"Ada yang mau aku bicarakan denganmu!" Ucap seorang pria menahan langkah kaki seorang wanita yang akan berjalan ke kamar mandi.
'Apa Mas Evan akan meminta haknya malam ini?!' Batin wanita itu dengan perasaan yang mulai gugup. Resepsi pernikahan mereka telah berakhir beberapa waktu yang lalu. Dan kini mereka berada di sebuah kamar hotel. Hanya berdua saja.
Apa lagi yang akan dilakukan pasangan suami istri di malam pertama mereka? Memikirkannya saja membuatnya mulai panas dingin.
"I-iya, Mas." Jawab wanita itu seraya meremas gaun pengantinnya. Perasaannya campur aduk jadi satu.
"Duduklah!" Pinta Evan dengan nada datar dan terkesan dingin.
Wanita itu pun mendudukkan diri di sofa yang berhadapan dengan suaminya yang beberapa jam yang lalu resmi menikahinya.
"Aura..." panggil pria itu kembali. Sorot matanya begitu sangat tajam menatap wanita itu.
"I-iya, Mas." Jawab Aura segera. Ia berusaha tenang, wajah suaminya sangat tegang. Pasti hal penting yang akan dikatakan suaminya.
Tapi apa? Aura jadi penasaran sendiri.
"Aura, aku menceraikanmu!" Ucap Evan dengan sangat tegas dan jelas.
Deg
Aura amat terkejut. Tidak menyangka jika Evan akan berbicara tentang perceraian di malam pertama mereka.
"Ta-tapi ki-kita baru saja menikah." Ucap Aura berusaha menahan air matanya. Ia tidak mengerti, baru saja mereka menikah. Bahkan hari minggu ini pun belum berganti. Tapi, ia diceraikan. Ia sudah menjadi janda saja.
"Aku tidak mencintaimu dan tidak akan pernah bisa mencintaimu. Kamu tahu dengan jelas, bahwa aku terpaksa menikahimu karena keinginan orang tuaku. Aku telah menikahimu, menuruti mereka. Dan sekarang aku menceraikanmu!" Jelas Evan kembali sambil menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia harus mengakhiri semua ini. Mengakhiri pernikahan yang terpaksa ini.
"2 bulan lagi, aku akan mengatakan pada kedua orang tuaku tentang perceraian kita. Dan selama itu, berpura-pura masih menjadi istriku di depan mereka!" Timpal Evan kembali. Ia tidak bisa langsung mengatakan tentang perceraian mereka pada kedua orang tuanya. Mereka pasti shock dan tidak akan menerimanya.
Aura menatap pria itu. Hatinya begitu sakit dan terasa sesak. Mengira pernikahan mereka walau atas perjodohan, akan berlangsung lama. Tapi ternyata, hanya bertahan beberapa jam saja.
Evan bangkit dari duduknya dan akan melangkah pergi. Tapi ia berhenti dan berbalik, meletakkan sesuatu di atas meja.
"Selama itu, tinggallah di apartemenku!"
Setelah mengatakan itu, Evan pun pergi meninggalkan Aura sendirian di kamar itu.
Aura menatap kartu akses yang diletakkan Evan di atas meja. Hatinya sangat hancur sekali. Jika terpaksa, kenapa Evan tetap menikahinya? Seharusnya pria itu kan bisa menolak.
Sebulan yang lalu, kedua orang tua Aura meninggal akibat kecelakaan bus. Bus yang ditumpangi kedua orang tua Aura terjun ke jurang dan semua penumpang tewas.
Aura yang baru pulang bekerja, mendadak shock mendengar kabar tersebut. Ia menangis histeris ditinggalkan kedua orang tuanya begitu saja. Padahal tadi pagi, mereka masih bersama. Tapi saat sore menjelang, semuanya hilang sudah. Mereka telah pergi untuk selama-lamanya dan tidak akan kembali lagi.
Beberapa hari setelah pemakaman kedua orang tuanya. Aura hanya mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak pergi bekerja bahkan untuk makan pun tak berselera. Hanya menangis dan menangis saja. Menangis seorang diri.
Tak ada lagi semangat dalam hidupnya. Tak ada lagi yang selalu memarahinya. Tak ada lagi yang selalu menasehati dan mengingatkannya. Semua kini telah hilang. Mereka telah pergi.
