Braak...
"Pergi kamu, jangan kamu pikir di sini bisa tinggal dengan gratis ya!" teriak Ibu kost sambil membanting dengan sangat keras pintu rumahnya.
Ibu kost terpaksa mengusir Zenira dari rumah ini karena sudah hampir dua bulan Zenira tidak kunjung membayar sewa kamar kost.
Memang Papanya yang tinggal di Bandung mengalami PHK, dan tidak bisa lagi mengirim Zenira sepeser uang pun untuk keperluan putrinya di Jakarta. Tentu Zenira tidak berniat berbuat jahat. namun, bagaimana lagi kondisi ini benar-benar memberatkannya.
Tidak hanya membanting pintu, ibu kost juga melemparkan tas ransel yang berisi semua pakaian milik Zenira ke jalan, dan mendorong tubuhnya untuk pergi meninggalkan rumah kostnya hingga ia terjatuh.
Padahal malam sudah mulai larut dan hujan sedang turun cukup deras. Zenira yang jatuh tersungkur di atas lantai teras depan kamar kostnya, kemudian segera bangkit berdiri dan terpaksa angkat kaki dari rumah kost yang hampir tiga tahun menjadi tempatnya berteduh.
Zenira yang tidak tahu harus pergi kemana kemudian melangkahkan kakinya tanpa tujuan, tidak terasa ia sudah berjalan jauh dari tempat kostnya. sampai dia tiba di sebuah minimarket yang lokasinya tepat di depan pusat kota.
Zenira memutuskan untuk berteduh beberapa saat hingga hujan reda, ia sudah sangat lelah berjalan jauh kemudian ia menghentikan langkah kakinya tepat di depan minimarket.
Zenira kemudian mengelus perutnya yang lapar, sudah sejak tadi siang perutnya belum terisi makanan apapun, tapi dia tidak mempunyai uang untuk membeli makan ataupun sekedar membeli sepotong roti.
Melihat kondisinya yang sekarang, Zenira hanya bisa pasrah. Ia menjatuhkan bokongnya duduk di sebuah kursi kosong yang terpasang di halaman minimarket.
Saat itu sekujur tubuh Zenira basah kuyup karena guyuran hujan yang terus turun sangat deras, dan tidak ada sehelai benang pun di tubuh mungilnya yang luput dari hujan malam ini.
Sungguh hari ini sangat berat untuk Zenira, di kepalanya dia sudah tidak tahu lagi harus berbuat bagaimana untuk bisa melalui semua cobaan hidupnya yang semakin lama semakin berat untuk Zenira.
Di saat Zenira sedang termenung dan kebingungan harus pulang kemana, tiba-tiba seorang pemuda berparas tampan bernama Reifansyah putra Zavier Zeeshan yang biasa di sapa Rei, menghampirinya.
Pemuda itu nampak sangat tampan dengan kemeja berwarna abu-abu dan celana panjang berbahan kain yang membuatnya terlihat seperti orang kaya.
Reifansyah adalah seorang pria yang tidak memiliki pekerjaan, terlahir dari keluarga kaya raya dan sangat terpandang yang di kenal di Jakarta. Usianya masih terbilang cukup muda 22 tahun yang kebetulan sedang membeli segelas kopi hangat di minimarket tersebut. Dia adalah anak dari Ramon Zavier Zeeshan seorang pengusaha sukses yang sangat terkenal, dan memiliki beberapa perusahaan yang ada di Jakarta dan luar kota Jakarta.
Saat ini Reifansyah yang kebingungan mencari istri untuk dia nikahi secepatnya, tentu melihat penampilan Zenira yang polos sangat menarik hatinya untuk segera berkenalan.
"Wah ada cewek manis nih, sendirian lagi!" gumam Rei sambil berjalan menghampiri Zenira.
Zenira yang lugu dan percaya akan cinta sejati datang pada pandangan pertama, bukannya ketakutan melihat seorang pemuda yang belum ia kenal menghampirinya, justru dia malah tersenyum manis dan terus menatap Rei dengan intens.
Melihat senyuman Zenira itu Rei kemudian yakin Zenira mudah diperdaya. Rei kemudian menyodorkan segelas kopi hangat yang baru saja di belinya tadi dan mulai mengajak Zenira berkenalan.
