NovelToon NovelToon

Sesuatu Tentang Kita

STK 1

"Namanya Rasya, gilaaaa dia ganteng banget!" Itu Winda, temanku sejak SMA. Hari ini dia ada tugas perbaikan IPK ke rektor kampus. Diminta datang ke rumah beliau untuk mengurus segala sesuatunya.

Winda bukanlah mahasiswi bodoh, dia mahasiswi teladan sejak semester pertama. Tapi, karena dia pergi ke Bali selama satu semester tanpa alasan yang jelas, jadilah IPK nya anjlok. Beruntungnya, di kampus kami sistem perbaikan masih berlaku.

"Gue nggak nyangka, si bapak punya anak ganteng parah!" Winda membuka tasnya dengan geleng-geleng kepala. "Ini parah si! Parah banget!" Iya, itulah dia. Selalu histeris jika membicarakan tentang kaum Adam. Aku tidak tahu seberapa gantengnya mahluk bernama Rasya itu? Tapi melihat wajah Winda berubah seperti kepiting rebus ketika membicarakannya, aku ikut-ikutan penasaran.

"Eh bukannya lo kenal ya sama dia? Bisa dong nyombelangin gue ...?" Tatapnya dengan tampang memelas. Sebenarnya Winda bukan tipe perempuan yang akan mendekati pria duluan, bahkan dia salah satu mahluk dengan kepribadian paling tertata di antara kami. Meski dia akan menjadi sangat tidak waras jika sudah berhadapan dengan temannya. Tapi kali ini dia menjadi agak berbeda.

Rasya atau Irasya, dua nama itu sebenarnya milik satu orang. Cowok nakal bergigi hitam yang aku kenal saat kelas 3 SD.  Sudah bertahun-tahun lewat, entah kita masih bisa dibilang sahabat atau tidak? Bahkan aku tidak pernah benar-benar ingat wajahnya seperti apa?

"Kan kenalnya dulu, pas SD," jawabku sekenanya. Penasaran juga, tapi masa iya harus ngecek ke rumahnya?

"Gue nggak heran si lo nyariin dia sampe bertahun-tahun, kalo ketemu juga lo nggak akan nyesel." Winda tahu usahaku mencari  cowok itu. Bahkan dia hafal jam-jam ku membuka sosial media, demi mencari manusia bernama Irasya wahyu permana. Yang mana sampai sekarang aku belum menemukan orangnya. Sudah 9 tahun mungkin? Sejak facebook diperkenalkan oleh ketua geng kita.

"Giginya udah nggak item?" Entah kenapa aku ingin menanyakan hal itu? Meski mungkin agak konyol mengingat usia kami yang sudah 20 an.

"Ya enggak lah njir! Lo bayangin aja cowok ganteng kayak dia terus giginya item? Mana mungkin? Bahkan senyumnya manis ... banget. " Oke, sepertinya mulai sekarang Winda telah benar-benar berubah. Sampai di sini aku faham, jika cowok itu sudah membuatnya menjadi orang yang berbeda. Lalu bagaimana denganku nanti? Apakah akan berubah setelah bertemu dengannya? Apakah aku tidak akan menjadi Ametha yang biasanya?

"Kok ngelamun?" Winda menepuk kepalaku dengan buku UUPS. "Jangan bilang lo niat nyaingin gue?" Apaan si? Aneh!

"Tu muka bisa santai nggak? Gue nggak minat kali!" Seruku dengan ketus. "Gue cuman dikenal ama bokapnya, kalau dia ...?" Aku berpikir, emang si brandal masih inget sama aku? "Kayaknya nggak deh!" Iya, tidak mungkin dia masih ingat.

Membayangkan kami tidak bertemu selama 16 tahun, rasanya hanya manusia dengan memori super yang mampu mengingat bagaimana wajah teman masa kecilnya. Apalagi sekarang kami bermetamorfosis dengan perubahan yang ... ya sudahlah tidak usah dibahas!

