NovelToon NovelToon

Born To Love You

Si dingin yang perhatian

Prolog

Harusnya ini hanya menjadi kisah persahabatan yang murni dan indah.

Kami bertiga tidak bisa terlepaskan satu sama lain meskipun status sosialku jauh dibawah mereka, tapi mereka memperlakukanku sama.

Ada Zeno yang sedikit pendiam dan terkesan dingin tapi sikapnya hangat dan kadang cerewet hanya ketika sedang bersama ku dan juga ada Andy yang ceria tapi ceroboh, dan aku Anna si galak yang selalu mengomel, hehe.

Mereka kadang menjuluki sebagai ibu mereka yang hilang meskipun begitu sikap posesif mereka memberikanku perasaan dilindungi seorang ayah yang tidak pernah aku rasakan. Kami melengkapi satu sama lain.

Sejak lama bahkan dalam masa tersulit sekalipun, mereka tetap selalu ada untukku karena itu aku berjanji akan menjaga persahabatan ini agar tetap murni selamanya.

Seandainya saja bisa semudah itu….

Pada kenyataannya kehidupan ini tidak bisa di tebak, hari ini mungkin teman, tapi besok bisa jadi asing.

***

"Gimana?" tanya Zeno saat Anna baru saja keluar dari dalam toilet sekolah. Kehadirannya membuat Anna terkejut apalagi ekspresinya lebih dingin daripada biasanya.

Kondisi sekolah masih sangat sepi karena Anna dan Zeno sengaja datang sebelum jam enam pagi, hal yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya, tapi hal ini mendesak, meskipun begitu Anna tidak bisa menjawab pertanyaan Zeno.

Gadis itu takut jika sampai ada yang melihat.

"Ada CCTV," gumam Anna pelan, rasanya aneh karena ia tidak pernah membayangkan akan berada di posisi seperti ini terlebih dengan Zeno, salah satu sahabat terbaiknya.

Zeno kemudian menarik tangan Anna dan menggandengnya menuju taman belakang sekolah yang sepi dan masih sedikit gelap karena matahari belum meninggi.

Rumornya di sini banyak hantu, tapi bukan itu yang membuat Anna risau melainkan karena Zeno yang berdiri dihadapannya sambil melipat kedua tangannya di dada. Ekspresinya terlihat tidak sabaran.

"Mana? Gue mau liat," pinta Zeno sambil mengulurkan tangannya meminta sesuatu yang Anna sembunyikan di dalam sakunya dan sudah terbungkus tissue.

"Gak perlu liat," tolak Anna. Gadis berambut panjang itu bahkan tidak sanggup menatap wajah Zeno.

Malu dan takut bercampur jadi satu. Anna tidak tahu harus bagaimana sekarang? Situasi ini membuatnya sulit bernafas.

"Jangan buat gue jadi lelaki gak bertanggungjawab, Na!" Zeno melangkah satu langkah lebih dekat membuat Anna refleks bergerak mundur.

"Bukan begitu, Zen. Gue... maksud gue semuanya diluar kendali kita, Lo gak perlu terbebani," jawab Anna terbata-bata. Susah payah ia memberanikan diri menatap kedua mata Zeno yang tajam.

Namun, Zeno malah terlihat semakin tidak senang. Tangannya bahkan sudah berada diantara kedua lengan Anna dan mencengkram cukup erat.

"Tapi gue udah ambil keperawanan loe, Anna!" ucap Zeno dengan suara tertahan, tapi penuh penekanan. Tanpa terasa air mata Anna menetes. Kenyataan itu membuat mereka frustasi.

"Tapi persahabatan kita?"

"Hubungan kita udah gak mungkin sama lagi kaya dulu, Na...." Zeno kembali bicara.

Hening menggantung di udara. Udara pagi yang terasa dingin, kalah menusuk dari kenyataan yang harus mereka hadapi karena kesalahan orang lain.

Rasanya hampir tidak bisa bernafas. Anna ingin kabur dari situasi ini seandainya hari itu Zeno tidak pernah menyelamatkannya.

