“Apa, Ma? Mama nggak bisa ambil keputusan sendiri gitu dong tentang kehidupan pribadi Bara!” seru Hambara pada mamanya.
“Justru itu Mama mengajak kamu diskusi, Bara,” ucap Bu Desi, Mama dari Hambara dengan lembut.
“Diskusi? Mama bilang ini diskusi? Sedangkan Mama sendiri nggak mau mempertimbangkan pendapat Bara,” ucap Bara yang semakin tersulut emosi.
Bara terus berdebat dengan sang Mama untuk mempertahankan opininya, sedangkan sang Mama juga kekeh menjelaskan hubungan masa lampaunya dengan orang tua Syara, terlebih ibu Syara yang merupakan teman baiknya. Mama Bara merasa harus membalas hutang budi keluarga Syara yang sering membantu ia dan suaminya saat merintis bisnis dahulu kala. Mama Bara juga menceritakan kehidupan Syara semenjak ayah dan ibunya meninggal. Dia hanya mengandalkan uang dari sisa tabungan orang tuanya juga bisnis kecil yang Syara bangun.
“Kalau Mama mau bantu dia, Mama bisa kasih uang bulanan aja kan? Atau kalau Mama mau, Bara bisa bantu bisnisnya, Bara bisa kasih dia modal dan kirim orang untuk membimbing bisnisnya agar berkembang. Tapi tidak dengan menikahkan Bara dengan dia, Ma!” protes Bara.
“Nggak bisa gitu, Bara! Ini tidak sesederhana yang kamu pikirkan,” ucap Bu Desi lembut.
“Ma, Bara itu CEO, Mama tahu kan teman-teman perempuan Bara seperti apa aja. Ada Selena, dia dokter gigi. Dan juga Raya, banker,” ucap Bara yang masih tak terima dijodohkan dengan Syara.
Bu Desi yang tengah kewalahan membujuk Bara yang berwatak keras, terpaksa harus mengatakan tujuan mengapa ia menginginkan Bara menikahi Syara.
Terlihat Bu Desi membisikan sesuatu kepada Bara dengan sangat lama.
“Bara harus bantu Mama, ya, demi Papa,” ucap Bu Desi.
Dengan muka datar, Bara mengangguk.
“Jadi kamu mau menerima Syara sebagai istri kamu? Besok Mama akan bawa Syara ke rumah. Syara juga sudah Mama ajak bicara tentang pernikahan ini. Lebih cepat lebih baik, Bar. Minggu depan kalian sudah harus menikah,” pinta Bu Desi.
Bara mengangguk.
Bu Desi memeluk Bara dengan haru.
###
“Yuk, sini masuk jangan malu-malu. Anggap saja rumah kamu sendiri. Anggap Mama sebagai Mamanya Syara juga ya. Dulu ibu kamu teman baik Mama. Ayah dan ibu kamu banyak membantu keluarga Mama. Sekarang biar Mama yang jadi ibu kedua untuk Syara,” ucap Bu Desi ramah pada seorang perempuan.
“Apa nggak papa, Tante, saya tinggal di sini?” tanya Syara lirih.
Bu Desi terus membujuk Syara agar mau menikah dengan Bara. Bu Desi juga menceritakan hubungan baiknya dengan orang tua Syara semasa hidup. Bu Desi mengatakan bahwa ini adalah pesan almarhumah ibunya untuk menikahkan Syara dengan Bara, anaknya.
“Syara juga masih bisa melanjutkan usaha Syara di sini, nanti kita cari penjahit atau konveksi sama-sama ya, Nak,” ucap Bu Desi lembut.
“Terima kasih ya, Ma, Mama sudah baik banget sama Syara. Tapi apa nggak terlalu cepat kalau harus menikahkan Syara sama Bara, Ma? Apa Bara bisa menerima Syara? Syara kan juga belum mengenal Bara,” ucap Syara sopan.
“Syara sayang, tujuan Mama bawa Syara ke sini kan biar kalian saling mengenal. Bara sudah setuju kok dengan pernikahan ini. Nanti kalian bisa ngobrol selesai Bara pulang kantor ya. Sekarang Syara istirahat dulu, kamar Syara ada di atas, samping kamar Bara, yang itu,” tunjuk Bu Desi ke atas.
