NovelToon NovelToon

The Price Of Sincerity

Cari Pengganti

“Apa kau masih memikirkan nya?”

Max menuangkan wine ber—merk ‘Chateau Gruaud Larose’ ke dalam dua gelas kaca yang ada di hadapannya secara berurutan sebelum meminumnya habis dan menyisakan satu gelas lagi untuk Dye yang duduk disampingnya. Dia Tak henti mengisi ulang wine di gelasnya jika sudah habis. Jika disuruh menjawab, dia tidak yakin dengan jawabannya, tidak yakin dengan apa yang ada dipikirannya. Tapi yang pasti dia memang memikirkan seseorang. Seorang wanita.

“Dia akan kembali. Rose—ku, kau pasti merindukanku. Aku akan menjemputmu..” Max memukul dada nya beberapa kali, hampa dan kosong.

Sudah hampir satu bulan berlalu sejak hilangnya wanita itu di kapal pesiar. Kapal mewah yang dijadikan sebagai tempat acara pertunangan seorang konglomerat kaya raya dan kekasihnya, Max Miller dan Rose Alexis. Namun pertunangan itu menjadi akhir dari hubungan manis yang sudah mereka jalani hampir empat tahun, Max kehilangan Rose. Dia kehilangannya tak lama setelah dirinya melingkarkan sebuah cincin berlian 1,2 carat di jari manis Rose. Tapi secara tiba-tiba wanita itu menghilang tanpa jejak bahkan sebelum acara pertunangan berakhir.

Dye mengambil segelas wine yang masih berisi dari tangan Max, entah sudah berapa gelas yang sudah dihabiskan pria itu. “Cukup. Kau minum terlalu banyak, kenapa kau masih ingin bertemu dengannya. Dia bahkan sudah mengirim pesan padamu untuk tidak mencarinya lagi. Apa kau lupa? Dan sekarang apa ini yang kulihat. Kau masih ingin memikirkan nya? Seorang direktur AVC menangisi seorang wanita? Oh—Shit.” Kekesalan Dye membuatnya menghabiskan segelas wine yang diambilnya dari Max dalam satu tegukan singkat. Ini sudah ke sekian kalinya dia harus melihat temannya itu dalam kondisi seperti sekarang.

“Dia—meninggalkanku? Haha, aku Max Miller. Tidak ada wanita yang meninggalkan pria sepertiku. Kau tau, kami sudah mempersiapkan pernikahan untuk bulan depan. Gedung pernikahan, gaun, rumah baru, dia bahkan ingin berbulan madu di Kyoto. Aku bahkan sudah membeli tiket kesana bulan lalu. Apa menurutmu dia akan pergi setelah mempersiapkan semua itu denganku? Aku yakin ada yang tidak beres, ah ya, pasti ada yang menculiknya, dia pasti membutuhkanku sekarang. Ya benar, aku harus menemuinya. Aku—aku harus.” Max bangkit dan berusaha membuat tubuhnya berdiri dengan benar, berusaha untuk melangkahkan kaki pergi dari sana dalam kondisi jiwa dan raga yang tidak baik-baik saja.

Buk.

Satu pukulan keras mendarat di pipi Max, membuat pria itu tergeletak di lantai. Dye memukulnya dan berharap melalui pukulan itu bisa membuat Max sadar dan bisa berpikir dengan benar. Dia sudah tidak tahan dengan omong kosong yang membuat teman sekaligus bos nya itu menjadi begitu frustasi. “Persetan dengan semua itu. Tapi yang jelas dia sudah pergi, dia meninggalkan mu. Apa kau masih tidak mengerti? Ha?” Dye meraih kerah baju Max, dia mencengkeramnya kuat dan sedikit dorongan dia melepaskannya hingga membuat pria itu kembali tergeletak di lantai.

Dye berusaha mengatur nafasnya, berusaha meredakan amarah yang sedang menggebu-gebu dalam dirinya sebelum dia pergi meninggalkan Max yang masih tergeletak di lantai dan meracau tidak jelas.

**

Enam bulan kemudian.