>>> Flashback <<<

Sore yang cerah, sudah sejak beberapa tahun belakang ini, bahkan mendung juga terasa cerah bagi Anna setelah ia dan ibunya berhasil lepas dari jeratan ayahnya yang seperti monster jika sedang mabuk dan tidak sungkan untuk memukuli mereka, tapi itu dulu karena berkat bantuan dari ayahnya Zeno, mereka akhirnya bisa hidup dengan damai sekarang.

"Andy mana?" tanya Anna saat Zeno datang sendirian ke taman tempat mereka biasa berkumpul.

"Agak telat katanya."

"Kebiasaan deh dia," gerutu Anna cemberut, Zeno hanya tersenyum dan mendorong ayunan yang di duduki oleh Anna.

"Mendung-mendung gini enaknya makan," usul Anna yang kebetulan merasa lapar.

"Mau makan apa?" tanya Zeno yang kini sudah duduk di ayunan disebelahnya dan ikut mengayunkan dirinya, bagi anak usia 17 tahun seperti mereka, bermain ayunan hingga tinggi-tinggi adalah hal yang menyenangkan dan tentunya sambil memikirkan makanan apa yang mau mereka santap.

"Mau makan apa?" tanya Zeno sekali lagi karena Anna tidak menanggapi pertanyaannya sebelumnya.

"Terserah," jawab Anna yang tidak dapat menemukan makanan apa yang ingin ia makan.

"Seblak mau gak?"

"Gak ah, sariawan yang kemarin aja baru sembuh masa mau makan pedes lagi."

"Bakso?"

"Kebanyakan kalorinya, tar gue tumbuh ke samping bukan ke atas."

"Steak?"

"Terlalu mewah, Zen…"

Zeno hanya bisa mendorong ayunan lebih kencang lagi agar rasa kesalnya berkurang, Anna selalu saja seperti itu kalau soal makanan. Ngeselin!

"Kalau mie ayam gimana?"

"Gak ada tukang mie ayam di sekitar sini."

"Martabak gimana?"

"Martabak yang enak bukanya malem, kan?"

Lagi-lagi Zeno hanya bisa menghela napas kesal. "Sosis bakar?"

"Zen, lo kan tau gue gak doyan sosis."

"Ya udah, gak usah makan sekalian!"

"Lah kok gitu sih? Tega banget sama sahabat perempuan lo satu-satunya yang cantik jelita ini?"

"Muntah disini boleh gak sih?"

Anna hanya tertawa sambil melihat wajah kesal Zeno, yang hampir frustasi menghadapinya. Siapa suruh ia bertanya padahal dikasih makan apa saja dia akan langsung memakannya.

"Jadi mau makan apa gak nih?" tanya Zeno sekali lagi dengan tidak sabar.

"Mau, Zen… laper dikit."

"Ya udah, cepet bilang mau makan apa?"

"Apa ya?"

"Jangan kelamaan mikir tar gue gak jadi traktir!"

"Ish, pelit!"

"Bodo amat!"

"Buruan, Na," keluh Zeno lagi tapi kali ini ia sudah melompat dari atas ayunan dan sekarang ia sudah berhasil menghentikan laju ayunan Anna.

"Satu, dua, ti-"

"Ok, es krim!"

Es krim, satu makanan yang seharusnya tidak meluncur dari bibirnya karena gerimis tiba-tiba saja turun bertepatan dengan jawabannya, tapi Anna merasa terdesak dengan hitungan yang Zeno berikan sehingga otaknya tidak dapat berpikir dengan jernih.

"Ya udah, tunggu disini, gue beli dulu." Tukas Zeno tapi setelah memberikan topinya untuk menutupi kepala Anna agar tidak kebasahan.

"Jangan lama-lama, tar gue di culik," ucap Anna sambil mencekal pergelangan tangan Zeno dan memasang wajah memelas.

"Mana ada orang yang mau culik cewe jelek kayak lo!" sangkal Zeno sambil menekan topinya ke bawah sehingga wajah memelas Anna tertutupi.

"Ish, awas aja kalo gue sampe diculik, lo yang bakal gue teror buat minta tebusan!"

"Terserah."

