NovelToon NovelToon

Weapon Holder's The Academy

Naga bercula dan awal keinginan Pemuda

Seratus tahun yang lalu, era Median ada seorang pahlawan yang bertarung dengan monster naga bercula yang diciptakan oleh seorang ahli sihir yang bertujuan untuk menghancurkan seluruh benua Timur Raya. Benua Timur Raya atau disebut benua Mashreg atau Eastinia/Astinia dalam bahasa orang di benua bagian barat. Pahlawan tersebut merupakan keturunan campuran keturunan orang benua barat dan timur. Givari Razemann merupakan sosok yang menyelamatkan benua Mashreg di ambang kehancuran. Di tengah gelombang badai serta guncangan tanah yang semakin kuat, Givari menarik pedang platina dari sarungnya untuk melawan naga bercula tersebut. Ahli sihir yang menciptakan naga bercula tersebut merupakan orang asli benua timur di sebuah kerajaan Kartopania. Ahli sihir tidak senang dengan adanya perdamaian antara benua barat dan benua timur pada saat persetujuan gencatan senjata di era Partia.

Naga bercula mampu menciptakan getaran tanah yang dahsyat serta badai hebat dari auman dan gerakannya. Kemudian naga tersebut mengeluarkan plasma ungu kegelapan berasal dari mulutnya untuk menghancurkan setiap kota dan desa di kerajaan. Kemudian naga tersebut menuju ke arah barat, yaitu desa Minka yang berada di bagian barat laut kerajaan Moghapasia. Kerajaan Moghapasia merupakan kerajaan terbesar yang terbentang dari barat hingga ke timur di wilayah benua Mashreg. Di bagian timur kerajaan terdapat sebuah kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau besar dan banyak pulau kecil. Di benua Mashreg, terdapat pembagian sepuluh wilayah, yaitu lima kerajaan, tiga kenegaraan, dan dua kekaisaran. Saat ini ada beberapa wilayah yang memiliki adidaya yang kuat di benua Mashreg, yaitu kerajaan Moghapasia, kerajaan Ayethifa, kerajaan Khanavan Soma, kekaisaran Daidan, dan Negara Alvazani.

Saat naga ingin terbang menggunakan sayap besarnya menuju ke desa Minka. Tiba-tiba ada serangan mendadak yang berhasil melukai bagian punggung naga tersebut dan kemudian terjatuh. Serangan tersebut di keluarkan oleh Givari dengan menggunakan pedang platinanya. Saat naga terjatuh, kemudian naga tersebut bangkit dan mulai membuka kedua rahangnya, kemudian tercipta molekul-molekul api, angin dan petir membentuk sebuah bola molekul raksasa. Kemudian molekul tersebut dihembuskan oleh naga tersebut dan cula di bagian ujung wajah dekat hidung naga tersebut bersinar. Molekul yang dihembuskan tersebut berubah menjadi ledakan laser yang luruh mengarah ke desa Minka, tidak lama kemudian Givari langsung menuju ke arah serangan tersebut dan menancapkan pedang platinanya ke tanah serta merapal mantra. Tiba-tiba di sekeliling Givari terbentuk aura jingga yang keluar dari tubuhnya. Aura tersebut terbentuk dari teknik keturunan Razemann, teknik tersebut dinamakan Aura Jingga Pelindung Raga.

Ledakan laser tersebut kemudian menabrak aura yang di keluarkan oleh Givari. Terjadi ledakan hebat yang hingga menggetarkan tanah serta menciptakan badai yang besar. Akan tetapi, desa Minka selamat dari ledakan laser tersebut akibat dari aura yang di bentuk oleh Givari. Aura tersebut membentuk seperti perisai yang luas dan lebar, luasnya mampu menutupi seluruh bagian depan gerbang desa Minka. Para warga desa takjub melihat kejadian tersebut dan mulai menyemangati orang yang di sebut pahlawan. Itulah kisah yang di bacakan oleh seorang ibu kepadaku pada saat masih aku masih kecil di dalam kamar sebelum aku mulai  tertidur.

