NovelToon NovelToon

Bad Boy Agent

Kepulangan

"DIA DATANG!" seru seorang laki-laki bertubuh kekar yang sedang berjaga di pos penjagaan. Ia langsung memberikan hormatnya pada dua sosok laki-laki yang berjalan tegap, mendekat padanya.

Seorang laki-laki berpakaian tentara lengkap, berlari dengan kencang dari pintu gerbang menuju sebuah markas militer yang berjarak sekitar 1,2 km. Ia melewati sebuah tiang bendera yang berdiri di tengah-tengah lapangan luas. Sang saka merah putih berkibar di puncaknya, menantang gagah langit Eropa yang panas terik.

Meski napasnya sudah terengah-engah dan keringatnya bercucuran, laki-laki itu tidak putus melangkahkan kakinya. Menaiki anak tangga dengan cepat untuk sampai dengan segera di depan pintu ruangan yang ia pegangi gagangnya sambil membungkukkan tubuhnya, terengah-engah kelelahan.

“Ada apa?” tanya seorang pengawal yang berjaga di pintu. Ia terkejut melihat laki-laki berpeluh itu terengah-engah, berusaha mengatur napasnya yang hampir habis.

“Di-a pu-lang, e-lang hi-tam, pu-lang,” ujar laki-laki yang masih ngos-ngosan sambil menunjuk ke belakang sana. Dadanya terasa sangat berat. Lari sprin dengan tubuh yang mulai membengkak memang tidaklah mudah. Ia memegangi perutnya yang sebentar saja rasanya ingin ia simpan.

“Benarkah?” tanya pria bertubuh tinggi itu.

“Hem!” Ia sudah tidak sanggup menjawab.

“Aku akan segera melapor!” Laki-laki jangkung itu segera berlalu untuk melapor pada komandan elite di markas tersebut.

Entah laporan apa yang dia sampaikan yang jelas laki-laki berusia pertengahan segera keluar dari ruangannya. “Di mana mereka?” tanya laki-laki itu, dengan suaranya yang tegas.

“Siap! Sedang berjalan ke sini, komandan!” Prajurit yang sedang terengah itu segera mengambil sikap sempurna.

Laki-laki bername tag Dwi itu segera menoleh ke arah yang di maksud. Tidak ada mereka di sana, hanya dua orang laki-laki berpakaian serba hitam yang berjalan ke arahnya. Matanya membelalak saat melihat ternyata delapan orang regu elite yang mendapat tugas sebagai agent mata-mata internasional itu hanya menyisakan dua orang laki-laki bertubuh kurus yang sebelumnya telah dinyatakan gugur dalam tugas.

Laki-laki yang menjadi komandan satuan elite ini menatap nanar kedatangan dua orang yang tidak ia sangka masih hidup. Dua minggu lalu, seorang mata-mata menyatakan kalau satu regu elang hitam telah gugur dalam tugasnya saat memburu ter0r!5. Markas mereka diserang dan diledakkan. Tidak ada yang selamat, semuanya hancur tanpa sisa.

Tetapi kenyataannya, keajaiban terjadi saat mereka melihat dua orang itu masih hidup dan berjalan dengan tegak menghampirinya. Ada banyak luka bekas perjuangan di wajah dan tubuhnya yang telah mereka balut dengan kain kasa. Dua laki-laki itu kini berdiri tegak dihadapan sang komandan. Menghormat singkat sebagai bentuk rasa hormat.

“Lapor! Mayor Arshaka Gibran menghadap!”

“Lapor! Kapten David Irawan menghadap!”

Dua orang itu berseru bergantian pada sang komandan. Pria bernama Dwi itu tidak menimpali. Ia lebih memilih menampar pipi kedua laki-laki itu bergantian, lantas merangkul keduanya bersamaan. Pria bertubuh kekar itu menangis tersedu-sedu penuh rasa bangga dan haru. Ia tidak pernah menyangka masih ada dua prajuritnya yang pulang setelah melaksanakan misi berbahaya ini.

“Terima kasih sudah pulang dengan selamat. Terima kasih,” ungkap laki-laki itu dengan penuh haru. Dua prajurit itu hanya membisu, ingatan akan ledakan di tempat persembunyiannya melintas begitu saja di benaknya. Enam rekan mereka terlah gugur dengan tubuh hancur berkeping-keping. Pengalaman traumatis itu entah kapan akan hilang dari ingatannya.

Kepulangan dua prajurit itu disambut dengan baik oleh anggota markas besar mereka. Setelah melapor pada komandan utama, mereka mengadakan upacara penyambutan dan memberikan penghargaan bagi dua pejuang itu. Semangat rekan-rekannya seperti terbakar melihat dua sosok gagah yang berdiri di hadapan mereka dan menerima lencana kehormatan.

