendengarkan suara pukulan dan rintihan yang tersamarkan oleh rasa takut yang berdengung di kepalanya.
Hari itu mata hari mulai mencuat, menandakan pagi Minggu sudah mulai mengintip. Puluhan motor berjejer di jalan pinggiran sungai, dan puluhan anak muda terlihat masih memiliki tenaga untuk tertawa-tawa setelah semalaman berkendara.
“Bruummm.. brumm”, sebuah sepeda motor yang terlambat ikut bergabung parkir di pinggiran jalan di sebrang sungai.
“Ehh, kemana aja loe?, gue kira loe nyerah karena ngantuk, hahaha”. Rio tertawa saat melihat Ryan datang menghampirinya.
“Kenapa cuma ada segini?, kemana yang lain?”. Tanya Ryan yang menyadari orang yang berkumpul hanya sekitar sepuluh persen dari anggota atau orang yang ikut pawai tadi malam.
“Ya masa nongkrong di sini semua, mana cukup”, Rio menjawab setelah memuntahkan asap dari mulutnya.
“Hei, gue yakin yang menyadari gue membawa Amira tadi malam hanya loe dan beberapa orang saja kan?”, Ryan berbisik mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat ke Rio.
Mendengar nada bicara Ryan dan gerak-geriknya yang seperti tak tenang, Rio mencondongkan tubuhnya ke arah Ryan.
“Apa?, apa yang kau lakukan bangsat?”, Rio bertanya agak panik.
“Haahh, bukan seperti gue yang melakukannya. Hanya saja ada sekitar delapan atau sembilan orang?”, Ryan berbicara sembari berusaha menyalakan rokok di mulutnya.
“Gue minta bantuan loe, supaya kalau ada apa-apa, dan ada yang bertanya tentang Amira. Loe jawab aja, sore Sabtu dia minta pulang dan memutuskan untuk naik ojek sendirian”. Ryan menyatakan permintaannya.
“Tolong bantu gue bujuk yang lain juga, supaya mengatakan itu”. Ryan kemudian menghisap rokoknya dalam. Berusaha menenangkan dirinya sendiri.
“Jelasin dulu ke gue, ada apa?”, Rio yang tak begitu paham situasinya meminta lebih banyak penjelasan.
“Hahhh gini”, Ryan menghembuskan nafas panjang, mencoba menata cerita, tentang apa yang terjadi tadi malam.
“Gue melipir bentar ke toilet umum di persimpangan jalan, dan saat mencoba mengejar rombongan, gue di cegat sekitar lima motor. Entah mereka geng motor kecil atau preman jalanan, yang jelas mereka cari ribut ke gue tadi malam. Gue ngebujuk mereka buat lepasin gue, kerena mereka jelas mencoba habisin gue saat itu juga. Dan yang bisa gue tawarkan cuma si Amira. Para otak mesum itu jelas langsung setuju, jadi gue tinggal Amira bersama mereka. Kalau enggak gue bakalan habis”. Ryan bercerita kepada Rio dengan suara pelan.
Rio yang mendengar cerita dari temannya itu, hanya terdiam menatap temannya. Kemudian mulai menghisap kembali rokok di tangannya yang beberapa saat terlupakan.
“Haahhh, yah mau bagaimana lagi, dari pada loe yang mati”. Rio menghembuskan asap rokok sembari menepuk-nepuk punggung Ryan beberapa kali.
Tiba-tiba terdengar suara gerungan motor, sekitar lima motor dengan suara keras ikut bergabung dengan tongkrongan itu. Kelima motor itu mencuri perhatian semua orang di sana. Orang-orang yang duduk dengan refleks berdiri, menatap kelima motor yang terlihat mencolok mulai memelan mencari tempat perhentian yang nyaman.
Mata Rio membelalak sembari menepuk Ryan yang tak menyadari apa yang di lihat Rio.
“Apa?”, Ryan berbisik.
“Loe dalam masalah!”, Rio menunjuk seorang lelaki yang merupakan pemimpin sekaligus pioneer geng motor The Hell.
“Cewek yang di bonceng Arthur itu..”, Rio berbisik tanpa melanjutkan kalimatnya. Ryan beberapa kali mencoba memastikan apakah orang yang dia lihat itu benar atau salah.
Saat mata Ryan dan mata wanita yang baru turun dari motor Arthur itu bertemu pandang, Ryan merasakan kembali panik yang baru saja dia coba redam. Tatapan wanita dengan penampilan tak karuan itu menyampaikan rasa muak dan benci kepada Ryan, yang jelas hal itu merupakan sebuah kemarahan besar.
Amira terlihat mengunci rapat mulutnya, membuat sudut bibirnya menurun, memperlihatkan rasa gusarnya. Sedang tangannya yang mengepal, tertutup lengan jaket kebesaran yang di pinjamkan Arthur.
“Yang mana?”, Tanya Arthur kepada Amira.