Aura mengusap air matanya, lalu memejamkan kedua matanya. Berharap ini adalah mimpi. Mimpi buruknya saja. Lalu ia kembali membuka kedua matanya, berharap melihat kedua orang tuanya. Dan tetap saja tidak ada yang berubah, mereka tak di sisinya lagi.
"Ayah... Bunda... kenapa kalian meninggalkanku sendirian? Seharusnya kalian mengajakku! Kenapa kalian pergi berdua saja? Kalian bilang menyayangiku dan kita akan bersama selamanya. Kenapa kalian membohongiku???"
Aura menangis terisak-isak sambil memukuli dadanya yang terasa begitu sesak. Ia sangat merindukan kedua orang tuanya. Merindukan pelukan mereka.
Tok... tok... tok...
"Ayah... Bunda..." ucap Aura. Ia mengusap air matanya dan berjalan untuk membuka pintu. Berharap itu kedua orang tuanya yang datang.
Aura belum bisa menerima kepergian mereka. Meski ia sudah melihat langsung jenazah keduanya, tapi masih merasa jika ini hanyalah mimpi buruknya.
Aura membuka pintu dan ia kecewa, ternyata bukan kedua orang tuanya.
"Aura..." ucap seorang wanita paruh baya yang langsung memeluknya. "Sabar ya, nak!"
"Tante Ros." Aura menangis dipelukan wanita paruh baya itu. Suara tangisannya begitu sangat menyedihkan.
"Maaf, kami baru bisa datang sekarang!" ucap om Rendi suaminya tante Ros.
Rendi dan Ros berteman baik dengan kedua orang tua Aura. Mereka sering datang ke rumah mereka. Tapi saat kabar duka tersebut, keduanya masih berada di luar negeri. Dan baru sekarang bisa datang. Mereka tidak bisa melihat teman baiknya itu untuk yang terakhir kalinya.
"Aura ikut tinggal sama tante ya." Ucap Tante Ros melonggarkan pelukannya.
Aura masih sangat muda sekali. Usianya saja baru 20 tahun. Wanita semuda itu, tidak baik tinggal sendirian.
"Benar, kamu tinggal bersama kami ya." Timpal om Rendi.
Aura menggeleng, ia tidak mau merepotkan siapapun.
"Kamu harus tinggal bersama kami. Kami tidak tenang membiarkan kamu sendiri." Ucap Om Rendi. Aura kini hanya sebatang kara dan tidak memiliki saudara. Gadis itu juga sedang berduka. Akan bahaya meninggalkannya sendirian.
"Ti-tidak, Om! Terima kasih." Tolak Aura dengan sopan.
Tapi tante Ros tetap memaksa, hingga Aura pun tidak dapat menolak niat baik mereka.
Aura dibawa tinggal ke rumah mereka. Om Rendi dan Tante Ros sangat baik padanya. Ia dianggap seperti anak mereka sendiri, karena mereka tidak memiliki anak perempuan. Mereka memiliki seorang putra bernama Evan yang berusia 27 tahunan.
Evan memaklumi kedua orang tuanya yang membawa wanita itu tinggal bersama mereka. Kedua orang tuanya hanya kasihan dengan wanita itu. Mungkin mengingat atas nama pertemanan di antara mereka.
Om Rendi dan tante Ros sangat menyayangi Aura dan mereka pun berniat menjodohkan dengan putranya. Aura ingin menolak, tapi karena kebaikan keduanya, ia jadi segan dan terpaksa menerimanya.
Dan Evan jelas menolak perjodohan itu dan bahkan mulai benci saat melihat Aura. Padahal biasanya pria itu bersikap biasa saja padanya.
Berkali-kali Evan terus menolak. Tidak menerima perjodohan itu. Tapi seminggu kemudian, pria itu pun jadi setuju.
Selang dua minggu kemudian, pernikahan itu pun digelar. Walau pernikahan mendadak, tapi tetap berlangsung mewah dan meriah. Aura saat itu merasa menjadi ratu sehari.
Tapi, selang beberapa jam kemudian dunianya terasa runtuh. Evan menceraikannya.
Aura menghembuskan nafas berkali-kali. Ia kini berdiri di depan jendela kamar hotel. Menatap pemandangan malam yang disinari cahaya lampu.
'Ayah... Bunda... aku merindukan kalian. Aku ingin ikut kalian saja!'
.
.
.
''Ayah, Bunda... Apa kabar?" tanya Aura menatap sendu makam kedua orang tuanya. Makam yang saling bersebelahan.