"Ini untukmu, minum saja kopinya tidak apa-apa. Kebetulan sekali ya, kita bisa bertemu di sini!" ucap Rei merayu membuat Zenira semakin yakin jika Rei adalah cinta sejatinya.
Memang kedua orang tua Rei mengancamnya jika dia tidak segera menikah maka nama Rei akan segera di hapus dari daftar penerima warisan Papinya yang memang sangat terkenal kaya raya di Jakarta.
"Namamu siapa? Kamu tinggal di mana?" tanya Rei menghujani pertanyaan pada Zenira sambil menjatuhkan bokongnya duduk di samping Zenira.
"Namaku Zenira Adista Malvisa Adiaksa, panggil aku Zen saja." ucap Zenira tersenyum manis mengulurkan tangannya.
"Namaku Reifansyah Putra Zavier Zeeshan biasa aku dipanggil Rei." ucap Reifansyah menerima uluran tangan dari Zenira.
"Kenapa kamu basah kuyup? Kamu mau pergi kemana, sudah malam sendirian saja?" tanya Rei perhatian menautkan kedua alisnya.
Zenira kemudian bercerita jika dia diusir dari kamar kostnya malam ini karena sudah menunggak pembayaran hampir dua bulan lamanya.
"A-aku, di usir oleh Ibu kost karena sudah tidak sanggup lagi membayar." ucap Zenira sedih menundukkan kepalanya.
"Kalau begitu ikutlah denganku, aku akan menolongmu memberimu tempat tinggal yang layak dan nyaman." ucap Rei membujuk Zenira yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.
"kita benar-benar di takdirkan untuk bertemu malam ini, ayo!" ucap Rei mengajak sambil membawakan tas ransel Zenira menuju mobilnya.
Dengan senyum senang Zenira kemudian menerima ajakan dari Rei. Mereka kemudian bergegas menuju mobil Rei yang terparkir di halaman minimarket.
Rei kemudian memasukkan tas ransel Zenira ke dalam bagasi mobil sedan mewahnya itu dan membukakan pintu mobilnya untuk Zenira.
Rei melajukan mobilnya membelah jalanan Jakarta menuju rumah mewahnya yang terletak di kawasan elite Jakarta.
Setiba di rumah Rei yang nampak mewah dan luas dengan dinding rumah di cat berwarna putih cream yang elegan, Zenira mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan rumah mewah dan megah itu, semakin membuatnya kagum. Khayalannya tentang cinta sejati semakin melambung tinggi.
"Masuklah, kamu adalah calon pemilik rumah ini!" bisik Rei lembut di telinga Zenira saat ia mulai menginjakkan kakinya di ruang tamu.
"Zenira, kamu harus tahu aku sangat bahagia bisa berkenalan dan bertemu denganmu." ucap Rei dengan suara baritonnya yang terdengar sangat berat di telinga Zenira.
Zenira hanya tersipu mendengar semua rayuan dari Rei.
Rei berjanji akan segera menikahi Zenira untuk mengabadikan hubungan indah mereka.
"Hah! Menikah." ucap Zenira terkejut, ia membulatkan matanya lebar.
"Iya menikah, cinta sejati harus segera diikat dalam janji suci, sayang." ucap Rei lagi, ia membujuk dan merayu Zenira semakin intens hingga membuat Zenira gadis lugu dan polos itu mempercayainya.
Zenira semakin berbunga-bunga mendengarnya, khayalannya tentang cinta pertama benar-benar terwujud, sungguh gadis itu tidak sedikitpun menaruh rasa curiga apalagi memiliki pikiran buruk tentang pemuda pengangguran yang ada di depannya.
"Pelayan!" ucap Rei memanggil salah satu pelayan yang bekerja di rumahnya.
"Iya mas, Rei!" jawab pelayan itu sambil bergegas menghampiri Rei.
"Antar calon istriku menuju kamarnya. Jangan lupa siapkan air hangat untuk mandinya, dia tadi kehujanan!" perintah Rei pada Emi pelayan di rumahnya.
"Baik mas, Rei! Mari ikut dengan saya." ucap Emi menganggukkan kepalanya tanda mengerti, ia dengan ramah mengajak Zenira berjalan menuju kamar yang di minta Rei.
Zenira semakin senang, ia bergegas mengikuti langkah kaki Emi hingga berhenti di sebuah kamar luas dan mewah di sudut rumah.
