Siang itu mentari bersinar dengan sangat terik, Belinda Carlisle gadis yang sering dipanggil Belle itu duduk diam di pinggir sebuah trotoar. Ini sudah kesekian kalinya dia di perintah ibu tirinya untuk melayani seorang pria tua dengan perut buncit, tubuh gendut, kepala botak dan tentunya pendek.
Belle adalah seorang gadis cantik berusia 22 tahun, tubuhnya yang sempurna seolah-olah selalu menarik perhatian sejenis hingga lawan jenisnya. Tak khayal ibunya yang tidak suka dengan tubuh indah Belle karena lebih sempurna darinya, dia selalu berusaha untuk menjauhkan Belle dari ayahnya.
Hal yang paling sering dia lakukan adalah menjebak Belle untuk melayani pria-pria hidung belang yang tentunya kaya raya. Namun Belle tidak pernah melakukan itu sebisa mungkin dia selalu berusaha keras untuk melarikan diri, tidak peduli dengan nyawa 'nya yang penting dia harus pergi dan pergi. Ibu kota Kekaisaran adalah tempat yang indah namun sangat berbahaya.
Belle sendiri sudah pernah mengadu kepada ayahnya tentang kelakuan ibu tirinya, namun wanita yang lebih tua 10 tahun darinya itu selalu berpura-pura polos di depan ayahnya sehingga membuat ayah Belle sangat mempercayainya. Melebihi kepercayaan nya kepada putrinya sendiri.
Belle adalah gadis yang sangat menjunjung tinggi harga dirinya tidak mungkin bagi dirinya sudi untuk melayani para pria hidung belang tersebut.
Kini Belle mencoba mengangkat kakinya, walaupun kakinya terasa bergetar karena kesemutan, namun dia tidak boleh terlalu lama di tempat itu karena yang pasti para pengawal orang itu masih terus mengejarnya.
Dengan tergopoh-gopoh dan langkah kaki terseok-seok Belle terus berjalan di kerumunan orang untuk menghindari orang-orang yang terus mengejarnya kemudian berbelok di gang sempit yang tidak dia ketahui dimana itu. Nafasnya sudah hampir habis kelihatannya pelarian hari ini sudah hampir selesai.
"Sial sekali, jika terus begini aku bisa terkapar lemas. Aku harus mencari tempat untuk beristirahat," celetuk Belle sambil sedikit berjongkok dan memegang lututnya dengan kedua kakinya.
Sesekali dia masih menoleh kebelakang, walaupun nafasnya sudah hampir habis dan keringat membasahi keningnya namun dia masih khawatir terkejar.
Namun saat hendak berbelok Belle melihat seorang pria terduduk lemas sambil bersandar ke sebuah tembok, Belle nampak terkejut dia melihat pria di depannya masih bernafas walaupun darah mengucur di pundaknya.
Tanpa berfikir panjang Belle mencoba merobek gaun yang sedang dia gunakan, gaun mahal itu menjadi compang camping kemudian dia membalut luka pria itu dengan robekan gaun tersebut, dia berharap darah akan berhenti mengalir sampai ada orang yang menolong mereka.
"Nanti jika kamu selamat kamu harus menolongku ya, aku sangat lelah,” bisik Belle. Itulah awal pertemuan Belle dan Eiser Gallbaro. Dia adalah pewaris tunggal keluarga Gallbaro, namun begitu bukan berarti dia adalah putra satu-satunya. Ia masih memiliki banyak saudara yang sama ayah namun beda ibu, itulah yang terjadi di Kekaisaran ini dimana sang Raja sudah pasti memiliki satu permaisuri dan banyak selir. Sang pewaris sah dan satu-satunya, namun biarpun dia adalah putra sah Gallbaro, tidak sedikit orang yang menginginkan kematiannya karena mengincar kekuasaan dan kekayaan dari keluarga besar tersebut.
