"Kenapa kau menghindariku terus, Siren? Bukankah malam itu kau juga sangat menikmatinya?"
Alangkah takutnya Sirena ketika ia dihadapkan dengan seorang lelaki yang lima tahun lalu sudah merenggut keperawanannya. Tak hanya merenggut, bahkan lelaki itu selalu menekan Sirena ketika ia berada di Australia hingga Sirena mengalami kecelakaan lalu lintas akibat pengejaran yang dilakukan oleh seorang lelaki keji bernama Aksa.
Derita Sirena kian bertambah ketika diusia remaja ia harus merelakan kepercayaan dirinya terhadap nilai diri terkikis. Namun berjalannya waktu ia mulai menerima keadaan minusnya itu tanpa seorang pun tahu. Ia bahkan menutupi keterpurukan itu dari ibu yang sangat disayanginya.
Melihat sang ibu yang selalu bekerja keras hanya untuk membantu Siren menggapai cita-citanya menjadi alasan untuk tidak bercerita perihal deritanya. Namun siapa sangka jika akhirnya Tuhan mempertemukan Siren dengan lelaki tak berperasaan seperti Aksa. Lelaki itu tak berhenti mengejarnya setelah menyadari keberadaan Siren dirumah megahnya.
"T-Tuan Aksa, lepaskan sa-saya! Saya mohon Tuan!" rengek Siren dengan air mata yang tak berhenti mengucur deras dan membasahi kedua pipinya.
Aksa seakan menulikan pendengarannya sendiri. Alih-alih melepaskan gadis yang sudah ketakutan setengah mati karenanya, pemuda itu malah asyik menikmati paras cantik yang masih sangat dikaguminya. Ia asyik membiarkan jari telunjuknya mengitari setiap inci pada wajah menawan Siren. Menikmati betapa cantiknya setiap bagian pada wanita itu.
Kelopak mata lebar ketika dipejamkan itu seolah bak kelopak mawar yang selalu mempesona dan menggilakan mata. Kulit kecoklatan yang bersih nan mulus itu membuat Siren sangat berbeda dari para wanita yang selama ini bersedia menjadi teman tidurnya. Bibir ranum mengkilat milik Siren juga mengingat malam dimana ia ******* habis bagian itu dengan erangan tajam miliknya.
"Aku akan menikahimu dan menyiksamu sesukaku!" bisik Aksa.
Lelaki gila itu tanpa perasaan menyeret paksa Siren yang mau tidak mau harus menutup mulutnya. Gelisah ia akan kekhawatiran sang ibu membuatnya terpaksa mengikuti langkah penuh paksa putra majikannya itu. Ia sudah berusaha melepaskan tangan lelaki itu, namun nyata kekuatan tangan Aksa yang lebih besar tak bisa ia lawan.
Aksa membawa Siren masuk ke dalam kamarnya. Dengan brutal melucuti pakaian gadis miskin itu diselingi dengan tawa. Ia juga mengiringi tangisan penuh rintih sosok Siren dengan tawa jahatnya. Membiarkan wanita itu menangis dalam hasrat gilanya.
"T-Tuan.. Lepas!" pintanya seraya mencoba memberontak dalam dekap paksa Aksa yang tak berhenti menghujani lehernya dengan kecupan.
"Aku akan membuatmu terus mengingatnya, Nona! Aku akan pastikan sampai detik kematianmu tiba, kau akan mengingat hari ini!"
Jemari Siren mencengkeram punggung Aksa ketika lelaki itu mulai membuka lebar kedua pahanya. Setengah merintih pun terpaksa ia tahan saat Aksa membenamkan dalam-dalam benda gagahnya itu ke dalam inti tubuh Siren. Pergerakan brutal seketika membuat Siren tak berhenti menangis. Memori hina yang juga pernah Aksa lakukan sekitar lima tahun yang lalu pun terus berkutat di pikirannya dan menambah luka batin.
Hingga tak lama kemudian..
BRAAAKKKK!
Pintu didobrak oleh dua orang pengawal yang berani bergerak atas titah seorang wanita muda yang tak asing di mata Aksa. Aksa merobohkan dirinya di samping Siren. Lelaki itu tersenyum sumringah dengan bangga menaikkan dagunya sembari mengelus rambut Siren yang kalau itu menjadi sangat malu saat orang asing memergokinya.