Di pagi yang cerah, pemandangan pegunungan yang indah serta hijaunya dedaunan membuat setiap orang terpana dan merasa nyaman melihatnya. Itulah yang aku lakukan setiap bangun tidur pada pagi hari. Saat ini aku mulai berumur 15 tahun, seperti biasanya kehidupanku selalu dihabiskan dengan membantu ayah berkebun apel. Saat apel mulai siap untuk di panen kemudian apel tersebut dimasukkan ke dalam bakul dan kemudian dibawa ke kota besar pulau Suma, yaitu kota Mandara untuk di jual. Ibuku merupakan seorang pedagang apel, saat matahari mulai meninggi ibuku langsung bergegas ke kota besar atau lebih tepatnya ke pasar untuk membuka toko. Aku adalah Riza Fernisia, merupakan anak pertama dari keluarga petani biasa. Aku memiliki dua adik laki-laki, yaitu Verdy Fernisia dan Alviy Fernisia. Saat aku mulai berumur 15 tahun adik-adikku masih berumur 9 tahun dan 7 tahun. Keluargaku selalu menjadi bahan ejekan dari saudara ayahku dan keluarga ibuku.

Keluarga ayahku, yaitu Fernisia dulunya merupakan keluarga yang cukup dikenal oleh kalangan masyarakat. Karena kakekku, Rom Fernisia merupakan seorang jendral kesatria yang hebat mampu mengalahkan monster dan melawan komplotan teroris yang awalnya terjadi karena adanya konflik dari kerajaan Moghapasia dan kerajaan Kartopania, yang mana kerajaan Kartopania merupakan kerajaan yang menolak hubungan kerja sama antara benua barat atau yang disebut benua Westenia dan benua Mashreg. Kemudian, ayahku yang bernama Rameza Fernisia merupakan seorang prajurit biasa pada saat muda, akan tetapi tiba-tiba ayahku berhenti karena melihat prajurit atau pegawai kerajaan banyak melakukan tindakan korupsi serta berleha-leha dalam tugas prajuritnya. Itulah yang membuat ayahku berhenti, kemudian pada saat itulah keluargaku mulai dikucilkan bahkan ditertawakan karena ayahku dikatakan oleh prajurit tersebut sebagai orang pecundang dan lari dari tugas sebagai prajurit.

Pada saat itu, aku pun mulai bertekad bahwa aku akan menjadi kesatria biasa yang bijaksana akan tetapi tidak terlalu dikenal banyak orang. Pada waktu malam, ketika aku makan malam bersama keluargaku, aku berkata dengan penuh semangat kepada ayah dan ibu serta adik-adikku. Dengan mata berbinar.

"Pa, aku ingin jadi kesatria biasa yang bijaksana, oleh karena itu izinkan aku masuk akademi biar keluarga kita tidak diremehkan lagi !".

Ayahku dan Ibuku pada saat itu tersenyum sedikit sedangkan adik-adikku malah tertawa.

"Kenapa kalian malah tertawa ?, emangnya abang mengatakan sesuatu yang lucu ha !", aku pun sedikit kesal dengan adik-adikku yang tertawa.

"Jangan kesal Riza, adik-adikmu hanya tertawa senang melihat abangnya mau menjadi kesatria, bukan maksud mengejek", itulah yang disampaikan oleh ibuku dengan senyum manisnya.

Kemudian pada saat suasana yang senang, tiba-tiba ayahku berkata kepadaku, "kau yakin ingin masuk ke akademi ?, ketahuilah !, kehidupan seorang kesatria pada saat ini tidak seperti yang kau bayangkan atau seperti dulu. Tekad mereka tidak ada, yang mereka kejar hanyalah uang dan materi bukan ketulusan dan kebaktian seorang kesatria".

Pada saat itu, aku mulai mengerti mengapa ayahku berhenti menjadi prajurit biasa. Kemudian aku pun berkata kepada ayahku dengan mata yang serius.

"Aku yakin, aku ingin mengangkat martabat keluarga kita, aku tidak terima keluarga kita direndahkan atau dihina oleh saudara papaku, keluarga mamaku, dan tetangga sekitar. Oleh karena itu aku akan menjadi kesatria biasa yang bijaksana untuk membungkam omong kosong mereka yang berupa ejekan tersebut".

Pada saat itu ayahku melihat diriku seperti sosok kakekku, Rom Fernisia. Saat melihat sosok tersebut, ayahku berkata, "Baiklah, akan aku ajarkan dan tunjukkan sedikit dari teknik dari kakekmu, yaitu teknik Fernisia. Ini akan membantumu untuk masuk dan belajar di akademi tersebut", apa kau siap Riza ?".

