NovelToon NovelToon

Puber Kedua Istriku

Berubah

"Lho, Dek, kamu mau ke mana pagi-pagi begini udah rapi aja?" tanya Arifin pada sang istri. Wanita berpostur tinggi sedang itu membiarkan rambutnya tergerai panjang. Nampak cantik memang, di tambah polesan makeup tipis, Ayu memang terlihat anggun sekali pagi ini.

"Aku ijin sebentar ya, Bang. Mau ke salon," ucap Ayu memamerkan senyum manisnya. Arifin hanya melongo, menatap penampilan sang istri dari atas sampai bawah. Hingga Ayu menyentak lamunan Arifin yang sejak tadi menatapnya,

"Bang. Abang dengerin aku ngomong nggak, sih?"

"Eh, apa tadi?"

Ayu menggeleng samar dengan jawaban suaminya. "Aku mau ke salon. Abang tolong jagain Monic sebentar ya?" ungkap Ayu lagi.

"Ke salon lagi? Minggu kemarin 'kan udah. Terus nanti Monic sama siapa, Dek?" Arifin sedikit memberengut. Bukan uang untuk ke salon yang menjadi masalah. Arifin merasa sikap Ayu belakang ini mulai berubah. Penampilan Ayu memang menjadi lebih cantik, namun apa bedanya jika Ayu jadi lupa dengan kewajibannya mengurus anak.

Harusnya akhir pekan seperti ini adalah waktu untuk keluarga. Apalagi Arifin baru semalam pulang dari luar kota, harusnya Ayu menemaninya di rumah. Tapi, apa yang di lakukan Ayu hari ini.

"Kan sekarang ada Abang. Lagipula rumah Ibu juga dekat. Nanti Ayu mampir dulu ke rumah Ibu deh, biar nanti Ibu ke sini," ungkap Ayu. Lagi-lagi Arifin harus menarik napas berat. Ia tahu hampir setiap hari sang ibu harus di repotkan dengan kelakuan Ayu yang selalu saja menitipkan Monic padanya. Jika hari biasa Ayu seringkali pergi mengecek tempat jualannya. Sedangkan hari minggu harusnya waktu sang ibu untuk istirahat, malah harus kembali di titipi Monic karena Ayu pergi ke salon.

Meskipun sang ibu tidak pernah protes, tapi Arifin cukup sadar diri, bagaimana reportnya harus mengurus balita berusia lima tahun yang sedang aktif-aktifnya.

"Ya udah, Bang, aku berangkat dulu. Nggak lama, kok. Assalamualaikum." Ayu langsung menyambar tangan Arifin, lantas menciumnya. Membenarkan tas jinjing keluaran terbaru yang beberapa hari lalu dirinya beli, Ayu melangkah keluar dari rumahnya.

Sepuluh menit kemudian setelah kepergian Ayu, wanita paruh baya datang menyambangi rumah Arifin. Wanita itu tak lain adalah Yati– ibu kandung dari Arifin sendiri.

"Kamu kalau mau istirahat nggak apa-apa, Nak. Pasti capek 'kan baru semalam pulang dari luar kota. Nanti biar Ibu yang jaga Monic," ucap Bu Yati, tangannya langsung sigap meraih sapu di pojok ruangan dan seperti biasa, sang ibu selalu ikut membantu pekerjaan yang seharusnya menjadi tugas Ayu.

"Ibu nggak usah capek-capek, Bu, mending istirahat aja. Biar Arif aja yang jaga Monic nggak apa-apa." Jujur saja Arifin sebenarnya tidak enak. Di usia sang ibu yang semakin senja, harusnya beliau tidak di bebankan lagi dengan pekerjaan rumah, apalagi untuk mengurus cucu.

"Ibu nggak capek. Lagian kalau diam aja malah ngantuk. Jadi ya nggak apa-apa Ibu bantu-bantu di sini. Pekerjaan Ibu di rumah sudah beres, kok."