Suara tepukan tangan bergemuruh di ruang aula yang luas. Ini misi ke empat yang Shaka jalankan untuk memata-matai aksi terorisme dan perdagangan obat-obatan terlarang, ia bersyukur karena masih diberikan keselamatan di antara rekan-rekannya yang gugur saat bertugas.

Setelah upacara penyambutan, acara berlanjut dengan lebih santai. Beragam menu makanan mewah dan beraneka minuman menjadi jamuan yang istimewa untuk Shaka dan teman-temannya. Keakraban itu semakin terasa saat mereka saling bertukar cerita selama menjalankan tugas di beberapa negara yang sedang mereka intai.

Dwi menghampiri Shaka yang tengah berbincang dengan rekan-rekannya. “Shaka, ikut ke ruangan saya sebentar,” pinta laki-laki itu.

“Siap!” Shaka segera berdiri tegak. Laki-laki berusia 27 tahun ini segera mengikuti sang komandannya menuju sebuah ruangan.

“Duduklah,” pinta laki-laki itu. Shaka terduduk dengan tegak di hadapan komandannya. Pimpinan tertinggi di markas tersebut beranjak untuk mengambil sesuatu di atas meja kerjanya. Sebuah map berwarna kuning yang kemudian ia taruh di hadapan Shaka.

“Saya sangat bangga dengan kamu Shaka. Kamu bisa kembali dengan selamat dari medan pertempuran,” ujar laki-laki itu seraya menepuk bahu Shaka dengan bangga.

“Siap! Terima kasih, Komandan.” Shaka menjawabnya dengan tegas.

Laki-laki itu menatap Shaka dengan lekat seolah ada banyak hal yang ingin dia ungkapkan. “Saya harap, kamu bisa menerima apa yang akan saya sampaikan kemudian, Shaka. Karena saya tahu kamu adalah prajurit yang kuat dan hebat.” Laki-laki itu melanjutkan kalimatnya dengan tatapan yang terlihat sendu.

Shaka merasa kalau ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh komandannya. Ia menghela napasnya dalam saat mengingat kegagalannya menangkap pelaku aksi terorisme. Mungkin hal ini yang membuat tatapan sang komandan berubah nanar. Wajar jika laki-laki ini kecewa. Ia sudah sangat bersiap jika ia harus menerima satu atau dua hukuman kecil.

Dengan berat hati, Dwi membuka map yang ada di hadapannya lalu menutupnya kembali dan memberikannya pada Shaka. “Bacalah,” ucap laki-laki itu lantas ia berlalu meninggalkan Shaka yang sedang memandangi map di tangannya. Dwi sengaja berdiri membelakangi Shaka dan memilih menatap foto pimpinan tertinggi di negaranya tercinta.

Buk!

Tiba-tiba saja sebuah pukulan terdengar keras di atas meja hingga membuat meja itu retak. Dwi terhenyak, tetapi ia hanya bisa tertunduk lesu. Ia paham benar kalau pukulan itu dilayangkan Shaka sesaat setelah membaca surat kematian seorang remaja berusia 17 belas tahun bernama Arrasya Haikal, adik kandung yang sangat ia cintai. Matanya yang hitam menyalak tajam lantas berubah merah bersamaan dengan tangan yang mengepal kuat. Otot rahanganya mengeras hingga giginya terdengar menggeretak. Air matanya menetes saat mengingat keluarga satu-satunya yang ia miliki telah pergi meninggalkannya.

Saat itu juga Shaka beranjak dari tempatnya. Emosi yang memenuhi dadanya membuat ia melepas baret kebanggannya dan menaruhnya di atas meja. Lencana yang baru disematkanpun ia taruh begitu saja. Hatinya hancur saat mengingat perjuangannya yang rela mati memperjuangkan keselamatan banyak nyawa, tetapi ia malah tidak mampu melindungi satu adik yang sangat ia sayangi.

Ini kegagalan terbesar yang dialami Shaka.

Dwi segera menghampiri. “Shaka, apa yang kamu lakukan?! Kendalikan diri kamu!” seru Dwi seraya memegangi lengan Shaka yang tengah melepas semua atributnya dengan kasar.

Shaka tidak bergeming. Saat ini tidak ada hal lain yang melintas dipikirannya selain bayangan kematian sang adik.

“SHAKA!! DENGAR SAYA!!” teriak sang komandan tepat di depan wajah Shaka.

Tetapi hanya air mata yang menjadi jawaban Shaka. Ia tidak bergeming sekalipun komandannya memegangi tangannya yang hendak melepas seluruh tanda bintang dibahunya.

“Shaka!”

PLAK!

Sebuah tamparan akhirnya dilayangkan komandannya di pipi Shaka.