"Hai, Sayang! Apa kau menikmati liburanmu seminggu ini?" sambut Aksa yang nampak sangat santai di samping Siren yang sudah sangat ketakutan.
Violetta yang baru saja seminggu lalu mengesahkan pertunangan dengan Aksa di Paris pun terbeliak melihat perangai menjijikkan kekasihnya itu. Dengan wajah memerah itu ia mengibaskan tangannya. Ia menyuruh para pengawal yang mendobrak pintu kamar Aksa pergi dan meninggalkannya.
"Siapa lagi wanita itu, Aksa?!" tanya Violetta dingin.
Mendapati perangai buas Violetta dari sorot matanya, maka dengan tubuh yang sudah gemetaran itu Siren meraih pakaian miliknya. Ia mengenakan kembali dress panjangnya dan tergesa-gesa turun dari ranjang Aksa. Sementara Aksa hanya tersenyum, lelaki itu malah bersiul tatkala Siren terburu-buru beranjak pergi dengan kepala tertunduk.
Tapi ketika Siren melalui Violetta, wanita itu mendadak menahan langkahnya. Wanita itu menarik tangan Siren, membuat Siren terdiam dengan kepala tertunduk.
"Tunjukkan wajahmu!" titah Violetta kemudian.
Dengan tubuh yang gemetaran itu Siren mencoba untuk menahan ketakutannya. Perlahan ia menunjukkan wajahnya pada perempuan berkulit putih bernama Violetta.
PLAKK!!!
Satu tamparan mendarat di pipi Siren. Menambah luka fisik dan batin bagi Siren yang baru beberapa menit dihancurkan akalnya oleh Aksa. Wanita itu hanya bisa terdiam. Lalu menyembunyikan kembali wajahnya di hadapan Violetta.
"Beraninya anak babu menyentuh milikku!" sentak Violetta geram.
Melihat kemarahan Violetta, Aksa tersenyum. Dengan sangat santai lelaki itu meraih pakaiannya. Mengenakan pakaiannya lalu menghampiri Violetta. Memeluk tubuh ramping tunangannya itu dari belakang sembari memandangi Siren yang masih menyembunyikan wajahnya karena takut.
"Jangan menyakitinya Sayang! Akulah yang menggodanya!" ujar Aksa sembari mengecup pipi Violetta tanpa peduli bagaimana deru benci bersemayam di benak Siren yang lemah.
Violetta sejenak merasa dikalahkan oleh pesona Siren yang memang terlampau sangat menarik di balik pakaian lusuhnya itu. Ia menjadi sangat iri dengan kenampakan fisik yang sempurna dari wanita miskin di hadapannya itu.
"Pergilah dari sini sebelum aku menghancurkan wajahmu!" sentak Violetta yang seketika itu membuat Siren berlari pergi darinya.
Kesal terus menderu di benak Violetta. Namun wajah rupawan yang selalu menjadi suami idamannya sejak kecil itu tak bisa membuatnya benar-benar marah.
Dengan wajah merajuk Violetta melepas dekapan Aksa. Ia memutar badannya, lalu mengalungkan dua tangannya pada leher tunangannya itu. Menatap mata Aksa yang sudah ia kenal sejak kecil. Menatap mata biru Aksa yang menawan yang kini sudah akan benar-benar menjadi miliknya.
"Kenapa harus anak pembantu itu sih, Sayang? Apakah kau tak bisa melakukan hanya denganku saja?" rengek Violetta manja. "Aku bahkan bisa memuaskanmu melebihi lima wanita sekaligus Sayang! Kenapa harus kau tiduri juga wanita kumuh itu di atas tempat tidurmu!"
Aksa tersenyum licik. Ia berpikir jika inilah saat dimana ia harus memanfaatkan kebodohan Violetta yang selalu menggilainya.
"Hanya wanita kumuh itu yang bisa aku siksa!" jawabnya enteng seraya memainkan jemarinya di sekitar bibir tipis Violetta.
Violetta masih menampakkan wajah manjanya. Merengek seolah benar sangat ingin diperhatikan oleh Aksa.
"Tak bisakah kau berhenti bermain dengan wanita, Sayang? Kita akan menikah sebentar lagi!" protesnya. "Hari ini, kau sudah dua kali mengejutkan aku dengan tingkah nakalmu itu!"
Aksa tersenyum licik. Lalu perlahan mencium pipi kiri Violetta. Memancing jiwa budak cinta yang semakin menjadi dalam diri Violetta ketika Aksa bermanis-manis di hadapannya.