Gallbaro sendiri merupakan marga puncak tertinggi dari Kerajaan yang di pimpin oleh ayah dari Eiser sang Kaisar, sementara Eiser kini menyandang status sebagai seorang komandan pasukan pertahanan negara. Cukup berat kan? Sebenarnya posisi ini adalah salah satu cara untuk melenyapkan Eiser Gallbaro.
Tidak bisa dipungkiri musuhnya sangat banyak, orang-orang menginginkan kematiannya namun Belle justru mengulurkan tangan saat Eiser sedang tidak berdaya. Bukankah itu sebuah pertemuan yang dramatis? sebuah tembok besar yang terbuat dari bebatuan menjadi saksi dari pertemuan tidak disengaja itu.
Belle terjatuh tidak berdaya di samping sang tuan muda, butuh waktu setengah jam bagi para pengawal Eiser untuk menemukan tempat itu.
"Bawa gadis itu," ucap Eiser sambil beranjak bangkit. Pria itu mulai membuka matanya saat anak buahnya datang, namun Belle justru pingsan tidak berdaya.
Para pengawal yang tidak pernah melihat Eiser dekat dengan wanita itu sedikit bingung, dengan sorotan mata tajam Eiser menatap bawahannya itu.
“Jangan bengong, tidak mungkin untuk meninggalkan penyelamatku disini," dengan ucapan seperti itu para pengawal itu paham. Robekan gaun yang membalut luka tuan muda mereka itu ternyata milik gadis itu, dengan begitu mereka paham karena memang sifat tuan muda nya tersebut tidak suka berhutang budi kepada siapapun.
Dengan gemetar dia masih terus berjalan, enggan sekali bagi Eiser untuk menunjukkan kelemahannya sekalipun kepada bawahan -bawahannya yang terpercaya. Dia adalah turunan dari Lord Gallbaro atau kakeknya. Wajah tampan itu terlihat begitu angkuh saat di tatap dengan mata telanjang, entah itu dingin seperti es ataupun kaku seperti batu pahatan.
Hari sudah semakin gelap, mentari sedang meringkuk mulai menyembunyikan cahayanya. Namun saat itu juga Belle belum terbangun dari alam bawah sadarnya.
Eiser duduk di Samping Belle, dia tetap berada di posisi itu setelah membersihkan diri dan mengobati lukanya, “Kapan dia akan terbangun?” tutur Eiser, hingga suaranya memecah keheningan yang ada saat itu.
Seseorang yang mendengarnya pun sedikit terdiam, dia tidak tau jika orang yang selalu berdarah dingin itu bisa memikirkan nasib orang lain, "Tuan muda jangan khawatir, dia hanya lelah dan mungkin lapar. Tubuhnya hanya perlu beristirahat sejenak,"
Setelah mendengar hal itu Eiser terdiam, "Hah, sejak kapan dia khawatir, bukankah itu berlebihan untuk seorang gadis yang membalut lukanya dengan robekan gaun,"
Namun saat ini bukan hal itu yang penting, Eiser harus tau siapa dalang dibalik pelenyapannya hari ini. Dia tidak akan tinggal diam melihat tikus -tikus itu mulai menggerogoti masuk ke dalam kediaman yang sudah susah payah dia kelola selama ini.
"Orang-orang itu tidak hanya menginginkan nyawaku, mereka juga pasti menginginkan nyawa kalian. Jadi berhati hatilah!"
"Tentu saja tuan muda, kami akan melindungi anda walaupun nyawa taruhannya,"
Mendengar hal itu Eiser seharusnya senang, namun kenyataannya tidak. Sudah tidak terhitung berapa nyawa yang melayang karena melindunginya, ibunya juga salah satunya. Namun hingga saat ini Eiser bahkan tidak menemukan siapa dalan dibalik layar tersebut.
Sementara itu Belle mulai membuka matanya, seluruh ruangan berwarna abu-abu dengan corak dominan itu bukan salah satu ruang yang ada di kediamannya.
"Dimana ini?," Lirih Belle sambil berusaha untuk duduk.
Dengan secepat kilat Dokter Brown yang merawatnya membantunya untuk duduk.