“SIAP!” sahut laki-laki itu dengan suara tegas namun pecah. Matanya yang merah membuat sang komandan merasakan sejumput rasa iba, tetapi ia tidak bisa melakukan apa pun.

“Kamu mau menyelidiki kematian adikmu, silakan. Tapi jangan tanggalkan atributmu, Shaka! Kamu kebanggan pasukan ini.” Laki-laki itu mencengkram satu sisi wajah Shaka yang tadi ia tampar hingga berbekas kemerahan. Ia paham benar perasaan hancur yang Shaka rasakan.

“Saya tidak tahu kapan saya akan kembali ke satuan ini lagi. Saya juga tidak ingin melibatkan organisasi dalam masalah pribadi saya. Izinkan saya untuk pergi. SALUTE!” seru Shaka di akhir kalimatnya seraya memberikan hormat singkat sebagai bentuk perpisahan.

“SHAKA!!” seru Dwi saat pria muda itu berlalu begitu saja dari hadapannya. Di tangannya ia mencengkram berkas kematian sang adik dengan penuh kemarahan. Tidak ada yang bisa menahannya untuk tidak pergi.

"SHAKA!!!" suara Dwi menggema di ruang kerjanya, namun tidak mampu menghentikan langkah seorang Shaka.

Malam itu juga, di bawah guyuran hujan Shaka memutuskan untuk pulang ke tanah air. Perjalanan hampir 18 jam ia lalui dengan penuh kegundahan dan kemarahan. Sepanjang perjalanan ia hanya memikirkan sang adik. Mengingat kembali semua kenangan yang berputar di kepalanya. Tawa Rasya, celotehnya yang manja, tingkahnya yang kekanakan dan cita-citanya untuk menjadi agen rahasia seperti sang kakak.

Sayangnya, semua itu hanya tinggal harapan dan impian yang pupus bersamaan dengan terlepasnya nyawa dari raga yang Shaka jaga dan pelihara sejak bayi. Shaka terisak. Ia mengabaikan tatapan heran seorang laki-laki tua yang duduk di sampingnya. Meski air mata ini tidak bisa mengembalikan Rasya, nyatanya rasa sesak di dadanya bisa sedikit berkurang.

Sore hari, Shaka baru tiba di Indonesia. Ia segera menghubungi sang tante yang selama ini menjaga Rasya saat ia bertugas. Ia mendapatkan alamat sebuah pemakaman umum, tempat jasad Rasya dibenamkan. Ia memasuki area yang sepi itu. Menyusuri jalan setapak yang berbatu. Tidak ada orang yang berada di tempat itu selain seorang gadis bertopi yang tanpa sengaja berpapasan berlawanan arah dengannya. Mereka tidak saling melirik apalagi menyapa. Masing-masing dengan pikirannya sendiri.

Shaka segera menghampiri makam Rasya yang masih berupa gundukan tanah merah dengan bunga-bunga kering yang menutupinya selama satu minggu ini. Sebuah vas keramik kecil terpajang di samping nisannya yang masih terbuat dari kayu. Ada setangkai bunga lili segar yang mengisi vas itu. Entah siapa yang menaruhnya yang jelas ia melihat sepasang jejak kaki di tempat Shaka berpijak. Ukurannya sekitar 24 cm dan sepertinya kaki seorang wanita. Mungkin tante mereka yang baru berkunjung dari tempat ini.

Shaka berdiri mematung, menatap nisan yang bertuliskan nama sang adik. Lagi, air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. “Kenapa kamu pergi meninggalkan, kakak?” tanya Shaka dalam hatinya. Seolah ia tengah berbicara dengan sang adik yang terbaring di bawah batu nisan.

“Tidak bisakah kamu menunggu kakak sebentar saja Rasya?” tanya Shaka berikutnya. Tidak ada yang menjawab, tentu tidak akan ada jawaban. Shaka hanya bisa tertunduk lesu seraya mengepalkan tangannya dengan erat hingga pembuluh darah di tangannya tampak menegang dan menonjol. Tangannya memerah dan rasanya ia ingin memukul siapa saja yang membuat adiknya tiada.

"Aarrkkkkhh!!!" teriak Shaka tanpa bisa di tahan. Bahunya berguncang karena tangisnya yang pecah. Dalam derai air matanya itu ia mengucap sumpah, “Jangan khawatir Rasya, aku akan membuat mereka mempertanggung jawabkan apa yang telah mereka lakukan. Mata untuk mata, nyawa untuk nyawa,” sumpah Shaka di hadapan pusara sang adik.