“Yaudah, Ma, aku ke kamar dulu ya,” pamit Syara meniggalkan Bu Desi.
“Selamat datang, Syara, terima kasih sudah membantu Mama,” ucap Bu Desi dalam hati seraya tersenyum lebar.
###
Bara sampai di rumahnya sepulang dari kantor.
“Bara, sini, Nak,” perintah Bu Desi.
Bara yang sedari tadi memandangi Syara dengan sinis, berjalan menghampiri Mamanya. Mama Bara memperkenalkan satu sama lain. Bara hanya diam dan terus menatap Syara.
“Mama kasih kalian waktu untuk mengobrol ya,” pinta Bu Desi seraya meninggalkan Syara dan Bara yang sedang berada di ruang tamu.
“Memang bisa menikah tanpa cinta?” tanya Bara jutek.
“Bisa kalau mau belajar saling menerima,” jawab Syara lembut.
“Tapi aku nggak bisa. Siap menerima aku yang nggak akan pernah cinta sama kamu?” tanya Bara.
“Kita coba ya, Bar. Aku harap kamu mau belajar menerima aku juga,” jawab Syara penuh harap.
“Oke kalau kamu meminta aku untuk mencoba pernikahan ini. Kalau gak kuat, kamu boleh pergi,” tantang Bara.
Syara hanya menunduk dan mengangguk.
“Jujur, kamu dan keluargamu sudah merusak masa depanku. Harusnya aku bisa bahagia bersama perempuan yang aku suka. Apa karena demi bisa menumpang hidup di sini jadi rela mengorbankan pernikahan?” tanya Bara menguji kesabaran Syara.
“Nggak sama sekali. Kamu jangan salah menilai aku. Aku memang bukan berasal dari keluarga kaya seperti kamu. Tapi aku nggak gila harta seperti yang kamu pikir,” pungkas Syara meyakinkan.
Syara pun menjelaskan bahwa ketika ia dijemput oleh Mama Bara, ia sempat menolak dan ingin tetap tinggal di kampungnya. Namun Mama Bara terus membujuk Syara dengan alasan yang tak mungkin ditolak olehnya. Demi orang tuanya, juga demi Mama Bara yang sudah baik padanya, Syara mau menerima pernikahan ini.
“Kalau kamu menolak, aku juga nggak apa-apa. Aku cuma ikutin Mama kamu,” imbuh Syara lagi.
Bara terdiam memikirkan lagi permintaan sang Mama untuk menikahi Syara. Sedangkan dalam batinnya bergejolak tak ingin melakukan ini. Amarahnya meluap karena akan menjalani kehidupan yang tak akan bahagia bersama perempuan di sampingnya itu. Bara meninggalkan Syara yang juga terdiam terpaku.
Tak terasa, air mata Syara terjatuh membasahi sebagian wajah manisnya. Seolah dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak bisa dianggap remeh. Syara harus tepat dalam mengambil keputusan.
“Syara nggak tau harus apa, Ayah, Ibu, Syara rindu,” ucap Syara dalam tangisnya yang semakin pecah
###
“Saya terima nikah dan kawinnya Asyara Putri Binti Hasan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar 50 juta rupiah dibayar tunai!” ucap Bara tegas dan jelas.
“Sah, sahhh. Alhamdulillah,”ucap para tamu undangan yang datang ke rumah Bara.
Bu Desi tersenyum lebar dan meneteskan air matanya.
“Mirna, cerita dimulai,” gumam Bu Desi tersenyum dalam hati.
Setelah prosesi akad nikah, para tamu undangan dipersilakan untuk menyantap hidangan yang sudah disediakan dan mereka pun berbincang-bincang satu sama lain. Terlihat Bu Desi berbincang-bincang dengan beberapa tetangga yang hadir. Di sudut lain, Bara tengah mengobrol dengan Haris, sahabatnya.
“Selamat ya bro, sudah jadi suami sekarang. Kamu punya tanggung jawab besar,” ucap Haris sembari menepuk pundak Bara.
“Basi!” ucap Bara jutek.
Haris hanya tertawa.
“Nanti malam langsung gas gak bro?” canda Haris.
“Najis. Gak akan aku sentuh perempuan itu, catat baik-baik!” jawab Bara kesal.
“Laki-laki kalau sekamar sama perempuan masa iya gak nafsu. Lagian cakep juga kok istrimu,” ucap Haris semakin menggoda Bara.