"Jika kau mengijinkan aku menikahi wanita kumuh itu juga, aku bersedia melepas semua wanita di sekitarku! Aku akan merelakan diriku untuk dua wanita saja, tidak lebih! Bagaimana?"
Bersambung...
Siren berlari. Ia masih sangat takut. Bukan karena kehadiran Violetta yang di awal perjumpaan sudah menyakiti wajahnya, ia lebih takut lagi dengan perawakan Aksa yang belum bisa ia lupakan.
Melihat wajah Aksa, melihat senyuman liciknya itu, mengingatkan bagaimana di malam dan di tempat yang asing itu Aksa menggaulinya. Bahkan masih terbesit bagaimana nyeri di hati tatkala tuntutan hukum pun tak bisa menusuk lelaki anak konglomerat itu. Di luar negeri pun lelaki itu dikebalkan oleh hukum. Beberapa kawan Siren yang melapor malah dituntut balik. Hingga pada akhirnya mereka terpaksa mencabit segala laporan mereka terhadap Aksa akan tabiat gilanya itu.
Sambil menangis Siren berlari. Ia ingin segera sampai di sebuah gudang yang selama ini sudah disulap oleh sang ibu agar menjadi tempat tinggal mereka. Yah, paska penghancuran rumah susun itu terjadi, Siren dan sang ibu pun memohon pada sang majikan agar dibiarkan tinggal di salah satu bangunan milik mereka. Bahkan mereka bersedia membersihkan sendiri ketika majikannya menyebut salah satu gudang milik mereka yang letaknya ada di belakang kandang burung beo kesayangan mereka.
"Bu!"
Dengan napas tersengal-sengal Siren menghampiri ibunya. Beruntung tak ada lagi air mata yang ia pertahankan di wajahnya kalau itu. Hingga sang ibu pun tak perlu merasa khawatir dengan kedatangannya.
"Ada apa, Nak?" tanya Bu Dewi kepada putrinya.
Dengan wajah resah yang tak bisa ia sembunyikan itu ia menatap mata ibunya. Ia meraih kedua tangan Bu Dewi dan seketika mengundang raut keheranan di wajah Bu Dewi.
"Bu, kita tidak bisa tinggal di sini, Bu!" tukasnya kemudian.
Bu Dewi seketika itu melepas genggaman putrinya. Ia menatap sang putri dengan tatapan dingin. Baginya, tidak ada lagi tempat setelah banyak kerabat yang menolaknya ketika ia meminta bantuan. Maka usul Siren pun sedikit terkesan sangat melukai benaknya. Benak wanita yang sedang putus asa dengan hidupnya.
"Kamu bisa menjamin kita tinggal di rumah yang layak jika keluar dari sini?" tanya sang ibu sinis.
Siren yang cemas kembali meraih kedua tangan ibunya. Kembali menggenggam tangan yang berusaha melepaskan diri dari dirinya.
"Siren janji akan kerja paruh waktu, Bu! Siren janji akan kerja sekeras mungkin setelah membantu pekerjaan ibu di rumah ini!" jawab Siren. "Ku mohon, Bu! Sekali saja dengarkan aku! Aku..."
"Permisi..."
Sayang perkataan Siren terhenti ketika suara berat mengisi gumam resah di antara mereka. Siren langsung bersembunyi di balik tubuh ibunya ketika melihat sosok Aksa berdiri di mulut pintu tempat singgah mereka.
Lelaki itu tersenyum ramah. Bersikap seolah ketakutan Siren bukanlah karena dirinya. Bersikap seolah ia tak pernah melakukan hal menjijikkan kepada anak pembantunya itu.
"Tuan Aksa! Ke-kenapa Tuan kemari? Di sini sangat kotor Tuan!"
Tentu Bu Dewi menyambut anak majikannya itu dengan sangat ramah. Bahkan ia mengabaikan Siren yang berusaha menahan dirinya. Ia mengabaikan Siren yang mencoba untuk menghalangi langkahnya untuk menghampiri anak majikannya itu.
"Gak papa kok, Bi! Aku ke sini hanya sekedar ingin menyapa Bibi!" ujar Aksa seraya masuk ke dalam ruangan yang ukurannya sama persis dengan bilik kamar mandi yang ada di dalam kamar tidurnya.
