NovelToon NovelToon

Dibuang Keluarga Diambil Sang Presdir

Bab 1

Saat itu hujan deras turun di Grade A City. Di kediaman keluarga Alexander, seorang wanita terkapar berlumuran darah di tengah ruangan.

Ia tidak berdaya ketika semua orang menghakiminya. Setelah kejadian itu terungkap, dia di tinggalkan sendirian. Bahkan hanya untuk sekedar membela diri pun ia tidak diberi kesempatan.

Kata kata kasar Ayahnya, menggema di telinganya.

"Aku Anthonio Alexander hanya memiliki satu orang putri yaitu Sandra Alexander. Dan kau Anggi, kau bukan lagi anakku!"

Anggi tersenyum. Bukan senyum yang biasa, ia menyeringai. Ibu tiri dan saudara tirinya telah menjebaknya, namun ia yang disalahkan.

"Anggi, aku tidak akan nengampunimu! Kau telah merusak nama baik keluarga Alexander!"

Nafas Anggi semakin melemah. Saudara tirinya Sandra telah merebut kekasihnya. Dan kini dia dicambuk oleh ayahnya sendiri.

"Seharusnya aku mengusirmu saat ibumu meninggal setelah melahirkanmu dulu!"

Anggi menyipitkan mata menatap Sandra.

Sandra berjalan ke arah Anggi dan berjongkok di depan wajahnya. Di depan semua orang dia adalah gadis yang lugu dan manis. Namun kini, seringai ganas menggantikannya.

"Anggi, bagaimana sekarang rasanya disiksa oleh ayah? Apakah kamu sudah mendapatkan pelajaranmu?"

"Edward lebih memilihku. Dan kau bukan lagi anak kesayangan di keluarga ini. Untuk apa lagi kau hidup, sebaiknya kau mati saja..." Kata Sandra sambil menyeringai.

Anggi berusaha sekuat tenaga mengangkat tangannya. Ia ingin mencekik Sandra dan membawanya mati bersamanya. Namun karena cambuk ayahnya terus mengguncang tubuhnya, tangan Anggi akhirnya jatuh kembali ke lantai.

Sandra melihat Anggi meringis kesakitan. Dan itu membuatnya memiliki ide ganas. Dia mengambil larutan garam, merendam kakinya lalu menginjakkan kaki itu di atas luka terbuka yang ada di punggung Anggi.

"Argghhhh!!" Anggi menjerit kesakitan.

Jeritan kesakitan Anggi membuat Sandra lebih bersemangat. Ia menambah tekanan kakinya sehingga itu membuat Anggi merasakan sensasi perih terbakar yang kuat.

"Hentikan! Aku mohon hentikan!!"

Semua orang yang ada di ruangan itu tidak bergerak sedikit pun. Bahkan anggota keluarga Alexander lainnya hanya menyaksikan di lantai atas sambil menyilangkan tangan di dada.

"Anggi, kamu pikir pada siapa kamu memohon? Sandra berhak melakukannya!" Ucap Anthonio.

"Siapapun yang berani membantunya atau membawanya ke rumah sakit harus melawanku! Aku ingin anak ini menyadari apa yang telah ia perbuat!"

Suara Anthonio kembali menggema di tengah kesadaran Anggi yang semakin menghilang.

Tidak! Tiba tiba keinginan bertahan hidup Anggi semakin kuat. Ia tidak boleh mati hanya karena orang orang mengucilkannya. Dia harus terus hidup agar bisa membalas dendam pada keluarga ini.

Rasa sakit yang menyiksa tubuh Anggi membuatnya hampir kehilangan kesadarannya berkali kali. Namun berkat tekadnya yang kuat. Sampai akhir pun ia berhasil untuk tidak menutup matanya.

"Bagaimana? Apa menurutmu wajah cantikmu itu bisa berguna di situasi seperti ini?" Sandra mencemooh.

"Kecuali kau cukup dekat dengan tuan Leonardo Smith, mungkin ayah tidak akan menyiksamu seperti ini. Tapi aku tidak akan pernah membiarkan itu terjadi."