“Kenapa kau tiba-tiba ingin datang ke Ethalos?” Dye merangkul bahu Max dengan mudah karena dia lebih tinggi beberapa sentimeter darinya. Mereka berjalan menyusuri lorong dan masuk melalui salah pintu yang dibukakan oleh seorang pria untuk mereka. Dan kedua pria itu masuk dengan angkuh.

Max melepaskan diri dari rangkulan Dye dan menyambut dengan hangat tiap wanita yang datang menyambutnya dengan satu kecupan di pipi dan bibir. Bahkan dia menerima satu ciuman dalam dari salah satu wanita yang menghampirinya. Sambutan hangat—itu berlangsung hingga mereka melewati kerumunan dan menaiki anak tangga menuju lantai atas. “Mencari wanita untuk ditiduri.” balas Max singkat.

“Whoa, apa aku tidak salah dengar?”

Begitu sampai di lantai atas Max melepas jaket kulit yang sedari tadi dipakainya sesaat sebelum menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang yang sudah di isi oleh beberapa wanita setengah telanjang. Salah satu wanita dengan buah dada penuh yang menyembul keluar dari bra tipis yang dia kenakan mendekati Max dan menempelkannya ke lengan Max. Sementara wanita yang berada di sampingnya dengan bau parfum menyengat membelai dada bidangnya dan menyusuri otot perutnya dengan jari lentik yang dia punya. Max mengerang puas penuh gairah menikmati tiap belaian yang menyentuh kulitnya. Sudah lama dia tidak merasakan sentuhan nikmat yang menjalar dengan cepat ke sekujur tubuhnya.

Sepertinya Max yang kukenal sudah kembali...

Dye yang melihat Max bersama para wanita tidak ingin mengganggunya, dia mencari tempat lain untuk dirinya dapat menikmati sensasi menggairahkan seperti yang dilihatnya. Sudah hampir satu tahun sejak terakhir kali mereka datang ke sebuah club bernama ‘Ethalos’. Dye terkejut saat Max dengan sangat tiba-tiba mengajaknya kesana, awalnya dia mengira ada suatu pekerjaan atau hal pentingnya yang akan dilakukan karena tempat itu dipenuhi oleh orang-orang kaya yang punya kuasa. Namun mendapat jawaban lain dari pria itu membuatnya sedikit tak percaya, tapi jujur dia merasa sedikit lega. Max dapat keluar dari hubungan cintanya yang kandas di tengah jalan.

Satu jam berlalu begitu saja. Didalam ruangan yang hanya disinari cahaya ungu redup Max dan Dye berdiri di depan dinding kaca di lantai atas. Dinding kaca yang tidak bisa dilihat dari luar ruangan. Keduanya sama-sama memegang segelas anggur ditangan masing-masing.

“Apa kau belum menemukan wanita yang akan menghabiskan malamnya denganmu?” tanya Dye pada Max yang sedang menyusuri tiap orang yang ada di lantai bawah dari ujung kanan hingga ujung kiri.

“Entahlah, semuanya tampak sama. *****.” Max meminum sedikit anggur yang ada di tangannya sebelum berbalik menjauh, dia duduk di sofa biru gelap yang ada disana. Sementara Dye masih berdiri dan masih memperhatikan.

“Oh ya? Sepertinya kau harus turun dan benar-benar mencarinya sendiri daripada hanya menyambut para wanita yang datang menindih mu dan menanggapi rayuan mereka satu persatu.”

“Haha. Kau pikir mereka mendekati ku karena apa? Dan jika aku turun kebawah sana, apa bedanya dengan para wanita yang datang padaku sedari tadi. Mereka akan berdatangan tanpa aku datangi.”

“Hemm. Ada benarnya juga.”

“Oh ya, apa menurutmu mereka akan sukarela melompat ke ranjangku?” Max meletakkan gelas kosongnya di atas meja, dia berdiri berjalan ke arah Dye. “Para wanita itu akan membuang harga dirinya untuk mendapatkan yang mereka mau.”

“Ya. Aku setuju. Uang semenarik itu, jadi apa kau akan pergi tanpa membawa satu wanita pun? Ayolah setidaknya untuk semalam saja.”

