NovelToon NovelToon

Cinta Kita Belum Usai

Part 1

Delapan tahun sudah berlalu, sejak perceraiannya dan Edgar. Raisa kini hidup bersama dua gadis kecil kembarnya.

"Mi, jepit rambut aku dimana ya?" tanya Mia si kembar bungsunya.

"Ada di atas laci kamar sayang," jawab Raisa yang sedang menyiapkan bekal sarapan untuk kedua anak gadis kembarnya.

"Kalau dasi aku dimana, Mi?" tanya Mia lagi.

"Ada di dalam lemari sayang," jawab Raisa lagi.

"Makanya kalau punya barang itu selesai dipakai langsung disimpan. Jangan ditaruh sembarangan! Kalau kaya gini, kan jadi repot sendiri. Mana sebentar lagi kita harus berangkat sekolah. Mana belum sarapan lagi. Dasar kamu ini Mia! Bikin kesal aja pagi-pagi!"

Yang pagi-pagi marah itu adalah Kiana Larisa, kakak dari Mialisa Anggika atau kembaran dari Kia.

"Sudah, sudah, masih pagi jangan ribut terus. Gimana Mia? Udah ketemu dasinya? Ayo berangkat sekarang!"

"Udah Mi. Tapi kan belum sarapan Mi. Kalau tiba-tiba nanti aku pingsan di sekolah gimana Mi?"

Raisa menyodorkan dua gelas susu untuk gadis-gadis kecilnya.

"Abisin dulu, terus ini kalian makan saat kita di jalan nanti."

Raisa memberikan satu potong sandwich untuk masing-masing dari gadis kecilnya.

"Let's go girls!"

"Let's go Mi!"

*

*

Raisa mengantarkan kedua gadis kecilnya ke sekolah menggunakan sepeda motor. Di sepanjang jalan, kedua gadis kecilnya itu selalu saja ribut entah meributkan apa, Raisa sendiri tak memahami itu.

Sesampainya di sekolah, keduanya mencium tangan Raisa dan menerima bekal masing-masing. Melambaikan tangannya kepada mami tercinta mereka. Ketika Raisa tak lagi terlihat di penglihatan keduanya, si kembar itu terus membahas tentang teman-temannya yang diantar oleh kedua orang tuanya ke sekolah sementara mereka hanya diantar oleh maminya saja.

"Sebenarnya aku iri sama mereka Kia. Cuma kita yang diantar oleh mami. Kapan ya, kita bisa diantar sama papi juga?"

Mia benar-benar berharap keluarganya utuh seperti keluarga yang lainnya. Tapi, ia bisa apa? Kalau setiap membahas papi mereka, raut wajah maminya berubah jadi sedih.

"Sudahlah, kita hanya butuh mami. Mami saja sudah cukup Mia. Ayo masuk! Kamu mau terus-terusan di luar? Nanti kita bisa dihukum sama guru!"

Kia yang sudah gemas dengan tingkah Mia pun langsung menarik tas kembarannya dan memasuki kelasnya.

*

*

Raisa sudah bersiap dengan seragam kokinya begitu juga dengan topi yang dikenakannya. Sembari menunggu pesanan, ia melakukan tugas lain yaitu memilih sayuran yang segar sebagai bahan utama dari masakannya.

Raut wajah Raisa langsung berubah pias ketika mendengar nama Edgar disebut. Padahal belum tentu nama yang disebut itu adalah nama dari orang yang ia kenali di masa lalu. Namun, tetap saja setiap mendengar nama itu hatinya selalu bergemuruh.

Edgar Gautama, satu-satunya pria yang bisa membuatnya jatuh cinta dan membawanya keluar dari semua penderitaan yang ia alami. Satu-satunya pria yang mengerti dan memahami prinsipnya sampai rela menikah meski Raisa mengatakan tak ingin memiliki seorang anak.

