NovelToon NovelToon

Melawan Mertua Julid

Mengerjai Mertua

Namaku Ayu, aku menantu wanita satu-satunya di keluarga ini karena suamiku hanya memiliki satu kakak perempuan.

Aku dan suami memang baru menikah selama 5 bulan, namun masa pacaran kami terbilang cukup lama. Hanya 5 tahun saja, karena aku dan Mas Bagas, suamiku harus mengumpulkan uang untuk acara pernikahan kami.

Setelah menikah, mertuaku tidak mengizinkan Mas Bagas meninggalkan rumahnya, entah apa alasannya.

Kami pun hanya bisa mengikuti kemauan mertua, apalagi kami memang belum memiliki rumah untuk pindah.

Seperti yang sudah-sudah, hari ini mertuaku memberikan selembar kertas berisi catatan berupa sayuran, ikan, bumbu, minyak, dan lainnya.

Aku bisa mengendus bau-bau tak enak, apalagi ibu mertuaku memberikan kertas itu tanpa uang.

"Uangnya mana, Bu ?" Tanyaku setelah membaca list yang ibu berikan.

"Pakai uang kamu dulu."

"Ayu gak punya uang, Bu. Kan ibu tahu sendiri, penghasilan Mas Bagas sebagai pemula baru dua juta. Setiap hari ibu minta di talangin terus, ya habis dong uangnya."

"Kamu ini, sama mertua pelitnya minta ampun. Udah sana belanja, gak usah banyak drama. Pakai dulu uang kamu, nanti ibu ganti."

Menyebalkan sekali. Tapi aku malas melayani ibu mertuaku lebih lama untuk berdebat.

Aku ikuti saja kemauannya. Tapi aku punya ide, supaya mertua ku kapok menyuruh ku belanja.

Aku segera ke warung biasa tempat belanja. Warungnya Bu Ijah. Aku ambil semua sesuai list yang ibu berikan.

"Eh, mau kemana ? Bayar dulu."

"Oh iya, aku lupa bilang. Kata ibu hutang dulu. Nanti sore ke rumah, nagih sama Ibu."

"Ya sudah, nanti sore aku jalan nagih sama mertua kamu."

Oke, rencana ku berhasil. Lanjut pulang.

"Ini, Bu !" Aku menyerahkan belanjaan pada Ibu.

"Nah ini bisa beli. Kalau ada uang jangan di umpetin. Sama mertua kok pelitnya minta ampun."

"Hhmm, terserah ibu lah !"

Aku langsung berlalu, memilih masuk ke kamar untuk mengedit video buat suamiku.

Aku memang selalu membantu suami membuat video-video untuk channel yang dia buat.

Penghasilannya cukup menjanjikan, asal mau berusaha dan konsisten. Meskipun memang cukup berat di awal-awal merintis, apalagi seperti kami yang ekonominya di bawah. Makanya Mas Bagas juga sambil ngojek, biar cepat kaya dan cepat pindah dari rumah mertua.

***

"Ratih ... Buka pintunya !"

"Ratih !"

Terdengar suara teriakan dari luar.

"Ayu, buka pintunya."

"Ibu saja, Ayu sibuk."

"Alasan aja kamu. Di kamar aja, sok sibuk."

Aku tak mau menggubris mertua ku. Toh pintu kamarnya juga aku kunci.

"Ratih ... buka pintunya !"

"Ih, dasar menantu bisanya bikin emosi !"

Aku cekikikan di dalam kamar. Sekali-kali mengerjai mertua.

Setelah suara mertua tak terdengar dekat kamar, diam-diam aku keluar.

Yang datang pasti Bu Ijah, mau nagih belanjaan tadi.

Aku mengintip dari balik sekat ruang tamu.

"Ijah, kenapa sore-sore kesini ? Kalau mau gosip nanti aja, aku sibuk lagi masak."

"Gosip aja di kepala kamu. Aku kesini mau nagih hutang. Sayuran udah dimasak, belum bayar. Mana uangnya, totalnya lima puluh ribu. Buruan, aku mau bayar arisan. Mending aku kasih ngutang karena kita masih saudara jauh. Yang lain mana pernah aku kasih ngutang kayak kamu."

"Hutang apa ?"

"Pura-pura lupa lagi. Itu kamu masak sayuran, lauk, dapat dari mana ?"

"Dari warung kamu."

"Itu tahu. Buruan bayar. Lima puluh ribu."

"Lho, bukannya sudah di bayar sama Ayu ?"