Eiser masih duduk diatas kursi tidak bergeming, "Kamu di rumahku," Suaranya yang berat dan serak terdengar. Membuat Belle seketika menoleh ke arahnya.
"Kamu? Bukankah kamu adalah pria yang hampir mati itu?," Belle berucap tidak ada rasa takut, dia penasaran kenapa laki-laki yang terluka parah itu bisa duduk dengan tenang. Seharusnya manusia biasa jika tidak mati minimal ya masuk rumah sakit.
Eiser mendekati ranjang tempat Belle berisitirahat, "Nona, kamu penasaran denganku?".
"Tidak, tentu saja tidak. Namun, jika kamu manusia biasa minimal pasti masuk rumah sakit kerajaan," jawab Belle dengan keheranan.
Mendengar hal itu Eiser tersenyum, dia mendekati Belle sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana, Belle menatap wajah tampan tersebut, terlalu sempurna jika ini disebut manusia,
"Rumah sakit kerajaan? Bukankah aku akan lebih cepat mati jika masuk ke dalam tempat itu!"
Namun anehnya, Belle merasa tidak asing dengan wajah itu. Eiser menatap tajam kepada Belle, dia menjawab sambil melontarkan pertanyaan, "Mungkin jika itu kamu. Siapa Namamu?"
"Belinda Carlisle," jawab Belle dengan sangat cepat, jantungnya berdetak dengan sangat kencang ketika menatap lawan bicaranya itu.
"Nona Belinda, apa yang kamu inginkan sebagai hadiah karena sudah menolongku?" tutur Eiser sembari kembali ke tempat duduknya.
"Bukankah aku sudah bilang, aku ingin kamu menolongku,"
Belle menatap sorot mata di depannya, orang-orang yang ada di sekitar nampak terkejut karena ada gadis yang berani menatap langsung mata Eiser.
"Keluarga Carlisle meminta bantuan? Bukankah itu konyol,"
Carlisle yang terkenal keluarga yang berpengaruh, bisnis nya yang banyak serta kekuasaan yang tidak bisa dibantah di dalam negeri. Siapa yang tidak tahu itu, namun anehnya Eiser tidak pernah melihat putri sulung keluarga Carlisle di pesta manapun, dia hanya pernah melihat putri kedua di pesta pesta tersebut.
"Apa yang ingin kamu minta dariku?" Tanya Eiser setelah diam sejenak karena mulai berpikir, sepertinya semua hampir sama dengannya. Hidup tidak sesuai kelihatannya.
"Tuan, bisakah anda memberikan aku tempat tinggal. Tempat tinggal dibawah namamu, sehingga saudara tiri dan ibu tiriku tidak bisa menyentuhku," tutur Belle gemetar, dia takut dan sangat takut. Bahkan siapa orang di depannya dia tidak tau. Namun dia begitu berani mengajukan permintaan seperti itu? Ingin berlindung dibawah atap keluarga orang lain. Wanita yang sedikit aneh namun unik.
"Kamu tau siapa aku nona?," tanya Eiser dengan lirih di dekat telinga Belle, membuat gadis itu menggeleng dan bergidik ngeri.
"Eiser Gallbaro, kamu pasti sudah pernah mendengar nama itu kan!"
Jantung Belle Seakan berhenti berdetak, ternyata orang di depannya adalah raja dari segala raja yang paling di kenal akhir-akhir ini. Kandidat terbaik dalam pemilihan putra mahkota kerajaan Gallbaro yang tidak bisa di singkirkan oleh siapapun, bahkan raja dan para bawahannya terpaksa harus tunduk padanya. Dia pernah mendengar jika pria itu masih muda namun siapa yang menyangka bakal semuda itu.
Belle menelan ludah-nya getir, pahit rasanya di mulut. Sebenarnya sangat bagus berlindung dibawah nama Gallbaro, namun siapa yang tidak tau tuan muda itu adalah seorang pisikopat, dia bisa membunuh seseorang dengan sekali kedipan matanya.