Pernikahan indah itu berlangsung sampai 6 tahun. Hingga di suatu ketika keluarga Edgar menginginkan keturunan dari Edgar. Di saat itu hubungan Raisa dan Edgar mulai mengalami keretakan. Yang paling menyakitkannya adalah disaat Edgar memberikan dua pilihan.

Pergi dari hidupnya atau memberikan keturunan untuknya.

Dua pilihan itu begitu menyakitkan untuknya. Ditambah, Edgar seperti sudah merencanakan dengan matang perpisahan mereka. Bahkan surat cerai pun sudah tersedia, hanya butuh tanda tangannya saja sebagai peresminya. Katanya, itu semua demi kebaikan Raisa. Nyatanya semua itu malah membuat Raisa terluka.

Di saat Raisa sudah memilih untuk bercerai, dia pun pergi dari kediaman Gautama. Satu kenyataan yang membuat Raisa terpukul, dia dinyatakan hamil setelah berpisah dengan Edgar. Padahal dia tak menginginkan hadirnya seorang anak di dalam hidupnya.

Semua prinsipnya hancur. Kebahagiannya hancur. Segalanya berjalan tak sesuai dengan keinginannya. Tapi, Raisa pun tidak tega jika harus menggugurkan janin di dalam perutnya yang ternyata adalah anak kembar bahkan denyut jantungnya saja ia sudah bisa merasakannya.

Akhirnya, Raisa pun memutuskan untuk melahirkan mereka. Ia memutuskan untuk bersembunyi dari keluarga Gautama. Ia tak ingin kelurga itu mengetahui kalau dia mengandung anak dari Edgar.

Sebuah tepukan di bahu Raisa membuatnya tersadar dari lamunan masa lalunya.

"Mba Raisa mikirin apa sih? Sampai bengong begitu. Itu sudah ada pesanan Mba!" ucap Rani, salah satu koki juga di restoran tersebut.

"Eh, iya maaf, maaf."

Raisa hanya bisa mengucapkan kata maaf tanpa mau menjelaskan apa yang sedang dipikirkannya. Ia mengambil note pesanan yang menempel di dinding lalu segera menyiapkan pesanan dari pelanggan.

Di saat jam pulang sekolah kedua gadis kecilnya, Raisa selalu meminta izin untuk menjemput keduanya. Untungnya, manager nya disana sangat baik, jadi selalu mengizinkannya, begitu juga dengan rekan kerjanya yang tidak mempermasalahkan Raisa yang hampir setiap hari izin sebentar untuk keluar.

*

*

Kedua gadis kembarnya melambaikan tangan kepadanya ketika keluar dari gedung sekolah.

"Aku kira Mami akan telat jemput kita seperti sebelum-sebelumnya."

"Nggak dong sayang, Mami akan selalu berusaha supaya jemput kalian tepat waktu."

"Tapi tetap aja Mami nggak bisa kan jalan-jalan dulu sebelum kita pulang ke rumah, kan?" ucap Mia lagi dengan sedikit bersedih.

Raisa menarik tubuh Mia dan Kia. Merangkul keduanya dengan kedua tangannya.

"Lain kali, Mami janji akan turuti keinginan kalian. Tapi sekarang kita harus pulang dulu. Karena Mami harus kembali ke restoran. Kalau nanti Mami dipecat. Siapa yang akan biayain kalian sekolah dan jajan?"

"Iya Mami, maafin kita ya Mi," ucap Mia lalu memeluk Raisa.

"Ayo Mi! Lagipula jalan-jalan keluar juga tidak ada gunanya Mi. Itu mah hanya maunya si Mia yang mau pamer sama temen-temennya. Mending di rumah baca buku, dapet banyak ilmu!" sahut Kia.

"Hiss! Dasar kutu buku!"

"Sudah, jangan berdebat lagi. Ayo kita pulang!"

Seperti biasa, Raisa membawa kedua anaknya naik motor. Kadang keduanya duduk di belakang, kadang juga salah satunya duduk di depan.

