NovelToon NovelToon

Terbagi

Part 1 - DIA

Perhatian!

Bagian ini sudah direvisi. Selamat membaca! 💕

Lelaki itu melempar tas di atas ranjang. Tangannya terkepal, menyiratkan amarah yang memuncak hingga ke ubun-ubun. Sedetik kemudian, ia menatap nyalang ke arah istrinya.

"Aku butuh penjelasan, Mas. Penjelasan!" Suara perempuan itu meninggi, sedikit menarik kerah baju lelaki bercambang itu.

"Penjelasan apalagi, hah? Bukankah sudah kubilang bahwa aku tak memiliki hubungan dengannya. Anita hanya sekretarisku di kantor, Alia!" Suara bariton itu terdengar menggelegar. Baru kali ini, lelaki jangkung itu membentak perempuan lembut seperti Alia.

"Ah, sudahlah!" Alia melenggang pergi.

Usia pernikahan mereka sudah memasuki tahun ketiga, tetapi masih belum dikaruniai momongan. Arya adalah seorang manajer marketing. Ia sangat sibuk, bahkan seringkali tugas luar kota. Baru kemarin dia pulang, lusa sudah pergi lagi.

"Aku akan ke luar kota dua hari lagi." Lelaki itu duduk mengambil posisi di sebelah Alia. "Ke Jogja," sambungnya.

Jantung berdegup kencang. Keringat dingin mengucur deras. Raut marah terpancar dari wajah perempuan berjilbab navy itu.

"Jangan marah, Sayang. Aku janji tidak akan lama," ujarnya meyakinkan. Lengkung indah terukir dari sudut bibirnya.

"Kenapa harus kamu lagi, sih? Apa gunanya wanita itu?" Alia menatapnya nyalang.

"Justru aku akan pergi bersamanya, Alia. Namun, kau jangan khawatir. Ini sekadar tugas kantor, tidak lebih," tegasnya, "I love you!" Kecup hangat mendarat di dahi Alia. Sedetik kemudian, lelaki jangkung itu menghilang dari pandangan.

***

Bintang-bintang bersembunyi membuat malam menjadi kelam. Embusan angin menyeruak, menguliti seluruh tubuh. Rinai hujan turun beriringan membasahi pelataran rumah.

Alia terus menatap lelaki itu, rupanya ia tertidur pulas. Manik cokelat itu menyelisik, mencari keberadaan benda pipih milik Arya. Jemarinya berselancar memainkan angka-angka untuk membuka gawai itu. Detik kemudian, berhasil membuka aplikasi hijau—whatsapp—di dalamnya.

Jemarinya sibuk menjelajah daftar pesan di whatsapp. Ada sebuah nama yang menarik perhatian, ‘Anita’. Sebaris kata-kata tampak bercentang biru, membuat rasa penasaran makin mencuat.

[Sayang, lusa jadi liburan ke Jogja, kan?]

[Jadi dong, Sayang. Aku sudah pesan tiket kereta untuk kita—mengirim foto tiket kereta.]

[Baiklah, kau akan menjemputku pukul berapa, Sayang?]

[Nanti kupikirkan, deh. Kamu siap-siap saja. Aku akan meyakinkan Alia agar tidak curiga dengan kepergian kita.]

[Kenapa harus dia, sih? Aku lelah menjadi yang kedua, Mas!]

[Meskipun kau yang kedua, tetapi aku selalu mengutamakanmu, Sayang. I love you!]

(Hanya centang biru).

Bulir bening menetes tanpa jeda. Bagai dihunjam ribuan jarum. Tangan kanan Alia membungkam mulut agar isak tangisnya tidak terdengar.

"Aku tidak menyangka bahwa kau selingkuh di belakangku, Mas," lirih Alia.

Dengkuran halus terdengar dari bibir Arya. Lelaki bercambang itu masih terlelap, meski ranjang yang mereka tempati sedikit bergetar akibat isak tangis perempuan itu. Rasa kecewa begitu kentara. Kesetiaan yang selama ini dipegang teguh, ternodai begitu saja.