Anna tersenyum melihat Zeno yang malah berlari padahal ucapannya terkesan tidak perduli, tapi ia tahu jika Zeno jelas sangat perduli padanya.

Anna kemudian menengadahkan wajahnya ke langit dan membiarkan tetesan gerimis membasahi wajahnya, udaranya dingin, tapi hatinya terasa hangat.

"Semoga hidup gue seperti ini selamanya."

Anna memejamkan kedua matanya dan merasakan tetesan gerimis membasahi wajahnya, tapi tiba-tiba saja ia merasakan seseorang membekap mulutnya lalu menariknya hingga ia terjatuh dari ayunan yang ia duduki.

Awalnya Anna mengira jika itu adalah Andy, tapi tangan besar itu jelas bukan milik Andy. Ia mencoba meronta untuk melepaskan diri tapi pria itu sangat kuat dan menyeretnya menjauh dari taman ke dekat hutan yang sepi.

"Tenang dong, cantik... Om udah bayar ayah kamu mahal di penjara, katanya kalau Om udah bebas bisa menikmati tubuh putri kecilnya."

***

Mimpi buruk di dunia nyata

"Ayah kamu udah jual kamu ke Om, jadi Om bisa seneng-seneng sama kamu sekarang."

Kedua mata Anna membulat sempurna, ketakutan langsung menyeruak ke seluruh tubuhnya begitu pria itu menyinggung tentang ayahnya yang sekarang berada di penjara.

Anna mencoba berontak, tapi ia tidak berdaya terlebih kondisi taman memang selalu sepi karena taman ini adalah taman lama dan berlokasi di pinggiran kota.

Namun, menyerahkan harga dirinya pada pria tua yang bau alkohol ini rasanya lebih baik mati, tapi bagaimana caranya mati dalam situasi saat ini sebelum pria ini berhasil menghancurkannya?

Anna putus asa, ia menangis dan menyesal karena ia selalu menolak saat Zeno dan Andy mengajarinya bela diri.

"Lepasin!" teriak Anna sekencang mungkin begitu pria itu membanting tubuhnya ke dalam mobil dan menghalangi pintu dengan tubuh besarnya sementara pria itu terlihat mengisi jarum suntik dengan sesuatu ciaran yang tidak ia ketahui.

"Tolong jangan sakiti saya!"

"Memohon lah, Om bisa pelan-pelan."

Seringai muncul di wajah pria tua itu, giginya menghitam berbau busuk membuat Anna semakin mual.

"Gila juga si Jack punya anak cakep begini. Kapan lagi gue bisa menikmati tubuh gadis cantik yang masih perawan?"

"Gak! tolong jangan apa-apain saya, Om. Sa-saya mohon!"

Tidak didengarkan. Tangan lagi-lagi itu menarik kaki Anna, bersiap menyuntikkan obat, tapi Anna memberontak. Kakinya berhasil menendang wajah pria itu.

"Sialan!" Satu tamparan mendarat di wajah Anna. Sudut bibirnya berdarah, terasa nyeri hingga kepalanya langsung pening. Detik itu juga dijadikan kesempatan untuk menyuntikkan obat ke kaki Anna.

"Habis kita bersenang-senang sebaiknya kita cari mama kamu biar kita bisa main bertiga, seru kan?" Setiap kalimat yang di ucapkan pria itu sangatlah mengerikan membuat seluruh tubuh Anna gemetar ketakutan.

"Saya akan kasih om uang, tolong lepasin saya." Anna mencoba menjauh, kali ini pria itu tidak menariknya, membiarkan obatnya berkerja sambil terus menertawakan Anna layaknya buruan yang tidak berdaya.

"Uang Om juga banyak. Asal kamu tau, Om itu bandar…"

Air mata Anna sudah tidak bisa terbendung. Ia berteriak meminta tolong namun tidak ada seorangpun yang datang menyelamatkannya.

"ke sini sayang, jangan jauh-jauh dong. Om akan bikin kamu melayang, abis itu kita bisa bersenang-senang sampai puas!"

Anna terus mundur kebelakang menghindari jangkauan pria itu, tapi pria itu dengan mudah menarik kakinya, bersiap untuk menjamahnya.