Begitulah sang ibu, setiap kali Arifin melarangnya untuk tidak terlalu capek, ada saja alasannya. Padahal Arifin hanya takut sang ibu kecapekan, terus sakit. Arifin juga pernah menawarkan seorang pembantu rumah tangga untuk membantu membersihkan rumah sang ibu, tapi wanita itu menolaknya dengan keras.

"Udah istirahat aja sana, Ibu ke dapur dulu. Pasti tadi Ayu belum sempat cuci piring."

Dada Arifin mencelos. Sang ibu sepertinya sampai hapal sekali dengan kelakuan Ayu sampai-sampai bisa tahu kebiasaannya. Memang tadi usai sarapan Ayu langsung pamit mandi setelah membereskan piring di meja makan. Tapi Arifin tidak tahu jika Ayu bahkan belum sempat mencuci piring-piring kotor itu.

"Oh ya, Monic di mana, Fin? Udah bangun 'kan dia?" tanya Bu Yati menghentikan langkahnya di ambang pintu, bibirnya mengulas senyum tipis.

"Monic main di ruang tengah, Bu," jawab Arifin lagi.

"Pasti belum mandi, kan? Ya udah, nanti biar Ibu mandikan. Sekarang Ibu cuci piring dulu." Bu Yati melanjutkan langkah melewati pintu, tinggallah Arifin yang langsung meletakkan surat kabar pagi dengan sedikit menyentak. Ia terlalu kesal dengan sikap Ayu yang terkesan seenaknya sendiri.

"Kenapa juga Ayu bisa sesantai tadi, sedangkan pekerjaan rumah belum selesai. Monic juga belum di mandikan. Apa ini kelakuan Ayu selama aku nggak ada di rumah?" bisik Arifin sambil melangkah menyusul sang ibu kearah dapur.

.

.

.

Di tempat lain.

Ayu sedang bercengkerama santai dengan tiga orang temannya setelah menghabiskan waktu hampir dua jam di salon. Saat ini mereka sedang berada di salah satu cafe yang tengah viral. Bercanda, sambil memesan berbagai makanan favorit mereka.

"Selamat ya, Yu. Akhirnya tercapai juga cita-cita kamu jadi pebisnis sukses," ungkap Mei yang usianya paling muda di antara mereka. Meski begitu, penampilan Mei terlihat lebih berani di antara teman-temannya. Rok selutut, dan dress ketat yang membungkus tubuhnya, menjadi ciri khas dari Mei.

"Makasih, Mei. Kalian juga makasih ya, atas dukungannya selama ini." Ayu tersenyum sumringah memamerkan gigi putihnya yang tersusun rapi.

"Eh gimana, besok katanya kamu mau ke luar kota buat lihat tempat pembukaan cabang ke lima kamu? Beneran nggak sih?" tanya Bella dengan bersemangat. Dua temannya lagi nampak menoleh dengan mata melebar, mendengar Ayu yang hendak membuka cabang baru sampai ke luar kota.

"Beneran, Yu? Ih ... kamu mah gitu, nggak kabar-kabar kita?" Nadia pura-pura merengut, padahal aslinya kepo sekali ingin tahu lebih banyak lagi.

"InsyaAllah. Doakan ya teman-teman, semoga kali ini juga lancar seperti yang lain."

"Amin ... " Mereka menjawab serempak. Obrolan kembali mengalir, membicarakan banyak hal. Maklumlah, sekarang Ayu sudah menjadi ibu sosialita. Pergaulannya juga sudah jauh berbeda. Jika dulu Ayu hanya berteman dengan ibu-ibu satu kompleks saja, sekarang Ayu memilih berteman dengan mereka yang modis dan suka jalan-jalan.

"Ayo pesan apapun yang kalian mau, nanti aku yang traktir," ungkap Ayu dengan bangga. Mereka tak menyia-nyiakan kesempatan untuk memesan berbagai makanan di cafe mahal itu. Hingga suara ponsel keluaran terbaru milik Ayu berdering, lagi-lagi membuat ketiga temannya memandang Ayu dengan tatapan iri melihat keberuntungan wanita itu.

"Bentar, aku angkat telepon dulu ya?" Ayu bangkit, lantas menyingkir ke tempat yang tidak terlalu bisik.