“Itu kamu. Nafsu sama semua cewek. Aku mah gak bisa nafsu sama yang gak aku suka. Andai dia Selena atau Raya, udah abis dia sama aku nanti malam,” tegas Bara.
Selama kurang lebih 2,5 jam acara berjalan lancar, para tamu undangan yang datang satu per satu mulai meninggalkan rumah Bara.
###
Syara yang sudah berada di kamar Bara, mulai membersihkan riasan di wajahnya. Tak lama, Bara masuk ke dalam kamarnya dan menghampiri Syara.
“Kamu tidur di bawah!” tegas Bara dengan menggelar karpet untuk tempat tidur Syara.
Syara terkejut dengan ucapan Bara.
“Memang gak mau 1 kasur sama aku?” tanya Syara lembut.
“Waktu itu aku sudah pernah bilang kan, pernikahan ini bukan yang aku inginkan,” jawab Bara mengulangi perkatannya.
Syara terdiam karena hatinya terguncang mendapati peristiwa naas pada malam pertamanya.
“Masih baik kan aku, ini karpet tebal dan lembut, dari Turki,” ucap Bara dengan menepuk-nepuk karpet yang ia gelar.
“Terima kasih,” jawab Syara singkat.
Semalaman, Syara terpaksa tidur di bawah. Dia menahan tangis meratapi nasibnya. Pernikahan yang seharusnya membawa kebahagiaan, harus berawal dari sesuatu yang mengenaskan.
...****************...
Bara dan Syara bersiap akan menginap di Villa milik Papa Bara untuk bulan madu atas permintaan Mama Bara. Mereka mulai berpamitan karena harus segera berangkat pagi ini. Rencananya mereka akan menginap 3 hari di sana.
“Ma, kita pergi dulu ya,” pamit Bara.
“Hati-hati ya, selama bersenang-senang,” ucap Bu Desi.
Syara dan Bara mencium tangan Bu Desi dan masuk ke dalam mobil Bara. Selama perjalanan, Bara yang memegang kemudi, tak sepatah kata pun dikeluarkannya. Bahkan ketika Syara mengajaknya bicara, Bara hanya diam tak mau menanggapi. Syara kembali ikut terdiam.
Hingga sekitar 2 jam perjalanan, mereka sampai di Villa dan membawa barang-barang mereka masuk ke dalam Villa. Kemudian, Bara meninggalkan Syara sendiri di dalam Villa. Syara melihat Bara berjalan di sekeliling Villa sembari memainkan ponselnya dan sesekali terlihat seperti menelepon seseorang.
Syara tampak menenangkan dirinya untuk beradaptasi dengan perlakuan Bara.
Bara yang tengah berada di kejauhan, mencoba menghubungi seseorang.
“Hai, Raya, sudah sampai mana?” tanya Bara di telepon.
“Ini udah dekat kok, 15 menit lagi sampai. Ini aku berangkat sama Selena,” jawab Raya, teman Bara.
“Oke, aku tunggu ya,” ucap Bara.
Tak lama, mobil Haris tampak berhenti di belakang mobil Bara.
“Woi, bro!” teriak Haris memanggil Bara.
Bara mengampiri Haris, dan Syara yang mendengar teriakan Haris pun ikut keluar dari Villa.
“Eh, hai Syara,” sapa Haris.
Syara tersenyum mengangguk.
“Raya dan Selena sudah mau sampai katanya,” ucap Haris.
“Iya barusan aku telepon udah deket,” jawab Bara.
Syara terkejut mendengar pembicaraan Bara dan Haris. Dia tak habis pikir mengapa Bara malah mengajak teman-temannya ke sini. Tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu dengannya.
Tak lama, mobil Raya datang. Raya yang datang bersama Selena turun dari mobil dan menghampiri Bara dan Haris yang sedang berdiri di depan Villa.
“Gila kamu ya, dadakan banget, untung cutiku diterima,” ucap Raya.
“Iya nih, untung aku memang udah ada rencana libur 2 hari ini,” sahut Selena.
“Ya udah yuk, masuk,” ajak Bara.
Syara yang sedari tadi berdiri di depan pintu hanya memandang tingkah Bara yang begitu di luar dugaannya.