"Ya sih! Dia mana inget ya sama lo? Apalagi lo kan?" Winda menatapku dengan tatapan mirisnya. Nyerang fisik ni ujung-ujungnya. "Gendut kayak gini!" Nah kan? "Lagian gue heran, lo makan apa sih sampe melebar kayak gini?" Perutku ditekan-tekan dengan pulpen. "Padahal dulu badan lo bagus banget, muka yang paling cantik di geng kita. Kenapa sekarang begini sih? Lo putus asa?" Aku paling malas mendengar ocehannya yang bernada pernyataan nyambung pertanyaan begitu. Karena dia selalu bisa menyimpulkan apa yang terjadi padaku.

"Gara-gara si Ayit?" Bisa nggak itu nama nggak usah disebut? Bad mood jadinya. "Ya ampunnn ... udah 6 tahun dan lo masih aja mikirin dia?" Espresinya dibuat semiris mungkin. Menyebalkan! Tapi jika ku pikir lagi, itu adalah espresi yang paling cocok untuk kisahku. Kisah yang tak pernah benar-benar dimulai tapi benar-benar telah berakhir.

"Ngeliatnya nggak usah gitu banget deh!" Aku berdecak kesal. Kembali merapikan buku untuk mengalihkan pikiran. Sebenarnya tidak teralih, tapi berbalik ke titik temu pada suatu sore di gerbang rumah sakit. Iya, bahkan aku masih ingat espresi leganya ketika menemukanku yang tak ditemukannya di tempat janjian kita. Espresi yang tidak pernah membuatku beranjak dari kisah menyedihkan itu.

"Emang sulit sih yang namanya ngelupain cinta pertama, apalagi pisahnya enggak pakai putus!"  Winda itu kadang baik, tapi disatu waktu kadang mulutnya seperti seblak sepabrik-pabrik. Pedes banget.

Aku diam. Mau jawab apa? Memang kenyataannya seperti itu! Entah hatiku yang sudah membeku dan mengabadikan namanya di kotak kenangan? Atau aku yang memang sudah tidak punya malu yang tetap berharap, meski entah mengharapkan apa?

"Tadi itu gue sebenernya pengen banget kenalan, tapi ngeliat dia gendong adeknya gue malah lupa." Winda memasang tampang melongo. Entah apa yang dia pikirin?

"Hubungan lo lupa sama dia gendong adeknya apa dah?" Aku mengernyit. Jalan omongan manusia satu ini memang kadang tidak ku mengerti sama sekali. Apalagi sekarang, membicarakan masalah cowok itu yang semakin membuatku bingung apakah harus membicarakannya?

Lenganku dipukul cukup keras. "Ya lupa, saking gue meltingnya ngeliat dia gendong si dedek bayi. Lo faham nggak sih?"

Aku menggeleng. Aku tidak faham. Entah tidak faham dengan cerita Winda atau tidak faham dengan keinginanku yang selama ini ingin menemukannya? Bisa dibilang tinggal selangkah lagi, karena aku sudah menemukan titik temu. Tapi entah kenapa aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku. Seperti ketika kamu ingin bertamu, tapi ketika sampai di depan pintu kamu malah enggan untuk mengetuk.

"Si begok!" Otakku ditoyor seenaknya. "Itu berarti dia punya sifat kebapak-an. Cocok buat jadi ayah anak-anak gue."

Bagaimana bisa coba Winda membicarakan masalah sejauh itu?

"Lo nggak lagi OD kan?" Yang namanya Winda selalu bicara realistis, bahkan terlalu realistis untuk ukuran perempuan seusianya. Untuk itu aku menanyainya hal, yang entah kenapa ingin kutanyakan melihat sikap anehnya untuk pertama kali.

"Si kampret!" Dan buku UUPS mendarat sempurna di punggungku. Dasar preman!

BERSAMBUNG...