Setelah sampai di rumah kontrakan mereka, Raisa berpamitan untuk pergi dan meminta kedua gadis kembarnya untuk akur dan jangan kemana-mana selagi tak ada yang menjaga mereka.

Untungnya, kedua gadis kecilnya menurut, jadi Raisa tak merasa terlalu khawatir ketika meninggalkan mereka berdua di dalam rumah.

*

*

"Kia! Apa kamu tidak ingin bertemu dengan papi langsung?" tanya Mia sambil melihat selembar foto papinya.

"Untuk apa? Kan sudah aku bilang, aku tidak butuh papi, mami saja sudah cukup."

"Hih! Dasar tidak bisa diajak bekerjasama!"

Kia yang sedari tadi fokus membaca buku langsung menoleh ke Mia.

"Lebih baik aku tidak bertemu papi, daripada melihat mami bersedih!"

Kata-kata dari Kia tersebut langsung menghujam ke dada Mia. Ia tak ingin melihat maminya bersedih, tapi ia juga ingin bertemu langsung dengan papinya alih-alih hanya melihat dari fotonya saja yang diberikan oleh maminya.

"Apa kamu benar-benar tidak ingin bertemu papi? Apa kamu benar-benar tidak ingin merasakan hangatnya pelukan papi? Kata Niar di sekolah, pelukan mama dan papanya terasa berbeda. Apa kamu benar tidak ingin merasakan itu?"

*

*

TBC

Part 2

"Yee! Bolunya udah matang!" sorak Mia yang senang ketika maminya membawakan sepiring bolu rasa pandan kesukaannya.

"Ya ampun Anggika! Perutmu itu perut karet ya! Padahal tadi kamu sudah menghabiskan semangkuk bubur ayam masih aja mau makan bolu. Jadi gendut baru tahu rasa kamu!"

"Hih! Larisa! Dia kamu! Lagian badan aku udah cocok banget jadi model. Kalau nanti gendut tinggal olahraga aja biar langsing, wle!"

Mia menjulurkan lidahnya kemudian mengambil piring berisi bolu itu ke depan televisi. Ia berniat untuk menonton sambil nyemil.

Tok tok tok

Pintu rumah diketuk dari luar.

"Mi, ada yang ketuk pintu!" teriak Mia ke Raisa.

"Iya sayang," jawab Raisa yang bergegas pergi dari dapur ke depan.

Ketika membuka pintunya, rupanya yang bertamu adalah Roni, adik dari Raisa sendiri.

Bukannya senang dengan kedatangan adiknya, Raisa malah merengut, karena Roni membawakan banyak sekali bingkisan untuk anak-anaknya.

"Padahal sudah aku kasih tahu berulang kali, jangan manjakan anak-anakku. Kenapa kamu masih ngeyel sih!"

"Kenapa sih kak?! Orang mereka aja suka kok."

Roni menerobos masuk ke dalam rumah Raisa dan menyapa kedua keponakan kembarnya. Raisa hanya bisa menghela napasnya lalu menutup pintu rumahnya.

"Hai Kimi," sapa Roni.

Kimi itu singkatan dari Kia dan Mia. Roni suka malas menyebut nama keduanya, jadi ia sengaja menggabungkannya supaya lebih efesien.

"Aaaaa, Om Roni! I miss you, itu bawa apa Om?"

Mata Mia langsung tertuju ke bingkisan yang di bawa oleh pamannya.

Roni langsung mengeluarkan apa yang dia bawa dari wadahnya.

Ada satu set mainan Barbie dan beberapa buku sains kesukaan Kia. Di saat Mia heboh kegirangan mendapatkan mainan itu, Kia malah biasa saja tapi terlihat jelas senyuman di wajahnya pertanda bahwa Kia pun menyukainya.

"Om Roni emang the best pokoknya. Tau aja kalau Mia mau itu. Tapi mami nggak pernah beliin, soalnya mahal katanya. Lebih mahal dari biaya sekolah kami berdua."