'Harusnya kemarin aku membiarkan dia mati saja,'
Belle menjadi diam membisu, ambisinya seketika ciut. Walaupun keluarga Carlisle terkenal dengan kekayaannya, namun bagi Gallbaro tidak susah dalam melenyapkan keluarga tersebut. Dia tidak ingin kehilangan segalanya karena ambisinya untuk meninggalkan keluarga itu, namun jika dia tetap tinggal di kastil Carlisle cepat atau lambat dia pasti akan di jual.
"Kenapa diam? Tau takut sekarang!"
Belle tetap diam tidak bersuara, dia sangat takut saat ini bahkan keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Bajunya yang koyak sudah diganti dengan pakaian yang bagus, entah siapa yang mengganti pakaiannya. Namun saat ini bukan itu yang harus dia pikirkan.
Dia harus berpikir bagaimana cara menyelamatkan diri, karena sudah tentu tidak mungkin baginya untuk terus meminta bantuan kepada pria di hadapannya tersebut.
"Tu-an,"
Gemetar tangan mulai di kepalkan, dia harus membangun pondasi dasar untuk tetap berani. Namun hal itu justru terlihat lucu di mata Eiser.
"Tu-an, apakah kamu akan membunuhku?,"
Hal pertama yang di tanyakan Belle adalah nyawanya, benar-benar gadis yang unik. Disaat orang lain menangis meraung dia tetap berpura-pura kuat demi menjaga harga dirinya.
Eiser hanya diam, dia tidak lagi menatap Belle dengan tatapan tajam. Namun, dia juga tidak menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut gadis 22 tahun itu.
Eiser menghela nafas, jika dulu dia akan bilang kepada bawahannya untuk menghilangkan orang-orang yang menggangu pemandangannya, namun wanita itu berbeda. Dia enggan mengambil tindakan untuk Belle, apakah itu hanya karena Belle menyelamatkannya atau karena hal lain.
"Nona Belinda, jika kamu ingin aku membantumu menyediakan tempat tinggal. Sudah seharusnya aku tau alasanmu kan?,"
Eiser kembali berucap setelah keheningan kembali terjadi, lagi-lagi membuat orang-orang yang ada di sekitar tercengang. Sejak kapan seorang Eiser peduli kepada orang lain.
"Tu-an, saya tidak ingin terus dijual oleh ibu tiri saya. Terakhir kali sebelum saya bertemu anda, saya dijual kepada pria tua bermarga Sleepon itu. Aku takut jika suatu saat saya tidak bisa melarikan diri bagaimana,"
Kata-kata itu keluar dari mulut Belle, gadis yang tadi selalu mencoba riang dan ceria kini tertunduk lemah.
"Tu-an,"
"Bisakah tuan membantu ku?"
Entah apa yang akan dilakukan Eiser kepada gadis Carlisle itu dia tidak berjanji untuk menolong namun dia juga tidak bisa abai karena gadis itu telah menyelamatkan nyawanya saat itu. walaupun tidak mudah baginya mati hanya karena hal itu namun bagi Eiser gadis itu cukup membantunya.
Sudahlah, aku akan memberimu tempat tinggal. Setidaknya aku harus memiliki alasan untuk membantu mu tetap di sisiku, jika tidak aku akan di anggap menawan wanita dari keluarga berpengaruh,”
Benar jika tidak ada alasan siapa yang akan percaya jika nona besar Carisle akan berlindung di atap keluarga Gallbaro. Alasan apa yang tepat?.
Setelah mengatakan itu Eiser memutuskan untuk meninggalkan kamar tempat Belle beristirahat, dokter dan para pelayan juga pergi hingga datang orang-orang yang mengantarkan makanan kemudian mereka juga berujung pergi.
Bosan sepi dan jenuh, setelah menyuap-kan sendok demi sendok bubur ke dalam mulutnya Belle hanya terdiam di dalam ruangan besar ity, matanya menatap ke arah luar melihat bintang-bintang yang mulai bertebaran di atas sana.
Tirai yang sedikit tidak di tutup memancarkan cerah nya malam itu, cerah sungguh tidak seperti kisah hidupnya yang terlalu kelam. bintang-bintang sengaja mengejeknya dengan bertebaran bebas di atas sana, sementara bulan seakan-akan tersenyum tulus untuknya.