Kenalan sama Rasa dan Metha kuy,😁😍

STK 2

"Tha, dilanjut ya?" Ibu memberiku apron hitam yang tadi digunakan. Tumis kangkung masakannya masih di atas kompor. Dan acara memasak berarti dilanjutkan olehku.

Di tanganku masih tercengkeram benda pipih berwana hitam yang ku jadikan sebagai alat untuk mencarinya.

Ibu mengikat tali apron di pinggangku lalu ke luar entah ingin melakukan apa? Keriuhan di kepala tak membuatku mendengar perkataannya dengan jelas.

Semalam aku tidak terpejam sedikitpun kecuali setelah subuh. Mengingat ucapan Winda kemarin bahwa mahluk itu sedang berada di rumah, adalah petaka besar yang ternyata membuat hatiku berharap lebih.

Masih dengan pertanyaan yang menggantung di ujung benak, masih juga dengan suara riuh tumis kangkung di atas wajan panas. Aku mengetik nama itu, lagi. Entah untuk ke seratus kalinya atau bahkan sudah jutaan kali sejak bertahun-tahun yang lalu? Kemudian mengklik search, dan seperti biasa akan muncul berbagai rupa manusia dengan nama yang sama. Dalam tingkatan ini kebingungan akan terus memenuhiku. Wajah mana yang ternyata adalah wajahnya?

Kadang aku sempat berpikir, apakah dia benar-benar menggunakan sosial media untuk membagikan kisahnya? Atau dia adalah mahluk anti sosial yang akan menyimpan rapat-rapat cerita hidupnya dari dunia luar? Sebab, sejak bertahun-tahun yang lalu semesta tidak mengijinkanku untuk sekali saja menemukannya. Atau aku sudah menemukannya tapi tidak mengenalinya? Itu kemungkinan terbesar.

Hingga pada suatu detik, dimana kompor telah kumatikan, dan apron telah ku lepaskan. Mata ini, menemukan sebuah beranda asing yang selama ini tidak pernah terlihat. Jika tadi aku mengatakan kotak pencarianku selalu memunculkan wajah yang sama, kali ini tidak. Ada satu wajah berbeda yang menciptakan satu rasa berbeda di hatiku. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi ini nyata! Seperti menemukan kucing kesayangan yang selama ini tersesat, sekilas terlihat tidak berbeda dengan kucing lain yang pernah ditemui, tapi sebenarnya berbeda. Namun karena sudah terlalu lama tak bersua jadi sulit untuk dikenali dan membedakannya. Namun ternyata itu memang dia. Iya itu dia!

Keyakinanku semakin diperkuat, dengan sebuah komentar dari sepupunya. Iya, mereka tidak akan berbicara seakrab itu jika tidak memiliki hubungan dekat kan? Berarti tebakanku benar? Setelah 9 tahun Tuhan?

Berburu dengan waktu, aku mengklik profil itu. Melihatnya lebih banyak lagi, meskipun ini konyol, karena ini hanya foto. Hanya bayangan. Tapi bukankah bayangan sama persis seperti aslinya? Tidak heran kenapa Winda sebegitu hebohnya kemarin. Sebagai perempuan yang punya sisi normal, wajahnya sangat beresiko jika dipandangi dalam waktu yang lama. Ini bahkan di foto, bagaimana aslinya? Apa aku akan seheboh Winda juga? Ini saja yang hanya gambar aku tidak lagi heboh, tapi histeris, berguncang, meledak-ledak dan entah apa lagi? Bukan, bukan perkara wajahnya yang di atas rata-rata itu, tapi cerita tentangnya yang sudah lama ku tulis dalam buku rahasiaku. Rasanya lega, karena telah menemukan tokoh utama kisah itu.

"Jadi ini orang yang merampas ice cream ku?"

Kalimat yang ku tulis di pesan. Mungkin dia akan bingung, tapi itu yang ku inginkan, dia bingung dan bertanya, dan kita mengobrol. Membayangkannya saja aku sudah senang luar biasa.