Mendengar salah satu gadis kecilnya mengadukannya ke Roni, Raisa langsung mendelik. Putrinya itu memang selalu mengadu ke Roni ataupun ke Pamela, sahabat baiknya. Biasanya keduanya selalu memanjakan anak-anaknya kalau bertemu. Raisa pun cuma bisa menghela napas saja.

Sejujurnya, bukan tak bisa membelikan keduanya mainan mahal atau mainan kesukaan mereka, hanya saja Raisa ingin mengajarkan untuk berhemat dan tau mana yang lebih dibutuhkan.

"Mami kalian emang pelit orangnya. Makanya kalau mau apapun, mintanya sama Om aja."

"Sama Aunty Lala juga dikasih Om. Bahkan suka dibelikan lebih banyak dari ini Om," celetuk Mia lagi.

Roni langsung mendengus sebal. Ia lupa kalau ada satu saingan untuk merebut perhatian keponakannya, yaitu Pamela atau yang biasa mereka panggil Aunty Lala. Ya wajar saja, kalau Pamela lebih memberikan banyak, orang wanita itu adalah seorang influencer terkenal. Pasti uangnya banyak.

"Kalau disuruh pilih nih ya, kalian pilih Om Roni, Aunty Lala atau Mami kalian?"

Si kembar langsung melirik ke Raisa berpindah melirik Roni kemudian saling lirik-lirikan berdua untuk menentukan jawabannya.

"Aunty Lala dong!" jawab keduanya kompak.

Hal tersebut membuat Roni kesal, tapi ya ia akan berusaha jadi paman yang baik untuk keponakan-keponakannya sementara Raisa, dia sudah tahu kenapa anak-anaknya lebih memilih Pamela. Tentunya, karena wanita itu selalu memanjakan mereka.

"Mi, aku ke kamar dulu ya," pamit Kia.

"Iya sayang, jangan lupa dibawa barang yang dikasih Om Roni nya. Nanti dia marah."

"Iya Mi."

Kia pun pergi ke kamarnya dengan membawa buku yang diberikan oleh Roni sementara Mia, gadis itu malah asik memainkan Barbie nya yang sudah dibuka dari tempatnya.

"Kamu nggak ke kamar juga Mia?" tanya Roni.

"Nggak Om. Palingan Kia ke kamar itu mau baca buku yang dikasih Om. Dia kan kalau lagi baca nggak mau diganggu. Kaya harimau pokoknya yang diganggu langsung menggigit."

Roni hanya menggelengkan keduanya. Ia kadang masih terheran-heran saja dengan kedua ponakannya. Sifat dan kelakuan mereka berbeda 180 derajat. Yang satu sukanya kesunyian dan tak banyak minta ini dan itu. Tapi yang satunya udah kaya reog, senang bicara sama orang, agak sedikit narsis dan juga banyak permintaan.

"Om, kok nggak dibeliin sekalian Ken nya, biar si Barbie ada temennya," ucap Mia yang membuat Roni terdiam.

Ketika Mia pergi dari hadapannya pindah ke sofa, Roni mendekat ke Raisa yang ada di dapur.

"Sukurin! Makanya jangan keseringan beliin anak-anak aku mainan mahal."

"Ya gimana ya Mba, aku kan nggak tega biarin mereka cuma punya mainan itu-itu aja sementara teman-teman mereka yang lain punya banyak mainan yang mahal dan bagus-bagus."

"Mainan mahal dan bagus nggak menjamin kehidupan mereka akan bahagia, Ron. Tapi kasih sayang, dan perhatian dari orang tua mereka lah yang paling dibutuhkan. Mainan itu cuma alat bantu untuk menjaga mereka."

"Iya deh iya Mba."

"Ngomong-ngomong kamu disini bakalan berapa lama? Datang nggak bilang-bilang, kebiasaan tahu!"

"Hehe, maaf Mba. Aku aja bisa pulang karena emang dapat jatah cuti 5 hari dari kantor. Daripada disana tanpa melakukan apa-apa dan bingung mau apa. Mending pulang kan, main sama keponakan."