****

Anak baru

Sebuah sepeda motor sport memasuki gerbang sekolah elite dan memancing para siswa yang sedang berjalan di trotoar untuk menoleh pada sang pengendara. Motor itu asing, belum pernah mereka lihat. Hanya saja pengendaranya tampak begitu menarik. Ia mengenakan jaket kulit dengan helm full face berwarna hitam, senada dengan warna motor yang ia kendarai.

Baru beberapa meter ia masuk ke area sekolah, sosoknya sudah menjadi pusat perhatian para gadis di sekolah tersebut. Terlebih saat pengendara itu menghentikan laju motornya di tempat parkir dan melepas helmnya. Ia mengibaskan rambutnya yang sedikit gondrong, mengacaknya dengan asal, hingga mampu memukau banyak pasang mata, terutama para gadis.

“Aaaakkk ganteng bangeeettt!!!” teriak seorang gadis yang mengeram gemas saat melihat remaja tersebut. Kakinya berjinjit-jinjit lincah, gemas sendiri dengan tampilan laki-laki 'Nackal' itu.

“Anak baru ya, kok gue belum pernah liat?” tanya remaja putri satunya. Matanya berbinar melihat asupan vitamin di pagi ini. Katanya melihat laki-laki tampan itu bisa membuat para gadis berumur panjang.

“Gue gak tau, ayo buruan kita samperin,” seru gadis yang mengeram gemas itu sambil menarik tangan temannya.

Mereka berjalan dengan cepat, menyusul lalu mendahului anak baru itu dan menolehnya dengan mata berbinar penuh kekaguman. Laki-laki itu tersenyum dengan manis seraya mengangguk sopan. Lirikan matanya yang tajam membuat jantung remaja putri itu membuncah, berdebaran tidak menentu.

“Aaakkk... senyumnya manis banget anjirr!! Bikin gue langsung mikir mau pake adat apa pas gue nikah sama dia, nanti.” Gadis itu benar-benar dibuat terpesona. Kakinya sampai lemas seperti akan ambruk hingga harus berpegangan pada rekannya.

“Iihh awaaas! Gue mau fotoin dia.” Kawan gadis itu memilih meninggalkan temannya yang sudah jatuh terduduk di lantai tanpa bisa beranjak. Ia lebih memilih mengejar pria tampan tadi.

“Hay, anak baru ya?” tanya gadis itu dengan berani.

“Ya, gue anak baru di sini,” sahut remaja tampan tersebut.

“Aaakkk ramah banget siihhh... love sekebon buat kamu....” Gadis itu mengacung-acungkan jarinya yang berbentuk hati pada remaja tersebut.

Remaja laki-laki itu hanya tersenyum sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan terkena hembusan angin pagi. “Boleh tolong tunjukkin ruang gurunya?” pinta remaja tampan itu.

“Boleh bangeettt, mau ditunjukkin arah ke KUA juga boleh,” timpal gadis itu seraya mengibaskan rambutnya dengan menggoda.

“Lo wangi,” Tidak menimpali tetapi malah memuji, membuat gadis itu ingin berteriak sekerasnya. Wajahnya yang merona tersamarkan oleh tangan yang membekap mulutnya sendiri, kehabisan kata-kata.

“Ayo gue anter,” Gadis itu berjalan dengan bangga di samping anak baru, memasang ekspresi paling cantik yang ia punya. Matanya mendelik angkuh saat siswi lain memandanginya dengan iri.

Kedatangan murid baru itu tidak hanya menarik perhatian anak di koridor menuju ruang guru, melainkan juga mereka yang kelasnya di lantai 2. Para siswi sibuk mengintip dari jendela di kelas mereka dan berseru gemas saat foto anak baru itu bertebaran di grup sekolah mereka.

“Emang boleh yaa seganteng ini?” rengek seorang gadis dengan wajah gemasnya. Penampilannya yang terkesal berandal itu membuat para gadis berharap di culik.

“Anjirrr, cakepnya gak ada obeng! Siapa sih namanya?” Gadis lainnya menimpali. Mereka berkumpul di meja paling depan dan membuat kegaduhan, saling bertanya kira-kira kelas mana yang akan di huni anak baru itu.

“Anak baru siapa sih?” tanya salah satu siswa yang cukup populer di sekolah tersebut. Gayanya sedikit urakan dengan dua kancing paling atas sengaja di buka, demi mempertontonkan tato metalnya.

“Gak tau, sok cakep anjir. Gue jamin dia di gak bakal betah di sekolah di sini,” sahut anggora genk lainnya.

Suara-suara ricuh itu terus terdengar mengganggu fokus para siswa yang seharusnya belajar. Hanya ada satu orang yang tidak terusik. Ia memilih memakai earphonenya dan mendengarkan lagu yang menenangkan sambil melanjutkan gambar yang sedang ia buat. Gadis berambut panjang itu tidak peduli sama sekali dengan lingkungannya. Ia hanya ingin menikmati waktunya seorang diri.