“Mungkin--tidak disini. Tak ada yang menarik, tapi aku cukup bersenang-senang. Nikmati saja malammu,” Max menepuk-nepuk bahu Dye sebelum pergi meninggalkannya sendirian di ruangan itu.

...----------------...

Dia Milikku

Café kecil diujung jalan yang tak jauh dari sebuah hotel di dekat pantai, Costa Nera. Belum dua puluh empat jam berlalu setelah Max meninggalkan Ethalos dan sekarang dia sudah berada di Santa Guilia, Prancis. Pantai berpasir yang terletak di utara Prancis, Page De Santa-Guilia Folacca Beach dekat Sotta.

Satu kedipan maut dari mata indahnya ampuh untuk meluluhkan pelayan yang membuatkan segelas minuman dingin spesial untuknya dengan cepat, ditambah secarik pita yang melingkar di sedotannya. Sementara Dye hanya bisa mengangguk paham dengan itu, karena dia sudah biasa melihatnya.

“Jadi kau membuatku melewatkan malam indahku hanya untuk melihatmu menggoda seorang pelayan? Jangan bilang kau kesini untuk melanjutkan pencarianmu semalam.”

“Ya, mungkin kalimat terakhirmu benar. Tidak ada yang mengenalku disini, jadi aku bisa mendapatkan seseorang yang tidak akan tertarik dengan uangku.”

Max menyedot setengah air yang ada didalam gelas dalam satu isapan. Matanya melirik ke semua orang yang ada di dalam Café itu, bahkan sesekali dia memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di jalanan. Entah itu mencari mangsa atau hanya sekedar mengamati.

“Whoa, seorang tuan muda ini ingin berkencan tanpa uangnya? Apa aku tidak salah mengartikan?” Dye menaikkan alisnya tak percaya dengan apa yang dia pikirkan, tak yakin dengan apa yang dia utarakan barusan. Rasa asam yang menyentuh lidahnya sebelum minuman itu masuk ke kerongkongan membuatnya mendesis nikmat, “Ashh, aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan. Wanita mana yang akan tertarik tanpa uangmu.”

“Kau terlalu sering bermain dengan para wanita bar itu, berhentilah menghambur-hamburkan uangmu untuk mereka. Percayalah kau tidak akan tahu jika tidak mencoba sesuatu yang baru. Mungkin saja kau akan menemukan seseorang disini.” Max kembali mengisap minumannya sedikit demi sedikit hingga habis.

“Apa ini Max yang kukenal? Aku seperti sedang berbicara dengan seorang pendeta sekarang, dimana kau belajar jadi sok bijak begitu. Bikin takut saja, lalu apa kau akan memilih acak wanita yang kau temui disini?”

“Aku tidak se-putus asa itu. Lihat saja nanti.” Max bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke meja kasir dan berbincang dengan pelayan yang beberapa saat lalu membuatkan minuman untuknya dan sedotan berpita. Mereka tampak mencurigakan, tak lama keduanya keluar dari Café itu melalui pintu samping, Dye yang sudah menebak apa yang akan terjadi hanya bisa tercengang dan geleng-geleng kepala. “Aku menilai mu terlalu tinggi, Max. Jiwa playboy mu itu memang sudah mendarah daging.”

Mungkin sudah puluhan wanita yang merasakan bibir tipis menggoda pria itu. Wajah tampan dan uangnya sudah cukup untuk membuat wanita tak berkutik dihadapannya. Menjadi seorang playboy sejak sekolah membuat sebutan itu melekat seperti lem yang tak bisa dilepas begitu saja. Dua puluh delapan tahun dia hidup, namun hanya satu wanita yang berhasil membuatnya bisa merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Satu-satunya wanita yang mampu meluluhkan hatinya.

Tapi begitu hubungan cinta yang singkat itu berakhir, membuatnya lebih brutal dari sebelumnya. Dia bisa saja mencium wanita manapun yang datang padanya. Dia tidak akan menolak kehadiran wanita jika itu bisa memuaskan hasrat seksualnya. Bisa membuatnya merasakan sensasi nikmat meskipun hanya sesaat. Dan meskipun tidak sampai pada tahap dunia milik berdua di atas ranjang. Dia hanya akan tidur dengan wanita tertentu yang menurut hati kecil nya akan memberikannya malam yang indah, naluri playboy—nya.