"Bayar pakai daun ? Dia bilang suruh ngutang sama kamu. Buruan bayar."

Aku tahu ibu pasti akan mencari aku dan menyuruhku untuk membayarnya. Sebelum ibu datang, aku segera keluar lewat pintu belakang.

"Ayu !!!"

Teriakan ibu mertua masih terdengar saat aku sudah berhasil keluar.

Aku percepat lagi langkahku, takut terkejar ibu mertua.

"Hahaha... Sekali-sekali mengerjai mertua bolehlah ya. Orang lagi gak punya duit juga. Padahal tiap Mas Bagas gajian, udah nyumbang duit dapur. Masih aja minta di belikan sayur setiap hari." Keluhku bicara sendirian.

"Sayang..."

"Mas ? Jodoh banget kita, ketemu dijalan."

"Emang jodoh sayang, kan udah nikah."

"Oh iya, lupa. Hihihi."

"Kamu mau kemana ? Ayo pulang bareng Mas, naik motor."

"Hhm, mumpung udah di luar juga, jangan pulang dulu ya, Mas ? Gimana kalau beli bakso dulu. Lagi pengen makan bakso nih."

"Oke. Kebetulan Mas dapat rezeki, lumayan dapat enam puluh ribu."

"Alhamdulillah, rezeki istri Solehah yang lagi pengen makan bakso. Ayo lah Mas, kita gas !"

Aku sudah duduk di atas motor, sengaja membuat suamiku tak langsung pulang.

Kami memesan bakso di tukang bakso gerobak yang jualan di desa sebelah. Udah langganan karena memang rasa baksonya nikmat sekali.

"Sayang, menurut kamu kalau Mas minta uang simpanan yang ada di Ibu, gimana ?"

"Emang bakal di kasih ? Udah lima bulan kita menikah, tapi belum di kasih juga. Padahal kan uang itu buat nikahan kita. Untung aja aku ini istri yang sabar meski pant*tnya gak lebar. Uh, masih kesel aja kalau ingat itu, Mas."

Ya, dua tahun yang lalu suamiku menabung di ibunya buat persiapan nikah. Totalnya sudah ada sepuluh juta. Tapi mertua selalu banyak alasan saat di minta.

Sampai aku berada di titik lelah, dan memutuskan untuk menikah secara sederhana saja, hasil menabung selama hampir setahun setiap kali Mas Bagas gajian.

Selesai makan, waktunya bayar.

"Pakde, harganya biasa kan ?"

"Ya biasalah Mbak Ayu. Kalau naik nanti mbak gak langganan disini."

"Tetap langganan pakde, tapi porsinya setengah. Hehehe"

"Bisa aja mbak Ayu ini."

Aku membayar dua porsi bakso yang kami makan. Ya, hanya bakso tidak pakai yang lainnya, mengingat pendapatan Mas Bagas masih minim.

Kami pun pulang, bersiap mendengar ocehan ibu mertua. Tak apa, sudah kebal. Masuk telinga kanan, langsung mental. Jangan di masukkan hati, apalagi sampai lambung. Bisa kena serangan asam lambung, bahaya !

"Nah, akhirnya pulang juga kamu. Bagas, istri kamu ini malu-maluin aja. Disuruh beli sayur, malah ngutang. Benar-benar keterlaluan."

"Uangnya kamu korupsi sayang ?"

"Enak aja, ibu kamu nyuruh aku belanja tapi gak ngasih duit. Ya udah aku hutang aja. Kamu aja ngasih aku cuma dua puluh ribu mana cukup."

"Halah, alasan aja kamu !"

"Udah, Bu. Jangan di perpanjang. Kalau Bagas udah gajian, pasti Bayu ganti. Atau, kalau bisa ganti pakai uang Bagas yang ada di Ibu."

"U.. uang apa ?"

Nah kan, mulai kumat penyakit sok pikun ibu mertuaku. Selalu seperti ini setiap kali Mas Bagas membahas soal uangnya.

"Uang sepuluh juta itu lho, Bu. Masa lupa. Itu uang simpanan Mas Bagas dari dulu. Anak ibu lagi butuh buat buka usaha. Kalo kerjanya kayak gini terus, mana cukup buat dapur ibu ngebul." Ujarku mulai emosi.

"U.. uang itu gak bisa di ambil."

Rampok

"Maksud ibu ?"

"Uang sepuluh juta kamu ibu depositkan di bank."