Mataku berbinar. Penuh semangat. Aku dengan tegas mengatakan bahwa aku sia untuk latihan yang diberikan ayahku. Dengan begitu dimulailah kisah ku dan perjuanganku untuk menjadi kesatria yang biasa dan bijaksana. Akan tetapi, aku tidak mengetahui bahwa jalan yang aku tempuh sangatlah sulit dan menguras mental yang berujung pada pahitnya kenyataan. Meskipun begitu, tidak ada kata menyerah saat berjuang. Lebih baik mencoba dan gagal dari pada melihat dan berdiam diri tanpa bertindak apa-apa.

Pagi hari yang cerah. Burung-burung berkicau dan embun pagi yang terasa di setiap permukaan. Aku beranjak dari tempat tidurku dan menghadap ke jendela sembari memandangi matahari yang mulai menampakkan sinarnya. Saat melihat sosok matahari, aku mengepalkan jari-jariku dan mengangkat tangan kananku. Dengan tekad yang kuat, aku bersiap untuk latihan dan menghadapi apa yang dikatakan oleh ayahku. Akan aku buktikan bahwa jalan aku berbeda dengan ayahku. Setelah sarapan, aku berlari cepat menuju tempat latihan di belakang rumah. Dengan segenap hati, aku akan berjuang dengan apa yang aku impikan. Inilah kisahku. Inilah perjuanganku yang baru saja dimulai.

"Teknik Pedang Fernisia dan Pedang Perak Batu Jingga"

Sebelum persiapan untuk pendaftaran akademi, ayahku Rameza Fernisia akan mengajariku beberapa teknik pedang Fernisia yang di pelajarinya. Di waktu pagi, di belakang kebun apel, ayahku mengajakku sambil membawa dua pedang kayu yang cukup tua. Ayahku dulu merupakan seorang prajurit dengan penggunaan senjata, yaitu pedang. Jadi keluarga ayahku atau "Fernisia", terkenal dengan kemampuan berpedangnnya. Saat aku pergi ke belakang kebun apel, aku pun terpesona dengan pemandangan di belakang kebun apel di dekat rumahku. Ada hamparan padang rumput atau sabana yang luas serta pegunungan hijau yang mana tumbuh pohon cemara cheddar. Keindahan tersebut membuat gelora dan semangatku menjadi berpijar, mengingatkan akan keinginanku yaitu menjadi kesatria bijaksana dan melindungi pemandangan ini dari ancaman monster dan teroris. Saat terpana dengan pemandangan dibelakang kebun, tiba-tiba sontak ayahku memanggilku, "Riza !, kita akan berlatih teknik pedang disini !".

Kemudian, aku memperhatikan keadaan di sekitarku, aku melihat dua batang pohon yang cukup besar, cukup tinggi yaitu sekitar 8 meter dan begitu kokoh. Satu pohon tersebut terdapat bekas sayatan yang cukup besar dan dalam seperti sayatan dari pedang besar. Dari yang aku ketahui pohon tersebut bernama pohon Beringin Timur. Pohon yang memiliki umur yang tua dan juga memiliki batang kayu yang begitu kuat. Keras kayu tersebut sama seperti batu alam yang ada di pinggir sungai.

Aku memperhatikan sayatan besar dan begitu dalam dari pohon tersebut, dan berpikir,  "apakah sayatan ini di lakukan oleh papa ?, mustahil sekali !, tebasannya dua kali lebih besar dari paha orang dewasa. Bagaimana mungkin hal ini dilakukan dalam waktu singkat !!".

Kemudian, ayahku memperhatikanku ketika aku memandangi bekas sayatan di pohon tersebut.  Tiba-tiba ayahku berkata, "Itu aku lakukan dalam waktu seminggu. Aku harus berolahraga atau mengingat kembali teknik ini, kebetulan anakku mau mendaftar ke akademi. Setidaknya inilah yang bisa ku ajarkan kepadamu".

Aku menjadi takjub dan kagum dengan ayahku, ternyata kemampuan ayahku bukan kaleng-kaleng walaupun dulunya sebagai prajurit biasa. Ayahku melempar pedang kayu ke arah ku, kemudian dengan sigap aku menangkap pedang tersebut dengan tangan kananku. Ayahku tersenyum kecil dan berkata, " Reflekmu bagus sekali, selain itu kau bisa memegang pedang dengan benar ".

Aku yang sedang menggenggam pedang kayu tersebut merasakan berat dari pedang kayu ini. Kemudian, aku bertanya kepada ayahku, "Papa ?, pedang kayu ini cukup berat, ini terbuat dari apa ?".