Raisa pun mengangguk. Ia juga senang kalau seperti itu. Kehadiran Roni di rumah bisa membantunya menjaga si kembar. Ia jadi tidak usah izin untuk menjemput keduanya ketika mereka pulang sekolah.

"Mba," panggil Roni.

"Hm? Ada apa?" tanya Raisa yang sedang membuat adonan bakwan.

"Sampai kapan Mba mau bersembunyi? Sampai kapan Mba mau menyembunyikan adanya si kembar dari Mas Edgar? Mereka butuh tahu papinya Mba. Bukan sekedar foto aja yang selalu Mba perlihatkan."

Seketika Raisa langsung berhenti mengaduk adonan bakwannya dan melirik ke arah Roni.

"Kamu cukup bantu aku menjaga mereka Ron. Urusan gimana sama Edgar nya, itu urusan aku. Lagipula, belum tentu keluarga mereka bisa menerima anak-anakku, wanita yang sudah dibenci oleh keluarga itu."

Roni tak bisa menanggapi ucapan Raisa lagi. Raisa memang terlalu keras kepala soal apapun. Bahkan untuk anak dia sendiri. Yang Roni yakini, sejujurnya kedua keponakannya itu menginginkan bertemu ayahnya.

"Terserah deh Mba. Tapi Mba juga perlu tahu. Meskipun sosok papi bisa Mba berikan ke mereka, tapi Mba nggak bisa menyamakannya. Seorang papi dan mami perannya berbeda. Bahkan gender nya saja juga beda. Sekuat apapun Mba mencoba dan berusaha, tetap aja pasti ada celahnya, ada bedanya."

Raisa terdiam mendengarkan kata-kata Roni. Ia menatapi kepergian adiknya yang berjalan mendekat ke Mia.

"Nggak kok, apa yang Roni katakan tidak benar. Karena selama ini, anak-anak tidak pernah bilang, mereka mau bertemu secara langsung dengan papi mereka."

*

*

TBC

Part 3

Raisa sudah bekerja seperti biasanya, ia menjadi lebih tenang ketika ada Roni. Ia jadi tidak perlu melihat jam kepulangan anaknya terus di ponselnya. Setidaknya keberadaan Roni meski cuma sebentar benar-benar membantunya.

"Mba ini sudah jam 11, kok Mba belum siap-siap jemput si kembar?" tanya Rani yang keheranan melihat Raisa yang sepertinya masih asik mengerjakan pekerjaannya.

"Udah ada om mereka yang jemput, jadi aku bisa terus bekerja."

"Ah, begitu rupanya Mba. Syukurlah kalau begitu Mba. Kapan-kapan ajak mereka lagi kesini Mba. Dengar celotehan mereka selalu buat suasana jadi rame. Apalagi yang centil itu siapa Mba? Aku lupa namanya."

"Mia," jawab Raisa.

"Iya itu Mia, dia bikin pusing di kepalaku jadi hilang gara-gara ketawa terus lihat tingkah absurd-nya."

Raisa tertawa kecil mendengarkan ucapan Rani. Memang sesekali dia selalu membawa anaknya ke restoran dan untungnya, rekan kerjanya pun senang malah mereka ikut menjaga anak-anak Raisa. Untungnya lagi, anak-anaknya itu tidak nakal dan menurut. Jadi, tidak mengganggu pekerjaannya sama sekali.

"Iya lain kali aku bawa mereka kesini, kalau tidak ada acara di restoran. Kalau sekarang mah pasti mereka lagi senang-senang kalau bersama Om mereka."

*

*

"Om Ron!" teriak Mia sambil berlari kecil menghampiri Roni yang sudah menunggu mereka di gebang sekolah.

"Asik, yang jemput Om Roni nih. Kalau begitu kita jalan-jalan ke mall dulu boleh ya, Om? Aku ingin main ke timezone," ucap Mia dengan girangnya.