"Zeno!" teriak Anna sekencang mungkin. Harapannya nyaris pupus. Obat yang diberikan oleh pria itu membuat tubuhnya lemas, sulit untuknya melawan, tapi Anna terus berupaya agar tangan kotor itu tidak berhasil menyentuhnya.

Dalam keputusasaan, Anna berharap Zeno akan datang menyelamatkannya, tapi pandangannya mulai kabur dan pria itu perlahan mendekat.

Tawanya terdengar mengerikan, Anna hanya bisa menangis saat pria itu menyentuh ujung rambutnya dan menghirupnya.

"Nama Om bukan Zeno, sayang."

"Tolong jangan sentuh saya...."

"Gak sakit kok sayang, tenang aja."

Air mata Anna menetes sekali lagi terlebih saat pria itu terus bergerak mendekat.

"Wangi perawan emang beda." Tawa pria itu sambil terus mengendus ujung rambut Anna yang ia sentuh dengan tangannya kasar dan penuh bekas luka.

"Gak, saya mohon jangan...."

"Oh, rintihan gadis kecil yang malang... Om suka, berteriak lah lebih kencang lagi."

Anna memejamkan kedua matanya. Mungkin ini akan jadi akhir dari kehidupannya, tapi mendadak ia merasakan jika pria itu tersingkir dari atas tubuhnya sebelum bibir pria itu berhasil menyentuhnya. Dengan cepat Anna beranjak turun dari dalam mobil dan berlari menjauh.

Ia melihat Zeno menghajar pria itu dengan membabi-buta, tapi pria dengan tato ikan lele di lengannya itu sesekali membalas pukulan Zeno.

"Zeno!" jerit Anna saat tubuh Zeno jatuh tersungkur. Pria itu lalu dengan cepat mengambil sesuatu dari dalam mobil, suntikan yang sama dengan yang ia suntikan pada Anna sebelumnya.

"Bocah brengsek! Lihat apa loe bisa ngelawan gue setelah ini!"

Wajah Zeno memerah, ia merasakan rasa sakit saat jarum suntik itu menancap di lehernya dan dalam sekejap membuat kepalanya terasa pening, tapi Zeno tetap berusaha untuk bangun dan mencegah pria itu membawa Anna lagi.

Dengan batu besar yang ia ambil di dekatnya, Zeno berlari menghampiri pria besar itu lalu memukulnya tanpa ampun. Darah bercucuran dimana-mana sementara pria itu sudah terkapar tidak berdaya.

"Berani-beraninya lo nyakitin Anna gue!" geram Zeno sambil terus memukuli kepala pria itu dengan batu tanpa ragu sedikitpun. Matanya menggelap, menggambarkan jelas amarahnya.

"Zeno… udah, stop!" pinta Anna menangis sambil berusaha menahan tangan Zeno yang sudah berlumuran darah.

"Zeno, Please… gue gak apa-apa, dia gak ngapa-ngapain gue, tolong berhenti! Jangan jadi pembunuh karena gue, Zen!"

Zeno akhirnya melepaskan batu itu terlihat tangannya sudah berlumuran darah begitu juga dengan wajah dan pakaiannya.

"Maafin gue, maafin gue, Na…." Dengan tubuh gemetaran, Zeno menangis ketakutan, bukan takut karena mungkin ia akan menjadi seorang pembunuh tapi karena ia takut tidak bisa melindungi Anna.

"Gak, loe gak salah. Makasih, Zen... makasih karena udah menyelamatkan gue," ucap Anna, ia menggenggam kedua tangan Zeno yang berlumuran darah tanpa ragu lalu memeluknya dengan sangat erat.

"Gue gak tau gimana nasib gue kalua loe gak ada, makasih banyak, Zen…"

"Maafin gue, Na… maafin gue."

...***...

"Penjahat itu gak mati, tapi dia sekarat. Saya yang akan mengurusnya ke kantor polisi, sebaiknya sekarang Mas Zeno sama mba Anna pulang aja. Kalian gak perlu khawatir," ucap pria paruh baya yang sudah menjadi kepala pengurus rumah di keluarga Zeno sejak Zeno belum lahir.