“Kenalin, ini istri Bara yang aku ceritakan waktu itu,” ujar Haris memperkenalkan Syara pada Raya dan Selena.
Mereka pun saling bersalaman dan masuk ke dalam Villa.
###
Di pinggir kolam renang, terlihat Bara dan ketiga temannya sedang berbincang sembari memakan makanan ringan yang dibawa oleh Selena.
“Oh jadi gitu ceritanya. Tapi siapa tahu pilihan Mama kamu itu yang terbaik,” ucap Selena tenang.
“Ya tapi sebagai wanita nggak bisa asal terima gitu aja dong, kalau memang gak cinta ya nolak, itu baru wanita bernilai,” sanggah Raya.
“Aku gak komen deh, mau santai aja di sini,” sahut Haris.
“Udah deh intinya kalian temani aku di sini biar gak bosan sama perempuan itu,” pinta Bara.
Mereka berempat tertawa bercanda tanpa Syara.
Malam hari, saat semua orang sedang sibuk di kamarnya masing-masing, Syara melihat Bara sedang berbincang dengan Raya di balkon Villa. Hanya mereka berdua, tak ada Selena dan Haris. Namun, Syara tak bisa mendengar pembicaraan mereka, hanya mampu mengintip dari jendela kamarnya apa yang mereka lakukan.
“Bar, sebenernya aku kecewa sama pernikahan kamu,” ucap Raya.
“Maksudnya?” tanya Bara ingin tahu.
“Bar, aku suka sama kamu, aku pikir kita bisa dekat, eh sekarang kamu malah menikah sama orang lain,” jawab Raya penuh kecewa.
“Jadi kamu juga suka sama aku, sejak kapan?” tanya Bara ingin mengorek lebih dalam.
“Semenjak kita berempat dulu liburan di Bali, nggak tau kenapa aku tiba-tiba suka aja sama kamu,” jawab Raya.
“Sekarang masih suka?” tanya Bara lembut.
“Ya, masih sih tapi kan kamu udah nikah. Gak mungkin aku jadi pelakor. Gak level banget,” ucap Raya pesimis.
“Aku juga suka sama kamu kok, Ray. Aku juga kagum sama kamu, nggak tau kenapa aku suka aja sama wanita karir kayak kamu,” ucap Bara penuh kelembutan.
“Terus istri kamu mau dikemanakan?” tanya Raya yang tak habis pikir dengan ucapan Bara.
“Dia gak akan berani protes, tenang aja. Dia gak akan tau juga aku di luar ngapain aja, sama siapa aja. Aku pasti malas banget di rumah liat dia terus. Siapa tahu kalau dia liat aku sama kamu terus, dia akan minta pisah secepatnya. Aku menyetujui pernikahan ini demi mama, bukan karena aku mau sama perempuan itu,” ungkap Bara sembari mengelus pipi Raya mesra.
Syara terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya. Namun dia berusaha menetralkan perasaannya. Walaupun Syara belum begitu mencintai Bara, namun hatinya tetap bisa merasakan sakit. Syara yang menunggu Bara akan masuk ke kamarnya, tak kunjung datang juga. Dia pun berusaha tak memikirkannya lalu memilih untuk tidur.
###
Pagi hari, Syara yang telah lebih dulu bangun dan selesai mandi, berjalan-jalan di sekeliling Villa untuk menikmati kesegaran dan kesejukan udara pagi hari. Dan tak sengaja, dia bertemu Haris.
“Hai, Ra,” sapa Haris.
Syara tersenyum dan mengangguk.
“Har, sarapan yuk,” teriak Selena dari dalam villa.
“Yuk, Ra,” ajak Haris masuk ke dalam villa.
Di meja makan, telah siap makanan yang dihidangkan oleh penjaga villa milik Papa Bara. Terlihat Bara, Selena, dan Raya sudah siap di kursi masing-masing. Namun hanya ada 4 kursi di sana. Haris mengalah dan mempersilakan Syara duduk, namun Bara tak mengizinkannya. Bara meminta Syara untuk makan di dapur karena ia yang mengundang teman-temannya mengunjungi villa.
“Gak papa kok, Bar, aku bisa nanti aja makannya,” ucap Haris yang tak setuju dengan tindakan Bara.
“Gak bro, kamu di sini. Lagian Syara juga udah makan di dapur,” ucap Bara tanpa rasa bersalah.