Tiga tahun usia bahtera perkawinan yang mereka jalani. Asam garam telah dilalui bersama. Pahitnya penantian tentang kehadiran buah hati menjadi ujian kesabaran tersendiri bagi mereka.

Arya merupakan suami yang bertanggung jawab. Perhatian dan kasih sayang selalu tercurahkan untuk istrinya. Ia sering menelepon Alia untuk menanyakan kabar di sela-sela jam sibuk. Namun, itu dulu.

Akhir-akhir ini perangainya berbeda. Meski masih bersikap manis di depan Alia, tetapi ada sesuatu yang mengganjal. Ia bukan Arya yang dulu. Canda tawa via telepon, tidak pernah dilakukan lagi olehnya.

Jemari Alia sibuk menjelajah galeri foto. Membiarkan visualisasi kenangan berpendar dalam benak. Lengkung bulan sabit terukir dari sudut bibir paras ayunya. Namun, tidak menghentikan bulir bening yang menganak sungai.

Beberapa tangkapan layar begitu mengaduk-aduk perasaan hatinya. Percakapan sedih, senang dan marah tercurah di sana. Netra cokelatnya mengamati satu per satu momen indah bersama Arya.

[Hari ini masak apa, Sayang?] tulis Arya via whatsapp pada tanggal 21 Desember 2019.

[Capcay dan koloke kesukaanmu, Mas.]

[Hm ... yummy! Aku tak sabar untuk cepat pulang.]

[Pulanglah tepat waktu! Jangan biarkan istrimu menunggu. Hehehe ....]

[Insyaallah ya, Sayang. Jaga dirimu baik-baik. I love you!]

Begitu romantisnya lelaki salih itu. Ia pikir, kata-kata romantis dari bibir Arya hanya terucap untuknya. Bagai berkelahi dalam mimpi. Kata ‘I love you’ juga diucapkan kepada perempuan lain.

Duri ini menancap tajam hingga ke ulu hati. Jantung berdegup cepat, gagal menahan gemuruh yang bergejolak. Napas perempuan itu menderu, mengiringi isak tangis yang tak mampu ditahan.

‘Aku bukan wanita salihah dan belum memenuhi kewajiban sebagai istri. Tidak memiliki keturunan membuatku belum menjadi perempuan sempurna. Namun, mengapa kau setega itu, Mas? Apakah selingkuh merupakan solusi dari masalah kita?’

"Aku kecewa, Mas!"

Alia menangis dalam sepertiga malam. Mengambil air wudu dan melaksanakan salat tahajud serta istiharah. Meski tiada bahu untuk bersandar, masih ada sajadah untuk bersujud.

Part 2 - SEMBILU

INFO:

Bagian ini sudah direvisi, ya. Insyaallah akan lebih baik. Jangan lupa krisarnya, ya. 💞

-----------------------------------------------------------------

Pintu jati itu dibuka perlahan. Beberapa setel kemeja, jas dan celana milik Arya tertata rapi di dalam koper hitam. Bulir bening mulai menganak sungai. Menahan luka yang tak mampu Alia sembunyikan.

Malam semakin pekat. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Deru mesin mobil yang menyala, mengiringi kepergian lelaki bercambang itu.

"Mas pergi dulu ya, Sayang. Assalamualaikum." Lelaki beralis tebal itu mendaratkan kecup hangat.

"Walaikumsalam," jawabnya singkat.

Lelaki itu mengukir senyum bulan sabit. Tangan kanannya melambai dari balik kemudi. Sedetik kemudian, mobil avanza veloz mulai menghilang dari pandangan.

"Jangan membuang-buang waktu, Alia!" Alia bermonolog.

Perempuan itu berlari kecil ke kamar. Mengemas beberapa setel gamis ke dalam koper merah muda. Setelah itu, beralih ke benda pipih yang ada di kantung baju. Jemarinya lihai memesan taksi online melalui gawai.