[Hallo, Mas ... ]

[Ay ... besok kamu jadi 'kan berangkat ke sini?] tanya seseorang dari seberang telepon.

Ayu Berbohong

Dulu kehidupan rumah tangga Arifin dan Ayu tak seperti sekarang. Dua tahun lalu mungkin menjadi titik terberat dari hidup mereka. Saat itu Arifin hanyalah seorang buruh proyek biasa yang berpenghasilan pas-pasan. Sedangkan Ayu hanya ibu rumah tangga yang memiliki balita berusia tiga tahun.

Hidup Ayu dan Arifin masih sangat susah, makan pun mereka seadanya. Di tambah Arifin yang harus juga menghidupi ibunya, Ayu merasa tak berdaya sekali dengan keadaannya kala itu.

Beruntung, mereka memiliki saudara ipar yang sangat baik, Marita namanya. Marita adalah istri dari Ardi–adik kandung Arifin. Meski kehidupan mereka tak jauh berbeda, tapi Marita adalah wanita yang cukup kreatif. Ia mengajak Ayu membuka warung geprek kecil-kecilan, hingga akhirnya warung itu sukses dan sekarang sudah ada lima cabang di kota mereka sendiri.

Kehidupan Ayu mulai merangkak naik. Gaya hidupnya pun ikut berubah. Jika dulu Ayu hanya seorang wanita rumahan, kini Ayu sudah menjelma menjadi sosialita yang hidup berkecukupan.

"Assalamualaikum, Bang Arif. Mbak Ayu nya ada?" Suara seorang wanita terdengar dari arah luar. Arifin buru-buru bangkit dan melangkah ke depan melihat siapa tamu yang bertandang ke rumahnya.

"Wa'alaikumsalam, eh Marita. Ayo masuk, ada Ibu kok di dalam." Meski dengan ipar, Arifin memang menjaga jarak sekali dengan wanita itu, takut saja jika akan jadi fitnah jika orang tak sengaja melihatnya.

"Nggak usah, Bang, di sini aja. Cuma sebentar kok. Apa Mbak Ayu ada?" tanya Marita lagi karena tadi Arifin belum memberitahu keberadaan sang istri.

"Ayu lagi ke salon, Ta. Abang kira sama kamu. Dari pagi," ungkap Arifin menahan kesal. Pagi tadi Ayu pamit hanya pergi sebentar, tapi kenapa sampai sesiang ini belum juga sampai di rumah.

"Nggak, Bang, paling sama teman-temannya. Oh ya, aku cuma mau tanya, minggu depan apa Mbak Ayu jadi lihat tempat buat buka cabang baru, soalnya tadi aku wa, tapi nggak di balas. Aku kira Mbak Ayu di rumah, makanya aku ke sini."

"Hahhh, luar kota? Pembukaan cabang baru, kamu serius, Ta? Ayu nggak ngomong apa-apa sih ke Abang." Wajah Arifin berubah memerah, Marita menyadari itu. Apa ucapannya ada yang salah tadi yah? Wanita itupun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Mungkin Mbak Ayu belum sempat cerita ke Abang. Ya udah, aku pamit dulu ya, Bang, soalnya Akmal lagi tidur sendirian di rumah. Assalamualaikum." Marita buru-buru pamit pergi, sebelum di berondongi pernyataan macam-macam oleh Arifin. Sepanjang perjalanan pulang Marita merutuki kecerobohannya sendiri, kenapa juga ia tak menunggu Ayu membalas pesannya saja, malah datang ke rumah Ayu langsung.

.

.

.

[Kamu serius, Ay, mau batalin rencana ke sini?] Terdengar helaan napas berat dari seberang telepon. Ayu nampak terdiam sejenak. Sebenarnya, Ayu juga merasa bersalah karena mengingkari janjinya sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, Arifin yang tiba-tiba saja pulang minggu ini.