Sandra menajamkan pandangannya saat ia mengeluarkan pisau dari balik punggungnya.

Tepat sebelum ia berhasil menyayat wajah Anggi dengan pisau tersebut, lampu di rumah itu mendadak mati.

Ruangan yang gelap diiringi suara petir yang menggelegar mengejutkan Sandra sehingga ia menjatuhkan pisaunya.

"Ada apa ini?"

"Kenapa lampunya tiba tiba...."

Bisik beberapa orang.

"Penjaga!" Anthonio berteriak.

Dua orang pria bertubuh kekar langsung berdiri di hadapannya.

"Singkirkan Anggi dari hadapanku!"

Kedua pengawal itu mengangguk. "Baik tuan."

Anggi diseret keluar dari rumah dengan kasar. Tubuhnya menyapu lantai dan meninggalkan bekas merah darah di jalan yang dilewatinya.

Anggi dibuang di pinggir jalan.

Ia terus meringis kesakitan.

Hujan yang semakin deras membuat lukanya semakin perih dan air hujan membuatnya basah kuyup.

"Arghh!!"

Dan tak berselang lama pandangannya menjadi silau ketika sebuah lampu mobil mendekatinya dan berhenti tepat di depannya.

Anggi tersentak ketika pintu mobil itu dibuka dan seseorang turun. Karena lampu mobil yang silau ia tidak bisa mengenali dengan jelas wajah orang itu.

BRUKK!

Ah!" Anggi jatuh ke tanah setelah mencoba berdiri. Saat itu ia bisa melihat sepasang sepatu mahal dan celana panjang hitam pas di depannya, tapi Anggi akhirnya pingsan dan kehilangan kesadaran.

"Oh, Anggia Alexander. Bagaimana bisa kau bisa berakhir seperti ini?"

Laki laki itu mengangkat tubuh Anggi dan membawanya ke dalam mobilnya.

Sejak hari itu Anggi menghilang dari seluruh kota dan negara tersebut, dan dia baru berusia 20 tahun.

*****

Lima tahun kemudian.

Setelah kepergian Anggi, Grade A City terus berkembang dan masyarakat kelas atas semakin makmur.

Di bandhara kota, Anggi keluar dari gerbang kedatangan dengan membawa koper besar. Berjalan di sampingnya ada seorang anak perempuan dengan wajah manis berusia lima tahunan.

Anak perempuan itu berjalan dengan mengenakan kacamata hitam di matanya. Sambil membaca buku dia seperti seorang model yang berjalan di landasan fashion show.

Anggi memegang tangan anak tersebut dan terus berjalan semakin menjauh. Bibir merah, rambut hitam serta kaki yang lurus benar benar menarik perhatian semua orang yang ada di bandhara. Semua mata menoleh kemanapun dia pergi.

Ketika Anggi melewati seorang laki laki, laki laki itu membeku dan berbalik.

"Dia kembali?"

Laki laki yang ada di sampingnya ikut berbalik dan menoleh ke arah yang sama.

"Saya dengar tuan besar Alexander, kakeknya sedang sakit dan dia pulang untuk bertemu yang terakhir kalinya, tuan." Ucap Sekretaris itu.

"Ah, benarkah?"

"Kalau begitu, apakah itu putrinya?"

Laki laki yang dikenal sebagai Leonardo Smith itu menyeringai lalu memalingkan wajah dan pergi diikuti oleh sekretarisnya.

*****

Mobil melaju dari bandara.

Bandara itu agak jauh dari pusat kota.

Waktu berlalu dan Anggi tiba di Grade A City.

Rumah keluarga Alexander adalah salah satu rumah terbesar di Grade A City. Itu terletak di jantung kota dan setiap inci dari rumah itu sangat berharga.

Bagian depan rumah dikelilingi oleh bukit dan sungai buatan manusia, dan lebih dalam di dalamnya ada hutan kecil dengan banyak tanaman subur. Bangunan itu megah di antara perumahan yang memiliki desain sederhana dan elegan. Itu membuat tempat itu tampak seperti oasis di hutan beton.

Setelah jalan yang sepi, bangunan utama rumah muncul di hadapan mereka.