Alia bergegas menuruni puluhan anak tangga. Manik cokelatnya menyelisik, mencari sosok perempuan muda di setiap penjuru rumah. Aroma masakan menyeruak ke seluruh ruangan. Sepertinya, perempuan itu sedang memasak untuk makan malam.

"Mbak, tolong jaga rumah, ya. Jangan lupa mengunci pintu dan jendela. Saya akan kembali beberapa hari lagi," ujarnya seraya menyerahkan segerombol kunci rumah kepada Mbak Leni, asisten rumah tangga.

"Memangnya Mbak Alia mau ke mana? Kok mendadak banget perginya." Dahi perempuan itu mengernyit, membuat alisnya saling bertautan.

"Memperjuangkan bahtera perkawinan saya, Mbak. Doakan Mas Arya baik-baik saja di sana."

"Baik, Mbak Alia. Tanpa diminta, saya selalu mendoakan keutuhan rumah tangga kalian." Perempuan itu mengulas senyum.

🎧 'Ku menangis membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku

Kau duakan cinta ini

Kau pergi bersamanya ....

Gawai milik Alia berdering. Terpampang sebuah nomor tak dikenal. Jemarinya cekatan mengusap ke arah kanan, tanda menjawab panggilan telepon.

"Assalamualaikum," ujar Alia pelan.

"...."

"Baiklah, Pak. Saya segera ke sana. Assalamualaikum." Menutup sambungan telepon.

Mobil xenia hitam terparkir rapi di halaman rumah. Lelaki paruh baya berdiri di samping mobil. Tampak dari kejauhan, ia melontar senyum ramah ke arah Alia.

"Silakan, Mbak!" Lelaki itu membuka pintu mobil. Sedetik kemudian, memasukkan koper ke dalam bagasi.

"Terima kasih, Pak," ujarnya mengulas senyum.

Malam makin pekat. Orion enggan berpendar menghiasi cakrawala. Kendaraan bermotor saling berhimpitan. Melewati jalanan padat merayap.

"Lebih kencang, Pak!" pinta Alia pada sopir itu.

Lelaki itu hanya membalas dengan anggukan. Sedetik kemudian, menancap gas perlahan. Ia melirik jam tangan yang masih menunjukkan pukul 20.45 WIB.

Plang bertuliskan ‘Stasiun Gubeng 200 m’ terpampang di perempatan jalan raya. Lampu lalu lintas masih berwarna kuning. Kendaraan lain saling menyerobot dan mengklakson agar cepat sampai ke tujuan.

Mobil berhenti tepat di pintu masuk stasiun. Lelaki paruh baya menurunkan koper yang ada di bagasi. Sedetik kemudian, mengangkatnya ke lobi.

"Terima kasih, Pak." Wanita berkerudung peach itu menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan.

"Ini kelebihan, Mbak. Tagihannya hanya tiga puluh ribu rupiah." Lelaki itu mengambil selembar uang dua puluh ribu dari sakunya.

"Buat Bapak saja kembaliannya. Terima kasih," ujarnya seraya mengulas senyum.

Alia menuju antrean tiket yang mengular. Suasana tampak ramai dan berdesak-desakan. Sesekali, melirik jam tangan, masih tersisa sepuluh menit sebelum keberangkatan.

"Perhatian! Kereta api jurusan Surabaya-Yogyakarta akan berangkat sepuluh menit lagi." Bunyi pengumuman yang terdengar dari ruang informasi.

Alia mulai panik. Manik cokelatnya menyelisik menatap sekitar, mencari-cari kesempatan untuk menyerobot antrean. Tak ada cara lain!

"Aduh!" teriak seorang laki-laki yang tak sengaja tersenggol.

"Ma-maaf, saya tidak sengaja." Alia tertunduk, tak berani menatap lelaki itu. Lagipula, di dalam agama tidak diperbolehkan saling berpandangan jika bukan mahram.