"Tolong jangan sampai papa tahu," pesan Zeno yang sudah lebih tenang sekarang berbeda dengan Anna yang masih terlihat syok.

"Saya akan rahasiakan ini dari Bapak dan juga mamanya mba Anna. Mas gak usah khawatir, kejadian hari ini hanya kita bertiga yang tahu."

"Terima kasih, Pak Galih."

Zeno kemudian menggandeng Anna pergi dari klinik itu. Galih memang sengaja membawa penjahat itu ke klinik bukan ke rumah sakit besar, ia sama sekali tidak berpikir untuk mengobati luka pria jahat itu mengingat apa yang sudah ia lakukan pada wajah tampan tuan mudanya.

Layaknya seorang kakek, ia tidak akan membiarkan siapapun menyentuh Zeno.

"Buat saja seolah-olah seperti sebuah kecelakaan dan jangan obati dia, biarkan dia mati," pesan Galih pada kepala klinik sambil memberikan amplop dengan uang yang cukup banyak untuk membungkamnya.

...…...

"Udah gak apa-apa," ucap Zeno menenangkan sambil menyentuh tangan Anna dan menggenggamnya erat karena sejak tadi Anna masih terlihat gelisah.

Di dalam mobil hanya ada mereka selain supir, tapi Anna merasa seluruh tubuhnya seperti terbakar. Ia mencoba menahan reaksi tubuhnya yang semakin menggila.

Genggaman tangan Zeno membuatnya merasa lebih baik, tapi sekaligus membuatnya ingin merasakan sentuhannya di sekujur tubuhnya.

"Zen," lirih Anna dengan suara tertahan.

"Ya?" sahut Zeno menatap Anna yang akhirnya mau menunjukkan wajahnya.

Namun, ekspresi Anna mengatakan segalanya, ekspresi yang seharusnya tidak Anna tunjukan kepada siapapun terlebih di usia mereka sekarang.

Zeno akhirnya memilih untuk memalingkan wajahnya, tubuhnya yang sejak tadi terasa aneh sekarang semakin terasa tidak nyaman. Awalnya ia mengira karena ini efek bau darah yang menempel di bajunya dan membuat kepalanya terasa pusing, tapi keadaaan Anna sepertinya mengartikan lain dan akhirnya membuatnya teringat jika pria brengsek itu menyuntikan sesuatu dilehernya.

"Apa dia suntik sesuatu ke elo?" tanya Zeno, Anna tidak menjawab ,tapi dia mengangguk. Ekspresinya terlihat kacau. Zeno yakin jika dia tidak memegangi kedua tangan Anna dengan kuat maka gadis itu mungkin sudah menggerayangi tubuhnya.

"Panas, Zen," gumam Anna membuat Zeno semakin panik.

....

Menghapus jejak

"Panas, Zen... Gue kenapa ini?" rintih Anna membuat Zeno semakin panik.

Zeno tidak tahu apa yang akan terjadi pada Anna jika mereka harus kembali ke rumah sakit jadi ia memutuskan untuk membawa Anna pulang ke rumahnya karena rumah Anna masih cukup jauh apalagi ibunya Anna sedang ikut ayahnya dinas di luar kota.

Rumah besar yang sepi, itulah julukan yang Anna sematkan saat ia pertama kali menginjakan kaki di kediaman Zeno ketika ayahnya Zeno mengundang ia dan ibunya makan malam setelah ibunya resmi bekerja sebagai sekretaris ayahnya Zeno.

"Rumah ini masih sepi, gimana lo bisa tahan tinggal di rumah besar gini sendirian?" tanya Anna yang semakin melantur, ia bahkan sudah tidak bisa berjalan dengan benar sehingga Zeno harus memapahnya.

"ART udah pada pulang, pak Galih kan masih urusin pria jahat itu."

"Shttt… jangan omongin pria jahat itu, gue takut… tadi dia cium-cium rambut gue."

"Yang mana?" tanya Zeno yang tiba-tiba menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar tamu tempat tujuannya membawa Anna agar dia bisa beristirahat dan efek obat itu hilang karena rasanya tubuhnya juga akan kehilangan kendali seperti Anna sebentar lagi.