Gerbang tinggi dengan desain megah sama sekali tidak menarik perhatian Anggi.

Dia berjalan ke dalam bersama Melisa tanpa jeda. Sembari bersenandung, ada aura mengancam dari bibirnya yang melengkung.

Ia terus melangkahkan kakiknya. Semakin mendekat, ia melihat ukiran nama Alexander tepat di tiang besar.

Keluarga ini sekarang dikendalikan oleh Jihan Alexander, ibu tirinya. Sedangkan Sandra, ****** itu akan bertunangan dengan Edward Smith minggu ini.

"Tidak apa apa." Anggi berkata pada dirinya sendiri.

Karena dia telah memutuskan kembali, dia tidak berencana untuk pergi lagi.

Anggi telah bersumpah dia akan membalas dendam. Dulu dia meninggalkan tempat ini dengan cara yang sangat buruk. Dan kini dia harus membuat semua orang merasakan hal yang sama, bahkan lebih buruk!

Dia menatap Melisa. "Ayo masuk."

Bab 2

Saat mereka tiba di dalam, beberapa wanita anggun sedang duduk di ruang tamu sambil mengobrol.

Kedatangan Anggi langsung membungkam mulut mereka. Para wanita itu menatap sinis ke tempat Anggi berdiri.

Salah satu dari mereka mengejek, "Wah, lihat! Siapa yang datang ke sini? Bukankah itu wanita tidak tahu diri yang pernah menjadi putri kebanggaan di keluarga Alexander?"

Pernah? Anggi tidak peduli dengan konentar itu. Ia hanya menyeringai dan tidak menanggapi wanita tersebut.

"Benar. Dia memang tidak tahu diri. Lihat itu, bahkan dia punya anak tanpa seorang suami. Pasti dia menjalani kehidupan yang bebas saat terdampar di luar negeri kan?" Kata wanita lain sambil menertawakannya.

"Hahaha!"

Para wanita itu mengejek Anggi sampai seorang wanita yang duduk di paling tengah berdiri. Ia mengenakan pakaian yang paling bagus dan tubuhnya pun masih terjaga walaupun ia sudah berusia 50 tahunan.

Dia berjalan mendekati Anggi dengan memasang wajah hangat dan ramah. "Anggi, akhirnya kamu pulang. Keluarga Alexander sudah menunggu kedatanganmu."

Wanita itu adalah Jihan, ibu tiri Anggi. Wanita yang berselingkuh dengan Anthonio selama pernikahannya dengan ibu Anggi.

Jihan selalu berusaha agar terlihat polos dan penuh kasih saat di depan banyak orang. Namun dalam kesendirian, dia telah melakukan segala macam hal untuk menyakiti orang lain.

Anggi tersenyum sambil menepuk bahu Jihan. "Bibi, kau tidak perlu melakukan ini padaku sekarang. Aku tahu kamu adalah salah satu orang yang ikut mengusirku dari rumah saat itu."

Jihan terdiam dan langsung menoleh ke arah teman temannya, mungkin ia merasa malu?

Dia tahu betul Anggi adalah gadis yang berani sejak dulu. Dan menurutnya Anggi telah berubah dan menjadi patuh setelah bertahun tahun hidup di luar negeri. Namun ternyata dia salah, Anggi kembali untuk sebuah alasan.

Meskipun begitu, Jihan harus tetap tenang. Ia kembali tersenyum dan berkata. "Itu keputusan ayahmu, Anggi. Kami tidak bisa menentangnya, kau tahu itu. Intinya, senang bisa melihatmu kembali."

"Hemm, baiklah. Terserah kamu mau bilang apa."

Jihan kemudian memanggil seorang pelayan.

"Mina."

"Iya nyonya?"

"Tolong bawakan koper Anggi ke kamarnya. Kakek juga sudah menunggu. Setelah itu, antar dia untuk menemuinya."

Kata kata Jihan terdengar begitu lembut, namun yang asli adalah arti dari sebaliknya.

Mina, pelayan kepercayaan di rumah itu mengangguk. "Baik, nyonya."