“Dia di sini, dia di sini!” seru seorang siswi yang segera berlari masuk ke dalam kelas.

“Aakk iyaa bener,” seru gadis lainnya. Mereka mengintip lewat jendela kelasnya untuk melihat anak baru yang menciptakan kegemparan di pagi hari ini. Laki-laki itu berjalan di belakang seorang guru berusia pertengahan. Di tangannya membawa tongkat yang biasa ia gunakan untuk menghukum para muridnya. Kali ini ia gunakan untuk memukul dinding dan jendela tempat para siswi mengintip sosok anak baru itu.

“Masuk kelas, masuk kelas!” seru guru tersebut sambil memukul-mukulkan tongkatnya ke dinding. Sesekali memutar tongkat itu dengan lihai, layaknya seorang mayoret.

“Yaaa, masih mau liat Pak,” protes salah satu siswa.

“Liat apa? Belajar kalian! Jangan malah ngecengin anak baru,” ucap laki-laki itu sambil memukul tembok dengan tongkatnya.

“Bilang aja bapak kalah pamor, jadi iri, Chuax! Hahahaha....” ledek salah satu siswa.

“Iya, macam tuan muda dan anunya, hahahaa...” timpal siswa lainnya.

“Anunya apa? Nanti kalian ke ruangan saya ya! Saya hukum karena berbicara tidak sopan!” seru laki-laki tersebut, tidak terima.

“Akh gak asyik, beraninya main hukum aja! Kabur akh, takut diceramahin plus di kasih bonus cipratan air suci yang muncrat dari mulutnya, hahahaha....” ucap salah satu siswa yang segera berlari menuju kelasnya.

“Astaga, anak sekarang. Tidak punya rasa hormat dan sopan santun sama sekali terhadap guru. Nanti saya hukum, malah saya yang dihajar orang tuanya. Ckckcck,” keluh laki-laki itu sambil mengusap dahinya yang berkeringat juga sudut bibirnya yang mengumpulkan busa putih. Ia menoleh remaja pria di belakangnya dan anak itu hanya tersenyum seraya mengangguk.

“Iya sih, kamu memang ganteng.  Saya juga dulu lebih ganteng dari kamu. Ingat, jaga sikap ya, jangan ganteng doang tapi kelakuan minus. Jangan sampai kamu terbawa arus buruk sekolah ini.” Pria berkacamata itu mencoba memperingatkan.

“Siap, Pak,” sahut laki-laki itu dengan tegas.

"Astaga! Ngagetin aja kamu." Laki-laki itu mengusap dadanya yang terhenyak. "Kok bisa suara kamu lantang begitu? Jakunnya pake bass stereo ya?" sempat-sempatnya laki-laki itu memperhatikan jakun muridnya.

Siswa itu tersenyum kecil melihat rasa penasaran gurunya. "Jangan sok ganteng kamu, pake senyam-senyum segala. Kamu pikir saya bakal terpesona?" Kesal rupanya melihat wajah tampan itu seolah mengejeknya.

"Jelas tidak. Yang ada, saya yang terpesona sama bapak." Remaja itu menimpali dengan kalimat yang menyenangkan. Guru tampan pada zamannya itu pun tersenyum bangga. Mengusap golpnya yang tersisir rapi. Ia tidak sadar kalau muridnya sedang menebar senyum pada para siswi yang mengintipnya di jendela. Para gadis itu sampai bersorak kegirangan.

Memasuki kelas, suara pukulan tongkat di meja guru membuat para siswa segera duduk di kursinya masing-masing. Suasana tidak lantas tenang, melainkan cukup riuh dengan suara bisikan para siswi yang membicarakan siswa baru yang berdiri tegak di depan kelas. Laki-laki itu berdiri dengan gagah, tas punggungnya hanya ia selempangkan sebelah. Terlihat keren dengan jaket kulit yang membungkus tubuhnya.

“Saya tau kalian bisik-bisik nunggu dia memperkenalkan diri. Ayo cepat, perkenalkan diri kamu,” ucap guru tersebut pada murid barunya.

“Baik Pak.” Remaja itu segera menegakkan tubuhnya dan maju satu langkah. Tatapan matanya yang menghanyutkan itu menyapu seisi ruangan yang menatapnya penuh perhatian. Ia sedikit tersenyum pada siswi yang menatapnya penuh rasa penasaran. Menunggu benar ia menyebutkan namanya.

“Perkenalkan, gue Shaka Praditya. Kalian boleh manggil gue Shaka,” ucap Shaka dengan lugas.

“Oohh, namanya Shaka,” seorang gadis mengulang namanya seolah yang lain tuli.