"Kamu Alia, kan? Sedang apa kau di sini?"

Alia menatap lelaki bertubuh jangkung itu. "Mas Rian? Saya akan menyusul Mas Arya ke Yogyakarta."

"Apa? Jadi, kau akan menyusulnya sendirian, Al? Ini tidak boleh terjadi!" Lelaki itu mengernyitkan dahi. Suaranya sedikit meninggi. Sedetik kemudian, ia menghampiri ibu-ibu yang berada di loket pengembalian tiket.

Netra cokelat Alia mengikuti pergerakan lelaki itu. Berhenti di depan loket pengembalian tiket. Tampak dari kejauhan, ia mengambil beberapa lembar uang dan menyodorkan pada perempuan paruh baya di hadapannya.

"Mari masuk, Al!" Ia tampak semringah dengan memegang dua buah tiket di tangan.

***

Deretan kursi di dalam gerbong tampak penuh. Hanya tersisa sederet saja, D16 dan E16. Alia duduk di kursi dekat jendela, E16 sedangkan Rian duduk di kursi D16.

Sembilu menancap tajam di ulu hati. Membuat bulir bening meluruh deras. Rasa kecewa begitu kentara tatkala ia melihat Arya bermesraan di balik pantulan jendela.

Tangan kekar Arya menggenggam jemari perempuan itu. Samar-samar, terdengar suara lelaki itu membisikkan kata mesra. Kata yang seharusnya hanya untuk Alia.

Tanpa sengaja, bulir bening yang meluruh dari pelupuk netranya membasahi lengan kekar Rian. Rian mengerjap, mengusap netra yang sedari tadi terbingkai oleh kacamata. Sedetik kemudian, ia membenahi kacamatanya lagi.

"Kamu kenapa?" lirihnya hampir tak terdengar.

"Aku baik-baik saja, Mas." Alia mengusap sisa lelehan air mata dari balik cadar.

Alia melirik jam tangan. Jarumnya mengarah di angka dua belas. Tepat tengah malam, semua penumpang terlelap. Namun, tidak dengan dua insan yang memadu kasih di depannya. Meski canda tawa mereka terdengar lirih, tetapi Alia masih mampu mendengarnya.

Jemari perempuan itu tak henti memutar tasbih. Berzikir menyebut nama-Nya. Pasrah dengan takdir yang tidak diketahui akhirnya.

Sekuat tenaga mencoba meredam isak tangis. Membungkam bibir yang terbalut cadar. Namun, getaran tubuh perempuan itu tanpa sengaja membangunkan Rian yang duduk di sampingnya.

Lelaki itu melepas kacamatanya. Memperlihatkan iris cokelat yang membulat. Sorot matanya menyiratkan sebuah motivasi tersendiri bagi Alia.

"Kau harus memperjuangkan rumah tanggamu. Kau harus kuat, Alia!"

Part 3 - KENYATAAN PAHIT

INFO PENTING!

Alhamdulillah, bagian ini sudah direvisi, ya. Semoga lebih baik daripada kemarin. Jangan lupa kritik dan sarannya. Terima kasih. 🙏

----------------------------------------------------------------

Jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari. Hawa dingin menyeruak, menjalari seluruh tubuh. Refleks, tangan Alia bersedekap untuk menahan udara yang menerobos pertahanannya.

"Kamu kedinginan?" Lelaki jangkung bermasker itu menatap tajam ke arahnya. Sesekali, ia membenahi posisi kacamatanya.

"I-iya, Mas. Aku belum makan tadi malam."

Lelaki itu terperangah. Netranya menyelisik, mengarah ke kanan dan kiri. Sedetik kemudian, memberi isyarat kepada Alia untuk mengikutinya.

"Kita makan di sini saja, ya?" ujar lelaki itu setelah berhenti di sebuah rumah makan sederhana.

"Boleh, Mas."