“Selesai sarapan kita berenang yuk, tadinya aku mau berenang dulu tapi karena udah laper banget jadi makan aja dulu,” ajak Raya.
Bara dan Selena mengangguk.
Beberapa menit kemudian mereka bersiap untuk berenang.
Syara yang juga telah selesai makan hanya mampu melihat keseruan mereka dari balik jendela. Sesungguhnya Syara tak bisa melihat pemandangan ini. Pemandangan dimana suaminya berenang dengan wanita-wanita lain yang berpakain sangat terbuka. Namun dia hanya ingin diam entah mengapa rasanya tak ingin sama sekali mempermasalahkan sikap Bara. Menurutnya, Bara memang belum bisa menerima pernikahan ini.
“Lakukan apa pun yang membuat kamu senang, Bara. Aku yakin suatu saat aku yang akan memenangkan hati kamu,” guman Syara dengan yakin.
“Ra, gak ikut?” tanya Haris yang tiba-tiba muncul di bekakang Syara yang sedang berdiri mematung melihat keseruan Bara dan teman-temannya.
“Nggak, kamu nggak ikut?” Syara berbalik bertanya.
“Lagi gak pengen nyebur,” ucap Haris tersenyum.
“Ra, maaf ya yang tadi,” imbuh Haris lagi.
“Gak papa kok, memang kamu 'kan juga tamu di sini,” jawab Syara lembut.
“Sabar ya, Ra, sama sikap Bara. Suatu saat dia pasti akan luluh sama kamu. Kamu baik dan kalem banget jadi cewek. Mungkin saat ini dia lagi proses menerima kamu,” ucap Harsis menenangkan Syara.
Syara tersenyum mengangguk.
###
“Loh, kok udah pulang?” tanya Bu Desi saat mengetahui Bara dan Syara telah sampai di rumah kembali.
“Bara banyak kerjaan, Ma. Nggak bisa ambil cuti lama-lama,” jawab Bara datar sembari berjalan menaiki tangga menuju kamar mereka diikuti oleh Syara.
Di kamar, Bara terdengar sedang menelepon Raya.
“Iya aku udah sampai juga, kamu istirahat dulu gih, jangan langsung kerja,” ucap Bara.
“Oke, bye,” lanjutnya mengakhiri teleponnya.
Syara terdiam seolah sedang melatih dirinya untuk kebal dengan sikap Bara.
“Hari ini langsung ngantor, Bar?” tanya Syara membuka obrolan.
Bara tak menjawab pertanyaan Syara, hanya memandang sinis.
“Kamu mau pakai baju yang mana biar aku siapkan,” tawar Syara.
“Gak usah,” jawab Bara ketus.
...****************...
Syara yang sudah menyiapkan sarapan untuk Bara, lagi lagi harus menerima penolakan dari Bara. Tak hanya menolak, Bara juga membentak Syara seperti biasanya. Syara terdiam memupuk kesabarannya, lalu mengikuti Bara keluar kamar dan menuruni tangga.
“Bara, Syara sudah buatkan sarapan kamu nih, makan yuk,” pinta Bu Desi.
“Gak, Ma. Bara buru-buru,” ucap Bara pamit pada Mamanya.
“Mau dibekalin aja, Bar?” tawar Syara.
“Kalau aku bilang nggak sarapan ya nggak! Pagi-pagi jangan bikin emosi dong!” bentak Bara seraya pergi meninggalkan rumah.
“Gak papa, kita makan aja yuk,” ucap Bu Desi menenangkan Syara.
“Sabar, ya, menghadapi Bara memang harus sabar.” Bu Desi terus menasehati dan menenangkan menantunya itu.
Syara mengunyah makanannya dan mengangguk.
###
“Udah makan?” tanya Syara pada Bara sepulang kantornya.
“Udah,” jawab Bara singkat seperti biasa.
“Bara, mau nggak kamu meluangkan waktu untuk ngobrol sama aku, sebentar aja?” tanya Syara dengan hati-hati.
“Tau gak aku baru pulang kerja? Aku capek! Kamu 'kan gak pernah merasakan capek abis pulang kerja, jadi jangan egois!” Lagi-lagi Bara membentak Syara.