Sudah lama berlalu, Aura kini sudah mulai menerima dan mengikhlaskan semua.
Aura bercerita tentang pernikahan yang berlanjut dengan perceraian. Pernikahan yang super singkat.
''Mungkin Aura bisa mendapat rekor... Yah, Bun. Anak kalian ini sudah menjadi janda.'' Timpalnya kembali sambil tersenyum tipis.
Aura berbicara sendiri di makam itu. Seolah sedang mengobrol dengan kedua orang tuanya. Saat keduanya masih ada, Aura jarang mengobrol dengan mereka. Pulang bekerja, Aura hanya sekedar menyapa dan langsung masuk kamar. Membersihkan diri lalu tidur.
Kini hanya rasa penyesalan saja yang tertinggal. Seharusnya ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama mereka. Seharusnya ia mengobrol sampai larut malam dengan mereka. Seharusnya ia memeluk mereka setiap malam. Seharusnya... seharusnya itu saja yang memenuhi pikiran Aura.
Aura keluar dari area pemakaman umum. Ia merogoh ponsel di dalam tas. Ada panggilan masuk dari Evan.
"Halo, Mas." Jawab Aura mengangkatnya.
"Kamu di mana?" tanya Evan. Ia tidak melihat Aura di apartemennya.
"Aku sedang di luar." Jawabnya.
"Segera pulang! Mama ingin bertemu denganmu dia-"
"Ya!" Sela Aura menjawab dan mengakhiri panggilan tersebut.
Tak lama, Aura masuk ke apartemen. Ia melihat Evan yang sedang menonton tv.
"Kamu dari mana?" tanya pria itu saat melihat Aura.
"Aku akan ganti pakaian." Ucap Aura tidak menjawab pertanyaan pria itu dan berjalan masuk ke kamarnya.
Evan mendengus melihat Aura masuk ke kamar tanpa menjawab pertanyaannya.
Dalam perjalanan, Evan mengemudikan mobil cukup kencang menuju rumah kedua orang tuanya.
"Aku akan pindah dari apartemen Mas Evan." Ucap Aura memberitahu. Ia akan mulai menata hidupnya kembali.
"Tinggallah di sana untuk sementara. Aku tidak mau papa dan mama nanti curiga." Ucap Evan yang masih mencari aman.
"Mereka tidak akan curiga. Kapan Mas mengajakku untuk menemui mereka, aku akan datang." Ucap Aura kembali. Ia juga merasa tidak enak hati, jika secepat ini mengatakan tentang perceraian pada orang tua Evan.
"Kamu tetap di apartemenku saja. Aku akan mencukupi kebutuhanmu untuk sementara, sampai aku mengatakannya pada papa dan mama!" Evan menekankan perkataannya. Ia tidak bisa membiarkan Aura tinggal sendirian di luar. Jika terjadi sesuatu pada wanita itu, papa dan mama akan memarahinya. Karena kedua orang tuanya tahu, mereka masih terikat pernikahan. Tapi saat nanti setelah mengatakan perceraian itu, Evan tidak akan perlu peduli lagi pada Aura.
"Tapi, Mas. Aku-"
"Jangan membantah! Turuti saja aku!!!" Evan menaikkan nada suaranya. Ia tidak suka ditolak.
Aura jadi terpaksa mengangguk. Ia tidak mau berdebat.
Mobil telah sampai di depan sebuah rumah. Keduanya keluar dan disambut oleh mama Ros.
"Selamat datang menantu Mama..." ucap Mama Ros dengan bahagia. Ia senang sekali, kembali melihat Aura. Sangking senangnya, ia pun memeluknya.
Aura senang dengan perlakuan Mama yang sangat baik dan menerima dirinya. Menganggapnya menantunya, padahal kenyataannya.
"Aura... Apa kabar menantu Papa?" gantian kini Papa Rendi yang memeluk Aura. "Evan baikkan sama kamu?" tanya Papa sambil melirik sang putra.
"Mas Evan baik, Pa." Jawab Aura. Ia sebenarnya bingung, Evan baik atau tidak ya? Diceraikan termasuk baik atau tidak?
Mama Ros membawa Aura masuk. Ia rindu ingin mengobrol dengan putrinya yang ketemu besar. Setelah puas mengobrol mereka pun makan bersama.