"Maksudnya?"

Dia membalas cukup cepat, di luar dugaan karena aku orang asing di matanya. Tapi bukankah ini permulaan yang bagus? Hey Metha sadar! Memang siapa juga yang terima jika dikatakan perampas?

"Enggak inget?"

Aku memancingnya lagi, memancing ingatan yang aku sendiri tidak yakin akan dengan mudahnya timbul di kepalanya yang mungkin tidak pernah memberiku tempat selama ini?

"Inget apa?"

"Di bawah pohon akasia. Ice cream rasa vanila."

"Maaf aku tidak ingat."

Lalu apa? Apa aku akan memaksanya untuk ingat? Atau membiarkannya mati penasaran karena menebak-menebak? Meksi aku tahu itu pekerjaan paling menyebalkan sebagai manusia. Menebak menjadi pekerjaan yang tidak pernah ku sukai, seperti sekarang ini. Apakah dia benar lupa atau tidak mau membahasnya saja padahal ingat? Eh tapi untuk apa dibahas? Bukankah itu tidak penting?

"Nggak apa-apa. Itu kejadian lama. Tidak usah diingat."

Tidak ada yang tidak apa-apa. Semesta juga pasti tahu, hati manusia kerap kali patah jika apa yang dia harapkan ternyata tak sama dengan kenyataan.

"Tidak. Aku masih penasaran. Lagipula kamu tidak mungkin datang hanya untuk memastikan ku tidak mengingat semuanya kan?"

Itu memang tujuanku. Memastikan dia ingat kejadian 16 tahu lalu di bawah pohon akasia itu atau tidak? Lalu? Apa? Pergi begitu? Setelah dia mengatakan bahwa dia lupa? Apa sesingkat itu? Tapi apa yang mau di perpanjang juga?

"Tidak, aku juga ingin tahu kabarmu? Bagaimana? Gigimu masih hitam?"

Winda sudah menjelaskan kemarin. Jika dia pria tampan dengan senyuman paling indah. Jadi itu sebenarnya pertanyaan percuma.

"Kamu tidak serius kan menanyakan hal itu? Iya kabarku baik. Bahkan sangat baik."

"Syukurlah."

"Hanya itu?"

Memangnya apalagi? Bertanya jika dia bahagia atau tidak karena ayahnya menikah lagi? Hubungan kita tidak sedekat itu untuk membahasnya.

"Aku masih penasaran."

"Tentang apa?"

"Semiskin apa aku sampai merampas ice cream mu dulu?"

Bukan masalah miskin atau kaya kan yang membuatmu menginginkan makanan orang lain? Apalagi diusia sebelia itu, menginginkan makanan teman adalah hal cukup menyenangkan. Apalagi sampai temanmu menangis dan berteriak histeris karena tidak rela. Itu poin pentingnya.

"Tidak usah dipaksakan untuk mengingat. Aku tidak akan meminta harta gono gini karena kita pernah berteman."

Hahaha ...."

Apakah ini bisa dikatakan jika aku berhasil merebut perhatiannya? Ah tapi rasanya tidak segampang itu! Dia hanya tertawa di pesan, semua orang bisa berbohong di media ini. Bisa saja sekarang dia tengah menangis? Seperti yang dulu dilakukan saat menginginkan ice creamku, dan pada akhirnya aku mengalah. Padahal aku adalah anak yang cukup keras kepala kata ibu, tapi jika sudah menghadapi mahluk dengan gigi mirip gigi tikus itu, entah kenapa aku akan menjadi peri kecil yang akan selalu mengabulkan permintaannya? Aneh sih, tapi begitulah.

"Kalau begitu kita temenan?"

"Kan dari dulu?"

"Maksudku sekarang kita ulang kenalannya."

Berarti dulu dia memang tidak mengenalku? Begitu kira-kira.

"Aku Ametha"

"Aku Rasya. Atau mungkin Irasya ketika dulu kamu mengenalku."