“Nona saya mengantarkan pakaian bersih untuk anda, maafkan saya tanpa izin mengganti pakaian anda,” tutur seorang pelayan sambil meletakkan pakaian bersih di atas kasur. Belle menoleh, sejak ibunya meninggal dia tidak pernah mendapat perhatian seperti itu.
“Oh jadi kamu yang mengganti pakaianku. Siapa namamu?”
“Benar nona, nama saya Veronica,"
Wanita itu menjawab pertanyaan Belle dengan sangat tenang, dia tidak panik dan tidak juga menjauhinya seperti pelayan yang lain.
"Veronica, apakah dibalik tirai itu ada balkon?"
Belle menatap kembali tirai yang sedikit terbuka itu, cahaya bulan dan bintang masih tetap berada di awan.
"Benar nona. Biasanya tuan akan memanfaatkan tempat itu untuk bersantai,"
Jantung Belle seakan-akan berhenti berdegup, jika tempat itu adalah tempat santai sang tuan muda. Maka, mungkin tidak mungkin tempat dia istirahat saat ini adalah kamar Eiser.
"Jangan bilang ini adalah kamar Eiser?,"
"Anda sangat pandai nona,"
Veronica tersenyum sambil mengatakan itu membuat tubuh Belle seakan-akan semakin gemetar, untuk saat ini mungkin jika dia menikmati sedikit minuman keras akan membuat pikirkan nya jauh lebih tenang.
"Veronica, bisakah kamu sediakan dua botol anggur di balkon?"
"Tapi tubuh anda?,"
"Veronica, aku tau tubuhku lebih dari siapapun!" tutur Belle dengan tegas.
"Baik nona, akan saya sediakan!"
Veronica yang tidak berani membantah tersebut akhirnya memutuskan untuk memenuhi semua permintaan Belle, namun dia memilih untuk memberitahu tuannya terlebih dahulu.
"Apa aku harus menyediakan?"
Malam semakin sunyi entah kenapa pandangan Belle tertuju pada kelap kelip langit malam. Sesekali dia menghela nafas sembari menatap langit malam yang indah itu, anggur yang dia inginkan juga sudah tersedia di sebuah meja kecil.
“Kamu sangat menyukai tempat ini nona Belinda?”
Suara langkah kaki terdengar mengiringi pertanyaan itu, langkah kaki besar dan berat juga berirama siapa lagi kalau bukan Eiser sang penguasa.
“Anda sangat hebat tuan. Anda memiliki tempat sempurna di sini,” Tatapan mata indah itu tetap tertuju pada langit malam, rambut berwarna hitam legam dengan mata berwarna emas.
“Benar, aku memang menginginkan tempat ini. Lihat nona, betapa luasnya dunia ini, Bukan hanya tempat ini. Namun dunia ini harus berada dalam gengaman ku. ”
"Aku suka dengan ambisimu tuan. Jika kamu sudah menguasai dunia, tolong jangan lupakan aku!."
Eiser menunjuk ke depan dengan serius, Belle-pun melihat kemana arah jari telunjuk itu, lampu yang berkelap kelip. Inikah pemandangan malam di kota tempat tinggalnya. cukup menakjubkan namun karena selama ini dia jarang keluar rumah kecuali pas sekolah tentu saja dia tidak tahu keindahan yang semacam itu.
"Tuan apakah menurut mu hidupku ini cukup sial. hampir setiap hari saat ada kesempatan, aku harus berlari. aku tidak mau dijual tuan! namun sekeras apapun aku mengadu, ayah hanya percaya sama istri baru nya,"
Ia melanjutkan ceritanya dengan benar walaupun ia sudah merasa cukup mabuk namun itu belum cukup untuknya melupakan kesedihan itu.