“Baiklah, mari kita lihat wanita mana yang akan tidur di ranjangmu malam ini.”

**

“Sifat pemilih mu itu sangat menyebalkan, ya.” ucap Dye sembari memberikan segelas minuman dengan potongan lemon di atasnya pada Max yang sedang berjemur di bawah matahari pagi.

“Kau pikir juniorku akan puas dengan sembarang wanita?” Max menerima minuman itu dengan tubuhnya yang masih terbaring dengan begitu santai. Dengan kacamata gelap bertengger di hidung mancungnya dan kemeja pantai yang tipis dan di lengkapi ****** ***** yang ketat. “Tapi sepertinya aku sudah menemukannya. Begitu—Aaahh.”

Dye melirik wajah Max yang sedang fokus memandang sesuatu. Dia mengikuti arah tatapan itu dan terhenti pada wanita berkulit putih mulus dengan bikini merah muda dan ****** ***** berpita yang juga berwarna merah muda. Seorang wanita yang sedang berpose untuk difoto. “Kau yakin? Sepertinya dia bukan wanita biasa. Apa kau yakin dia tidak akan mengenalimu?”

“Untuk berjaga-jaga.” Max melepas kacamata hitam yang dipakainya sedari tadi untuk melindungi mata nya dari pemandangan pantai yang menyilaukan, dia menunjukkan matanya pada Dye sebelum memakai kacamata itu kembali.

“Kau memakai softlens? Sepertinya kau sudah bersiap ya. Tapi aku saja masih bisa mengenalimu dari jauh, apa dengan softlens itu akan berhasil?”

“Aku tidak peduli lagi jika itu dia. Dia mengenaliku atau tidak yang pasti dia akan tidur denganku malam ini. Berapa pun harganya.”

Max dan Dye masih setengah berbaring menjemur diri mereka di tepi pantai. Keduanya masih mengamati wanita tinggi, langsing dan hampir telanjang itu sedari tadi. Serentak keduanya mendesis nikmat saat pose menungging yang dilakukan wanita itu dengan begitu menggoda. Begitu membangkitkan gairah. Max menelan liurnya dalam dan meneguk habis minuman yang ada di tangannya dalam satu tegukan. “Dia milikku.”

Jane memperbaiki letak jubah tipis yang menggantung di bahunya. Dia duduk manis di kursi yang tidak terkena pancaran cahaya matahari langsung karena payung yang menaungi dirinya, dia membalas ucapan orang yang pamit pergi dari sana satu persatu dengan senyum yang begitu hangat. Senyum yang cukup menguras tenaganya.

Pemotretannya sudah selesai, dia menjadi model di salah satu majalah iklan yang mempromosikan suasana pantai dan set pakaian pantai. Berpose setengah telanjang dengan hanya memakai bra dan ****** ***** sudah biasa baginya, selama itu masih pada batas wajarnya.

Namun kali ini dia merasa tidak nyaman karena hampir semua mata pria hidung belang di sekitar tempat dia duduk tertuju pada dirinya. Menatap dirinya dari balik jubah tipis transparan yang dia kenakan. Dia hanya ingin menikmati angin pantai dan pemandangan yang memanjakan mata itu dengan tenang sejenak sembari menunggu managernya datang. Namun perasaan nya menjadi tidak enak saat seorang lelaki berjalan ke arahnya. Dia hendak pergi dari sana, namun sudah terlambat. Pria itu sudah berdiri di depannya.

U know I know..--

Ponsel Jane berbunyi, tepat saat pria itu ingin mengucapkan sesuatu. Dan ternyata diluar dugaan, pria asing itu tidak meneruskan niatnya tapi malah menyuruh Jane untuk menjawab telponnya. Sepertinya Tuhan menolongnya dari pria berkacamata yang tampak—mencurigakan. Dia berdiri dan menjawab panggilan telpon yang masuk, menjaga jarak pria itu.

...----------------...

Ditolak

"Apa kamu masih lama Shar?”