Aku sempat berpikir bahwa pedang kayu ini terbuat dari batang pohon cemara dari pegunungan yang terlihat dari hamparan padang rumput yang luas. Benar saja, yang aku pikirkan tentang pedang kayu ini langsung di jawab oleh ayahku dan ternyata benar, pedang kayu terbuat dari batang pohon cemara di pegunungan tersebut.

Tanpa mempersoalkan pedang kayu tersebut, ayahku langsung mundur beberapa meter dari pohon beringin itu dan mengambil sikap seperti siap bertarung, kaki bagian kiri di majukan sedikit dan kaki bagian kanan dimundurkan sedikit sambil merenggangkan lutut dan sedikit membungkuk. Pedang kayu yang di genggam oleh tangan kanan ayahku, perlahan turun hampir menyentuh tanah. Pergelangan tangannya diputar sembilan puluh derajat sambil memejamkan mata dan menarik nafas panjang dan kemudian kedua pergelangan kakinya dan arah lututnya berputar sedikit kearah sisi kanan, tiba-tiba ada sedikit bunyi lesatan angin dan ketika aku melihat ke tempat posisi ayahku berdiri, entah kenapa keberadaan ayahku tidak ada. Ketika penglihatanku mengarah ke batang pohon beringin tersebut, benar saja, ayahku langsung berada di dekat pohon beringin dan mengayunkan pedang kayu secara horizontal ke arah sayatan besar di batang pohon beringin tersebut, tiba-tiba keluar bunyi dentuman atau gesekan yang kuat serta membuat hembusan hingga beberapa meter, mengenai wajahku dan mengangkat rambutku. Pohon beringin tersebut bergetar hebat dan kemudian terjadi bunyi patahan kayu hingga membuat pohon beringin tersebut roboh.

Ketika ayahku menebas pohon beringin tersebut, aku pun tercengang dan tidak bisa berkata-kata, walaupun aku tahu bahwa semua prajurit atau kesatria pasti memiliki kemampuan yang hebat karena itulah syaratnya, akan tetapi yang aku lihat dari ayahku lakukan, aku pun berpikir, "inikah kekuatan prajurit biasa, apalagi kalau kesatria yang memiliki pangkat tinggi, komandan, dan jendral, pasti luar biasa, terlebih lagi ayahku melakukan tanpa menggunakan bantuan energi sihir, aku ingin seperti ayah dan segera mempelajari teknik ini". Saat aku takjub dengan kemampuan ayahku, tiba-tiba ayahku berkata, "Baiklah, yang tadi itu adalah teknik Fernisia tahap awal yaitu, tebasan hantam mendatar, teknik memerlukan energi fisik, mental, serta pernapasan yang teratur".

Aku dengan semangat mendengarkan perkataan ayahku dan kemudian berkata, "Ya aku mengerti pa, baiklah, langsung saja kita coba teknik tahap awal itu".

Aku yang memegang pedang kayu, langsung mundur beberapa langkah dan mengambil sikap seperti yang ayahku lakukan, tiba-tiba ayahku langsung memukul kepalaku dengan pedang kayunya. "Pertama kau harus belajar dulu, untuk menggumpulkan energi dan beradaptasi dengan pedang, yaitu kau harus mengayunkan pedang tersebut secara vertikal dan horizontal secara bersamaan. Hal tersebut dapat memperkuat lenganmu serta dapat mengumpulkan energi. Lagi pula, secara fisik kau sudah terlatih karena kau sering berolahraga dan membantuku dalam berkebun apel, jadi hal ini tidak akan berlalu lama, apa kau paham Riza ?".

Pada saat itu, aku sedikit kecewa, karena aku tidak langsung diajari teknik yang diperlihatkan ayahku. Aku sedikit mengerti mengapa ayahku menyuruh untuk melakukan hal ini. Pada dasarnya pelatihan penggunaan pedang ini akan dilakukan di akademi. Saat masuk ke akademi kita hanya perlu menunjukkan kekuatan fisik dengan uji tes fisik, akan tetapi ayahku mengakui bahwa, secara fisik aku mampu melewati ujian tersebut. Hanya saja ayahku ingin mengenal lebih dalam terkait teknik Fernisia, yaitu teknik dalam penggunaan pedang. Aku juga harus berlatih dalam meningkatkan stamina dan tenaga agar mampu mengimbangi tekniknya.

Aku berlatih mengayunkan pedang secara horizontal dan vertikal secara bersamaan selama dua minggu. Besoknya, ketika aku ingin berlatih kembali, tiba-tiba ayahku memegang pundakku dan berkata, "Sudah cukup untuk latihan mengayunnya, aku ingin menguji kekuatan fisikmu dengan bertarung tanpa senjata".