Shaka hanya tersenyum kecil seraya merapikan helaian rambutnya yang menutupi satu sisi wajahnya, ada bonus kedipan mata yang membuat gadis itu melunglai, jatuh terkulai di mejanya. Hari ini, nama Shaka Praditya resmi menjadi identitas baru Shaka di sekolah ini. Seorang siswa kelas 3 SMA berusia delapan belas tahun yang terlihat tampan, maskulin dan keren. Kesan remaja nakal terlihat jelas dari tindikan di telinga kirinya. Ada tato kecil di punggung tangannya, tato berbentuk hewan kalajengking yang membuatnya terkesan macho.

Semua identitas ini ia gunakan demi bisa berbaur dengan para siswa di sekolah sang adik yang meninggal satu bulan lalu. Ia sudah bersiap dengan identitas barunya dan siap mencari tahu siapa pembunuh sang adik yang sangat ia sayangi.

“Cukup, kamu boleh duduk. Dan ingat, di kelas tidak boleh memakai jacket. Lepas juga anting kamu itu. Jangan dandan model preman priuk begitu.” Guru itu menunjuk satu meja kosong di depan seorang siswi yang tidak memperhatikan remaja itu sama sekali. Ia lebih asyik dengan gambar di bukunya.

“Baik Pak,” Shaka pun segera duduk di tempatnya. Ia menyampirkan jaketnya di sandaran kursi dan sedikit menyapa gadis yang duduk di belakangnya. “Hay, gue Shaka.” Shaka mengulang untuk memperkenalkan dirinya. Karena sejak tadi, hanya gadis ini yang tidak menoleh ke arahnya. Sibuk sendiri dengan buku dan pensilnya.

Gadis itu tidak menimpali, ia lebih memilih menarik tubuhnya menjauh dari Shaka dan duduk bersandar. Namun dengan begitu, Shaka jadi bisa melihat nama gadis yang pura-pura tidak melihatnya.

“Ga-ya-tri, nama yang unik,” batin Shaka. Gadis itu tidak bergeming sama sekali, lebih memilih memperhatikan guru yang mulai menyuruhnya membuka buku.

"Apa dia buta? Tidakkah ia ingin berteriak atau tersipu seperti gadis lainnya?" batin Shaka seraya mengunyah permen karet di mulutnya.

****

Black rider

Di jam seharusnya mereka pulang, kelas XII IPS 1 malah di penuhi oleh siswi dari kelas lain. Mereka bergantian berkenalan dengan sosok Shaka yang begitu terkenal dalam waktu beberapa jam saja. Ada yang membawakan remaja itu bunga, cokelat, minuman bersoda, makanan camilan dan hal lain untuk mengungkapkan perasaan suka mereka. Seorang Shaka yang tampan dan ramah itu begitu di gandrungi para gadis.

Shaka menerima hadiah-hadiah itu dengan senang hati, tidak ada satu pun hadiah yang ia tolak. Mejanya sekarang penuh dengan hadiah. Beberapa siswi memintanya bertukar dengan foto bersama dengan Shaka dan beberapa di antaranya meminta bertukar dengan nomor handphone. Shaka memberikan nomor handphonenya pada para gadis itu, namun tidak satu pun nomor mereka yang Shaka simpan. Ia memang hanya tebar pesona saja, untuk memperbanyak sumber informasi tentang sekolah ini.

Di tengah keriuhan para gadis itu, gadis bernama Gayatri itu baru kembali dari toilet. Ia berjalan dengan santai menuju mejanya untuk membereskan alat-alat tulisnya dan bersiap untuk pulang. Sepertinya ia tidak bisa melaksanakan piket kelas hari ini, karena para gadis tidak henti mendatangi kelas ini. Shaka memperhatikan gadis itu beberapa saat. Sepertinya gadis itu tidak terlalu akrab dengan siswi lainnya. Buktinya beberapa siswi tampak mendelik dan menatap sinis pada gadis yang tadi melewati mereka tanpa permisi.

Tidak lama waktu yang dibutuhkan Gayatri untuk membereskan barang-barangnya. Ia segera mengambil tas ransel kemudian keluar dari kelasnya. Shaka masih memperhatikan dari tempatnya sampai kemudian seorang remaja laki-laki dari kelas lain menghampirinya. Ia berbicara pada Gayatri, tetapi gadis itu tidak menimpali apa pun. Ternyata tidak hanya dirinya yang diabaikan. Diamnya gadis itu malah justru menarik perhatian Shaka.

“Shaka, lo ngapain sih ngeliatin si Aya mulu?” protes salah satu siswi yang sedari tadi terus berkicau mengajak Shaka berbicara.

“Gak apa-apa. Ngomong-ngomong, kenapa dia diem aja?" Shaka bertanya karena penasaran.