Kemudian Anggi dibawa ke lantai atas. Saat ia menaiki tangga, ia masih bisa mendengar para wanita itu menggunjingnya dari belakang.

"Jihan, seharusnya kau jangan biarkan wanita itu menginjakkan kakinya lagi di rumah ini. Dia wanita yang kasar, tidak tahu malu dan gila."

"Kasihan tuan Anthonio memiliki seorang anak yang kasar seperti dia. Bahkan saat dia tahu bahwa Edward lebih memilih Sandra saat itu, dia terlihat marah dan selalu iri pada kebahagiaan orang lain."

"Sudahlah. Jangan bahas masa lalu, dia hanya belum dewasa saat itu." Jihan menghentikan teman temannya membicarakan Anggi agar ia terlihat murah hati dan pemaaf.

Dan saat itulah seseorang datang melalui pintu masuk dengan suara yang jelas.

"Bu, aku dan Edward kembali."

Edward?

Kaki Anggi membeku sebentar saat mendengar nama itu. Dan Melisa memperhatikan wajah ibunya.

"Ada apa bu?"

Anggi menepuk kepala putrinya "Tidak apa." Kemudian dia lanjut berjalan.

Sementara di ruang tamu. Setelah Sandra menggandeng tangannya, Edward melirik tangga dan melihat sosok wanita yang dikenalnya.

Sandra menyadari perubahan reaksi Edward dan melihat ke arah yang sama. Ketika dia mengenali wanita itu, Wajah Sandra menjadi gelap.

"Apakah dia kembali?"

*****

Setelah menaruh barangnya dan meninggalkan Melisa di kamar tidur. Anggi datang menemui tuan Jonathan Alexander, pemimpin keluarga dan kakek Anggi.

Laki laki tua itu duduk di kursi roda dan hanya bisa menghabiskan sebagian besar waktunya di ruangannya. Dia menderita lumpuh dan beberapa penyakit bawaan yang membuat sebagian tubuhnya tidak bisa digerakkan.

Alexander mendekat dengan didorong oleh pelayan pribadinya.

"Kamu sudah sampai." Suaranya terdengar lemah.

Anggi mengangguk.

"Duduklah, ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

Anggi duduk di hadapan Alexander. Di saat pandangan pertama mereka bertemu rasanya tidak seperti reuni bertahun tahun. Rasamya lebih seperti dua orang asing yang duduk di ruangan yang sama sedang bernegosiasi atau lebih buruknya bermusuhan.

Alexander berkata. "Kamu sudah bertahun tahun tinggal di luar negeri. Kini sudah waktunya kamu memulai hidup baru dan memikirkan dimana kamu akan menetap."

"Ya." Anggi mengangguk. Dia entah bagaimana bisa menahan dendamnya pada pria itu dan tidak menyuarakan pikirannya, mengatakan bahwa dia dan keluarganya yang mengusirnya dari rumah lima tahun lalu.

Dia harus mempertahankan rasa hormat paling tidak sedikit untuk pria itu karena dialah yang bertanggung jawab, kepala keluarga yang memerintah anggotanya. Anggi bukan lagi gadis muda yang percaya dia bisa balas dendam tanpa menanggung konsekuensi apapun.

"Kamu sudah tidak muda lagi. Adikmu juga akan menikah, jadi aku yakin kini sudah waktunya kamu memikirkan tentang memiliki pasangan juga."

"Jadi, kamu menyuruhku kembali bukan karena ingin melihatku untuk terakhir kalinya tetapi kamu ingin aku menikah?"

"Aku sudah tua. Aku ingin melihatmu berkeluarga." Alexander memasang tampang muram.

Anggi menyeringai.

"Putra pertama dari keluarga Sebastian, Andre. Dia lebih tua darimu. Aku sudah berbicara dengan keluarga mereka, dan kalian bisa bertemu terlebih dahulu sebelum membicarakan pernikahan." Alexander akhirnya membicarakan tujuannya.

"Andre? Bukankah dia baru saja dibebaskan dari penjara karena  tindakan kriminalnya? Ada banyak keluarga kaya di Grade A City yang tidak mau menikahkan putri mereka dengannya."