Setelah ayahku menguji kemampuan bertarungku, entah kenapa ayahku tersenyum tipis  dan wajahnya sedikit berseri, saat itu aku mengganggap bahwa kemampuanku masih pemula dan gerakan dalam bertarung masih terlalu lamban. Tapi, ayahku berkata bahwa kemampuan sudah memenuhi syarat untuk uji tes fisik di akademi. Setelah dua bulan berlatih teknik pedang fernisia dan berlatih fisik bersama ayahku, tiba-tiba ayahku takjub dengan perubahan gaya bertarungku serta teknik pedang yang aku perlihatkan untuk menebas pohon beringin yang ada di belakang kebun apel. Pohon beringin yang ku tebas dengan teknik Fernisia tahap awal, yaitu tebasan hantam mendatar, Seketika terbentuk goresan yang sangat besar dan begitu dalam hampir separuh dari diameter batang pohon beringin. "Kerja bagus, tidak kusangka kau bisa mengeluarkan kemampuanmu dengan sangat baik, bahkan lebih baik dari pada aku", pada saat itu aku pun cukup terkejut dengan perkembanganku sebab aku menebas pohon beringin tersebut hanya menggunakan pedang kayu yang sering kugunakan untuk latihan.

Dengan memperlihatkan hasil latihanku selama dua bulan. Aku kemudian bersiap-siap untuk mendaftar ke akademi yang cukup besar di Kerajaan Moghapasia. Kerajaan Moghapasia terdiri dari beberapa dataran benua dan kepulauan yaitu, pulau Suma, pulau Kura, pulau Utami, dan sebagian wilayah utara pulau Batara. Akademi terdapat di ibukota kerajaan yaitu kota Vinda di Pulau Kura. Saat ini aku tinggal bersama keluargaku di pulau Suma, yaitu di desa Manapa yang berdekatan di kota besar di pulau Suma, Mandara. Aku pergi ke kota Mandara untuk membeli perlengkapan seperti baju, celana, dan aksesoris lain untuk kebutuhan ke akademi. Aku pergi ke toko yang di sarankan oleh ayahku, toko tersebut memiliki pemilik yang cukup akrab dengan ayahku. Saat aku berjalan menuju toko tersebut aku bertemu seorang pemuda laki-laki yang sedang bertengkar dengan pemilik toko pembuatan dan penjualan senjata.

Laki-laki dengan perawakan tinggi. Berambut biru gelap dan sedikit teracak-acak. Berhidung mancung, bermata coklat terang dan sedikit sayu. Menggunakan baju kemeja abu-abu lengan panjang dan celana panjang hitam. Aku menghampiri laki-laki tersebut, "Hei kau tidak apa-apa ?, apa yang sedang terjadi ?".

Tiba-tiba laki-laki tersebut menoleh ke arahku dan berkata, "Aku hanya mencoba menggunakan pedang ini dan membawanya keluar, entah kenapa pemilik toko senjata tiba-tiba meneriaki ku maling dan mengusirku keluar ?".

Aku kemudian bertanya kepada pemilik toko senjata, "Apa benar yang dikatakan pemuda ini ?".

Pemilik toko tersebut langsung menjawab bahwa senjata tersebut hanya boleh digunakan saat ada pembayaran, dari penjelasan pemilik toko bahwa pemuda tersebut tidak memiliki uang. Aku bertanya ke pemuda tersebut, apakah benar apa yang dikatakan oleh pemilik toko. Laki-laki tersebut hanya diam, dan tidak menjawab. Tiba-tiba pergi begitu saja. Dibalik punggungnya aku menatap dengan wajah heran.

Pada waktu sore, aku pulang kerumah karena sudah membeli perlengkapan yang dibutuhkan. Akan tetapi aku teringat kejadian di tempat toko senjata tadi, saat mengingat kejadian tersebut, aku tiba-tiba terkejut dan ingat hal yang paling penting, ternyata benar, yaitu senjata yang akan dibawa nanti untuk ke akademi. Saat aku memikirkan hal itu, aku menyadari kalau aku belum memiliki pedang sungguhan. Setelah beberapa jam aku berpikir di dalam kamar, tiba-tiba ayahku pulang dan langsung memanggil namaku, "Riza !", aku pun bersiap menuju ke ruang tamu, pada saat itu aku terkejut dengan apa yang dibawa oleh ayahku di belakang punggungnya.

"Apakah itu pedang ayah ?".