Tidak. Namanya Rasya juga dulu. Hanya saja aku memiliki panggilan untuknya. Seperti yang diajarkan sang ibu bertahun-tahun yang lalu. Rongak(Melayu). Anak kecil yang tak memiliki gigi depan. Bukan ompong. Itu berbeda.

"Orang mana?"

Sampai titik ini aku begitu yakin. Jika dia memang benar-benar lupa. Benar-benar tak mengingat apapun tentang diriku. Apalagi tentang kita. Kita? Memang bisa dibilang tentang kita? Bukannya aku saja ya yang selalu membicarakan tentangnya?

"Sealamat dengan almarhumah tante."

"O"

Hanya o?! Tidak ada kata yang bisa dia tulis apa? Selain satu huruf yang selalu berhasil menciptakan kebungkaman pada dunia per chat-an itu?

Lalu aku harus jawab apa? 'P' begitu? Astaga ... kenapa masih di titik awal begini aku malah kebingungan? Ternyata sesulit ini ya mempertahankan obrolan tetap menarik dengan lawan bicara?

"Kelahiran tahun berapa?"

Penting ya menanyakan hal itu? Memang apa hubungannya dengan kita bersahabat dan jumlah umurku? Oh aku tahu, itu dijadikan acuan apakah kita memang seusia atau tidak? Dan kita memang berteman atau tidak dulu. Iya, itu pasti!

"96"

"Sama. Tapi kenapa aku tidak bisa mengingat kamu? Aku punya banyak teman dulu, tapi kamu sama sekali tidak meninggalkan kenangan apa-apa di kepalaku."

Harus ya dibahas? Tidak sebegitu berartinya kah aku, kita di hidupnya? Aku saja menunggu belasan tahun untuk waktu ini, lalu dia apa? Seenaknya bilang aku tak memiliki kesan apa-apa di hidupnya?Eh tapi emang siapa yang nyuruh kamu nunggu Tha?

"Iya. Faham. Kita kan gak kenal."

"Kamu ngambek?"

Hah?

"Enggak! Ngapain?"

"Enggak tau?"

Ikh!

"Boleh minta nomor Wa?"

What? Ngapain nulis gitu sih? Eh mana udah terkirim lagi. Aduh! Muka Metha mau taruh di mana?

"Boleh :)"

Bersambung ....

Jangan lupa di like ya dan coment😁

STK 3

Aku masih berdiri memandangi sebaris nomor telpon yang tercatat di kontak ponsel. Nomor kontak Rasya, yang dia berikan sejak seminggu lalu. Tidak, aku tidak langsung menghubunginya sejak hari itu. Sebab, menurutku untuk apa langsung mengalihkan obrolan ke pesan yang lebih pribadi? Emang mau bahas apa? Mau bahas masalah ice cream rasa vanila lagi? Atau mau bahas dia yang nangis minta dibelikan nasi padang, sementara uang ibu pas-pasan? 

"Hayo ... mikirin apa?" Handa, menatapku dengan curiga. Ibu satu anak ini memang manusia yang selalu penasaran tentang cerita hidupku.

Aku menggeleng. Mematikan ponsel kembali.

"Udah siap presentase hari ini?" Dia mengeluarkan lembaran abstrak dari judul makalah ku. "Nanti tunjuk aku ya buat nanya? Gak akan nanya yang susah-susah kok." Begitulah adat istiadat di kelas kami. Tawar menawar tentang pertanyaan, padahal sih menurutku itu tidak ada gunanya. Ya untuk apa mengajukan pertanyaan yang sudah ketebak jawabannya?

"Oh iya, Tha. Udah tau nggak kalau Rasya pulang?" Iya, Handa juga salah satu orang yang tahu kalau aku mengenal mahluk itu. Tapi dia tidak tahu jika kami saling kenal sejak kecil, hanya tahu kalau orang tua kami bersahabat saja.