"Yang ini, dia pegang ujungnya begini," jawab Anna sambil memperlihatkan ujung rambutnya.

Zeno semakin kesal, ia akhirnya membawa Anna masuk ke dalam kamar lalu menjatuhkan tubuh gadis itu di atas tempat tidur. Ia kemudian mengambil gunting dari dalam laci penyimpanan lalu kembali menghampiri Anna yang masih duduk sempoyongan di atas tempat tidur.

"Mau apa?" tanya Anna bingung, tapi Zeno tidak menjawab. Ia tidak mengatakan apapun selain menggunting ujung rambut Anna.

"Jangan potong rambut gue seenaknya, Zen."

"Rambut lo kotor. Gue gak suka ada jejak orang itu."

Anna tertawa mendengarnya, disisa kesadarannya ia kemudian mengambil alih gunting di tangan Zeno lalu menggunting baju dengan noda darah yang Zeno kenakan.

"Baju lo juga kotor!"

"Selain rambut apalagi yang orang itu pegang?" tanya Zeno setelah melepaskan bajunya, kini ia sudah tidak memakai atasan di hadapan Anna.

"Dia pegang kaki gue terus dia suntik pake jarum, sakit banget," jawab Anna sambil mengangkat satu kakinya dan menunjukan bekas suntikan yang memerah di kakinya.

"Jangan di potong ya, nanti gue gak bisa jalan," lanjut Anna memperingatkan walaupun suaranya terdengar tidak stabil, tapi bibirnya tiba-tiba saja bungkam saat Zeno mencium kakinya dengan lembut.

"Apalagi yang dia sentuh?" tanya Zeno sekali lagi, suaranya terdengar lebih berat sekarang dan sorot matanya mulai menggelap.

"Begini…." Anna menarik tubuh Zeno hingga terjatuh diatas tubuhnya. "Gak, bukan begini… jangan nempel-nempel, berat!"

"Begini?" tanya Zeno setelah menyanggah tubuhnya dengan kedua tangannya.

"Iya, terus tangannya sebelahnya pegang ujung rambut yang udah lo potong tadi."

"Terus?"

"Terus lo dateng menyelamatkan gue dari malapetaka, tamat! Yeay, happy ending...."

Zeno tersenyum lega karena pria itu tidak sampai melakukan hal yang buruk pada Anna. "Gue gak akan tinggalin lo sendirian mulai sekarang."

"Kan gue bilang apa, gue itu cantik jadi banyak yang mau culik."

"Gak ada lagi, gak akan ada yang bisa sakiti elo."

"Termasuk lo?"

Zeno kembali tersenyum, matanya yang terlihat sayu membuatnya semakin terlihat tampan hingga Anna tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menyentuh wajah itu.

"Cuma gue yang boleh sakiti elo," bisik Zeno di ujung telinga Anna yang membuatnya sedikit menggeliat.

"Dasar jahat," protes Anna, tapi senyumannya jelas mengatakan jika itu hanya sebuah rengekan manja yang membuat Zeno ikut tersenyum.

"Hal yang sama berlaku buat elo," ucap Zeno tanpa ragu, ia mencoba mengendalikan pikirannya agar tetap menatap mata Anna tapi matanya selalu bergerak nakal menuju bibir ranum itu.

"Jadi cuma gue bisa sakiti elo?"

"Iya…."

Anna tersenyum puas mendengar jawaban Zeno, hal yang seharusnya tidak Anna lakukan karena sihir senyumannya membuat Zeno jatuh, jatuh kedalam buaian iblis yang berbisik untuk membuat Anna menjadi miliknya seutuhnya.

"Ng… Zeno!!!" Anna menggeliat saat bibir Zeno mendarat tepat di bibirnya yang seketika melumpuhkannya.

***

Sinar matahari berhasil membangunkan Anna. Tubuhnya terasa nyeri, ia nyaris tidak mampu untuk beranjak duduk karena merasa sangat lemas terlebih pusat tubuhnya terasa sakit. Apa yang sebenarnya terjadi? Rasanya kemarin tidak ada jam pelajaran olahraga yang bisa membuatnya cidera.