Ayahku tersenyum dan berkata, "Ya benar, ini pedangmu yang bahan utamanya dari pedang lama kakekmu, batu mineral, dan campuran inti biji besi yang kubeli. Aku harap kau bisa menggunakannya dengan baik dan bijaksana, karena pada dasarnya senjata bukan untuk melukai orang saja akan tetapi melindungi orang dari mara bahaya dan menjadi pembasmi kejahatan".

Kemudian, ayahku memberi pedang tersebut, aku pun membuka pedang dari sarungnya secara perlahan. Ada cahaya putih yang keluar akibat adanya pantulan cahaya, pedang tersebut sedikit melengkung di ujung mata pedangnya. Bentuknya lurus dan sedikit panjang, yaitu hampir sepanjang lenganku. Saat cahayanya mulai hilang, pedang tersebut berwarna perak mengkilat dan ada batu permata jingga di bagian bawah pedang dekat dengan pegangan pedang. Kata ayahku batu permata berwarna jingga tersebut dimasukkan di bagian pedang, karena mataku yang berwarna jingga dan sedikit gelap, entah kenapa ayahku berkata bahwa bentuk dan warna mataku berasal dari ibuku. Saat aku memegang pedang dengan senyum yang lebar, aku pun langsung memberi nama yaitu, "Pedang Perak Batu Jingga".

Akademi peradaban benua Timur Raya

Aku pergi dengan menggunakan kapal untuk menyeberangi pulau Suma ke pulau Kura. Sebelum berangkat, aku mendapat banyak pesan dan nasihat dari ayahku, dan berpesan, "Bahwa apapun yang selalu kau lakukan, kau harus punya tekad yang jelas serta bentuklah ikatan kepada sesama yang sejalan dan bertekad denganmu, jangan lupa kepada Sang Pencipta alam dan dunia ini. Dan satu lagi, kau harus memiliki pengamatan yang jeli terhadap orang-orang yang akan mencelakakanmu, walaupun di saat keadaan sedang damai di benua Mashreg atau Timur Raya, masih ada kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan memanfaatkan hati manusia yang penuh dengan kebencian. Papa pernah bilang ke kamu, saat beranjak umur 13 Tahun, bahwa ada kekuatan besar yang dapat mengancam kemaslahatan manusia dan dunia, yaitu sihir yang berasal dari emosi-emosi manusia penuh kebencian, kejahatan, keserakahan, dan kebejatan. Apabila seseorang menggunakan sihir yang berasal dari emosi negatif tersebut, maka dunia ini akan binasa".

Saat ayahku menjelaskan tentang sihir aku teringat tentang penjelasan ayahku pada saat latihan terkait penggunaan kekuatan, yaitu Power Holder yang terdiri dari Weapon Holder, Physical Power Holder, dan Magic Holder. Physical Power Holder memiliki beberapa tahap. Untuk menggunakan kekuatan tersebut, harus melalui tahap pengendalian aura yang berasal dari dalam tubuh manusia. Aura tercipta dari gabungan tenaga dan konsentrasi dari seseorang. Saat ini aku masih tahap awal dalam mengendalikan aura yang dilatih oleh ayahku.

Magic Holder, merupakan penggunaan kekuatan sihir yang berasal dari emosi manusia. Emosi manusia pada dasarnya ada dua yaitu emosi baik dan emosi buruk. Emosi buruk dapat menciptakan kekuatan sihir yang lebih besar dan kuat akan tetapi berbahaya bagi penggunanya dan manusia. Hal ini yang sering digunakan oleh ahli sihir untuk mencapai ambisinya. Sama seperti penyihir di kerajaan Kartopania yang tidak senang dengan perdamaian benua barat dan benua timur raya yang dulunya sering berperang berabad-abad. Saat itu aku mulai mengerti bahwa yang disampaikan ayahku, apabila emosi jahat manusia terus menumpuk maka terciptalah bencana seperti monster yang pernah diciptakan oleh Ahli Sihir dari kerajaan Kartopania. Saat aku memikirkan hal-hal yang disampaikan oleh ayahku, aku lupa pada saat ini aku akan berpamitan kepada ibuku, ayahku, Verdiy dan Alviy. Saat bersalaman dan berpamitan kepada kedua orang tuaku, adik-adikku dengan penuh semangat bersorak-sorai ke padaku, "Jadilah kesatria, walau biasa namun bijaksana !!". Aku dengan tekad membara dan hati yang teguh, berangkat melangkahkan kakiku menuju tangga kapal.