"Lalu gimana, Bu ? Masa gak bisa ? Bagas lagi butuh buat usaha. Kalau penghasilan Bagas banyak kan juga buat ibu."

"Gak bisa, Bagas."

"Wah, jangan-jangan uangnya habis." Mulutku sudah gatal dari tadi diam.

"Enak aja ! Suudzon kamu, Ayu ! Uangnya ada, tapi....."

"Tapi apa, Bu ?"

"Bukan di ibu. Ada di mbak kamu."

"Lha, kok uang Bagas bisa di mbak Dita ?"

"Mbak mu pinjam buat bangun rumah."

"Maksudnya buat bangun rumah Mbak Dita setahun yang lalu ?"

Ibu mertuaku mengangguk.

Ku lihat wajah suamiku sangat kecewa. Dengan kasar di tendangnya meja yang berada di depannya.

"Jangan kasar sama orang tua, Bagas."

"Bagas kesel sama ibu. Itu uang Bagas, kenapa gak bilang dulu sama Bagas ? Bilang doang, apa susahnya Bu ?"

"Pas itu Mbak mu kekurangan uang buat nerusin bangun rumah. Kalau bilang kamu, takutnya kamu gak kasih. Kan kasihan Mbak kamu. Malu kalau di omongin tetangga bangun rumah gak jadi."

"Tapi ibu gak malu kalau aku gak jadi nikah sama Ayu."

"Bukan gitu. Toh, kamu juga tetep nikah sama Ayu."

Mas Bagas tidak menjawab ucapan ibu mertuaku lagi. Kulihat suamiku mengepalkan kedua tangannya, berusaha meredam amarah. Lalu, langsung masuk ke kamar.

Sekarang tinggal aku dan ibu mertua.

"Bu... Bu... Walaupun itu uang anak, tetap amanah toh, Bu. Masa minjemin gak izin dulu sama yang punya. Untung aja aku menantu ibu yang siap siaga, sabar dan ikhlas luar biasa. Kalau gak, bisa-bisa anak ibu gak jadi nikah."

"Gak usah ikut campur kamu. Sini ganti uang ibu. Gara-gara kamu uang lima puluh ribu ibu melayang."

"Melayang kemana ? Dibawa burung ? Orang makanannya masuk perut ibu. Itu namanya bukan melayang, Bu. Tapi di timbun di perut. Hahaha."

Aku bergegas menyusul suamiku ke kamar sebelum mertuaku kumat.

Aku usap punggung suamiku agar dia tenang. Kasihan, dia terlihat sangat frustasi.

Aku juga kesal, tapi mau bagaimana lagi. Dari dulu memang sudah curiga, apalagi karakter kakak ipar ku yang tidak mau kalah dan iri hati.

"Percuma kamu ngambek kayak gini, Mas. Gak bakalan bisa merubah waktu, ataupun merubah sikap ibu kamu. Mending kita telpon aja Mbak kamu. Minta dia ganti uangnya sekarang."

Mbak Dita memang punya rumah disini, tapi dia lebih sering pergi ke kota menemani suaminya yang kerja disana.

"Mas malas berurusan sama Mbak Dita. Dia itu egois."

"Ya, dari pada uangnya ludes. Kalau di deposit ke bank uang berbunga banyak. Coba Mas hubungi."

Suamiku mencoba menghubungi kakaknya berkali-kali namun panggilan tak dijawab.

"Nanti di coba lagi lain kali, Mas. Kamu istirahat dulu, pasti capek. Gak usah di pikirin, Mbak Dita biar aku yang nagih."

"Makasih sayang, maaf ya... hampir enam bulan pernikahan tapi aku belum bisa membuat kamu bahagia. Malah membuat kamu semakin merasakan sikap orang tua ku yang pilih kasih."

"Santai, Mas. Yang penting bukan kamu yang egois. Bisa kena serangan asam lambung aku kalo kamu yang kayak gitu. Kalo ibu sama keluarga kamu mah, tenang. Kita lawan sama-sama, hehehe. Udah kayak kamu perang aja, canda. Maksudnya kita hadapi sama-sama. Namanya juga hidup, pasti ada aja masalahnya. Kalau gak mau ada masalah, ya cuma di alam kubur."

"Hehehe, bisa aja sayang. Ya sudah, Mas mandi dulu."

Sebagai seorang istri sudah sepatutnya aku mendukung dan memberi ketenangan pada suami. Kalau aku juga menyalahkannya, mau kemana dia mencari rumah untuk meneduhkan hatinya ?