Aku mengangguk. Bahkan udah dapet nomor telponnya berkat ketololanku seminggu lalu.

"Kemarin aku ketemu sama dia, sama Winda juga." Handa terlihat antusias. Kini dia telah memasukkan tas ke dalam meja. "Aku pangling lihat dia, Tha. Padahal dulu enggak ganteng gitu lho! Kok sekarang ganteng banget ya?" Ini sebenarnya maksudnya apa sih? Dari minggu lalu orang-orang di sekelilingku hanya membahas tentang ketampanan mahluk itu. Kan bikin tambah penasaran!

"Terus tau nggak?" Tubuhku disenggol pelan. Tatapan Handa berubah dengan bibir yang terangkat sudutnya. 

"Apa?"

"Kalian mirip!" Ya Gusti ... Jika saat ini  sedang minum sudah pasti aku akan tersedak dan kesusahan bernapas. Kenapa semua orang yang telah bertemu dengan mahluk itu menjadi aneh seperti ini si? Kemarin Winda, sekarang Handa. Besok siapa lagi?

"Emmm Da?" Tanganku menoel lengan Handa. Membuyarkan sejenak fantasi tak masuk akalnya. "Lensa kaca mata kamu udah diganti apa belum sih?" Menurutku ini pertanyaan penting yang harus di klarifikasi.

Handa mengangguk. Kemudian melepas kaca mata berbentuk kotaknya. "Kemaren di spesialis. Sejutaan gitu lah," jelasnya dengan wajah cukup serius. "Kenapa? Kamu mau ganti juga? Kaca mata kamu yang sekarang bagus kok."

"Enggak ... cuma mau mastiin aja, kalau penglihatan kamu nggak terganggu akhir-akhir ini." Benar kan? Hanya orang yang terganggu penglihatannya saja, yang akan menyimpulkan dua mahluk asing tak pernah bersinggungan memiliki kemiripan. Aku dan Rasya? Pernah bersinggungan soal apa? Ice cream? 

Handa menautkan kedua alisnya. Dia baru ngeh setelah beberapa menit, dan satu jeweran mendarat di pipiku. "Seriusan, Tha. Mata kalian tu mirip. Mirip banget! Aku sampai pangling!"

"Semua manusia punya mata yang sama. Emang kucing?"

"Dikasih tau!" Iya ... kalau tahu hasilnya malah sekarang bikin dadaku lari-larian tidak jelas begini, ya lebih baik jangan dikasih tahu kan?

Winda berjalan ke arah kami, kemudian meletakkan paket tebal di atas meja dan, ikut duduk. Rusuh banget pokoknya.

"Beneran kan, Win?" Handa rupanya ingin mencari dukungan suara.

"Apa?" Winda mengipas wajahnya yang kemerahan karena panas. Perempuan berkulit putih pucat itu tampak suntuk hari ini. Entah karena tidak bisa tidur siang karena kita kuliah, atau karena tidak mau diantar oleh sang kakak? Yang jelas, hanya dua alasan itu yang akan membuatnya memasang wajah masam ketika ke kampus. Sepengetahuanku ....

"Rasya mirip kan sama Ametha?"

Bibir tipis yang tadi lurus, kini maju entah berapa senti? Tatapan yang tadi menyipit, kini menukik dengan tajam. "Lo buta ya Han? Minus lo udah berapa sih? Belum ganti kaca mata lo? Hah?!" Sudah ku bilang kan Winda sekarang berubah? Sejak kapan dia bisa marah seperti itu? Sejak bertemu Rasya kan? Rusak sudah predikat ibu Kartini yang selama ini disandangnya.

"Masa iya gue salah liat?" Handa menekuk wajahnya. Perempuan beranak satu itu menatap takut pada Winda, yang kini entah wajahnya sudah berubah seperti tokoh antagonis drama apa? Yang jelas nggak enak banget dilihat.

...****...

"Siapa tuh?"

Aku mendongak. Mengalihkan tatapan pada mahluk jangkung yang ikut melihat ke beranda facebookku.