Lelaki itu mengamati sekelilingnya. Mencoba menilai bagaimana pembantu dari kedua orang tuanya itu seketika menyulap gudang yang semula kumuh nampak lebih rapi. Lalu mengangguk-angguk, menyempurnakan penilaiannya setelah senyuman ia benamkan saat pemilik ruangan itu ikut memperhatikan sikapnya.
"Wah, aku tak menyangka jika gudang seburuk itu bisa menjadi tempat tinggal yang sangat rapi seperti ini." ujarnya kemudian. "Bibi sungguh hebat!"
"Ah, tidak seberapa Tuan. Saya malah sangat malu karena merasa tidak tahu diri meminta gudang ini sebagai tempat tinggal kami." respon Bu Dewi.
Siren masih terdiam di tempatnya ketika lelaki itu berdiri di sampingnya. Ia seketika gemetaran dan langsung menundukkan wajahnya ketika Aksa pun meliriknya.
"Aku juga sangat kagum dengan anak Bibi!" tukas Aksa sembari melirik ke arah Siren yang sudah menyembunyikan wajahnya.
"Ya Tuan?" respon Bu Dewi dengan rasa keingintahuannya.
"Aku dengar dari Papa jika anak gadismu ini sangatlah pintar dan layak mendapat beasiswa dari perusahaan kami!" tegas Aksa yang kemudian melepas senyumannya pada Bu Dewi.
Bu Dewi dengan wajah sumringah itu langsung merangkul putrinya. Ia merasa sangat bangga mendengar bagaimana Aksa yang juga terkenal sangat cerdik dan pandai berbisnis sejak usia 17 tahun itu memuji putri kesayangannya. Kebanggaannya itu pun membuatnya tak menyadari bagaimana wajah resah kian nampak pada Siren yang masih tertunduk karena belasan trauma yang ia ingat tentang perbuatan Aksa terhadapnya di Australia.
Aksa setengah membungkuk untuk menatap mata Siren. Membuat Siren terbeliak dan semakin ketakutan karenanya. Lalu dengan wajah yang sangat ramah, ia kembali menatap Bu Dewi yang masih sangat menyambutnya dengan sangat baik.
"Bibi, bisakah Bibi membelikan aku beberapa minuman di mini market dekat rumah?" ujarnya kemudian.
"Mi-minuman?" tanya Bu Dewi meyakinkan.
"Aku tahu jika ada bermacam minuman di kulkas, tapi tidak ada satu pun yang aku suka!" jelasnya.
"Ah, begitu. Kalau begitu, minuman apa yang bisa saya belikan untuk Tuan?"
"Ini, Bi!" Aksa menunjukkan contoh produk dalam ponselnya. "Jika tidak ada, ku mohon Bibi berusaha mencarinya di beberapa swalayan ternama di dekat sini!" imbuhnya.
"Baik, Tuan! Saya akan..."
"Biar saya saja Tuan!" potong Siren kemudian. Ia berpikir akan lebih baik jika ia yang pergi dari ruangan itu sebelum Aksa melancarkan aksi yang sudah bisa Siren terka.
Aksa tersenyum, lalu menggeleng kepala.
"Akan lebih canggung jika aku menunggu di sini dan berbincang dengan wanita yang seusia ibuku." jawab Aksa pelan. "Aku saja masih sangat kaku bicara dengan ibuku. Jadi, akan lebih baik jika aku berbicara denganmu yang nyata lebih muda dariku. Dan pastinya akan lebih menyenangkan! Bukankah begitu Bibi?!"
Melihat keadaan yang semakin runyam itu, Bu Dewi pun akhirnya menarik tangan Siren karena khawatir akan memancing kemarahan anak majikannya. Ia tak mau jika kemarahan itu membuat dirinya kehilangan satu-satunya tempat tinggal.
"Maafkan anak saya Tuan! Tuan benar, biar saya yang pergi!" ujar Bu Dewi yang seketika membuat kedua mata Siren yang berada di balik tubuh kerempengnya itu terbeliak.
"Terimakasih, Bi! Ini uangnya!" lalu Aksa memberikan beberapa lembar uang kepada pembantunya itu.
Secepat mungkin Bu Dewi menerima uang itu, lalu berlari keluar dari kediamannya. Kepergian Bu Dewi pun memancing kelicikan Aksa yang tertunda. Lelaki itu langsung menutup pintu rumah dan menatap Siren yang sudah memucat dengan senyuman lebar.