Kamar itu hampir lima kali luas kamar kostnya dengan ranjang king zisenya yang empuk dan lampu gantung kristal mahal yang membuat kamar itu semakin mewah.
Tidak lupa Emi menyalakan air hangat di dalam bathtub yang berukuran sangat besar. Setelah air cukup penuh Emi kemudian mempersilahkan Zenira berendam di sana, tidak lupa ia menggantungkan sebuah kimono handuk di belakang pintu kamar mandi.
Emi segera keluar dari kamar mandi, ia menutup pintu kamar, dan Zenira langsung melepas semua bajunya dan menenggelamkan tubuhnya ke dalam bathtub.
Air hangat yang begitu segar sudah menghilangkan semua kesedihannya malam ini, berganti dengan khayalan akan pernikahannya yang indah dengan Rei si badboy, yang entah apa rencana jahat yang ada di pikirannya.
Setelah hampir lima belas menit berendam dan tubuhnya kembali segar, Zenira teringat untuk menyampaikan kabar pernikahannya dengan Rei kepada kedua orang tuanya di Bandung.
Zenira bergegas mengenakan kimono handuk dan duduk di samping ranjang king zisenya, melalui pesan singkat WA, ia kemudian menceritakan semuanya kepada kedua orang tuanya.
\[Ma! Ada pria yang akan mengajakku menikah\] Zenira.
Lama menunggu balasan dari Mamanya, akhirnya pesan itu di balas juga.
\[Jangan, Nak! Jangan gegabah, kenalin dulu keluarganya. Kami takut ini sebuah jebakan\] Mama.
"Benar juga kata mereka." gumam Zenira yang sadar apa yang dikatakan Mamanya benar.
Zenira bergegas memakai kembali pakaian basahnya dan mengambil ranselnya yang belum sempat ia buka. Ia bergegas berjalan menuju pintu utama rumah mewah itu untuk pergi dari perangkap Rei.
Rei yang tidak mau mangsanya pergi dengan mudah kemudian mencegat Zenira.
"Hei, mau kemana?" tanya Rei sambil menarik tangan Zenira dengan kasar.
"A-Aku, maaf ini pasti ada yang salah!" jawab Zenira gugup.
"Jangan begitu, aku mencintaimu percayalah!" ucap Rei yang tiba-tiba berlutut meminta Zenira untuk tetap tinggal di rumahnya.
"Tidak, ini pasti salah!" teriak Zenira tegas membuka pintu ruang utama dan ingin segera bergegas pergi.
"Zenira, tunggu dengarkan penjelasan aku dulu!" ucap Rei terus menghalangi jalan Zenira.
Rei semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran Zenira yang baru saja sudah menyetujui permintaannya, dan tiba-tiba saja berubah pikiran. Ia terus berusaha menyakinkan Zenira jika apa yang dikatakan kedua orang tua Zenira hanya karena mereka belum bertemu dengannya.
"Tapi, aku memang belum mengenalmu bukan? Bagaimana kita bisa menikah?" tanya Zenira yang semakin tidak yakin kepada Rei.
"Kita memang butuh waktu, jadi tinggallah di sini sampai kamu cukup yakin padaku." ucap Rei meminta sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Zenira terdiam dan tidak tahu lagi harus berbuat apa sekarang.
"Jika kamu mau pergi tunggulah sampai besok. Bagaimana bisa, aku tega melihatmu pergi di saat masih hujan begini dan seluruh tubuhmu basah!" ucap Rei terus merayu dan akhirnya meluluhkan hati Zenira.
"Maafkan aku karena sudah percaya kepada kedua orang tuaku, kalau kamu jahat." batin Zenira dalam hati, ia tertunduk malu masih berdiri mematung di depan pintu.
Rei membuang napas panjangnya kemudian menarik tangan Zenira pelan untuk kembali masuk ke dalam rumah.
Emi yang tahu rencana majikan mudanya kemudian ikut dalam perbincangan, dia kemudian menyakinkan Zenira jika Rei adalah orang yang baik, sama sekali tidak seperti apa yang dia pikirkan. Emi juga mengatakan tidak mungkin Rei sampai menyentuhnya sebelum pernikahan yang terjadi antara dia dan Rei.
Sungguh perkataan Bi Emi, begitu dia biasa di sapa oleh seluruh anggota keluarga, Rei dengan sebutan Bibi. Semakin membuat Zenira yakin jika dia salah menilai tentang sikap Rei, kepadanya.