Netra cokelat Alia menyelisik, mengamati bangunan yang tidak seberapa lebar. Daftar menu yang terpampang di depan rumah makan ini mengingatkannya pada suaminya. Ah, entah di mana lelaki itu sekarang.

"Ayo masuk, Al!"

"Silakan!" Seorang perempuan menyodorkan buku menu ke hadapan kami.

"Nasi goreng satu, Mbak," ujar Rian kepada pelayan itu. "Kamu pesan apa, Al?"

"Capcay dan koloke saja."

"Mohon ditunggu!" ujar pelayan itu sambil berlalu pergi.

Interior di dalam rumah makan ini tergolong biasa saja. Namun, kebersihan dan kerapiannya patut diacungi jempol. Alunan musik yang disetel semakin menambah kenyamanan suasana di sini.

"Suapin dong, Sayang." Suara perempuan mengalun lembut di telinga.

"Buka mulutnya. Aaaa ...." Suara bariton itu terdengar tak asing di telinga.

Alia menoleh ke arah sumber suara. Manik cokelatnya terpaku pada pria yang memegang sendok di tangan kanannya. Seorang perempuan berpenampilan modis sedang bermanja-manja dengan lelaki itu.

Perih! Bagai disayat-sayat pisau tajam. Bulir bening menetes deras. Luka di hatinya kembali menganga. Alia bergeming melihat suaminya bermesraan dengan perempuan lain.

"Astaghfirullah. Mas Arya ...," lirihnya.

"A-arya?" ujar Rian terbata-bata. "Kamu harus sabar, Al. Aku yakin suatu saat ia akan menyadari kesalahannya."

"Aku sudah tidak kuat, Mas. Ini menyakitkan!" Suara perempuan itu meninggi beberapa oktaf, membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya. Refleks, kedua tangannya menutupi wajah dan mengusap sisa lelehan air mata.

Tak berapa lama, Arya dan perempuan itu keluar dari rumah makan. Tanpa membuang waktu, Alia meminta pelayan membungkus semua makanan yang telah dipesan. Sedetik kemudian, ia menuju kasir untuk membayar.

Setelah menyodorkan beberapa lembar uang kepada kasir, Alia berlari kecil agar tidak kehilangan jejak Arya. Kini, jarak antara dirinya dengan Arya terpaut beberapa meter saja. Mereka terus berjalan ke arah barat hingga berhenti di depan sebuah hotel yang tak jauh dari lokasi.

Sejurus kemudian, mereka masuk ke dalam hotel yang bertulis "Sunset Hotel". Tangan perempuan itu melingkar erat di lengan Arya. Sesekali, tawa perempuan itu terdengar ketika Arya melontar beberapa guyonan kecil, lalu tangan kanannya mengusap rambut cokelat wanita di sampingnya.

***

"Selamat malam, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanya perempuan yang duduk di meja resepsionis.

"Saya pesan dua kamar di sebelah orang itu!" Alia menunjuk ke arah suaminya yang baru saja memasuki lift.

"Hah, Bapak Arya? Maaf, Anda siapa?"

"Jangan bertele-tele, Mbak! Kami buru-buru!" Rian membentak perempuan yang duduk di belakang meja resepsionis.

"Maaf, Pak. Kamar di sebelah sudah penuh. Beliau ada di kamar 216. Silakan Bapak naik lift itu! Koper Anda akan dibawa oleh pegawai kami. Selamat malam!" Perempuan itu menyodorkan dua kunci yang bertuliskan ‘218’ dan ‘220’.

Alia memainkan jari-jari tangan. Jarak antara dirinya dengan Arya hanya terpaut beberapa meter. Kemesraan yang mereka umbar terpampang jelas di depan netra perempuan itu. Tanpa pikir panjang, Alia mengeluarkan gawai dan mengambil potret kemesraan mereka hingga berakhir di sebuah kamar nomor 216.