“Aku cuma tanya baik-baik, kalau gak mau, bisa jawab baik-baik juga kan. Aku tau kamu belum bisa menerima aku, tapi kalau kamu nggak coba mana bisa?” protes Syara dengan santun dan nada pelan.
“Bisa diam gak? Dengar ya, aku gak akan pernah mau menerima kamu! Gak perlu mencoba dan berharap apa pun dalam pernikahan ini!” ucap Bara dengan nada tinggi.
“Satu lagi, gak usah sok baik sama aku, aku gak butuh! Dari awal aku gak pernah setuju dengan pernikahan ini jadi gak usah anggap aku suami kamu!” tegasnya lagi.
“Kenapa kamu nggak suka sama aku?” tanya Syara dengan berani namun tetap dengan nada lirih.
“Masih tanya kenapa? Kamu itu kampungan dan nggak berkelas! Liat 'kan temen-temen aku kemarin, liat bedanya sama kamu apa. Liat Selena dan Raya! Mereka jauh di atas kamu!” Bara terus memaki dan memandangi Syara dari atas sampai bawah.
Syara hanya mampu diam dan memandangi Bara yang berlalu ke kamar mandi. Tak sengaja Syara melihat sekilas notifikasi di hp Bara.
Raya : “Thank you for dinner.”
Syara yang mengira dirinya belum begitu mencintai Bara, ingin sedikit lebih cuek menghadapi sikap Bara sembari menikmati perjalanan pernikahan ini. Namun kenyataannya, semakin Bara menyakitinya, semakin Syara merasakan benih-benih cintanya pada Bara.
“Bara, kamu abis pergi makan malam sama Raya?” tanya Syara memberanikan diri.
“Bukan urusan kamu! Jangan lancang buka hpku!” bentak Bara sembari mengecek ponselnya.
“Aku gak sengaja liat notifikasinya, nggak menyentuh hp kamu sama sekali,” jawab Syara jujur.
###
“Kok pagi banget, Bar berangkatnya?” tanya Syara pada Bara yang tak biasanya berangkat sepagi ini.
“Bukan urusan kamu!” jawab Bara ketus.
“Aku bawain bekal ya,” tawar Syara.
“Sekali lagi aku bilang gak usah ikut campur sama hidupku! Aku mau makan atau nggak, itu bukan urusanmu!” tutur Bara dengan nada tinggi.
“Mau gimanapun sikap kamu, aku adalah istri sah kamu! Aku berkewajiban untuk menyiapkan semua kebutuhanmu dan taat sama kamu, Bara,” tegas Syara.
“Terserah! Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah anggap kamu ada! Jadi berhenti kamu mencari perhatianku!” seru Bara seraya mengambil ponsel dan tasnya.
“Iya, aku jemput sekarang,” ucap Bara di telepon.
“Kamu mau jemput Raya, Bar?” tanya Syara memastikan yang ia dengar.
“Kamu budek atau tuli sih? Aku bilang gak usah ikut campur urusanku! Urus aja penampilanmu yang kampungan itu! Jangan pakai baju murah! Minimal pakai parfum dan rawat badanmu biar bagus! Satu lagi, jangan pernah anggap aku suami kamu! Numpang hidup aja gak usah bikin ribet hidup orang!” bentak Bara meninggalkan Syara di kamar.
Deg.
Jantung Syara seakan berdegup kencang mendengar kata-kata kasar Bara. Anehnya, semakin hari semakin terasa sakit hatinya, namun justru Syara semakin ingin Bara berubah menjadi baik padanya.
Syara berdiri di depan cermin, memandangi sekujur tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki. Dia merasa selalu wangi dan memakai baju yang cantik saat berada di rumah Bara. Lalu, entah mengapa Bara tak pernah menyukainya.
###
"Jadi kamu maunya gimana, Bar?” tanya Raya yang duduk di sebelah kemudi Bara.
“Nggak tau Ray, aku sumpek banget tiap liat dia, dia beda banget sama kamu. Kamu yang selalu wangi dan cantik. Dia memang benar-benar gak berkelas,” ujar Bara kesal.
“Lalu kenapa nggak cerai aja?” tanya Raya.
“Sejujurnya aku udah eneg banget di rumah, tapi Mama minta aku untuk tetap bertahan dulu, entah sampai kapan,” jawab Bara penuh amarah.