"Kalian menginap saja ya." Ucap Mama. Masih ingin mengobrol dengan Aura. Berharap keduanya akan tinggal lebih lama lagi, bila perlu pindah saja. Tinggal bersama mereka.
Aura melihat ke arah Evan. Ia hanya menuruti pria itu saja maunya bagaimana.
"Maaf, Ma. Kami pulang saja." Tolak Evan segera. Jika mereka menginap, mereka akan satu kamar. Beberapa hari ini saja, ia menginap di luar dan membiarkan Aura tinggal sendirian di apartemennya.
"Malam ini saja!" Mohon Mama melihat Evan dan Aura bergantian.
Evan menggelengkan kepala. "Tidak bisa, Ma. Kami masih ingin berduaan saja."
Evan sengaja mengatakan seperti itu agar mama mengerti. Mereka masih pengantin baru jadi wajar sajalah.
Aura melihat ke arah Evan. Melihatnya dengan tatapan aneh lalu tersenyum tipis sekali. Pria itu bisa beralasan begitu.
"Baiklah. Segera berikan Mama... Cucu yang lucu." Ucap Mama makin bahagia. Hubungan keduanya mulai ada kemajuan.
Cinta bisa hadir seiring berjalannya waktu. Begitulah pemikiran sang mama.
"Baik, Ma." Jawab Evan segera mengangguk patuh.
Aura hanya menundukkan kepala, bukan karena malu dengan pembahasan tersebut. Tapi merasa tidak enak hati, karena telah berbohong. Mama tidak tahu apa-apa, akan sangat berdosa membohonginya.
Setelah selesai makan dan mengobrol sebentar, Evan pun pamit dan membawa Aura pulang.
Pria itu hanya mengantarnya sampai parkiran apartemen.
"Hati-hati." Ucap Evan begitu Aura akan turun dari mobilnya. Ia harus memastikan keamanan wanita itu sebelum mengatakan kenyataan pada kedua orang tuanya.
"Iya." Jawab Aura lalu berjalan masuk.
Setelah beberapa langkah, Aura membalikkan badan dan melihat mobil Evan sudah melaju pergi.
\=\=\=\=\=\=
Evan kini sedang berada di sebuah apartemen temannya. Menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Baru menikah, kenapa wajahmu suntuk begitu?" tanya Robi sambil membawa gelas berisi minuman.
"Aku sudah bercerai."
"Apa?" tanya Robi memastikan. Temannya baru saja menikah, masa sudah bercerai saja. Secepat itu.
Evan pun menceritakan semuanya. Ia terpaksa karena tuntutan kedua orang tuanya. Dan kerena sudah menuruti, makanya ia langsung menceraikan.
"Astaga, Van! Setidaknya dijalani dulu, kau juga sedang sendiri." Ucap Robi menyayangkan keputusan temannya itu.
"Tidak bisa, Bi!" Evan menggeleng. Ia tidak bisa membuka hati. Dari awal ia memang tidak ingin menikahi Aura, tapi tetap dipaksa juga.
Ting... Tong...
Robi pun berjalan membuka pintu saat mendengar bel. "Hei... Kapan kau pulang?"
Tamu tersebut masuk saja dan bergabung di ruang tamu. Ia bahkan langsung menenggak minuman yang ada di atas meja.
"Van, selamat atas pernikahanmu. Maaf aku tidak bisa datang." Ucap pria itu memberi selamat sekaligus meminta maaf.
Evan hanya tersenyum tipis saja. Temannya memberi selamat, ia saja sudah bercerai.
"Hei Bara, Evan sudah menceraikan istrinya." Robi pun memberitahu.
"Bercerai? Bukankah baru menikah?" Bara jadi bingung sendiri.
Evan menjawab dengan hembusan nafas yang terdengar kasar. Seolah ada beban berat yang dipikulnya.
"Pernikahan karena perjodohan tidak bertahan lama." Robi yang menjawab dan menceritakan pada Bara.
Bara pun mengangguk mengerti. Perasaan memang tidak bisa dipaksa.
"Oh iya, Bar. Gimana rencanamu? Berhasil?" tanya Evan. Ia kini mengalihkan topik dari pembahasan dirinya.
Bara malah menarik nafasnya yang terasa berat. Ia menggelengkan kepala. "Sudahlah tidak perlu dibahas lagi. Biarkan saja!"
Evan dan Robi saling melihat. Sepertinya rencana Bara gagal total. Padahal Bara sudah mengejarnya sampai keluar negeri.
.
