"Malam tiba, semua warga terlelap. Seer bangun dan menunjuk satu orang untuk diterawang," ucap sang Moderator. Aku membuka mata. Ya, akulah Seer itu. Aku menunjuk seorang temanku yang aku curigai, Freya. Moderator mengambil kartunya dan memberi kode tentang perannya sekarang, 'W 'alias Werewolf. Aku mengangguk tanda mengerti.
"Seer tutup mata. Guardian buka mata, tunjuk satu untuk dilindungi."
"Guardian bisa tutup mata. Para Werewolf dan Traitor yang sangat kejam, buka mata dan pilih satu untuk dimakan." Sepertinya para Werewolf sedang berunding. Aku tak sabar menunggu 'pagi' tiba.
"Para Werewolf dan Traitor tutup mata. Pagi pun tiba, semua warga bangun. Saat sedang lari pagi, Helsa melihat seseorang yang mati dengan banyak luka cakar di tubuhnya dan dia adalah... Arkana, bye Arkana!" sang Moderator, Dean, berkisah. Aku membuka mata, begitu juga para pemain lain. Sepertinya Arkana kesal. Ah, sebuah mimpi yang indah.
Namun, gambar itu cepat berganti menjadi teriakkanku di hari yang sama, disertai dengan bayangan kedua orang tuaku yang sudah bersimbah darah. Hari yang seharusnya membahagiakan karena kakakku bisa mendapat libur dari kegiatannya di akademi kepolisian menjadi petaka.
“Astaga … Ayah! Ibu!”
“Cassie jangan!”
Gambar itu kembali berganti. Rekaman ketika para wartawan yang meyerbuku dan Kak Han di depan kantor polisi terputar.
“Bagaimana awal Anda mengetahui orang tua kalian meninggal secara mengenaskan?“
“Apakah Anda yakin ini pembunuhan?”
“Bagaimana reaksi Anda-“
“Di mana kalian saat peristiwa itu terjadi?”
Mereka menyerbu secara bersahut-sahutan. Kamera mereka mengambil detik demi detik kami berdiri kebingungan. Anggota polisi yang sebelumnya mengantar kami kini disibukkan dengan mengatur para wartawan. Secara tidak sengaja, salah satu lensa kamera itu menghantam kepalaku.
Bangun! Aku harus bangun! Ini semua rangkaian mimpi buruk hari itu!
Mataku terbuka lagi. Semua mimpi itu sudah menghilang. Sinar matahari menyusup masuk melalui celah jendela di kamar yang aku tempati untuk sementara ini. Beruntungnya kakak punya teman baik seperti Kak Dion. Sebenarnya, aku hanya tertidur mungkin beberapa menit sampai saat ini karena setiap memejamkan mata, kondisi terakhir ayah dan ibuku tergambar sangat jelas dalam mimpi.
Aish, sial, bayangan itu saja sudah cukup menyiksa. Apalagi ingatan tentang kakakku yang ditahan sekarang, benar-benar kesialan yang menumpuk jadi satu. Secara tidak sengaja, aku melihat handphone milikku di atas meja di samping tempat tidur ini. Dengan perlahan, kuulurkan tangan untuk mengambil benda tersebut sampai akhirnya aku mendapatkannya.
“Dua puluh tiga pesan masuk? Dua belas panggilan tidak terjawab?" aku terkejut karena aku mendapatkan notifikasi yang banyak. Aku membuka kotak pesan, semuanya berasal dari teman dan guruku yang mengucapkan bela sungkawa.
Tunggu! Tidak semuanya! Ada satu pesan yang berasal dari nomor asing dan diawali dengan tulisan Callahan Evano, nama kakakku. Segera saja aku buka isi pesan itu dan kubaca.