"Mas, makan yuk..."

"Kamu duluan aja, sayang. Mas belum lapar."

"Bohong. Ini udah jam delapan malam lho, Mas. Masa gak lapar ?"

"Iya, nanti Mas makan."

Suamiku pasti malas keluar kamar. Tidak mau bertemu ibu dan bapaknya yang ujung-ujungnya pasti malah berdebat. Oke, sebagai istri yang baik aku harus tetap menjaga kesehatan suami.

Diam-diam aku mengendap ke dapur. Jangan sampai ketahuan ibu mertua, karena pasti akan di ceramahi panjang kali lebar karena gak memberikan uang belanja.

"Enak nih, ayam goreng sambal geprek."

Aku ambil nasi dan lauk di rantang, sengaja biar muatnya banyak. Kan porsinya berdua sama suami tercinta.

"Hayo, ketahuan kamu mau rampok makanan ibu."

"Astaga ibu, aku pikir penampakan mbak Kunti." ujarku pura-pura kaget sambil memeluk rantang yang sudah di tutup.

"Sembarangan, ibu ini manusia kamu bilang setan. Makanya tuh mata melek !"

"Udah melek, Bu. Ayu mau ke kamar dulu, Bu."

Ibu mertua malah menghalangi jalan keluar dari dapur.

"Enak aja, mana ibu lihat kamu makan pakai apa ? Harusnya kamu sadar diri, udah gak kasih uang belanja, makan tuh tahu sama tempe."

"Dih, emang makannya pakai tahu tempe doang. Di meja juga adanya itu doang. Ibu sih, pasti lupa nutup tudung saji nya. Tadi tuh ada kucing. Untung aku cepat kesini, jadi masih sisa tuh tempe sama sayur."

"Ah, masa ?"

"Iya, ibu lihat aja tuh."

Ibu tak lagi menghalangi jalan keluar dari dapur. Dia panik segera mengecek makanannya. Kesempatan itu aku gunakan untuk kabur.

"Ayu !!!" Teriak Ibu mertua setelah aku masuk kamar. Pasti dia syok, masakannya sudah habis. Aku sih santai, paham betul ibu tak akan berani mengetuk pintu kamar kami, takut berdebat sama suamiku. Bisa-bisa disinggung lagi soal uang.

"Ibu kenapa manggil kamu, sayang ?"

"Salah panggil kali, Mas. Udah, ini ayo makan. Enak banget nih, aku suapin ya..." Suamiku tersenyum dan mengangguk. Dia memang manja, tapi aku suka. Kami makan dengan nuansa romantis, saling suap-suapan. Meskipun di luar mertuaku pasti sedang mencak-mencak karena kesal.

Aku sih bodoh amat. Tak mau ambil pusing. Toh, selama ini ikut iuran juga buat kebutuhan rumah sama dapur. Atau gak tinggal potong aja dari uang suamiku. Bukannya hitung-hitungan, tapi di usia pernikahan kami yang belum setahun memang terasa seret urusan ekonomi.

Namanya juga masih baru memulai.

"Mas, kita pindah aja yuk ke rumah bapak." Usulku setelah selesai makan.

"Kamu yakin sayang ? Disana kan ada ibu tiri kamu. Mas gak mau kamu malah makin gak nyaman."

"Iya juga sih. Ya udah, kita merantau aja ke Jakarta, gimana ? Ikut mama kandungku."

"Tapi, Mas belum ada uang untuk merantau, sayang. Maafin Mas ya."

"Ya sudah, deh." Aku tarik selimut bersiap untuk tidur saja. Kadang kesal juga saat suami sulit sekali diajak keluar dari rumah orang tuanya. Padahal demi kebaikan dia juga. Ya sudah, kita lihat saja sampai kapan dia tahan dengan sikap keluarganya yang seperti ini.

Hutang sepuluh juta

"Bagas... Ayu... Bangun !"

Saat sholat subuh, ibu mertuaku menggedor pintu dengan sangat kuat. Padahal kami sudah bangun. Dia yang telat.

"Udah bangun, Bu." Teriakku tanpa membuka pintu.

"Baguslah. Keluar dulu, ini Mbak mu pulang."

"Mbak Dita pulang ? Tumben gak ngabarin." Suamiku bertanya.

"Ya mana aku tempe. Udah gak usah dipikirin. Ini namanya pucuk di cinta tukang hutang pun tiba. Kita tagih uang kamu."