“Ohh, apakah dia?”, Arthur berjalan mengikuti arah tatapan Amira.
“Kemarilah!”, tangan Arthur bergerak, meminta Ryan datang menghampirinya.
Ryan melihat ke sekelilingnya, berharap orang yang di tunjuk Arthur bukanlah dirinya, namun jelas, orang yang berdiri di sana hanya ada Ryan dan Rio.
“Ada apa?”, “suasananya buruk”, “apa yang terjadi?”. bisikan-bisikan pelan terdengar di sekitar Ryan, beberapa mata jelas menatapnya dengan tajam, menjelaskan beberapa orang sudah menyadari siapa yang di maksud oleh Arthur.
“Sebut namanya, mungkin dia jenis orang yang tak peka akan situasi”, ucap Arthur sembari menengok ke belakang, melihat ke arah Amira.
“R..Ryan”, Amira berbicara dengan gugup, entah mengapa suasana menegangkan di sana membuatnya sedikit mengabaikan rasa marahnya.
Ryan menatap Rio berharap temannya itu akan membantunya walau entah bagaimana caranya. Namun Rio jelas memalingkan pandangannya ke arah lain, berusaha untuk tak terlibat dengan Ryan.
Kaki Ryan bergerak maju, walau hatinya berharap untuk berbalik arah dan lari saja.
“Bugh!!”, sebuah kepalan tangan menabrak kepala bagian kiri Ryan. Membuatnya tersungkur terbujur.
“A..ampuni saya”, entah kenapa Ryan dengan refleks memohon ampun kepada Arthur. Entah karena pukulan keras dari tangan Arthur, atau karena ******* kaget orang-orang yang menonton.
“Kemarilah!”, Arthur menatap Amira.
“Maaf kan aku, sepertinya aku kurang bijak dalam menyelesaikan masalah internal kelompokku”. Arthur berbicara sembari berjongkok, menatap lurus ke wajah Ryan. Sedangkan Amira berjalan perlahan, hingga berdiri tepat di samping Arthur.
“Yah, namun permasalahan ini harus jelas di selesaikan secara terbuka”. Arthur berdiri kembali dan menyingkir selangkah dari hadapan Ryan yang terduduk.
“Pukulah!”. Arthur mempersilahkan Amira untuk mengeluarkan amarahnya. Namun Amira hanya terdiam bingung, sambil menatap Arthur dengan hati-hati.
“Ahh, kau tak terbiasa memukul?, kau bisa menampar atau menjambak, terserah kamu saja”. Arthur mengeluarkan rokok dari sakunya, yang kemudian ia hisap sembari membakar ujungnya.
“PLAAAKK”, walau sekuat tenaga Amira mendaratkan telapak tangannya, hingga tangannya sedikit bergetar setelah menampar Ryan, namun Ryan tak bergeming dan hanya menatap Amira tajam.
Tatapan tajam Ryan membuat Amira tak bisa merasakan rasa bersalah dari Ryan sedikitpun. Hal itu membuatnya menarik rambut Ryan sembari berteriak tak karuan.
“Kenapa kau meninggalkanku?, Akkkkkkhhhh!!”, suara tersengal, pertanyaan mengapa, juga teriakan frustrasi beberapa kali keluar dari mulut Amira yang bergetar. Tentu saja tubuh Ryan hanya bergeming perlahan, karena tenaga Amira habis untuk mengeluarkan airmata dan teriakan.
Pagi itu, matahari mengintip. Ikut menonton bersama orang-orang yang terpaku melihat Amira yang meluapkan amarahnya kepada Ryan.
Suara dengusan tawa dari Arthur mencuri perhatian semua orang dari Amira dan Ryan.
“Apa kau sedang memijatnya atau sesuatu?, betapa besarnya hatimu”, Arthur menepuk pundak Amira.
“Tak bisakah kamu mengeluarkannya dari The Hell?”, Amira menatap Arthur memohon dengan putus asa. Arthur menatap Ryan beberapa saat dan kembali menatap Amira.
“Sayang sekali, tapi sepertinya tak bisa. Dia cukup loyal pada geng, kesalahannya padamu tak bisa ku jadikan alasan untuk membuatnya tak bisa bergabung dengan The Hell”. Ucapan Arthur itu membuat Ryan tersenyum menatap Amira.
“bukankah sudah lebih bagus dia tetap di The Hell, dan kau bisa keluar kemudian mencari surga yang aman dan nyaman”, Arthur tertawa ringan.
“Aku akan mengantarmu dengan aman sampai rumahmu, dan sisanya adalah urusanmu, kamu bisa memutuskan apapun yang kamu inginkan. Tak ada paksaan untuk tetap berada di dalam geng, tapi jelas ada aturan untuk tetap berada dalam kelompok”. Arthur berjalan menuju tempat motornya di parkir, dan kemudian menaiki motornya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!