"Dia emang gak suka ngomong. Udah biarin aja." Gadis bernama Indah memalingkan wajah Shaka dari sosok Gayatri yang kemudian keluar dari kelas mereka.

"Okey, dia gak menarik kok, kalian yang paling menarik," puji Shaka, membuat gadis-gadis itu tersipu malu. "Tapi ngomongg-ngomong, gue pulang dulu ya. Masih ada urusan nih.” Shaka pun segera beranjak dari tempatnya, mengambil jaket dan tas ranselnya.

“Yah, kok pulang sih... Ini kan masih siang. Jalan dulu, bisa kali." Gadis bernama Indah itu memang yang paling agresif.

"Iyaa, rumah lo di mana sih, pake buru-buru balik segala? Boleh kali gue main?” imbuh gadis lainnya dengan manja.

“Lain kali ya cantik, gue belum bisa bawa anak orang ke rumah. Sampe ketemu besok,” ucap Shaka seraya berlalu pergi setelah melempar senyum manisnya.

“Aaakkk, gue di bilang cantiikkk,” Gadis bernama Indah itu tersenyum senang mendengar pujian Shaka. Wajahnya langsung merona dan ia tangkup dengan kedua tangannya yang dingin dan gemetar.

“Cieee....” goda teman-temannya bersamaan. Gadis berkulit kuning langsat itu tersipu malu, ia menyembunyikan wajahnya di balik punggung salah satu sahabatnya.

“Cocok gak sih gue sama Shaka?” tanya gadis itu penuh harap. Dari sorot matanya, sudah jelas ia ingin di jawab cocok.

“Cocok kok, iya kan?” tanya Winda, sahabat Indah.

“Iya, cocok.” Beberapa orang menjawab tetapi kemudian pergi meninggalkan gadis itu. Mereka malas kalau harus bersaing dengan seorang pick me girl di sekolah ini.

Di depan gerbang, sebuah sepeda motor matik melaju kencang meninggalkan bangunan sekolah bertaraf internasional itu. Pengendaranya adalah seorang gadis yang pulang dengan tergesa-gesa. Ibunya sudah mengiriminya pesan beberapa kali, karena membutuhkan bantuannya.

Aya, nama yang tertulis di setang kanan motornya. Ia menambah kecepatan laju motor maticnya agar bisa segera sampai di rumah. Melewati jalanan raya yang ramai dan padat, ia bersaing dengan pengendara lain yang tampak begitu arogan. Sesekali Gayatri harus mengalah dan memilih lajur kiri agar tidak tersengol kendaraan lain yang terus membunyikan klakson di belakangnya. Suasana jalanan memang sangat panas dan membuat emosi mendidih.

Napasnya bisa sedikit lega setelah akhirnya ia bisa berbelok ke gang menuju rumahnya. Sebuah kedai penjual soto terlihat dari kejauhan dan ramai pengunjung. Di sore hari pengunjungnya memang cukup ramai karena biasanya banyak karyawan pabrik yang baru bubar dan membeli lauk atau sekedar makan di sana.

Tiba di kedainya, Gayatri segera memarkirkan motornya. Ia masuk sebentar ke rumahnya yang ada di belakang kedai dan mengganti baju seragamnya dengan kaus sederhana. Semua buku dan tas sekolah ia taruh di kamarnya dan segera menghampiri yang ibu yang sedang sibuk. Masuk ke dalam kedainya dan suara riuh pengunjung pun terdengar jelas. Ia mengambil celemeknya lantas menghampiri meja pemesanan.

“Nih, buat meja nomor empat,” ucap sang ibu yang langsung memberikan bakinya pada Gayatri.

Gayatri tidak banyak bicara, ia segera membawa baki itu menuju meja nomor empat dan menaruh pesanannya di sana.

“Aya udah pulang sekolah?” tanya seorang laki-laki paruh baya yang terlihat senang melihat gadis itu melayaninya.

Gadis itu hanya membisu, lantas mengeluarkan ballpointnya dan mencoret menu pesanan, sebagai tanda makanan sudah ia sajikan. Setelah itu ia kembali ke meja pemesanan dan mengambil pesanan berikutnya.

“Tuh anak udah kayak es batu aja. Dieeemmm, mulu,” komentar lelaki tua tersebut sambil memperhatikan Gayatri dari tempatnya.

“Maklum lah, anak gadis kadang emang begitu. Anak gue juga begitu, biasanya gara-gara lagi dateng bulan,” timpal teman makan laki-laki tersebut.

“Iya, tapi dulu si Aya kagak begitu. Anaknya rame, kayak burung beo. Kangen gue sama Aya yang dulu,” ucap laki-laki itu. Ia salah satu langganan di kedai ini dan cukup mengenal Gayatri.