“Tidak. Ini aku sedang ingin ke sana, apa pemotretan nya sudah selesai?”

“Sudah, tapi aku masih di tempat pemotretan, aku menunggumu karena kelaparan disini. Tak bisakah kau cepat datang.” Jane memutuskan sambungan panggilan itu saat mendengar ke persetujuan dari managernya. Dengan sedikit keraguan, dia kembali pada pria yang mendatanginya tadi.

“Hemm. Maaf sudah membuatmu menunggu. Ada apa, ya?” Jane berusaha senormal mungkin untuk tidak menampakkan kegelisahannya. Dia masih cukup gugup untuk berurusan dengan pria sendirian, karena biasanya Shara managernya yang selalu menemani dan membantunya bicara dengan pria asing.

Max tersenyum melihat gerak gerik wanita didepannya, wanita itu tidak tampak terpukau dengan ketampanannya. Dan juga wanita itu tampaknya tidak nyaman dengan keberadaannya. Namun Max tak mengindahkan semua itu. Dia melepas kacamata hitam yang dipakainya, memegangnya dengan tangan kiri sementara dia menjulurkan tangan kanannya berniat untuk berjabat tangan.

“Max.” ucapnya singkat. Dia menatap Jane sambil tersenyum, menampakkan senyuman mautnya dengan lesung pipi miliknya.

Jane terdiam sesaat begitu matanya bertatapan dengan mata biru Max sebelum berjabat tangan. “Jane.”

Namun tak berselang beberapa detik setelah kedua tangan mereka terlepas terdengar bunyi yang dapat di dengar dengan sangat jelas oleh Max. Bunyi yang tidak asing, bunyi dapat dikenali dengan mudah. Perut Jane mengeluarkan bunyi itu. Dia lapar, dia tak sempat sarapan karena jadwal pemotretannya dipercepat dari waktu yang sudah di tentukan.

“Ingin sarapan? Aku tahu tempat makan yang enak di dekat sini.” Max kembali memasang kacamata nya. Berdiri dengan angkuh sambil menunggu persetujuan dari wanita yang masih tampak ragu dengannya.

“Jane…”

Dari kejauhan terdengar seseorang memanggilnya. Jane berbalik ke belakang dan mencari sumber suara yang menyebut namanya, itu Shara. Dia melambaikan tangan pada Jane untuk memberitahukan keberadaannya. Jane merasa lega bisa melihat Shara datang tepat waktu sehingga dia punya alasan untuk menolak ajakan pria tampan yang tampak mencurigakan itu. Dia terselamatkan.

“Ah, maaf sekali. Sepertinya teman saya sudah datang.” Jane tersenyum sebelum berpamitan pada Max yang tampak tidak senang dengan keputusannya. Meskipun matanya tertutup oleh kacamata hitam, tapi raut wajahnya sangat menampakkan kekecewaannya. Sedangkan wanita itu sudah menghilang dari hadapan Max dalam hitungan detik bahkan sebelum dia sempat untuk mengiyakan kepergiannya.

“Dia—menolak ku? Aku?”

Max menyeringai singkat melihat punggung Jane yang semakin menjauh dan menghilang di balik kerumunan orang. Sementara dia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya sekarang. Seakan bermimpi, seakan ilusi yang tak pernah terbayangkan olehnya. Dia ditolak oleh seorang wanita.

Dye yang melihat kejadian itu dari kejauhan sudah tertawa terbahak-bahak. Apalagi melihat Max yang ditinggalkan begitu saja, dia tidak bisa menahan tawanya. ‘Ternyata wanita itu punya nyali juga,’ batin Dye. Sudah lebih 20 tahun dia berteman dengan Max, dan tidak ada seorang pun perempuan yang akan menolak pria itu. Bahkan tidak ada yang sanggup menolak untuk berbicara dengannya. Meskipun tau hanya akan menjadi mainan bagi Max tapi tidak masalah jika itu bisa membuatnya menjadi seorang putri dalam sehari.

“Haha, aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aku pikir dia akan menyodorkan dada binal nya itu begitu melihatmu. Tapi apa itu tadi? Haha.” Dye masih belum berhenti tertawa, dan Max hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar ke udara. Dia tak ingin menghiraukan temannya itu, mengingatnya saja sudah membuatnya malu setengah mati. Seorang Max Miller—Ditolak?