“Atau mungkin Tante Desi mau liat kamu menderita dulu hidup sama orang yang nggak kamu suka, baru izinin kamu pisah,” ucap Raya beropini.
“Atau mungkin juga, aku yang emang harus bener-bener bikin dia gak betah sama aku sampai dia yang minta cerai,” curhat Bara.
“Yaudah, untuk menetralisir emosi kamu, aku akan selalu ada di deket kamu, biar gak stres marah-marah terus,” ucap Raya merayu.
Di tengah percakapannya dengan Raya, tiba-tiba ponsel Bara berdering.
“Halo, Ma, ada apa?” jawab Bara di telepon.
Terdengar Bu Desi mengatakan sesuatu pada Bara. Tak lama, Bara menutup teleponnya.
“Ada apa, Bar?” tanya Raya ingin tahu.
“Ray, aku boleh minta tolong nggak?” tanya Bara serius.
“Apa, Bar? Kalau aku bisa bantu pasti aku bantu,” jawab Raya optimis.
“Nanti malam Mama berangkat ke Bali, ada acara sama temen-temen arisannya sekalian mau liburan beberapa hari ini. Kamu mau nggak menginap di rumahku?” pinta Bara.
“Terus Syara gimana kalau aku menginap di sana?” tanya Raya.
“Ya biarin aja, nanti kita bisa karaokean, berenang bareng, have fun lah pokoknya. Besok kan akhir pekan, aku gak mungkin buang waktu untuk dia. Sekalian mau bikin Syara makin gak betah sama aku,” bujuk Bara.
Raya terlihat mempertimbangkan tawaran Bara. Baginya, tak ada ruginya menuruti permintaan Bara karena ini juga kesempatan baginya untuk bisa lebih dekat dengan Bara. Toh, Bara dan Syara memang tak saling cinta jadi tak ada yang harus dijaga perasaannya.
###
“Mama pergi dulu ya, kamu baik-baik sama Bara,” pamit Bu Desi yang diantar Syara sampai depan pintu rumah.
“Iya, Ma, hati-hati ya,” ucap Syara lembut.
Bu Desi meninggalkan Syara menuju mobil yang akan mengantarkannya menuju bandara. Syara menunggu mobil mertuanya melaju, namun saat Syara akan masuk rumah, Bara datang bersama Raya dengan membawa tas besar. Syara memandangi kehadiran Raya dengan penuh tanya.
“Raya mau menginap di sini selama Mama pergi, kamu tidur di kamar kamu sendiri, bawa ini!” perintah Bara pada Syara untuk membawakan tas Raya.
“Hai, Ra,” sapa Raya tanpa rasa bersalah.
Syara berjalan membawakan tas Raya menuju kamar tamu.
“Raya nggak tidur di sana, dia tidur di kamar aku!” seru Bara.
“Bar, biar kita menikah tanpa cinta, tapi seharusnya kamu bisa menghargai aku!” balas Syadira tegas.
Bara mendaratkan tamparan di pipi mulus Syara.
“Dari awal aku sudah bilang jangan mengharapkan kebahagian dalam pernikahan ini!” bentak Bara sembari meninggalkan Syara.
“Ra, aku ke sini justru mau membantu kamu biar bisa lepas dari pernikahan yang nggak kalian impikan,” tukas Raya lembut seraya menghampiri Syara.
“Maksud kamu apa?” tanya Syadira tak paham.
“Semakin cepat kamu meminta cerai pada Bara, semakin tenang hidup kamu. Aku tahu kamu pasti juga gak menerima pernikahan ini kan,” lanjut Raya membujuk Syara.
“Siapa bilang? Aku sudah menerima kok,” jawab Syara tegas.
Raya yang ingin melanjutkan percakapannya, tiba-tiba ponselnya berdering.
“Halo, Har, ada apa?” jawab Raya di telepon.
“Ray, aku tau kamu suka sama Bara, tapi nggak begini caranya. Kita sebagai teman harusnya mendukung mereka bukan malah menghancurkan. Aku mohon kamu pergi dari rumah Bara sekarang juga,” pinta Haris pada Raya.
“Justru aku mau membantu mereka biar lepas dari ikatan ini. Mereka harus tegas menolak Tante Desi, bukan diam aja begini,” sahut Raya menjawab perkataan Haris sembari memperlihatkan mimik muka sinisnya pada Syara.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!