“Ya, orang kan bisa berubah. Termasuk rasa soto lo, liat noh kecapnya kebanyakan.” Laki-laki itu menepuk tangan sahabatnya. Karena asyik memperhatikan Gayatri, ia sampai tidak sadar kalau ia sudah menaruh banyak kecap di kuah sotonya.

“Astaga!!! Ngapa lo kagak ngingetin gue dari tadi sih!” Laki-laki itu kesal sendiri. Cepat-cepat Ia menaruh botol kecapnya dengan kasar.

“Gak apa-apa, kecap mahal itu, si malika, dari biji kedelai hitam pilihan. Kapan lagi lo makan soto kayak makan kolek, hahahaha....” laki-laki berkemeja biru itu malah tertawa puas melihat kemalangan temannya.

“Akh, sialan emang!” dengusnya walau pada akhirnya, tetap saja ia memakan soto yang berwarna kehitaman itu. Terlalu manis, tetapi apa boleh buat. Ia tetap harus menghabiskannya. Uangnya sudah ia jatah untuk makan satu porsi saja

****

Di sebuah ruas jalan yang sepi, sebuah sepeda motor melaju kencang membelah jalanan. Ia sengaja menghampiri kerumunan genk motor yang malam itu sedang melakukan balapan liar. Beberapa sepeda motor berjejer rapi, bersiap menunggu balapan di mulai. Salah satunya adalah Shaka. Demi bisa berbaur dengan genk motor mana pun, ia mendatangi setiap genk motor. Ikut dalam kegiatan mereka, salah satunya balapan liar. Ini adalah genk motor ke enam yang ia dekati dalam waktu satu bulan ini.

"Kalian udah siap?" tanya seorang gadis yang memegangi syal berwarna merah di tangannya. Suara riuh penonton balapan pun terdengar jelas. Mereka meneriakkan nama pembalap dukungan mereka, kecuali Shaka. Laki-laki ini belum memiliki pendukung satu pun. Ia bahkan belum menunjukkan wajahnya di hadapan rival-rivalnya. Wajah tampannyaa masih tertutupi kaca helm yang gelap.

"Siap!" seru wanita itu seraya mengangkat syalnya tinggi-tinggi. Para pembalap bersiap di tempatnya. Mereka memainkan handle gas motornya, hingga menghasilkan suara auman dari mesin motor mereka. Kakinya bersiap menginjak pedal di sisi kanan. Tatapan Shaka begitu fokus pada jalanan beraspal hitam yang mengkilat terkena cahaya lampu malam.

"YA!" teriak gadis itu dan masing-masing sepeda motor pun mulai melaju dengan kencang.

Mereka saling memacu kecepatan kuda besinya dengan maksimal, menggunakan strategi terbaik saat harus menyalip di tikungan. Menjaga keseimbangan agar tidak bergesekan dengan pembalap lainnya. Ada beberapa orang yang curang, dengan berusaha menendang pembalap lainnya. Beruntung Shaka bisa menghindari itu. Ia lolos dari para rivalnya dan sepeda motornya melaju paling depan hingga sampai di garis finis.

"Wuhuuu!!!" teriak para penonton saat Shaka mengerem motornya hingga bagian belakang motornya terangkat. Ia juga berdiri di atas motornya dengan satu tangan yang memegangi stang sementara satu tangan lainnya mengepal di udara menunjukkan kekuasaan dan kemampuannya.

Meski tidak menunjukkan wajah dan identitasnya, seorang Shaka menjadi bintangnya malam ini. Laki-laki yang mendapat julukan 'Black rider' ini berhasil mendapatkan uang jutaan rupiah. Sebagian ia hambur-hamburkan untuk mentraktir para pembalap itu. Semua ia lakukan untuk memuluskan langkahnya berkenalan dengan anggota genk motor itu. Penjelajahan Shaka akan berakhir dengan pertanyaan,

"Lo tau kasus pembunuhan di pertigaan jalan menuju bogor?" tanya Shaka. Para pembalap itu saling menoleh dan mereka kompak menggeleng. Lagi, usaha Shaka gagal untuk mencari jejak pembunuh adiknya. Seperti yang dikatakan sang tante, kalau polisi memberikan pernyataan bahwa Rasya di bunuh oleh anggota genk motor dan hingga saat ini mereka belum menemukan pelakunya. Tidak ada saksi ataupun barang bukti yang bisa jadi petunjuk, hingga akhirnya kematian Rasya menemui jalan buntu.

"Tidak, ini tidak buntu. Aku pasti menemukan siapa pembunuhmu, Rasya," batin Shaka seraya berlalu pergi meninggalkan area balapan. Apa yang ingin ia tahu, sudah ia dengar dan hasilnya masih nihil.

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!