.
.
Aura menghela nafas setelah membersihkan apartemen itu. Sudah sebulan ia tinggal sendiri di tempat ini.
Evan memang mengizinkannya untuk keluar, tapi tidak untuk bekerja. Pria itu juga mentransfer sejumlah uang di rekeningnya, untuk kebutuhannya selama ini. Sampai Evan mengatakan soal perceraian pada kedua orang tuanya.
Aura membuka lemari es, melihat bahan masakan yang tersedia. Ia akan memasak, untuk berhemat. Uang yang diberikan Evan akan disimpannya sebagian. Jadi saat perceraian, ia punya uang selama mencari pekerjaan.
"Goreng telur sajalah." Ucap Aura mengambil telur. Ia akan makan telur goreng dengan saus.
Aura telah selesai makan, ia menghabiskan makanannya.
Ting... Tong...
Mendengar bel dengan cepat Aura meletakkan piring bekas makannya ke wastafel. Lalu berlari untuk membuka pintu. Mungkin Evan yang datang.
"Aura... Putriku sayang!" Ucap Mama Ros yang langsung memeluknya.
"Mama datang sama siapa?" tanya Aura disela pelukannya.
"Sendiri. Papa kerja, Mama kesepian jadi kemarilah." Ucap Mama Ros memberi alasan. "Kamu sudah makan? Mama masak banyak buat kamu!"
Aura terpaksa tersenyum, ia benar-benar merasa tidak enak hati dengan wanita paruh baya tersebut.
Mama membawakannya banyak masakan. Aura pun menyimpannya di lemari makan. Lalu ia membawa minuman dan cemilan ke ruang tamu.
"Aura, bilang sama Evan. Kalian pindah saja ke rumah Mama ya!" Bujuk Mama pada sang menantu. Evan menolak untuk pindah, pasti istrinya bisa membujuk putranya itu. Hubungan mereka sedang dekat, pasti Aura bisa membujuknya.
"Aura ikut Mas evan saja, Ma." Ucap Aura pelan dan menundukkan kepala. Seolah mengatakan ia adalah istri, jadi akan mengikuti ke mana suaminya tinggal.
Mama jadi kesal. Aura sangat patuh pada Evan.
"Satu bulan saja. Kalian tinggal bersama Mama." Harap Mama kembali. Tetap membujuk.
Aura menunjukkan wajah bingung. Dan membuat mama jadi gemas.
Aura terpaksa bersikap seakan serba salah. Ingin menuruti mama, tapi takut pada suaminya. Menuruti suaminya, jadi tidak enak hati pada mama.
"Kapan Evan pulang?" tanya Mama kemudian. Ia akan membujuk kembali putranya itu.
"So-sore, Ma." Jawab Aura jadi gugup. Ia tidak tahu kapan Evan akan pulang, karena selama ini pria itu datang sesuka hatinya.
Aura ingat saat masih tinggal di rumah mama. Evan pulang dari kantor sore hari. Maka ia menjawab begitu.
"Nanti sore Mama akan bicara sama kalian berdua!" jelas Mama kembali.
Sore itu, Aura melihat mama yang tidur di kamarnya. Dari tadi mama terus mengobrol dengannya, hingga ia tidak bisa mengambil ponsel di kamar untuk menghubungi Evan.
Kini ponsel berada di tangan Aura. Ia pun menghubungi pria itu.
'Ke mana sih dia?' batin Aura sambil melihat jam dinding. Sudah pukul 4 lewat. Jika mama bangun dan tidak melihat Evan, akan jadi pertanyaan. Apalagi jika pria itu tidak pulang.
Kembali Aura menghubungi pria itu kembali.
"Halo, Mas." Ucapnya begitu panggilan tersambung.
...
"Mas, Mama ada di sini."
...
"Mama ingin bertemu kamu."
...
"Ok." Aura pun mengakhiri panggilannya.
Aura ke dapur, ia akan membuatkan teh. Mertuanya sedang di sini, jadi harus bersikap layaknya pasangan suami istri pada umumnya.
Teh hangat Aura buatkan untuk Evan. Ia sering melihat bundanya melakukan itu tiap ayahnya pulang bekerja. Mungkin begitu caranya menyambut suami pulang bekerja.
Bukan cuma teh untuk Evan saja. Aura juga membuatkan untuk mertuanya. Karena akan terasa aneh jika hanya menyajikan Evan, tapi mertuanya tidak.