"Jika kau ingin mendapatkan beasiswa itu, maka kau harus melayani hasratku sampai akhirnya aku benar-benar mengurungmu dalam pernikahan, Nona Sirena..."
Bersambung...
Ketika sang ibu tiba, Siren sudah duduk dengan pakaian yang berbeda. Rambut wanita itu juga masih basah karena baru saja selesai mandi.
"Kamu mandi lagi, Ren?" tanya Bu Dewi seraya meletakkan sekantung plastik berisi minuman pesanan Aksa sembari menatap anaknya dengan bingung.
Bu Dewi juga beberapa kali mengamati sekitarnya. Ia keheranan karena tidak ada Aksa di sana.
"Dimana Tuan Aksa?" tanyanya kemudian.
"Katanya pergi dulu karena ada urusan. Emmm... I-ibu diminta mengantar minuman i-itu ke kamarnya." jawab Siren seraya mengalihkan pandangannya agar sangat ibu tak bisa menatap matanya.
"Oh, ya sudah kalo begitu ibu mau ke Tuan dulu untuk mengantar ini ya?"
"Jangan, Bu!"
Ketika hendak melangkah, Siren menahannya dengan memegangi lengan ibunya yang sedang menggenggam sebuah kantong plastik dengan produk pesanan Aksa di dalamnya. Seketika Bu Dewi pun memutar badan dan menatap putrinya itu dengan tatapan keheranan.
"Kebetulan Si-Siren mau ke kampus, bi-biar Siren aja yang antar ke Tuan Aksa. Emmm... I-ibu istirahat saja dulu." ujarnya kemudian.
"Oh, kamu mandi lagi karena mau ke kampus ternyata!"
"I-iya Bu. Ta-tadi Tuan besar menelpon perihal beasiswa itu."
"Bagus!" sambut sangat ibu riang lalu menyodorkan sekantong plastik yang di genggamnya. "Baiklah, kamu bawa ini dan antar ke Tuan Aksa. Jangan lupa untuk mengucapkan terimakasih karena hari ini Tuan besar menelpon kembali setelah sekian lama! Ini semua pasti karena Tuan Aksa membujuk beliau!"
Siren hanya bisa tersenyum dan mengangguk pelan.
"Siren pergi dulu, Bu..."
Lalu Siren pergi begitu saja sambil membawa sekantong minuman yang dibeli ibunya. Dalam langkah kaki meragu itu ia memandangi kantong dalam genggamannya. Ia sungguh gemetaran karena tak sanggup membayangkan apa yang Aksa lakukan padanya hari ini.
Sebelum pergi, lelaki itu bahkan berpesan agar ia melihat minuman itu di kamarnya dengan sosok Siren yang mengantar setelah membuat ketegangan di antara dirinya dan ibunya. Lalu dalam langkah yang kaku itu Siren memaksakan dirinya. Ia mencoba memberanikan dirinya menemui Aksa yang sudah dua kali melecehkan tubuhnya hari ini.
Hingga tanpa sadar, Siren sudah sampai di depan kamar sangat tuan. Ia menatap daun pintu kamar sang tuan dengan tatap mata berkaca-kaca. Dan...
KREKK!!! Tiba-tiba pintu terbuka! Siren yang ketakutan langsung menyodorkan kantong plastik di tangannya dengan mata terpejam. Sebisa mungkin ia menudukkan kepalanya agar tak bisa melihat bagaimana paras tampan nan licik yang sudah beberapa kali melecehkan dirinya hari ini.
"I-ini, Tuan!" tuturnya seraya menyodorkan bungkusan itu kepada seseorang yang baru saja membukakan pintu kamar untuknya.
"Kamu pelayan di sini?"
Hingga tak lama kemudian suara serak membuat Siren mengangkat kepalanya. Ia mencoba untuk memastikan sosok berbeda yang berdiri di hadapannya. Lalu setengah lega ia merasa ketika melihat sosok lelaki setinggi 185 sentimeter dengan kulit sawo matang, bermata coklat, dan memiliki lesung pipi di pipi kanan kirinya berdiri santai di hadapannya.
"I-iya, Tuan. Sa-saya..."
Belum selesai bicara, lelaki itu sudah meraih tangan Siren dan mengajaknya pergi. Seketika membuat Siren terkejut karena lelaki asing itu tiba-tiba membawanya pergi.