Pelayaran kapal dari pulau Suma ke pulau Kura berjalan selama 3 hari apabila cuaca bagus, namun apabila cuaca buruk seperti badai, maka pelayaran dilakukan selama 4-5 hari. Aku yang berada di dalam kapal melihat adik-adikku dan ibuku melambaikan tangan kepadaku, sedangkan ayahku hanya tersenyum kecil dan menatapku dengan tatapan mata yang kuat. Bunyi suara serine kapal telah berbunyi, saat aku melihat keluargaku, perlahan demi perlahan jaraknya mulai jauh dan terus menjauh hingga menjadi bentuk yang tidak jelas, di saat yang sama aku bisa melihat pelabuhan dan kota Mandara dengan jelas serta pegunungan yang indah. Ini pertama kalinya aku berlayar, karena seumur hidupku aku belum pernah keluar pulau suma atau ke bagian kerajaan Moghapasia di benua besar. Sebenarnya ibukota kerajaan Moghapasia berada di bagian benua besar, yaitu wilayah yang berbatasan dengan kerajaan Kartopania, ibukota tersebut bernama Arira. Saat terjadi serangan teroris yang berasal dari kerajaan Kartopania, ibukota dipindahkan ke pulau Kura, alasannya karena di pulau Kura terdapat sebuat akademi yang sangat tua dan mempengaruhi benua Timur Raya atau Mashreg.

Akademi dengan mempelajari teknik senjata dan memahami senjata didirikan pada saat Givari Razemann berhasil mengalahkan naga bercula di wilayah kerajaan Moghapasia, sebelumnya akademi tersebut hanya untuk belajar biasa dan berbagi informasi terkait dengan ilmu dan ensiklopedia dunia. Aku mengetahui semua itu karena ayahku saat dia berhenti jadi prajurit di kerajaan Moghapasia, ayahku sering membeli buku-buku di pasar loak. Buku-buku tersebut merupakan kisah-kisah para pahlawan terdahulu serta kisah masing-masing yang terjadi di setiap kerajaan, kekaisaran dan negara di benua Timur Raya. Bukan itu saja, ayahku juga membeli buku terkait kisah-kisah yang terjadi di benua barat, sehingga pada saat itu, bukan berkebun saja akan tetapi ayahku juga sering membaca buku ketika sedang penat atau istirahat. Saat itu, di rumahku terdapat banyak cukup buku yang dibeli oleh ayahku. Oleh karena itu, aku pun penasaran dan tertarik sama buku-buku yang dibeli oleh ayahku. Entah kenapa, ayahku tidak memarahiku saat aku pernah membaca buku terkait ensiklopedia dunia, justru kerena itu aku disuruh ayahku untuk belajar secara otodidak agar menjadi manusia yang cerdas jika seandainya aku tidak bersekolah pada waktunya. Tetapi, aku bersyukur karena aku bisa mencoba mendaftar ke akademi.

Penjelasan terkait akademi yang didirikan di pulau Kura, dari buku ensiklopedia yang ku baca, akademi tersebut didirikan oleh keluarga Razemann yang berasal dari negara Azniv. Menurut sejarah dari buku ensiklopedia sejarah yang ku baca, nenek moyang keluarga Razemann merupakan campuran dari orang benua barat dan benua timur. Mereka terus berpindah-pindah hingga berada di negara Azniv. Karena di negara Azniv terjadi politik yang tidak aman, mereka terus berpindah ke negara Zessikry, kerajaan Khanavan Soma, kerajaan Ghulfa, kerajaan Ayethifa, dan terakhir mereka tiba di wilayah kerajaan Moghapasia. Sebelum bencana dari naga bercula terjadi, sebagian keluarga Razemann melarikan diri ke pulau Kura karena mendapat ancaman dari kerajaan Kartopania. Kerajaan Kartopania menganggap kerajaan Moghapasia berkhianat karena menerima "orang luar" yang tali darahnya berasal dari benua barat. Orang Razemann mendirikan akademi tersebut bertujuan untuk memberikan informasi serta wawasan kepada penduduk asli di pulau Kura agar tidak terjadi kesalahpahaman, seperti di kerajaan Kartopania. Pasca terjadi bencana besar di benua Timur Raya, akademi tersebut menambah visi mereka yang disetujui oleh Raja Moghapasia, yaitu pelajaran terkait menjadi kesatria yang berani dan penggunaan senjata yang baik agar mereka mampu menghadapi bencana kejahatan, monster, dan teroris.