"Itu adalah masa lalu, Anggi. Kamu beruntung karena dia masih mau menerima kamu dan anakmu. Bersyukurlah!" Kata Alexander dengan tegas.

Bersyukur? Laki laki itu menyuruhnya menikah dengan seorang penjahat dan dia harus bersyukur?

"Tapi kakek, aku dengar keluarga ini sedang mengalami kesulitan keuangan akhir akhir ini. Aku hanya ingin tahu berapa banyak yang kau dapatkan dari keluarga Sebastian dengan adanya pernikahan ini?"

Alexander terdiam mendengar pertanyaan Anggi. Mulutnya terasa pahit ketika ingin menjawab.

"Aku menyuruhmu untuk memikirkan tentang pernikahan, bukan untuk menentang perintahku."

"Oh, baiklah. Hanya saja aku penasaran, seberapa berharganya aku di keluarga ini?"

"Yah, bagaimanapun juga anda sudah berbicara dengan keluarga Sebastian. Jadi, saya hanya bisa setuju kan?" Ucap Anggi, ada sedikit nada mengancam dari suaranya.

Bibirnya melengkung menjadi seringai tajam yang membuat wajah cantiknya menjadi mengerikan.

"Senang mendengarnya. Akhirnya kamu bisa bersikap dewasa juga."

*****

Anggi keluar dari ruangan Alexander dan berjalan menuju kamarnya sendiri.

Saat dia berjalan kembali, tiba tiba seseorang menghadangnya dan memaksanya untuk menghentikan langkahnya.

Pria yang dulu dia cintai sepenuh hati, kini berdiri di hadapannya dengan penuh kebanggaan dan kepercayaan diri.

Anggi dan Edward tumbuh bersama dan keduanya berpacaran sejak SMA. Hubungan mereka manis dan stabil saat itu, memang ada pertengkaran pertengkaran kecil namun itu hal wajar untuk pasangan muda.

Edward dulu juga mencintainya, namun yang mengejutkan ia berakhir tidur dengan Sandra. Itu adalah tamparan yang keras bagi Anggi.

Pacarnya direnggut tapi semua orang menganggap Sandra sebagai korban dan Anggi kehilangan segalanya. Terlepas dari apa yang terjadi, itu hanyalah masa lalu kelam yang tidak akan menyenangkan jika diingat kembali.

Untungnya, Anggi bisa bertahun tahun tinggal di luar negeri dan itu banyak mengajarinya tentang ketangguhan dan kesabaran.

"Anggi." Edward memanggilnya dengan suaranya yang lembut dan hangat.

Bab 3

Anggi tersenyum pada Edward. Bukan senyum yang penuh emosi, namun itu adalah senyum polos yang tenang.

"Sudah bertahun tahun kita tidak bertemu ya. Bagaimana kabarmu?" Edward bertanya dengan santai seolah sedang bertanya kepada sahabat atau kerabat dekat.

"Bagaimana kabarku itu bukan urusanmu." Kata Anggi dingin.

"Dulu kita pernah jatuh cinta satu sama lain. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu, kenapa jawabanmu begitu?"

"Aku yakin kau juga sudah tahu kenapa aku disuruh kembali ke rumah ini kan?" Kata Anggi dengan sath sudut bibirnya yang terangkat.

"Aku ingin kamu bahagia. Andre Sebastian bukan laki laki yang baik. Dia tidak pantas untukmu."

"Itu juga bukan urusanmu tentang laki laki siapa yang pantas untukku."

Edward terdiam sesaat.

"Jika hubungan kita yang dulu baik baik saja, kau tidak akan mengalami semua ini."

"Ah, tidak apa apa. Aku bersyukur bisa putus denganmu, Edward."

"Sudahlah, Anggi. Jujur saja, aku bisa membantumu menghindari pernikahan itu jika kau memohon padaku." Kata Edward dengan tatapan mengejek namun dibuat seperti tulus.

"Menurutku menikah dengan Andre lebih baik daripada menikah dengan laki laki yang berselingkuh."