[Bukan batal, Mas. Lebih tepatnya Ayu hanya mengundur rencana itu aja,] ucap Ayu berusaha tenang. Meski, ia pun gelisah. Takut seseorang di seberang sana ngambek. [Mas nggak apa-apa, kan? Nggak marah?] Ayu mengigit bibir pelan, menunggu jawaban dari seseorang itu lagi.

[Marah nggak marah, Yu. Mau gimana lagi. Aku mah apa atuh, cuma cadanganmu.] Macam nyanyian saja. Ayu hampir saja tergelak, tapi Ayu memilih diam sebab tidak ingin kekasihnya itu tersinggung.

[Ya udah, Ayu pulang dulu ya, Monic udah nungguin soalnya.]

Pria itu menggerutu, [Monic atau bapaknya Monic yang nungguin? Alasan aja kamu, Ay.]

Ayu cukup pusing jika sudah seperti ini. Ia yakin setelah ini Ayu harus berusaha keras untuk meluluhkan hati kekasihnya lagi.

[Love Youuu] Ayu mengakhiri panggilan, lantas menyimpan kembali benda mahalnya ke dalam tas. Baru saja Ayu hendak melangkah, benda pintar itu berbunyi lagi.

[Apalagi sih, Mas!] Ayu sedikit menaikkan suaranya. Namun ia tiba-tiba tersentak menyadari siapa yang ada di seberang telepon.

[Mas? Sejak kapan kamu ganti panggilan Abang jadi Mas?]

Owww, Ayu langsung membekap mulutnya sendiri. Ternyata yang menghubunginya Arifin, bukanlah Sigit.

[Ma–maaf, Bang, aku kira ... ]

[Siapa? Kamu lagi nggak ada main sama laki-laki lain, kan, Dek?] Tentu saja Arifin curiga, Ayu tidak pernah seperti ini sebelumnya. Apalagi sampai salah menyebut nama panggilan untuk dirinya.

[Aku kira orang salah sambung yang tadi, Bang.] Ayu terpaksa berbohong. Ia bingung harus menggunakan alasan apa untuk meyakinkan suaminya. Tidak mungkin Ayu menggunakan alasan ada sedikit masalah di warung gepreknya, sedangkan Arifin tahu kalau setiap hari minggu memang libur.

[Oh ... kirain Abang kamu kenapa.] Suara Arifin mulai kembali normal. Namun tak lantas membuat Ayu lega. Ia sadar sudah berapa lama yang di habiskan hari ini. Sedangkan tadi ia hanya pamit sebentar pada suaminya.

[Abang kenapa, Monic nggak rewel, kan? ]

[Kenapa?] Arifin mendengus kasar. [Kamu sadar nggak sih, Dek, udah berapa lama kamu pergi?]

[Iya, aku minta maaf, Bang. Tadi salon ngantri banget. Abang tahu 'kan kalau hari libur kayak gini.] Lagi-lagi Ayu berbohong pada Arifin. Padahal saat ini ia masih berada di cafe dengan teman-temannya.

[Pokoknya Abang nggak mau tahu, kamu cepetan pulang sekarang juga! Monic rewel, nyariin kamu terus.]

[I–iya, Bang. Aku pulang sekarang.]

Huffff ... Ayu membuang napas pelan setelah panggilan terputus. Ayu menghampiri teman-temannya lagi yang masih asik bercengkerama.

"Yu, kamu mau ke mana? Makanan kita belum abis lho ya?" ungkap Mei yang duduk tepat di sebelah Ayu.

"Maaf ya gaesss, aku harus pulang sekarang. Suami aku udah nunggu di rumah." Ayu menarik beberapa lembar uang berwarna merah dari dalam dompetnya, dan meletakkannya di atas meja.

"Ciyeee ... yang ayangnya lagi ada di rumah, seneng yah bisa nganu-nganu," goda mereka secara serempak. Ayu hanya tersipu malu, padahal hatinya tengah cemas karena Arifin pasti akan memarahinya nanti.

"Apaan sih! Ini juga udah telat sebenarnya. Bang Arif tadi sempat telepon, terus marah-marah. Kalian sih, kelamaan di salon," cebik Ayu pada mereka. Bibirnya manyun beberapa senti.