Langkahnya makin gontai ketika Rian menyodorkan kunci bertuliskan ‘218’. Kamar itu berhadapan dengan kamar yang ditempati oleh Arya dan perempuan itu. Gurat kekhawatiran terpampang dari wajah Rian. Ia merasa tidak enak hati dengan Alia. Sedetik kemudian, Rian menyodorkan sisa kunci di tangan dan menyuruh Alia memilih.

"Aku tetap di kamar 218 saja, Mas." Alia menolak halus.

"Apa kau yakin, Al? Aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku takut jika kau melihat sesuatu yang seharusnya tidak kau lihat."

"Tidak apa-apa, Mas. Insyaallah aku baik-baik saja," ujar Alia seraya mengulas senyum.

Alia dan Rian berdiri cukup lama di depan lorong kamar. Rian berusaha menenangkan Alia yang tak kuasa menahan tangis. Hati perempuan itu terlanjur sakit. Cinta ini sudah ternoda. Namun, lelaki itu terus menguatkan Alia untuk mempertahankan bahtera perkawinannya bersama Arya.

"Masuklah, Al! Usap air matamu, ya. Tenangkan dirimu sejenak," tutur lelaki itu. "Jika kau ingin keluar, tetaplah bercadar seperti ini agar Arya tidak mengenali dirimu."

***

Perempuan itu merebahkan tubuh di atas kasur. Menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Namun, matanya tak dapat terpejam. Rasa gelisah tiba-tiba menghampiri.

Alia meraih gawai yang tergeletak di atas nakas. Membuka beberapa potret yang tersimpan di galeri. Air matanya menganak sungai. Menyiratkan sakit hati yang tak mampu tertahan.

Beberapa potret kemesraan Arya dengan perempuan itu berhasil menguras emosi. Alia mengamatinya dengan cermat. Tangan kekar suaminya melingkar di pinggang perempuan itu.

Jemari Alia berselancar di aplikasi hijau—whatsapp. Tangannya lihai membuka beberapa daftar pesan. Tanpa sadar, ia mengirim potret itu kepada ibu mertuanya.

Klung!

Gawai Alia berdering. Sebuah notifikasi pesan masuk terpampang di layar. Manik cokelatnya membulat, terfokus pada nama pengirimnya, ‘Mama Mertua’.

[Itu foto siapa, Al? Postur tubuhnya mirip dengan Arya.] Sebuah pesan balasan yang dikirim oleh ibu mertuanya. Alia lupa jika ibu mertuanya selalu terjaga di jam-jam seperti ini.

[Iya, Ma. Itu memang Mas Arya😭.]

[Astaghfirullah! Siapa perempuan itu, Sayang?]

[Itu Anita, sekretarisnya di kantor. Mereka berada di Yogyakarta sekarang. Beberapa hari lalu, Mas Arya bilang bahwa ada pekerjaan ke luar kota. Namun, aku tidak percaya begitu saja, Ma. Setelah membuka gawainya, aku menemukan pesan Anita kepada Mas Arya, Ma. Ternyata, mereka ada janji liburan di Yogyakarta.]

[Keterluan suamimu itu! Mama akan menelepon dia sekarang. Kamu yang sabar ya, Alia.]

[Jangan, Ma! Biarkan Alia menanggung ini sendirian. Insyaallah Alia sanggup, Ma. Satu hal, tolong rahasiakan ini dari papa ya, Ma.]

[Baiklah, Alia. Tidurlah, Sayang! Hati dan pikiranmu perlu diistirahatkan. Assalamualaikum.]

[Walaikumsalam.]

***

Sudah dua hari Alia berada di Yogyakarta. Akhirnya, ia memutuskan pulang. Namun, sampai saat ini suaminya belum pulang. Mungkin, lelaki itu menikmati liburan bersama Anita. Bahkan, Arya tidak pernah memberi kabar sama sekali.

🎧 'Ku menangis membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku

Kau duakan cinta ini

Kau pergi bersamanya ....