"Evan belum pulang?" tanya Mama yang tiba-tiba sudah berada di dapur saja.
"Be-belum, Ma. Mungkin macet di jalan." Jawab Aura beralasan. "Ini, Ma."
Mama tersenyum Aura menyajikan teh hangat untuknya. Ia juga melihat teh di cangkir lain. Pasti untuk Evan. Aura benar-benar istri yang perhatian.
Tak lama Evan pun pulang. Ia menyalami sang mama. "Mama sudah lama sampai?" tanyanya.
"Dari siang." Jawab Mama.
Setelah Evan menyalami mamanya. Aura pun mendekat dan mengulurkan tangannya. Hal tersebut membuat pria itu sedikit bingung. Aura mau apa?
Melihat kebingungan Evan, Aura meraih saja tangan pria itu dan mencium punggung tangannya.
Mama jadi senyum melihat interaksi mereka. Pasangan yang sangat bahagia.
Evan merasa aneh saat tangannya dikecup wanita itu. Mana ia merasakan sesuatu yang kenyal menyentuh punggung tangannya.
"Ini tehnya, Mas." Setelah menyalami suaminya, Aura pun menyajikan teh hangat.
Kini Evan merasa canggung, tapi ia mencoba bersikap tenang. Aura melakukan itu karena ada mamanya.
Evan duduk di kursi meja makan, lalu meminum tehnya. Rasa hangat dan manis menjalar di tenggorokannya. Ia juga melirik ke arah Aura yang tersenyum padanya.
"Evan, Mama mau kamu dan Aura tinggal di rumah saja." Ucap Mama memulai obrolan.
Evan dengan cepat menggeleng. Tinggal di rumah itu tidak mungkin.
"Kalau kamu ke kantor, kasihan Aura kesepian tinggal di sini. Kalau di rumah, ia bisa dengan mama." Kini Mama mulai memberi alasan. Evan pasti akan luluh dan tidak tega jika istrinya sendirian di tempat ini.
"Maaf, Ma. Kami ingin mandiri. Jadi biarkan kami tinggal di sini saja. Mama jangan khawatir, aku akan menjaga Aura. Ia tidak akan kesepian, aku akan mengizinkannya untuk ikut les atau senam mungkin." Evan kembali beralasan agar mama tidak terus memaksa agar mereka tinggal di rumahnya.
Mama pun cemberut. Putranya tidak bisa diajak kompromi.
Hari sudah malam, Mama pun ingin pulang. Evan akan mengantarnya.
"Kamu di rumah saja." Ucap Evan. Aura ingin mengantar sampai rumah mama.
Terpaksalah Aura mengangguk untuk menurut.
"Biar saja Aura ikut!"Ucap Mama.
"Tidak usah, Ma. Biar saja Aura di rumah. Aku tidak mau dia kelelahan." Alasan Evan seakan perhatian.
Aura terpaksa tersenyum. Alasan pria itu terlalu ambigu.
"Ya, udahlah." Mama jadi tersenyum, seakan paham maksud putranya. "Mama pulang ya."
Mama memeluk Aura sejenak. Lalu ia berjalan keluar lebih dahulu.
"Kunci pintu. Aku tidak akan pulang kemari!" Bisik Evan memberitahu.
Aura menjawab dengan anggukan. Ia juga tidak ada niat untuk menunggu pria itu pulang.
"Hati-hati, Ma." Aura mengantar sampai depan pintu, sambil melambaikan tangan.
Mama pun melambaikan tangan dan pergi bersama Evan.
Setelah keduanya tidak terlihat, Aura masuk dan mengunci pintu. Ia langsung masuk ke kamar dan berbaring diri di tempat tidur.
"Cepatlah waktu berlalu..." ucapnya. Ia tidak ingin terus berada dalam kebohongan ini.
Rasanya tadi sudah ingin saja mengatakan pada mama, jika Evan sudah mengucapkan kata cerai. Tapi, ia terpaksa akan menunggu pria itu saja. Biarkan saja Evan yang menjelaskan semuanya.
Aura mengusap wajahnya, memikirkan satu hal tentang statusnya. Statusnya yang sekarang seorang janda.
Status janda itu akan ada pada dirinya. Umurnya masih 20 tahun. Tapi ia sudah menjadi janda. Apa nanti ada pria yang akan menerimanya dengan status tersebut.
Janda?
'Tapikan aku janda kembang...'
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!