Rei kemudian memeluk Zenira dengan erat dan kembali meminta gadis polos dan lugu itu untuk mempercepat saja rencana pernikahan mereka agar kejadian yang membuatnya berubah pikiran, seperti ini tidak lagi terulang di kemudian hari.
Zenira tersenyum kemudian mengangguk tanda setuju, dan akhirnya bersedia kembali ke kamarnya karena hari sudah malam.
Sesampainya di kamarnya yang sudah di persiapkan oleh Rei. Emi, pelayan Rei kemudian memberikan Zenira sebuah baju ganti untuk Zenira yang nampak basah kuyup.
"Silahkan Kak, bajunya di ganti dulu nanti kamu masuk angin." perintah Emi dengan suara lembut sambil memberikan baju pada Zenira.
Tanpa Zenira ketahui kalau baju yang diberikan kepadanya adalah baju Tyra adik perempuan Rei yang kebetulan tinggal serumah dengan Rei.
"Terima kasih, Bi Emi. Maafkan aku yang telah salah sangka kepada kalian semua, ternyata kalian semua orang baik." ucap Zenira sambil menutup pintu kamarnya untuk segera berganti baju.
Zenira kemudian bergegas mengganti bajunya yang basah tadi dengan baju milik Tyra dan bersiap untuk tidur.
Sepanjang malam gadis malang itu hanya bisa tertidur dengan perut lapar. Dia ingin sekali bergegas pergi menuju kamar Rei untuk meminta makanan, tapi niatnya itu dia urungkan. Entah rasa malu yang membuatnya memilih untuk tidur saja.
Emi yang baru saja keluar dari kamar Zenira kemudian bergegas menuju ruang tengah tempat Rei menunggu yang sedang ketakutan sambil terus memandang halaman belakang rumahnya.
"Mas Rei, hampir saja dia lepas!" ucap Emi berbisik pelan agar tidak ada yang mendengarkan pembicaraannya dengan Rei.
"Iya, aku benar-benar yakin kalau gadis itu sangat labil. Aku pastikan akan segera menikah dengannya atau namaku akan di coret dari daftar warisan Papiku yang pelit itu!" ucap Rei menggerutu kesal.
"Benar, mas Rei! Jangan sampai kita terusir dari rumah ini. Kita pasti bisa memperdaya gadis itu!" ucap Emi dengan senyuman menyeringai.
Rei hanya bisa mengacak-acak rambutnya dan terus berpikir, bagaimana caranya agar pernikahannya dengan Zenira bisa terjadi secepatnya. kalau bisa besok pagi pun ia siap menikah.
Rei yang yang tidak tahu jalan keluar dari masalah itu akhirnya ia memutuskan untuk bergegas tidur.
"Ah! Sudahlah, aku mau tidur dulu. Besok kita pikirkan lagi bagaimana cara mempercepat Pernikahanku dengan gadis lugu itu, dan ingat besok pagi sebelum dia bangun siapkan sarapan untuknya. Awasi dia terus jangan sampai dia kabur, mengerti!" perintah Rei pada Emi dengan suara baritonnya.
"Baik, mas Rei." jawab Emi tersenyum menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Keesokan paginya, Zenira yang belum terbangun dari tidurnya saat Emi sudah mempersiapkan sarapan pagi dan mengantarkan sarapan ke kamar.
Sepiring nasi goreng spesial lengkap dengan telur dadar dan segelas susu hangat yang tertata rapi di nampan kemudian di letakkannya di atas nakas tidak jauh dari tempat tidur Zenira.
Cahaya matahari masuk melalui celah jendela kamarnya, Zenira menggeliat dan membuka matanya perlahan. Saat ia bangun dan duduk di atas tempat tidurnya. Ia sangat senang melihat sarapan paginya sudah tersedia, karena sudah menahan rasa laparnya dari hari kemarin Zenira kemudian segera menyantap semua makanan yang di sajikan untuknya hingga tandas tidak tersisa.
Sepiring nasi goreng dan telur mata sapi ternyata tidak cukup bagi perut Zenira, karena ia masih merasa lapar. kemudian keluar dari kamarnya dan menyelinap menuju dapur yang terletak tidak jauh dari kamarnya.
"Kak Zenira!" pekik Bi Emi yang ternyata sedang mengawasinya.