Aku gandeng suamiku menuju ruang tamu. Benar saja, tuan putri rumah ini datang. Di sambut sumringah oleh bapak dan ibu mertua. Dengan santainya berselonjor di kursi bantal, sambil dipijit ibu mertua.

"Mbak, tumben pulang gak ngabarin. Biasanya ibu heboh menyambut Mbak pulang." ucapku sambil salaman. Meski aku dan suami kesal dengan Mbak Dita, tata Krama dan sopan santun tetap harus di jaga.

"Gak sempet. Buru-buru pengen pulang. Lagi kangen aja sama kampung halaman."

"Oh, jangan-jangan habis dapat bonus nih, Mas Adit nya."

"Tau aja. Ya kalau lulusan sarjana seperti Mbak dan suami emang gajinya gede dan sering dapat bonus. Dulu aja waktu mbak masih jadi wanita karir kayak gitu. Sayang sekali Bagas di suruh kuliah gak mau, kamu juga gak kuliah lagi."

"Ya, maklum mbak, gak mampu. Kami kan kasihan sama orang tua, gak mau jadi beban. Tapi kami senang lho, punya mbak kayak mbak Dita. Membanggakan keluarga banget. Oh iya mbak, kan habis dapat bonus nih, pas banget kalau di tagih hutangnya, pasti bisa bayar dong."

"Hah, hutang apa ? Mana pernah aku hutang ?" ujarnya dengan angkuh. Bikin gemes aja. Pengen aku tempelin ulat bulu diwajahnya yang mulus. Biar gatal-gatal dan garuk-garuk kayak monyet.

"Hutang mbak yang sepuluh juta itu lho. Yang mbak ambil dari ibu. Masa gak tahu kalau itu uang tabungan suamiku."

"U-uang yang mana ?" Tanyanya mulai gugup.

Tuh kan mulai salah tingkah. Gengsi dong sudah bangga jadi sarjana, tapi sama hutang sendiri lupa. Malu-maluin jahat raya saja. Duh, kok ada ya manusia modelan begini. Sama hutang lupa, tapi kalau menyombongkan diri, tak pernah terlewatkan.

"Aduh mbak, uangnya usah habis masa gak sadar uang yang mana ? Jelasin dong, Bu biar anak ibu gak amnesia dadakan." Ucapku kini beralih menyerang ibu mertuaku.

"Kalian ini lagi bicara apa ?" Tanya bapak mertua bingung.

"Uang sepuluh juta punya Mas Bagas, Pak. Lagi butuh buat usaha, masa Mbak Dita malah lupa pernah pinjam." Sengaja aku langsung angkat bicara sebelum di potong oleh ibu mertuaku.

"Sudah-sudah, Ayu ! Dita baru datang jauh-jauh dari kota kamu sudah ngomong yang aneh-aneh. Dit, istirahat dulu, Nak. Kamu pasti capek."

Tuh kan, langsung di bela sama Mak nya.

"Tunggu, Bu. Istri Bagas benar. Mumpung Mbak Dita baru datang, uangnya masih banyak. Apa salahnya uang Bagas diganti secepatnya. Separuh dulu aja, Bagas lagi butuh banget." Akhirnya suamiku angkat bicara juga.

"Bagas, kamu ini sama kakak sendiri kok perhitungan. Mbak ini banyak uang, gak usah takut gak di bayar."

"Ngaku juga kan ? Bayar dong mbak, kalau uangnya banyak." Aku menimpali.

"Pasti mbak bayar, tapi nanti. Mbak capek. Kalian ini gak kasihan apa ?"

"Gak. Hehehe"

"Ayu!" Sentak ibu mertua.

"Ayo sayang, kita tunggu sampai malam."

Aku ikut saja dengan suamiku ke kamar. suamiku tampaknya tak mau ada keributan subuh-subuh begini. Kasihan sekali, mukanya murung seperti ada beban yang terpendam.

"Sayang, Mas ngojek dulu ya. Ini uang buat kamu." Mas Bagas memberikan uang dua puluh ribu.

"Mas pakai aja dulu. Motor Mas kan gak ada bensinnya. Mana bisa narik. Emang bisa diisi air sungai tuh motor ? Jadi, uangnya buat beli bensin aja ya, sayang."

"Gampang kalau soal bensin, Mas tinggal cari satu penumpang, pasti cukup buat beli bensin."

"Halah, sok tahu kamu Mas kayak peramal aja. Udah, bawa aja. Soal di dapur, ibu masih ada sisa sayuran kemarin, tinggal nebeng makan."