"Bukan siap-siapa," gelengku memasukan ponsel ke dalam tas. Iya, perlu ku ceritakan. Jadi, sejak sejam yang lalu saat di dalam kelas, ponselku tak pernah berhenti bergetar. Sempat berpikir hanya notifikasi tidak penting, tapi ketika ku buka ... kalian mungkin tak akan percaya, begitu juga denganku. Aku tidak percaya sama sekali, terlalu sulit untuk bisa biasa saja melihat pesan masuk itu. Apalagi bunyi pesannya yang berhasil membuatku tak karuan.

Rasya sakit. Dan dia memberitahuku. Apa kalian tahu alasannya? Sebab aku tidak tahu, dan aku tidak ingin menebak-nebak. Sudah ku bilang kan aku benci melakukan hal itu?

"Mau langsung pulang?"

Aku mengangguk. Tak ada tempat yang ingin ku datangi selain tempat tinggal ku. Otakku sedang tidak bisa diajak kerja sama sekarang, entah dengan hatiku? Masih terlalu dini untuk menyingkirkan Ayit yang selalu senang mampir tanpa permisi, dan mengacaukan hidupku ketika dia pergi. 

"Aku anter?" Pertanyaan itu ku jawab gelengan cepat. Memangnya mau ngapain? Yang ada ibu akan menjadikan aku orak arik jika sampai melihat anaknya dibonceng seorang pria.

Mendapat penolakan begitu. Rafi hanya mengangguk lemas. "Duluan ya kalau gitu,"pamitnya meninggalkanku di tengah tangga. Kemudian tiba-tiba disenggol oleh seseorang.

"Mikirin apa? Salah, mikirin siapa?" Winda menggandengku turun. Sebenarnya risih juga melihat sikapnya yang kini telah berubah. Tatapannya sering kali seperti Elang yang melihat mangsa jika bertemu denganku.

"Nggak ada. Nggak mikirin siapa-siapa juga." Kini kita sudah berdiri di parkiran. Bukan karena ingin mencari motor masing-masing. Hanya sedang menunggu teman yang punya motor, biar bisa nebeng.

"Yakin? Emang belum ketemu sama Rasya?" Winda sepertinya senang sekali membicarakan mahluk itu. Seakan tidak ada topik lain selain Irasya wahyu permana. "Lo jangan pernah berniat buat deketin dia ya? Gue mohon .... " Ceritanya sudah mulai membingungkan ya sekarang? Apa aku harus menghilangkan si tokoh utama dari cerita ini agar tidak merepotkan?

Pasalnya, sikap Winda sudah berhasil membuat dadaku seperti tergigit sesuatu. Aneh juga sebenarnya, mengingat aku dan Rasya tidak memiliki hubungan sepesial. Tapi di dalam hati seperti merasakan sesuatu yang ... belum pernah kurasakan sebelumnya. Kayak udah lari-lari masuk ke bandara tapi ternyata pesawatnya delay. Capek iya, lega nggak! Ya pokonya begitulah!

"Gimana mau ngedeketin kalo ketemu aja belom? Lagian kan lo sendiri yang bilang Rasya nggak mungkin suka sama gue." Kami naik ke motor masing-masing. Tepatnya ke motor tebengan masing-masing.

Winda masih menatapku dengan wajah tak bersahabatnya. "Lo punya Ayit kan?" Pertanyaannya tak ku gubris sama sekali. Aneh banget! "Gue doain jodoh, apalagi setelah penantian panjang lo." Ini aku boleh su'uzon tidak si? Kenapa sekarang kisah percintaan ku dengan Ayit dibawa-bawa? Bukannya kemarin dia ya yang ngomel tidak jelas karena aku masih memikirkan pria itu?

Sebegitu khawatirnya ya aku suka sama Rasya?

Bersambung ...

Emang susah ya kalau lawannya sahabat sendiri😕

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!