"Mami kalian berpesan untuk langsung antar kalian pulang ke rumah," jawab Roni menanggapi.

Raut wajah Mia langsung merengut, tapi dia tidak akan menyerah untuk membujuk pamannya itu.

"Mami nggak bakalan tahu, Om. Kan kita diam-diam aja nggak usah kasih tahu Mami. Aku dan Kia bakalan jaga rahasia. Aman deh pokoknya Om."

Roni langsung melirik ke arah Kia yang masih belum membuka suaranya. Pria itu masih belum setuju karena keponakan satunya belum mengiyakan.

"Kayanya Kia nggak mau deh! Ayo langsung pulang aja."

"Mau kok, Kia mau jalan-jalan juga Om. Iya, kan, Kia? Kamu mau jalan-jalan dulu ke timezone, kan?" tanya Mia sambil mengedip-ngedipkan matanya berusaha membujuk Kia untuk setuju dengan usulannya.

Kia pun mengangguk karena mungkin tidak tega dengan kembarannya.

"Yee! Kia mau kan itu Om. Ayo berangkat!"

Ketiga orang itu langsung masuk ke dalam mobil. Mia duduk di depan di samping Roni, sementara Kia di belakang. Di sepanjang jalan, Mia terus mengoceh, bercerita banyak hal tentang teman-temannya sampai Roni sendiri menggeleng-gelengkan kepalanya. Keponakannya yang satu ini emang paling beda. Dia tidak seperti maminya yang pandai menyembunyikan perasaannya.

Mereka pun akhirnya sampai di mall. Mia tersenyum sumringah ketika sudah masuk ke dalam mall. Keduanya digandeng oleh Roni karena takut menghilang di tempat itu. Apalagi mall sedang ramai-ramainya. Artinya banyak orang tua juga yang membawa anak-anaknya kesana setelah pulang sekolah.

"Mau makan dulu apa main dulu?" tanya Roni.

"Main Om, kalau makan mah kami masih kenyang, kan suka dibuatin bekal sama Mami."

Sementara Kia, dia hanya nurut aja sama maunya kembarannya itu. Toh memang mereka masih kenyang. Mungkin setelah bermain nantinya, barulah mereka akan lapar.

Di timezone, Roni membiarkan kedua keponakannya itu untuk bermain sepuasnya disana sementara dirinya hanya menjadi pengawas saja. Kia yang dia kira terpaksa kesana pun tetap terlihat senang.

Drtt drtt drtt

Ponsel Roni berbunyi. Siapa lagi kalau bukan dari Raisa. Pasti wanita itu akan menanyakan kabar dari anak-anaknya.

"Kamu dimana? Sudah jemput mereka pulang kan?"

"Aku sama mereka lagi di timezone Mba. Katanya mereka ingin main. Jadi aku iyain aja. Kasian Mba, kalau terus merengek."

Yang seharusnya jadi rahasia, Roni tetap tidak bisa menyembunyikannya dari Raisa. Raisa pun tidak mempermasalahkan hal tersebut. Karena ia sudah menduganya. Apalagi dia pun sadar, ketika bersamanya, ia tak memiliki banyak waktu untuk mengajak anak-anaknya bermain kecuali di hari libur.

"Iya nggak papa. Yang penting sebelum aku pulang kalian harus ada di rumah. Jangan lupa kasih makan anak-anakku juga."

"Ya kali aku biarin mereka kelaparan Mba. Aku juga punya hati kali Mba."

"Kan aku ngingetin, takutnya kamu lupa. Ya udah kalau begitu. Aku tutup ya, jaga anak-anakku. Jangan sampe ilang dan lecet sedikit pun."

"Iya, iya Mba. Aman terkendali pokonya. Aku kan Om terbaik mereka."

"Iya lah Om terbaik, orang kamu emang satu-satunya Om mereka."

Selesai berbicara dengan Raisa di telepon, Roni memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia masih terus mengawasi keponakannya.