"Sebenarnya bukan termasuk baru, dia masuk ke kediaman Carlisle saat aku masih kecil, wajar saja jika ayah menganggap dia ibu yang baik. Karena dia selalu memperhatikan makan pakaian dan juga pendidikanku. Namun disisi lain dia sangat ingin menyingkirkan aku dari dalam hidup ayah. Ahh... terlahir dari keluarga kaya memang tidak mudah! "
Belle terus mengoceh, gelas demi gelas anggur sudah dia teguk. Entah seberapa banyak, tapi dia benar-benar sudah mulai mabuk. Eiser tidak melakukan sesuatu dia hanya berdiri di samping Belle yang menatap ke atas awan.
"Andaikan aku bisa bebas seperti bintang-bintang, aku bisa bermain sepuas mungkin,"
Eiser tersenyum, ada yang salah dengan kata-kata Belle, bintang memang sangat indah di atas sana namun dia tidak se 'bebas ucapan Belle. Bintang bebas hanya pada tempatnya, para bintang tidak bisa pergi dari langit.
Mata Belle semakin kabur, pandangannya juga sama. Tanpa sengaja dia menyentuh lengan Eiser, tuan kenapa panas sekali disini. Belle berontak dia melepaskan pakaian yang melekat di tubuhnya, padahal saat itu posisi mereka masih berada di atas balkon. Sangat berbahaya jika ada orang yang melihat dari bawah pakaian Belle yang berantakan.
Tanpa pikir panjang Eiser menggendong tubuh Belle kembali ke dalam kamar, "Nyaman, sangat nyaman," lirih Belle sambil meraba-raba dada kekar Eiser.
"Nona jangan bermain api jika kamu takut terbakar," ucap Eiser gusar.
Namun Eiser tidak bisa berbuat apa-apa, wanita itu tiba-tiba menarik dan menindihnya saat Eiser berusaha untuk meletakkannya diatas kasur.
Belle berusaha untuk mencium bibir tebal itu, namun sayang sekali dia bahkan tidak tau caranya berciuman.
"Dengan kemampuan seperti ini berani memprovokasi aku?,"
Keadaan sudah tidak bisa lagi di kondisikan, Eiser juga hanyalah manusia biasa dia tidak bisa terlalu lama menahan apalagi saat belahan dada Belle terbuka dengan begitu lebar. Dua buah bukit kembar yang indah dan berukuran cukup besar, bibir tipis berwarna pink, leher mulus dan selangka yang bagus. Siapa yang tidak bernafsu melihat semua itu.
"Nona, jika kau mau. aku bisa menuruti itu,!"
Eiser Gallbaro mulai mencumbu gadis itu, ia mencium bibir tipis itu dengan ganas membuat Belle sendiri nyaris kehabisan nafas. Kemudian dia membuka semua kain yang menutup bagian tubuh Belle, menyisakan gadis itu telanjang tanpa sehelai benang 'pun.
Tubuh yang sangat sempurna, Eiser tidak menyia-nyiakan seinci pun tubuh mungil Belle, ia mencium dan meninggalkan tanda di setiap bagian yang ia inginkan. Sementara Belle hanya menikmati hal itu, ia mengerang dan mendesah pelan menyisakan panasnya ruangan itu saat ini.
"Emmm... tuan... emmmm... "
Malam itu menjadi sangat panas, karena Belle mabuk semua terjadi begitu saja dan dua insan tersebut sama-sama menikmati malam yang menggairahkan di atas kasur besar itu. Tidak ada penolakan, entah kemana harga diri yang dia perjuangkan saat ini. Semuanya terasa lenyap begitu saja..
"Arghhhhhh.... Sakitt... tuan pelan-pelan!" pelik Belinda.
Belle berteriak kesakitan saat Eiser mencoba menerobos, mereka berdua benar-benar kehilangan akal sehat saat itu. Namun aneh selalu dengan Eiser, dia tidak menolak Belle dia juga tidak melempar Belle seperti para wanita yang berusaha naik ke atas ranjangnya.
"Tidak apa-apa, sebentar lagi semuanya akan baik-baik saja," lirih Eiser di telinga Belle.