Callahan Evano Nandana adalah seorang Anak Malang. Terduga tetapi sebenarnya ia hanyalah Villager -Moderator
Ini aneh, mengapa orang ini mengirim pesan seakan-akan aku sedang bermain Werewolf Game? Padahal, biasanya aku bermain Werewolf Game secara langsung bersama teman-teman. Karena keanehannya, tanpa pikir panjang lagi, aku segera membalas pesan itu.
Siapa kau? Berani-beraninya ikut campur!
Aku masih memandangi pesan yang dikirim oleh orang misterius itu. Bagaimana bisa dia tahu kakakku tidak bersalah? Oh, ada pesan masuk lagi!
Seperti kataku tadi, aku Moderator, Cassiopeia Putri Edeline. Adik dari Callahan Evano Nandana. Sekarang sedang tinggal di rumah Dion Erlangga dan kau sekarang berada di kamar tamu, benar ‘kan?
“Tidak mungkin!” aku melempar handphone-ku ke sembarang arah dan langsung menutup tirai jendela. Bagaimana bisa orang ini tahu tempat aku berada sekarang? Apakah dia stalker? Aku merasa semua orang menyorotku sekarang. Aku tidak bisa hidup seperti ini!
***
“Jadi Callahan Evano Nandana, si Anak Pertama, adalah tersangka utama kita di sini. Aku tidak menyangkanya,” Kepala Tim duduk berseberangan dengan Han di ruang interogasi.
“Aku berani bersumpah tidak melakukan pembunuhan itu! Kalian semua salah dengan menangkapku dan menjadikanku tersangka utama! Pelaku sebenarnya masih bebas di luar sana, apakah kalian sungguh putus asa sekarang ini? Aku kira Pak Haryo mempercayaiku setelah semua bantuan yang kau berikan untuk mengantar aku dan adikku kemarin,” mata pria itu berkilat marah karena tuduhan yang diberikan padanya.
“Sulit untuk mempercayai apa yang keluar dari mulutmu ketika semua bukti mengarah pada dirimu,” serang Kepala Tim lagi.
“Aku berani bersumpah, jejak kakiku, sidik jariku, dan semua bukti yang mengarah pada diriku ada di sana karena kelalaianku sendiri. Aku panik dan tidak sengaja menyentuh senjata si pembunuh. Apakah kalian tidak mau mempertimbangkan kesaksianku ini?” tanya Han.
“Sebagai siswa akademi kepolisian kau sangatlah ceroboh dan licik. Dengar baik-baik, ya. Satu-satunya sidik jari yang ada di pisau itu adalah milikmu dan jejak sepatu yang ada di situ juga milikmu. Kau mau mengelak bagaimana lagi?” Kepala Tim mengacungkan jarinya tepat di depan wajah Han.
“Sebagai Kepala Tim Penyidik kepolisian Anda sangat tidak peduli pada kebenaran. Anda-“
“Cukup untuk hari ini! Kembalikan dia ke selnya,” Ketua Tim memukul meja dan berdiri.
“Sebelum aku pergi aku akan berpesan pada Anda, aku akan membuktikan bahwa aku tidak bersalah dan akan menemukan siapa pelaku aslinya meski butuh bertahun-tahun lamanya dan pada saat itulah Anda akan menelan rasa malu yang amat besar. Namun, sebelum itu terjadi, Anda harus menghadapiku berkali-kali sebagai saingan.”
“Benar-benar Anjing Gila kau ini. Tidak mungkin warga sipil melawan kepolisian sebagai saingan yang setara,” cibir si Kepala Tim meremehkan Han.
“Selalu ada jalan, Pak Haryo. Selalu ada jalan.”
Sepuluh tahun kemudian…
Mungkin saat ini aku perlu memikirkan kembali kehidupanku. Aku memang senang melukis. Namun, menerima pesanan yang banyaknya melampaui batas kemampuanku bukanlah keinginanku. Persediaan cat warna hitam dan putihku habis dan aku belum tidur selama kurang lebih tiga hari. Setelah ini semua selesai aku berjanji akan tidur seharian, tetapi bukan hari ini, sekarang aku harus keluar dan membeli cat yang habis itu.