Anggi terkekeh jijik sebelum dia pergi, membuat Edward merasa malu.

Edward mencoba bersimpati pada Anggi. Namun, dia terkejut dengan sikap keras Anggi dan membuatnya berfikir dua kali. Dia hanya berpura pura tangguh kan? Seharusnya dia tidak seperti ini.

Edward berbalik ke arah Anggi dan berkata dengan keras. "Dimana harga dirimu sekarang? Kamu kembali dengan seorang anak. Apa menurutmu kau masih wanita yang baik?"

"Jika dulu kau mau tidur denganku, aku tidak akan meniduri Sandra saat itu!"

Anggi membeku, kemudian ia berbalik pada Edward. Saat itu, dia melihat seseorang muncul di balik punggung Edward.

Ia menyeringai dan berkata dengan sangat tajam. "Jadi, kau melampiaskan keinginanmu pada Sandra karena gagal mendapatkannya dariku?"

Edward mengerutkan kening, di belakang juga ada Sandra yang melebarkan mata pada Anggi.

Dan sebelum Edward bisa membalas perkataan Anggi, Sandra sudah terlebih dahulu mengucapkan kata manisnya. "Sayang, apa yang sedang kalian bicarakan?"

Kedatangan Sandra yang tiba tiba mengejutkan Edward. Dia mendekat dan melingkarkan tangannya seperti wanita yang manis.

"Hanya menyapa saja." Edward mengelus punggung tangan Sandra sambil tersenyum penuh kasih.

Anggi berdiri di sana menyaksikan adegan mesra mereka. Bibirnya masih melengkung menunjukkan ekspresi penuh arti.

Setelah bermesraan beberapa saat, akhirnya Sandra tersadar dengan keberadaan Anggi dan menghampirinya. "Kak, selamat datang kembali. Aku sangat merindukanmu."

"Seharusnya aku tidak melakukan hal itu saat dulu. Gara gara aku kamu menderita.....ah, pokoknya semua kesalahanku."

Sandra benar benar mewarisi bakat akting dari ibunya. Matanya mulai berair dan ia menunduk seolah merasa menyesal.

Namun Anggi berbeda dari yang dulu. Ia memperhatikan wajah Sandra dengan tenang tanpa amarah. Jika dulu pasti dia sudah mencekiknya, dan itu yang membuat raut wajah Sandra berubah menjadi masam.

Kenapa dia tidak marah? Ada apa dengan senyumnya itu? Apa dia sedang mengejekku!

Keadaan menjadi sunyi sesaat dan Anggi kemudian berkata. "Aku tidak punya waktu untukmu. Aku lelah, aku ingin istirahat."

Anggi tidak menjawab dan tidak memberikan tanggapan apapun pada Sandra lalu pergi begitu saja. Sandra memelototinya dari belakang dan menatap Edward.

"Aku rasa ada yang aneh dari sikapnya kan?"

"Mungkin dia sudah menyadari kesalahannya dan belajar untuk berubah menjadi gadis yang sopan sekarang." Edward menyuarakan pendapatnya.

Sandra hanya mengangguk menghilangkan kecurigaannya.

*****

Anggi kembali ke dalam kamarnya dan menemukan Melisa sedang duduk di tempat tidur dengan kaki yang menjuntai ke bawah. Dia menunggu ibunya tanpa melakukan apa apa.

Anggi bertanya. "Apakah kamu mengantuk?"

"Lumayan."

"Mandilah dulu, setelah itu kita tidur bersama ya." Anggi mengelus puncak kepala Melisa dengan lembut.

"Iya bu."

Melisa turun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Ia menyalakan shower dan sementara Anggi mulai membereskan pakaian mereka. Melisa adalah anak yang mandiri, dia bisa mengurus dirinya sendiri dengan sangat baik walaupun baru berusia lima tahun.

Setelah Melisa selesai mandi dan mengeringkan rambutnya, keduanya lanjut tidur dan terlelap dengan cepat.

Ketika Anggi bangun, langit sudah gelap dan waktu makan malam tiba.