"T-Tuan! Ke-kenapa,-"
"Sudah ikut saja!"
Sungguh rasa takut kian menebal di benak Siren kala itu. Firasat buruk terus bergeming di benaknya setelah apa yang terjadi hari ini. Namun, tak ada yang bisa Siren lakukan. Ia hanya mampu mengikuti langkah kaki lelaki asing itu karena tak bisa melepas tangannya dari genggaman erat lelaki itu.
"T-Tuan mau bawa saya kemana? T-tolong jangan membuat saya takut Tuan!" rengek Siren sambil terus mengikuti langkah kaki lelaki asing yang kini sudah mengajaknya keluar dari istana megah milik Keluarga Aksa.
Lelaki itu hanya tersenyum mendengar rengekan Siren. Seolah ada hal yang lucu ketika kalimat-kalimat penanda ketakutan itu didengar oleh kedua tangannya.
"T-Tuan ki-kita..."
Dan rengekan Siren terhenti saat lelaki itu menghentikan langkahnya di depan sebuah mini market. Lalu tercengang ketika lelaki asing itu mendudukkan dirinya di atas kursi pengunjung yang sudah ditata oleh pihak mini market di depan gedung besarnya.
Siren masih tak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh lelaki asing itu hingga membawanya ke tempat ini. Ia hanya bisa menamatkan pandangannya pada sosok asing yang kini tersenyum di depan kasir mini market sambil memamerkan dua cup mie instan di tangannya.
Tak lama waktu berselang, lelaki itu datang dan menyuguhkan satu cup mie instan di hadapannya. Seketika membuat Siren terbingung-bingung di depan satu cup mie instan panas!
"Hh, akhirnya ada yang menemani aku makan!" gumam lelaki itu seraya mengaduk mie miliknya.
Siren masih dibingungkan dengan tingkahnya.
"T-Tuan s-siapa? Dan mengapa Tuan mengajakku..."
"Reymond Wilson! Panggil saja aku Rey!" potong lelaki itu dengan makanan penuh yang masih ada di dalam mulutnya. "Panggil aku Rey! Tuan Rey!"
Kening Siren berkerut. Ia sungguh masih tak bisa memahami penjelasan yang memang sangat tidak jelas dari sosok bernama Reymond di hadapannya itu. Dan wajah keheranan itu rupanya membuat sosok Rey tidak bisa menikmati makanannya. Maka ia pun meletakkan garpu ditangannya, dan menatap tajam mata Siren yang masih menunjukkan rasa penasarannya.
"Oke! Setelah aku jelasin, kamu harus berhenti mengerutkan dahimu dan bersedia menghabiskan makananmu! Bagaimana?"
Maka tidak ada yang bisa Siren lakukan selain menganggukkan kepalanya perlahan. Seketika membuat lelaki itu tersenyum dan melipat kedua tangannya di depan dada.
"Aku Reymond Wilson! Anak haram Keluarga Graha!" sebut lelaki itu lantang. "Ibuku bukan pelakor, dia hanya wanita yang bodoh! Lelaki tua yang menyebalkan itu menghamili ibuku, tapi dia malah menikah dengan wanita lain! Dan karena penyesalan, aku ada di rumah ini sekarang! Cukup sekian karena kita gak dekat!"
"Kita gak dekat, tapi kenapa Tuan mengajakku makan bersama Tuan?" protes Siren kemudian.
"Karena kau seorang pelayan!" tutur Reymond lalu kembali menyantap makanannya. "Makanlah! Aku tidak suka melihat seseorang yang enggan menyentuh makanan yang aku berikan!" imbuhnya.
Dengan kelegaan hati tanpa ingin tahu lebih banyak tentang lelaki di hadapannya itu, Siren pun menyantap makanannya. Ia sungguh merasa senang, karena hangatnya mie kemasan cup yang ia telan cukup membuat lega perasaannya yang sedang sakit. Maka dengan kedua mata berbinar ia melahap makanan itu dengan penuh semangat. Hingga tanpa sadar ia melewatkan saat dimana Reymond tersenyum karena kagum dengan cara makan Siren yang sangat lahap.
Tak lama waktu berselang, lelaki itu menyodorkan sebuah kartu nama. Seketika membuat Siren berhenti mengunyah dan membaca barisan kata dalam kertas berukuran kecil itu.
"Karena kau makan makananku, kau harus membayarnya dengan cara menjadi modelku!"
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!