"Ya sudah, Mas berangkat dulu."

"Gak sarapan dulu, Mas ?"

"Gampang, nanti Mas makan di pasar."

"Beneran ya makan. Awas aja badannya makin kurus."

"Siap istriku tercinta."

Aku mencium tangan suamiku dan mengantarnya sampai pintu rumah. Dalam hati aku berdoa semoga rezeki nya melimpah ruah dan berkah.

***

"Bu, gak ada makanan ?"

"Ya, gak ada. Emang kamu belanja ?"

"Tadi kayaknya ibu masak ?"

"Ya, masak buat Dita sama bapak. Kamu kan sudah berumahtangga sendiri, beli sana sendiri."

"Lha, Mbak Dita juga sudah berumahtangga."

"Ya, beda. Dia kan hitungannya tamu. Jarang kesininya. Jadi wajar kalau disambut dengan dibuatkan makanan enak."

"Oh, oke."

Aku berlalu begitu saja, tak mau marah ataupun adu mulut. Harus pakai cara lain untuk membuat mertuaku sadar.

Aku segera kembali ke kamar. Aku ambil ATM yang aku sembunyikan di dompet lain, uang ini hasil pemberian para tamu undangan saat resepsi pernikahan di rumah ibu kandungku.

Lumayan, isinya ada dua puluh juta.

Mas Bagas tidak tahu, yang dia tahu uang ini diberikan semua pada ibuku untuk bayar sewa tenda dan lainnya.

Alhamdulillah, para tamu dan sanak saudara banyak yang memberi, jadi semua bisa di lunasi dan masih sisa dua puluh juta. Uang itu di kembalikan oleh ibuku padaku, sebagai pegangan.

Kenapa tidak diberikan Mas Bagas ? Sengaja ! Biar dia usaha dulu. Kalau diberikan semuanya, yang ada malah habis diberikan sama orang tuanya. Ini uangku, maka aku yang berhak menentukan uang ini mau aku pakai untuk apa.

Kalau suamiku sudah mau pindah dari sini, baru aku berikan uang ini untuk modal.

"Mau kemana kamu ?" Tanya ibu mertua saat aku melenggang hendak keluar rumah.

"Beli makanan dong, Bu. Katanya suruh beli makanan."

"Tuh punya duit."

"Iya dong, kan punya suami, dikasih nafkah. Ya walaupun cuman dua puluh ribu, cukuplah buat beli CFC atau daging."

"Hahaha. Pagi-pagi udah mimpi." Ledek Mbak Dita. Aku acuhkan saja, segera keluar cari ojek. Niatnya mau belanja ke pasar.

Aku sudah bawa uang dua ratus ribu. Mau masak barbeque buat konten masak-masak di chanelku dan suami.

***

"Kamu beneran beli daging ?" Tanya ibu heran saat aku baru saja selesai memasak. Dia baru saja pulang bersama Mbak Dita, membawa plastik berisi sayuran.

"Ya iyalah, Bu. Nih lihat..."

"Gading sapi asli ?"

"Ya, iya. Masa daging tikus."

"Hebat kamu, Yu. Uang dua puluh ribu mana bisa beli daging ? Sama itu juga ada NuGet sama kentang goreng. Jangan-jangan kamu di kasih uang lebih sama Bagas ya, tapi kamu sembunyikan dari ibu ?"

"Apaan sih, Bu. Orang dikasih cuma dua puluh ribu. Tanya aja sama Mas Bagas. Udah ah, jangan ganggu. Mau ngonten demi masa depan."

"Si Ayu ngemis kali, Bu ke tukang daging." Ucap kakak ipar ku yang Julid.

Aku tak peduli, segera masuk kamar dan ingin membuat konten.

"Ayu!" Ku dengar suara mertuaku berteriak dari depan kamar.

"Iya, Bu ?" Ku balas dengan berteriak juga tanpa berniat membuka pintu.

"Daging buat ibu dan mbakmu, mana ?"

"Habis, Bu. Aku ngemisnya cuma dapat daging sepiring."

Aku cekikikan dalam kamar, pasti mertuaku sedang mencak-mencak di luar. Biarkan saja.

Sisa daging sudah aku amankan di kamar. Juga makanan yang sudah aku masak tadi, semuanya aku angkut ke dalam kamar. Buat makan nanti bersama suami.

Maaf ya, Bu. Sekali-sekali aku pelit.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!