Setitik air mata meleleh karena rasa sakit yang terasa, namun tak lama kemudian hanya terdengar desahan desahan panas di kamar itu. Untung saja kamar itu kedap suara, sehingga dinding pun tak mampu mendengarnya.
"Emmm.. ahh.. emmm.. aku mau lagi."
Cukup selama 22 tahun Belle menjaga kehormatannya, kini mahkota suci itu telah jebol di pelukan seseorang yang ia tolong dan menolongnya. Malam panas itu hampir berakhir saat menjelang pagi, Belle tertidur lelap karena kelelahan sementara Eiser masih memiliki tenaga untuk bangun dan meninggalkan tempat itu.
Fajar telah tiba mentari telah terbit di ufuk timur, samar-samar Belle membuka matanya kemudian dia membuka lebar matanya. Kenangan semalam masih terlihat jelas di ingatannya, dia juga mengingat dia yang mabuk dan memprovokasi Eiser.
"Argh, aku kehilangan kontrol hanya karena anggur merah, ini menyebalkan!" gerutu Belle.
Belle berusaha untuk bangkit, namun rasanya pinggang nya hampir patah bagian vital juga terasa sangat nyeri sekali, dia berusaha menopang kakinya yang terasa sangat lemas.
Sakit sekali dari pangkal paha hingga pinggang dan punggung rasanya hampir remuk, wajar saja hal itu terjadi hampir semalam suntuk, "Argh... apakah dia binatang buas? mengapa dia terlihat baik-baik saja sementara aku menderita seperti ini!"
Terdengar suara pintu di buka, Belle menutupi tubuhnya dengan selimut. Sangat tidak pantas jika pelayan melihatnya seperti itu.
"Rupanya kamu sudah bangun, lekas mandi aku menunggumu untuk sarapan," tutur keras Eiser. Pria itu masih sangat egois.
"Tuan, kamu masih sempat bicara seperti itu setelah membuatku seperti ini,"
Belle sangat gusar, sebenarnya dia ingin meminta maaf karena telah membangunkan hasrat Eiser namun saat ini dia adalah korban yang lebih parah sementara pria di depannya justru berdiri tanpa merasakan apapun.
"Sudah jangan manja nona," jawab Eiser sambil berbalik pergi.
"Tu-an, sakit." tutur Belle dengan suara lirih namun cukup untuk di dengar Eiser. Eiser lupa Belle hanya wanita biasa, bagaimana wanita itu bisa menahan kejamnya semalam.
Eiser mendekati ranjang tempat Belle berbaring, wanita itu merona setelah mengatakan itu. Namun saat itu lebih baik jika Eiser yang membantunya daripada orang lain, karena dia tidak ingin menjadi biang gosip.
Eiser mengangkat tubuh Belle dan menggendongnya ke dalam air yang sudah disiapkan oleh pelayan. Bak besar itu terisi penuh dengan air hangat dan kelopak mawar.
Tidak bicara apapun, ya Eiser tidak bicara apapun. Mungkin saja dia malu, namun dia tidak ingin menunjukkan hal itu dan malah bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Belle membasuh tubuhnya, namun tetap saja berapa kali pun dia menggosok tubuhnya tanda cinta yang diberikan Eiser di berbagai belahan tubuhnya tidak hilang sama sekali.
Eiser tidak bergeming, dia hanya menatap Belle yang menggosok tubuhnya itu.
"Sampai kapan kamu akan menyakiti tubuhmu dengan cara seperti itu?"
"Hah, tuan? Mengapa anda masih disini?" tanya Belle sambil masuk ke dalam bak mandi.
"Apa tadi kamu mendengar aku keluar?"
Belle melupakan itu, dia hanya fokus dengan bekas semalam. Belle yang malu-malu seperti itu justru membuat Eiser tanpa sadar tersenyum.
"Sudahlah bagian mana yang belum pernah kulihat,"
Belle kesal dengan hal itu, dia ingin berteriak "Sungguh kamu tidak tau malu," namun sebenarnya semuanya dimulai oleh dia sendiri sehingga Belle hanya menyimpan semuanya sendirian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!