Lalu kenapa?

Anna memejamkan kedua matanya sekali lagi lalu sedetik kemudian ia membuka kedua matanya dan terbelalak. Ia teringat akan pria tua yang mencoba menculiknya kemarin, dan barulah ia sadar tentang keadaannya yang berada di sebuah kamar asing dan juga di bawah selimut dengan tubuh yang tidak menggunakan apapun.

"Hancur… masa depan gue udah berakhir!" tangis Anna pecah, ia merasa dunianya baru saja runtuh, tapi tiba-tiba seseorang bergerak dari balik selimut dan dengan sigap Anna menendang tubuh orang itu hingga terjatuh.

"Akh!" Zeno meringis menahan rasa nyeri pada bokongnya sambil mengumpulkan kesadarannya. Ia masih sangat mengantuk terlebih pinggulnya terasa sangat pegal sekarang.

"Jir, sakit banget!" gerutu Zeno sambil menyeka kedua matanya dengan tangannya baru lah ia bisa melihat dengan jelas seorang wanita duduk diatas tempat tidur sambil menangis dengan selimut menyelimuti tubuhnya.

"Aaaa!" Zeno berteriak kencang sambil menunjuk ke arah Anna dan teriakan Zeno berhasil membuat Anna tersadar jika suara itu sama sekali tidak asing. Ia kemudian mengangkat wajahnya dan melihat Zeno berada di bawah tempat tidur tanpa menggunakan sehelai pakaian dan tanpa terlihat berniat menutupi 'aset'nya yang terlihat aneh baginya itu.

"Aaaaaaaaaa!!!" sekarang giliran Anna berteriak sekencang mungkin. "Tutupin tubuh loe, bego!" teriak Anna sambil melemparkan sebuah bantal kearah Zeno.

...…...

"Ini mimpi buruk kan?" tanya Anna pada dirinya sendiri setelah ia selesai memakai pakaiannya, ia masih syok dan kini ia duduk di tepi tempat tidur sambil sesekali melihat darah perawannya yang tertinggal di sprei yang sudah berantakan itu.

"Ini pasti mimpi, bener… gak mungkin gue sama Zeno." Sekali lagi Anna bicara pada dirinya sendiri. Merasa terheran-heran apa yang sebenarnya terjadi antara ia dan Zeno.

"Apa gue tidur lagi aja kali ya? Ini terlalu konyol buat jadi nyata kan?" ucap Anna lagi sambil membaringkan tubuhnya dan memejamkan kedua matanya.

"Sialan! Kenapa gue gak inget apapun selain kejadian Zeno hajar pria brengsek itu?" keluh Anna setelah kembali membuka kedua matanya karena ini sama sekali tidak terasa seperti mimpi. Rasa nyeri di sekujur tubuhnya membuat semua ini semakin nyata, tapi ia tidak mengingat apapun yang terjadi antara ia dan Zeno.

Anna terus memutar otaknya untuk mencari ingatannya yang hilang semalam. Meskipun ada perasaan lega karena ia tidak berakhir di dalam cengkraman pria brengsek itu, tapi tetap saja bercinta dengan Zeno di usia mereka yang baru 17 tahun ini rasanya sangat aneh terlebih Zeno adalah sahabatnya, ia bahkan tidak pernah membayangkan akan jatuh cinta pada Zeno.

Namun, sekarang mereka berakhir dibawah selimut yang sama.

Bercinta dengan sahabat sendiri, Oh Tuhan… rasanya seperti langit baru saja runtuh!

"Apa gue tanya Zeno aja? Mungkin itu darah nyamuk kan? Eh, tapi malu… tapi masa iya Zeno tega ambil keuntungan dari gue?"

Kejadian ini sungguh membuat kepala Anna terasa akan meledak. Ia gelisah, takut sekaligus malu, ingin rasanya menangis tapi setiap kali mengingat jika ia tidur dengan Zeno, air mata itu mendadak berhenti menetes. "Kenapa gue gak bisa marah?"

Iya juga, harusnya gue marah sama Zeno, kan?

...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!