Gawai milik Alia berdering. Terpampang sebuah panggilan masuk dari Rian. Jemari Alia mengusap ke arah kanan, tanda menjawab telepon.

"Assalamualaikum."

"...."

"Apa? Baiklah, Mas. Aku akan ke sana sekarang. Assalamualaikum," ujarnya seraya menutup panggilan telepon.

Jemarinya berselancar pada aplikasi taksi online. Alia memesan taksi dengan tujuan RS. Bhakti Rahayu. Tak berapa lama, taksi yang ia pesan sudah tiba.

Jarum jam mengarah di angka empat, sedangkan mentari mulai condong ke arah barat. Menampilkan sinar kuning yang mendominasi. Jalanan terlihat padat merayap. Bertepatan dengan jam pulang kantor.

"Lebih cepat ya, Pak!" ujarnya setelah melihat plang ‘Bhakti Rahayu Hospital 100m 🔝’.

"Sudah sampai," ujar sopir itu.

"Terima kasih, Pak. Ambil saja kembaliannya." Perempuan berjilbab merah marun itu menyodorkan beberapa lembar uang kepada sang sopir.

Alia berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Menaiki lift menuju lantai dua. Netranya menyelisik, memperhatikan setiap ruangan dokter yang berjajar.

Perlahan, ia mengetuk pintu ruangan yang terpampang sebuah papan nama ‘dr. Rian Andika, Sp.OG’. Namun, tidak kunjung mendapat jawaban. Setelah beberapa kali ketukan, barulah terdengar jawaban dari dalam.

"Assalamualaikum, Dok."

"Walaikumsalam, Alia. Silakan duduk! Jangan kaku begitu, santai saja."

Rian adalah seorang dokter kandungan. Sebelumnya, Alia dan Arya pernah menjalani tes kesuburan di rumah sakit ini. Ternyata, Rian yang menangani permasalahan mereka.

"Bagaimana hasil tes saya, Mas?" Alia mengganti sebutan untuk Rian.

"Sebentar, ya. Saya akan mengambil laporannya." Lelaki itu beranjak dari tempatnya. Mencari-cari sesuatu yang tersimpan di lemari arsip.

Jemari lelaki itu cekatan membuka amplop putih di tangan. Manik cokelat Alia mengamati setiap gerak-geriknya. Namun, air mukanya tiba-tiba berubah. Raut ketidakpercayaan terpampang dari wajah Rian.

"Alia ...."

"Bagaimana hasilnya, Mas?" tanya Alia.

"Em ... begini, Al. Hasil tes ini menyatakan bahwa salah satu di antara kalian mengalami kemandulan."

"Itu pasti aku, ya?"

Rian menggeleng pelan, "Bukan, Alia. Hasil tes ini menyatakan bahwa Arya mengalami kemandulan."

Alia terperangah mendengar penuturan Rian. Tidak dapat dipercaya bahwa suaminya mengalami kemandulan. Namun, Alia berjanji merahasiakan ini dari suaminya. Arya tidak boleh mengetahui kebenarannya.

Tanpa diduga, Alia mengungkapkan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Bersekongkol dengan tim dokter untuk mengubah hasil tes itu. Terbesit keinginan bahwa namanya yang tertulis mengalami kemandulan. Ia terpaksa melakukan ini agar suaminya tidak patah semangat.

"Tolong bantu aku, Mas. Aku mohon!" Perempuan itu mengiba di hadapan Rian.

"Tidak bisa, Al. Ini sangat berisiko untuk rumah tangga kalian dan jabatanku. Jika aku melakukan ini, artinya melanggar sumpah dokter."

"Aku akan membayar biayanya dua kali lipat, Mas. Biarlah namaku yang tertera mengalami kemandulan. Perempuan sepertiku hanya ingin rumah tangga dengan Mas Arya berjalan harmonis." Jemarinya mengusap bulir bening yang meluruh deras.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!