Sekitar jam 2 siang, si kembar sudah terlihat lelah dan butuh asupan tenaga. Roni pun membawa keduanya ke restoran yang ada di dalam mall. Mereka menginginkan makan ayam goreng. Jadilah mereka mangkir disana dulu.

"Om, aku mau kentang goreng 1, ayam gorengnya yang paha 2, terus minumnya yang dingin seger 1, sama satu lagi burger nya 1 yang double ayam."

Roni sampai melongo dibuatnya, karena Mia yang memesan banyak menu padahal kalau dilihat dari tubuhnya ya standar, nggak kecil dan nggak besar juga. Tapi, ia tak mempermasalahkan itu, karena ia mampu untuk membelikan pesanan keponakannya.

"Kamu mau apa Kia?" tanya Roni ke Kia.

"Aku mau ayam goreng bagian dada 1 aja Om, terus minumnya disamain sama Mia," jawab Kia.

"Udah, cuma itu aja?" Roni menanyakan lagi takutnya Kia mau pesan yang lain.

"Iya itu aja Om. Aku kan bukan Mia yang rakus kalau soal makanan."

Merasa diejek oleh kembarannya, Mia langsung mendelik dan menatap tajam ke Kia. Tapi cuma sebentar, karena setelahnya gadis itu tak peduli lagi.

"Baiklah kalau gitu. Kalian tunggu disini, jangan kemana-mana pokoknya. Om mau pesan dulu ke kasir."

"Oke Om."

Setelah beberapa menit menunggu, pesanan mereka pun sudah diantarkan ke meja mereka. Mereka makan dengan lahap. Apalagi Mia yang mulutnya tak bisa berhenti untuk mengunyah itu, saat kentangnya sudah habis, ia berganti ke ayam gorengnya, lalu berganti lagi ke burgernya. Roni sampai terheran-heran sendiri, dengan mulut kecil ponakannya yang bisa mengunyah semua makanan itu. Selesai makan, mereka pun bergegas untuk pulang.

Tak sengaja Roni melihat Elsa, adik dari Edgar. Dia langsung panik seketika, tapi tak mau memperlihatkan kepanikan itu di depan keponakannya. Dari banyaknya mall di kota itu, kenapa harus bertemu di saat dirinya bersama si kembar? Mungkin tidak apa-apa jika hanya dirinya seorang diri yang bertemu. Mau menghindar pun rasanya tidak bisa, apalagi hubungannya dengan Elsa memang baik-baik saja.

"Roni? Benar kan, kamu Roni?" tanyanya ketika kami mulai berpapasan.

"Iya Mba," jawabku sedikit canggung.

"Apa kabar? Kemana aja selama 8 tahun ini? Kamu seperti menghilang ditelan bumi. Walaupun kakak-kakak kita sudah bercerai, tapi kamu sudah aku anggap seperti keluarga sendiri."

"Aku nggak menghilang kok Mba. Hanya saja, aku emang bekerja di luar kota. Jadi kalau kesini ya cuma untuk liburan aja."

Mata Elsa melihat ke arah si kembar. Roni hanya bisa berdoa semoga Elsa tak mengenali kedua wajah di kembar. Jangan sampai, pokoknya jangan. Dia akan merasa bersalah pada Raisa kalau sampai Elsa menyadari itu dan memberitahukannya ke Edgar.

"Mereka anak-anak kamu?" tanyanya yang membuat hati Roni merasa lega.

Tidak apa-apa lah keponakannya disangka anak-anaknya, itu jauh lebih baik meskipun sebenarnya dia masih belum menikah, bahkan punya pacar pun tidak.

Roni mengangguk, kemudian langsung berpamitan ke Elsa. Dia tidak mau, Elsa jadi semakin curiga. Tapi sebelum pamit, Elsa sempat meminta nomor kontaknya dulu. Mau tak mau ia pun memberikannya dan benar-benar pergi setelah itu.

"Om, apa Tante itu jahat? Kenapa tangan Om sampai berkeringat begini?"

*

*

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!