"Ma-Maaf, aku masih lapar. Apa masih ada nasi untukku?" ucap Zenira meminta, ia menunjuk piring kosong yang di bawanya sambil menunjukkan cengiran kudanya.
Bi Emi kemudian mengantar Zenira menuju dapur dan kemudian mengambilkan lagi satu porsi nasi goreng spesial yang masih tersisa di meja makan, tidak lupa dia menambahkan telur mata sapi di atasnya dan membiarkan Zenira makan dengan lahap duduk di kursi meja makan.
Bi Emi yang melihat, Zenira makan begitu lahap hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum sinis menatap Zenira yang sibuk dengan sarapannya.
"Bi Emi." teriak Rei yang terdengar dari ruang tengah.
"Iya mas, Rei." jawab Bi Emi tergesa, ia bergegas menghampiri Rei yang sedang duduk santai sambil menikmati secangkir kopi panas di depan televisi.
Rei yang mengira Zenira kabur, kemudian menanyakan keberadaan calon istri dadakannya itu kepada Bi Emi.
Bi Emi memberitahu, Rei. jika Zenira ada di ruang makan yang terletak di dapur dan sedang makan dengan lahap seperti orang yang sudah satu minggu belum makan.
Merasa lega dengan perkataan Bi Emi. Rei bergegas menuju ruang makan yang terletak di dapur utama dan menyusul Zenira.
"Zenira! Aku mohon jangan membuat aku cemas begini." ucap Rei memeluk calon istrinya erat.
Zenira kemudian menjelaskan kepada, Rei jika tadi perutnya sangat lapar dan, Bi Emi berbaik hati memberinya nasi goreng tambahan untuknya.
Rei kemudian tersenyum dan mengajak Zenira menuju taman belakang rumahnya agar bisa berbincang dengan Zenira lebih intim.
Ceklek...
Rei membuka pintu kaca yang menuju ke arah taman belakang, di sana terlihat banyak terdapat aneka ragam tanaman bunga warna warni yang bermekaran. yang sengaja di tanam Maminya Rei agar tempat itu terlihat lebih asri, Zenira terlihat sangat senang berada di sana.
Bi Emi pelayan kepercayaan, Rei di rumah mewah dan megah itu menghampiri mereka dan menyajikan secangkir teh hangat serta cemilan dalam toples agar Rei dan Zenira bisa berbincang dengan santai. Tidak lupa Bi Emi menuangkan teh ke dalam cangkir mewah terbuat dari bahan keramik mahal agar, Rei bisa segera menikmati teh buatannya.
"Kamu suka bunga apa?" tanya Rei menjatuhkan bokongnya duduk di sofa yang tersedia di taman.
"Aku paling suka bunga Lily, dan Krisan seperti yang ada di pot itu." ucap Zenira sambil menunjuk ke sebuah pot berisi bunga krisan dan Lily putih.
Rei kemudian bangkit berdiri dari duduknya berjalan melangkah menuju pot bunga krisan dan Lily putih lalu memetikkan satu batang bunga krisan dan Lily untuk calon istrinya yang lugu itu.
"Bunga ini untukmu, cantik sekali seperti kamu." ucap Rei menyerahkan dua batang bunga yang baru saja dia petik pada Zenira.
Rayuan manis ini tampaknya semakin membuat Zenira berbunga-bunga, dia sampai lupa akan permintaan orang tuanya untuk berhati-hati dengan Rei yang baru dikenalnya, dan yang ada di pikiran Zenira hanyalah tentang pernikahan yang indah yang akan menjadi pelabuhan terakhir cinta pertama dan terakhirnya.
Ting...tong...
Terdengar suara bel pintu rumah berbunyi, Bi Emi bergegas membuka pintu.
"Mana Rei." teriak seorang wanita muda berparas cantik yang memaksa masuk ke dalam rumah.
Wanita muda itu terus memaksa masuk dan Rei yang merasa mulai tidak nyaman dengan teriakkan wanita itu kemudian menghampiri Bi Emi.
"Ada apa ini? Kenapa berisik sekali!" teriak Rei kepada Bi Emi yang terlihat masih menghalangi wanita itu masuk.
"Sejak kapan, aku tidak boleh masuk ke rumahku sendiri?" tanya Tyra, adik Rei yang berusaha melepaskan genggaman tangan Bi Emi.