Dia mengucek matanya dan melihat Melisa sedang berkutik dengan tabletnya. Mungkin gadis kecil itu hanya terlihat bermain main, namun sebenarnya hanya dia sendiri yang tahu apa yang sedang dia lakukan.

Anggi meregangkan tubuhnya dan bertanya. "Jam berapa sekarang?"

Melisa melirik jam. "Jam setengah delapan malam."

"Apa dari tadi tidak ada yang datang mengetuk pintu?"

"Tidak."

Anggi mengerutkan kening. Dia dengan cepat membersihkan wajahnya dan Melisa berganti pakaian lalu turun.

Benar saja, Jihan, Sandra serta Edward sudah ada di bawah berkumpul di meja makan.

Dan saat itulah Anggi melihat Anthonio, ayahnya yang menyiksanya dan membuangnya ke jalanan lima tahun yang lalu.

Dia trauma dengan apa yang dilakukan Anthonio lima tahun lalu dan bayangan itu menghantuinya dalam waktu yang lama. Ia tidak tahu seberapa jauh seorang pria akan bertindak jika marah, tapi ayahnya memberitahunya saat itu. Secara fisik, saat dia berusia 20 tahun.

Anthonio juga memperhatikan Anggi, dia berkata dengan suara yang berat. "Kenapa baru turun? Apa kau tidak tahu jam berapa sekarang? Dimana sopan santunmu!"

"Apa ada yang memanggilku untuk turun?"

"Ibumu datang ke kamarmu."

Anggi tidak terkejut dengan taktik yang dimainkan Jihan. Dia tidak bisa membantah dan hanya akan membuang waktu saja jika harus membongkar kebohongan wanita itu.

Anggi hanya berkata. "Saat aku berada di luar negeri, dimana kamu? Apakah kamu memberiku sesuatu? Tidak, bahkan satu peser pun. Aku tidak kenal siapapun dan tidak memiliki apapun di sana. Saat aku tidur di jalanan dan makan seadanya, dimana kamu?"

"Aku pikir aku melakukannya dengan cukup baik hanya untuk kembali dengan tetap utuh. "

"Cukup! Kamu tidak dipanggil ke sini untuk menantangku! Jika kamu patuh seperti adikmu, hubungan keluarga ini tidak akan menjadi seperti ini."

Anggi tidak peduli lagi dengan siapa ia berbicara, bahkan dengan ayahnya sendiri sekalipun, ia berkata dengan jelas. "Jika kamu ingin aku kembali ke rumah ini dan menikahi seorang pria, lebih baik kau bersikap sedikit lebih baik padaku."

"Jika tidak, orang akan berfikir kau menjual putrimu sendiri."

"Kamu tidak ingin reputasimu jelek hanya karena rumor seperti itu kan?" Ucap Anggi.

"ANGGI!" Anthonio sudah sangat marah. Anggi mempermalukannya di depan yang lain dan dia sudah tidak memiliki harga diri.

"Jangan khawatir, aku akan menikah."

Deg! Tenggorokan Anthonio tercekat dan dia tidak bisa berbicara saat mendengar jawaban itu.

Segalanya menjadi canggung dengan cepat. Anthonio tidak tahu harus bereaksi seperti apa untuk membalas perkataan Anggi.

Jihan memperhatikan kecanggungan di ruangan tersebut dan dengan cepat  berkata. "Astaga, Lihat dirimu dan emosimu. Jeanne baru saja kembali dan kau malah marah. Menurutmu apa yang akan dia lakukan? Pertahankan kesabaranmu dan saatnya makan malam.”

Anthonio mendengus dan kemudian semua keluarga berkumpul untuk makan malam.

Karena tuan besar Alexander duduk di kursi roda, dia biasanya makan di ruangannya.

Tanpa kehadiran Alexander, Anthonio lah yang menjadi paling berkuasa di keluarga.

Tidak ada yang berani berbicara sepatah kata pun di meja makan.

Anthonio melirik Melisa yang sedang makan dengan tenang di samping Anggi.

"Dia pasti anak haram yang kamu miliki dengan seorang bajingan miskin yang berpendidikan rendah."

Anggi menarik bibirnya dan meletakkan garpunya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!