“Tunggu saja, aku akan membuatnya berlutut di hadapanku untuk ku tiduri.” Terdapat keyakinan yang tinggi pada nada bicaranya.

Dye hanya mengangguk-angguk sambil berusaha menghentikan tawanya mendengar tekad bulat yang seperti sudah dipastikan hasilnya itu. Meskipun sebenarnya dia ragu dengan kenyataan hasil yang akan terjadi nantinya. Namun dia tidak akan meremehkan sang raja perayu wanita itu, mungkin saja hasilnya sesuai dengan nada menang yang dia dengar—atau sebaliknya.

“Apa kau meremehkan ku?” ucapan Max sontak membuat Dye terdiam dan langsung terpaku tak bergerak.

“Tidak Tuan, saya akan mendukung anda dengan sepenuh jiwa dan raga,” balas Dye dengan suara bulatnya yang lantang sembari memberi hormat pada pria yang tampak sudah dipuncak kekesalannya itu.

**

Jane dan Shara menikmati sarapan pagi mereka di balkon hotel yang menghadap langsung pada keindahan desiran pasir pantai yang memanjakan mata.

“Siapa pria tampan tadi?” tanya Shara sambil menyuap potongan pastry ke mulutnya.

“Maksudmu pria bermata abu-abu itu? Entahlah. Namanya—siapa ya,” Jane berpikir sejenak sembari menghancurkan makanan yang masih penuh di dalam mulutnya, “Oh iya, Max. Namanya Max.”

“Bermata abu-abu? Maksudmu dia memakai softlens?” Shara menatap Jane tidak percaya. Siapa yang begitu berniat untuk memakai softlens saat berjemur di pantai. Dan Jane hanya mengangguk sebagai bentuk responnya atas ucapan Shara. Untuk membedakan mata asli dan softlens tidak lah sulit bagi wanita yang sudah bergabung dalam dunia permodelan selama dua tahun, dia bisa mengenalinya dengan mudah.

Sambil menghabiskan makanannya, Jane mengamati keadaan di luar pagar hotel. Tampak beberapa orang yang berlalu lalang, ada yang membawa kotak rotan, ada yang membawa papan selancar, ada yang membawa gulungan permadani, bahkan ada yang sempat melirik ke arahnya sambil mengedipkan sebelah matanya meskipun sudah ada seorang wanita disamping pria itu. Lelaki memang tidak cukup dengan satu wanita.

Sudah agak panas diluar, Jane masuk ke dalam tanpa menutup pintu yang memisahkan kamarnya dengan balkon tempat dia duduk beberapa saat yang lalu. Dia masuk tanpa menutup pintu yang terbuat dari kaca itu, dia hanya berjalan melewatinya. Langkahnya diikuti oleh kibasan tirai putih yang menggantung di atas pintu.

Jane mengambil ponsel yang ada di atas tempat tidur, dia melihat pesan yang masuk di ponselnya. Sepertinya pesan itu sudah dikirimkan padanya dari dua jam yang lalu, sebelum dia meninggalkan ponselnya di hotel dan pergi untuk melakukan pemotretan di tepi pantai. Jane tersenyum membaca isi pesan yang tertera di layar ponselnya.

[bagaimana perjalananmu?]

[apa kau sudah sarapan? aku sudah memberitahu Shara tempat sarapan yang enak disana.]

[…]

Setelah membalas pesan itu, Jane membuang kembali ponselnya ke atas tempat tidur. Dengan wajah berseri-serinya, dia berjalan mendekat pada Shara yang duduk di kursi panjang dari rotan yang ada di dekat jendela. Dia tampak sibuk dengan iPad yang ada ditangannya. Ternyata dia sedang memandangi satu persatu foto Jane di pantai pagi ini. Jane pun yang berdiri dibelakangnya ikut melihat pose dirinya yang tampak seperti model papan atas itu. Itu bukan hanya sekedar anggapan tapi kenyataan. Model yang selalu mendiami peringkat atas di industri mode. Jane Morgan.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!