"Tenang, Yu. Kalau ayang kamu sampai marah, kasih aja ... " Mei mengedipkan sebelah matanya. Ayu melirik bingung pada dua sahabatnya yang lain.

"Apa?" tanya Ayu tak mengerti.

"Sini, aku bisikin!" Mei langsung menarik tangan Ayu dan membisikkan sesuatu pada wanita itu.

"Hahhhh, ngaco aja kamu!" Mata Ayu membulat sempurna mendengar ide konyol dari Mei.

"Serius, coba aja kalau nggak percaya!"

Rencana Ke Luar Kota

Ide konyol dari Mei ternyata cukup manjur. Apalagi tidak susah untuk Ayu mempraktekkannya. Ayu tinggal menyediakan kebutuhan perut sang suami, lalu melayaninya di ranjang dengan sepenuh hati. Dan kini Arifin sudah kembali seperti sedia kala, tidak marah lagi.

Ayu melirik pria yang sudah enam tahun ini menemani hari-hari. Arifin terlelap setelah kegiatan panas mereka berakhir beberapa menit lalu. Ayu lantas menyambar ponsel yang tadi sempat ia nonaktifkan. Berderet pesan masuk pada aplikasi warna hijau.

[Ay, lagi ngapain?]

[Nggak aktif. Pasti lagi sama suami kamu ya?]

[Aku kangen kamu, Ay.]

Ayu tersenyum membaca setiap rentetan pesan dari Sigit. Ia melirik lagi kearah Arifin demi memastikan pria di sampingnya benar-benar terlelap, lalu kakinya mulai menapaki lantai.

Kamar tamu menjadi pilihan Ayu untuk bisa menghubungi Sigit. Di mana lagi, tidak mungkin Ayu melakukannya di kamar pribadinya, bisa-bisa Arifin terbangun dan memergokinya.

[Mas ...] Ayu tersenyum sumringah setelah melihat tampilan wajah kekasih gelapnya di layar ponsel.

[Kamu tega, Ay.] Sigit merengut, rasanya kesal saja membayangkan Ayu sedang memadu kasih dengan suaminya.

[Apaan sih. Kamu kok belum tidur, Mas. Pasti kangen sama Ayu yah?] Ayu mengerling nakal. Wajahnya ia buat seimut mungkin, hingga Sigit yang ada di seberang sana gemas sendiri.

[Nunggu kamu lah, apalagi. Kamu sih kelamaan.] Nadanya masih ketus. Sampai Ayu tergelak mendengarnya.

[Jangan marah dong, Mas. Nanti gantengnya ilang lho,] ucap Ayu dengan suara manja. [ Aku udah telepon nih. Aku juga udah dandan cantik gini buat kamu,] sambungnya lagi.

[Percuma dandan cantik juga, Ay. Cuma bisa liatin aja, coba kalau kamu beneran ada di sini.]

Ayu melebarkan senyum karena yakin Sigit sudah tidak marah lagi. Tadi Ayu memang memoles sedikit wajahnya sebelum menghubungi Sigit. Ayu juga sengaja mengganti gaun tidurnya dengan model pendek berbahan satin yang sedikit transparan.

[Iya, janji. Minggu depan Ayu jadi kok berangkat ke sana. Tungguin Ayu ya, Mas.] Obrolan berakhir setelah hampir dua jam. Ayu tersenyum sambil memeluk ponsel pintarnya.

Ayu tak menyangka akan di pertemukan dengan Sigit lagi. Sigit adalah teman satu angkatan dengan Ayu semasa SMA. Kedekatan mereka lagi berawal saat tak sengaja Sigit bersama teman-temannya yang sedang ada di kota ini makan di salah satu warung geprek Ayu. Dari situlah keduanya mulai menyambung komunikasi. Awalnya hanya sebatas chat biasa, namun lama-kelamaan obrolan mereka makin jauh membahas masa lalu.