"Biarkan dia masuk, kamu ini kenapa sih?" tanya Rei sambil menghalau tangan Bi Emi yang masih menghalangi Tyra.
Bi Emi kemudian bercerita sebaiknya adik Rei ini menunggu di luar saja, sampai Zenira masuk ke dalam kamarnya. Dia khawatir Zenira akan berpikir bahwa Tyra adalah wanita lain di hidup Rei dan itu akan membuat rencana mereka tentang pernikahan Rei bisa jadi berantakan.
"Zenira? Kalian ini sedang membicarakan siapa sih?" tanya Tyra yang tidak paham tentang Zenira sambil melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah.
"Zenira itu calon istriku, kamu tahu bukan orang tua kita memintaku segera menikah." ucap Rei mencoba menjelaskan.
Tyra kemudian memandang wajah kakaknya yang nampak serius, dia kemudian meminta Rei untuk bercerita siapa dan di mana sebenarnya mereka bertemu dengan orang yang sedang mereka bicarakan.
Belum sempat Rei menjelaskan siapa, Zenira yang di maksud dari dalam tiba-tiba Zenira muncul.
"Rei, ada siapa?" teriak Zenira yang berjalan menghampiri Rei di ruang tengah.
"Oh, ini Tyra adikku. Tyra perkenalkan ini Zenira calon istriku." ucap Rei tersenyum ramah memperkenalkan Tyra yang masih nampak kebingungan melihat sosok Zenira.
"Di-dia pakai bajuku." bisik Tyra lirih pada Bi Emi melihat baju yang sedang digunakan oleh Zenira.
Emi membulatkan matanya lebar meminta Tyra tidak mengucapkan kata yang bisa membuat Zenira tersinggung.
Tyra kemudian tersenyum kecut dan berjabat tangan dengan Zenira yang sangat terlihat sederhana itu.
"Aku Tyra, adiknya Rei." ucap Tyra dengan sangat sopan mengulurkan tangannya.
"Namaku Zenira, maaf kalau sudah merepotkan kalian semua." jawab Zenira menerima uluran tangan Tyra dengan ramah.
"Zenira, kembalilah ke kamarmu. Ada yang harus aku bicarakan dengan Tyra." ucap Rei menatap tajam kearah Zenira.
"Bi Emi antarkan dia kembali ke kamarnya." perintah Rei pada Bi Emi yang dari tadi ikut dalam perbincangan mereka.
Zenira kemudian mengangguk, ia hanya bisa menuruti semua keinginan Rei dan mengikuti langkah Bi Emi yang mengantarkannya menuju kamarnya.
Saat Zenira sudah menghilang dari balik pintu kamarnya, Rei mulai menceritakan niat jahatnya kepada Tyra. Tyra yang mendengar ide itu begitu brilian kemudian menyetujuinya.
Tyra sendiri merasa aneh dengan persyaratan yang diberikan kedua orang tuanya, yang mengharuskan Rei menikah dulu sebelum mendapatkan hak atas warisannya.
"Lagi pula mereka juga yang bikin aturan aneh, jadi ya biarin saja. Yang penting itu, sekarang Zenira mau di nikahi dengan kakak." ucap Tyra mencoba membela kakaknya yang pengganguran itu.
Rei tertawa terbahak mendengar pembelaan dari adiknya itu.
"Iya, masalahnya bagaimana caranya agar aku bisa menikah secepatnya." tanya Rei tegas, berjalan membolak-balikkan tubuhnya.
Tyra terdiam sejenak kemudian mencoba mengingat-ingat siapa temannya yang bisa membantunya. Begitu dia mengingat nama temannya yang bekerja di catatan sipil, ia menceritakan rencananya pada kakaknya.
"Aku melihat gadis itu sangat lugu, bagaimana kalau kamu bawa dia ke kantor catatan sipil lalu menikah di sana." ucap Tyra mengutarakan usulnya.
"Apa bisa segampang itu?" tanya Rei tidak yakin dengan rencana Tyra.
"Sudah urusan catatan sipil, biar aku yang bereskan. Asalkan kamu bisa menunjukkan E-KTP Zenira sekarang juga." ucap Tyra dengan senyuman menyeringai.
Rei menghela napas lega, akhirnya dia tahu cara yang paling tepat agar bisa segera menikahi Zenira. Tentu saja ini berarti masalah akan hak warisnya akan segera terselesaikan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!