Setelah 3 hari lamanya, aku pun mulai melihat pelabuhan yang terdapat di pulau Kura. Kapal sampai pada jam 10.00 pagi. Aku pun beruntung karena pada saat kapal berlayar, cuaca selama perjalanan sangat bagus dan cerah, walaupun sempat terjadi hujan deras pada waktu malam tetapi tidak menimbulkan badai. Pada saat kapal mulai mendekati pelabuhan dan berhenti di dermaga, para penumpang di persilahkan turun oleh petugas kapal dan nakhoda kapal. Aku pun turun dari tangga, dan menapaki tanah di pulau dan ibukota kerajaan, yaitu kota Vinda. Aku melihat bangunan yang cukup unik karena, kota ini didirikan orang Razemann dan keluarga kerajaan. Saat ini, keturunan Razemann menjadi kalangan bangsawan karena banyak dari keturunannya memberi kontribusi pada kerajaan salah satunya Givari Razemann, yang merupakan pahlawan yang terkenal di dunia dari timur ke barat. Aku mencari tempat sewa kamar murah di sekitar kota Vinda, tapi dari yang aku lihat, banyak sekali bangunan mewah dan elit dari kota ini, sehingga aku menyimpulkan bahwa sewa kamar disini mahal sekali.

Saat masih dalam perjalanan mencari tempat sewa kamar, aku mendengar suara panggilan dari seseorang. Saat berbalik ke belakang, aku melihat seorang pemuda laki-laki dengan rambut pirang keemasan dan mata coklat hazel menyahutku.

"Hei kamu, apakah kamu sedang mencari tempat sewa kamar ?".

Aku pun bergegas menuju ke tempat pemuda tersebut sambil berkata, "iya benar, aku sedang mencari tempat sewa kamar, kalau bisa yang sedikit murah".

Kemudian, pemuda tersebut menepuk bahuku dengan kedua tangannya dengan senyum ceria, "Kalau begitu, pas sekali, ini merupakan sewa kamar yang cukup murah dan tempat asrama".

Saat pemuda ini menyebutkan kata "asrama", aku pun langsung semangat dengan mata berbinar, "Benarkah, ini asrama, apa jangan-jangan ini asrama akademi yang terkenal itu ?? ".

Pemuda tersebut mengiyakan perkataanku, kemudian aku setuju dan menyewa tempat tersebut. Aku bersyukur karena ada seorang pemuda yang mau membantuku. Sebelumnya, aku terus berjalan melihat-lihat kota dan mencari tempat sewa kamar hingga menjelang sore.

Saat membicarakan akademi, akademi tersebut bernama Akademi Kesatria Moghapasia. Terdengar cukup panjang tetapi memiliki sejarah yang panjang juga, itulah informasi dari aku dapatkan dari seorang pemuda berambut pirang ini. Saat aku melihat pemuda tersebut, aku yakin bahwa dia seusia denganku. Saat aku sudah membereskan perlengkapan dan tas, aku di panggil oleh pemuda tersebut. Setelah berbicara panjang tentang akademi, akhirnya aku mengetahui namanya, pada saat itu aku sedikit terkejut bahwa keluarganya pemilik asrama dan tempat sewa kamar ini. Tapi yang membuat aku paling terkejut adalah nama belakangnya, pemuda tersebut bernama Gheovani Alfiza Razemann.

Gheovani merupakan keturunan dari sang pahlawan, Givari Razemann. Saat berbicara tentang akademi, aku menyadari bahwa jarak akademi dan asrama cukup jauh, karena saat berada di asrama aku belum melihat gapura akademi. Aku bertanya kepada Gheovani tentang lokasi akademi tersebut, ternyata akademi berada di wilayah barat kota Vinda atau sekitar 5 kilometer dari asrama. Aku semakin tidak sabar untuk melihat bangunan akademi, menurut Gheovani, Akademi Kesatria Moghapasia memiliki fasilitas yang sangat lengkap dan memiliki bangunan yang cukup bagus dan indah. Saat aku ingin pergi keluar, langkahku dihentikan oleh Gheovani, dia berkata bahwa lebih baik beristirahat untuk mengumpulkan tenaga karena saat pendaftaran para calon langsung diuji tes fisik. Aku menuruti perkataan Gheovani dan langsung beristirahat. Saat menuju ke kamar, aku pun berkata, "Lihatlah kalian, mereka yang sering merendahkan keluargaku, mulai besok akan kutunjukkan kegigihanku dan meperlihatkan bagaimana menjadi seorang kesatria sesungguhnya".

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!