Sigit adalah seorang PNS yang ikut pindah orang tuanya ke kota kembang. Pria berumur dua puluh delapan tahun itu entah kenapa sampai sekarang masih betah melajang. Alasannya apalagi kalau belum menemukan calon yang cocok dengannya. Meski berulang kali orang tua Sigit memintanya untuk segera menikah.

Ayu menatap jam di dinding kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Ayu menyeret langkahnya untuk kembali ke kamar, rasa kantuk mulai menyerangnya. Namun saat ia menarik handle pintu, Ayu terkesiap dengan kemunculan Arifin yang berdiri di depannya.

"Dek, kamu ngapain sih di kamar tamu? Abang cariin kamu ke mana-mana. Nggak tahunya ada di sini." Arifin mengucek kedua matanya. Tadinya Arifin terbangun karena merasa haus. Tapi melihat ranjang sebelah kosong, ia lantas mencari keberadaan sang istri. Arifin pikir Ayu ada di kamar Monic, namun ternyata istrinya itu ia temukan ada di kamar tamu.

"Tadi a–aku ... " Ayu gelagapan. Ia bingung harus memakai alasan apa. "Di kamar panas, Bang. Makanya aku pindah ke kamar tamu," ucap Ayu beralasan.

"Ngapain ke kamar tamu? Kenapa nggak nyalain AC aja sih, Dek, 'kan bisa." Kedua mata Arifin menyipit, apalagi melihat dandanan Ayu yang menor. "Ini lagi, ngapain kamu dandan kayak gini malam-malam?"

Ayu mengigit bibirnya pelan. Keringat dingin mulai membajiri pelipisnya. Ayu mendadak gugup saat Arifin menatapnya penuh selidik.

"Itu anu, Bang ... sebenarnya ...."

"Huwaaaa ... !"

Terdengar suara tangisan Monic dari dalam kamarnya. Ayu menghembuskan napas lega sebab ia bisa menyelamatkan diri dari pertanyaan suaminya.

"Monic nangis, Bang. Aku lihat dulu ya?" Ayu bergerak cepat, bahkan sebelum mendapatkan jawaban dari Arifin.

Kamar Monic yang ada tepat di sebelah kamar pribadi mereka memaksa Ayu untuk mempercepat langkahnya. Ia khawatir terjadi sesuatu pada putrinya, karena tidak biasanya malam-malam seperti ini Monic menangis.

.

.

.

"Emang nggak bisa di tunda dulu, Dek. Aku khawatir Monic makin nggak keurus kalau kamu buka cabang baru lagi. Apalagi tempatnya ada di luar kota," protes Arifin setelah mendengar rencana Ayu yang ingin membuka cabang baru lagi untuk warung gepreknya. bukan ia tak mau mendukung kesuksesan istrinya, tapi Arifin kasihan dengan Monic yang pasti sangat kurang perhatian dari kedua orangtuanya.

Pagi ini usai sarapan Ayu langsung mengungkapkan keinginannya, termasuk rencana pergi keluar kota yang harusnya ia lakukan minggu ini.

"Abang tenang aja, aku cuma lihat lokasinya aja, kok. Nanti kalau emang udah lancar, aku akan kirim salah satu pegawai kepercayaan aku di sana buat ngawasin pekerjaan mereka."

"Tapi, kenapa mesti di luar kota sih, Dek? Cari aja lokasi dekat-dekat sini, masih banyak kan?"

Ayu nampak terdiam, ia sedang memutar otak agar bisa menjelaskan alasan yang masuk akal pada suaminya.

"Ya karena di sana lokasinya sangat strategis, Bang. Harga sewanya juga lumayan murah lagi. Aku yakin kalau nanti bakalan sukses kayak yang lain."

Arifin nampak manggut-manggut mendengar alasan dari Ayu. Namun, detik selanjutnya Ayu di buat kelabakan lagi dengan pertanyaan baru Arifin.

"Emang kamu tahu dari mana, Dek, lokasinya strategis. Terus masalah harga, emang kamu udah ketemu sama pemiliknya langsung?"

Deg!

Ayu baru sadar kalau ia sudah keceplosan. Jelas saja Ayu tahu, tempat itu 'kan rekomendasi dari Sigit.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!