“Baiklah, mari pergi!” teriakku pada diriku sendiri, ya, aku hanya sendirian di studio lukis ini.
Drrrt...
You’re Invited to Grup Angkatan ‘10
Smartphone-ku berbunyi pada saat aku akan mengambilnya.
“Baru mengundangku ke grup sekarang? Kukira kalian melupakanku,” aku tersenyum miris. Baiklah sekarang bukan waktunya meratapi nasib, aku harus mencari cat segera.
***
Para pemain sudah memasuki arena. Bagus. Sekarang tinggal memasukkan moderator dan menentukan peran. Permainan Werewolf tidak akan berjalan tanpa seorang moderator dan peran-peran itu. Werewolves, cenayang, warga biasa, pembunuh berantai, pemburu, pelindung, anak malang, seorang yang terkutuk, dan penyihir. Buat semua pemain meng-add bot-ku, masuk ke grup, langsung daftarkan semua anggota pada permainan, bagikan peran, dan sebuah permainan seru akan terjadi mulai malam ini. Wah, aku benar-benar puas akan kerjaku kali ini.
“Moderator Bot! Lakukan tugasmu sekarang!” teriakku pada seorang pria yang duduk di pojok ruangan ini.
“Apa ini tidak terlalu berlebihan? Lagi pula akulah moderatornya. Bagaimana bisa kamu memerintahku?” lagi-lagi pria itu mengeluh.
“Apa kamu tidak ingat perjanjian kita? Kamu adalah moderator bot dan aku adalah moderator yang akan melakukan tugas nyata sebagai eksekutor. Apakah kamu mau bertukar peran denganku? Kau mau mengotori tanganmu?” ia menggeleng pelan.
“Nah, jadi jalankan moderator bot itu, kamu lebih baik bekerja dengan komputer dibandingkan diriku. Oh, ya, ini tidak berlebihan, kok. Jika mereka cukup pintar maka mereka dapat mengungkap kebenaran sebuah kasus lama dan kasus yang saat ini sedang panas-panasnya, kalau tidak? Yah, itu mereka yang menanggung. Aku hanya membantu mereka.”
***
“Aish, berisik sekali, sih? Apakah memang grup angkatan seberisik ini?” gerutu seorang perempuan yang mengenakan kaus hitam, sambil membuka aplikasi chatting yang terus berbunyi.
“Masih memainkan permainan itu? Tidak ada salahnya aku ikut,” ia mengarahkan jarinya ke roomchat 'Grup Angkatan ’10'. “Permisi, ini cat yang Anda cari tadi,” perkataan penjaga toko mengagetkan Cassie.
“Oh, ya, terima kasih,” kata perempuan berusia 26 tahun itu.
“Er… itu kamera smartphone-nya pecah, ya?” penjaga toko itu menunjuk kamera belakang smartphone milik Cassie yang ditutupi pita perekat putih.
“Iya,” jawab Cassie singkat.
“Mengapa tidak ganti yang baru?”
“Sayang kalau diganti hanya karena kameranya, lagipula saya tidak terlalu membutuhkannya. Oh, ya, harga catnya berapa?”
Setelah mendapat barang yang diinginkan, Cassie segera keluar dari toko.
“Huh, semua orang memang selalu ingin tahu tentang ini, mengesalkan. Eh, tunggu, kapan aku mendaftarkan diri untuk bermain Werewolf? Ah, pasti tadi terpencet. Sudahlah, aku memang ingin memainkan ini,” kata perempuan itu sambil berjalan menjauh dari toko dengan smartphone di tangan kirinya yang selalu ia tatap. Saat ia akan memasukkan smartphone-nya ke saku, seseorang menelponnya.
“Ya, halo?”
“Oh, aku sedang menuju ke rumah.”
“Ayolah, umurku sudah tua begini. Aku bisa menjaga diri.”
“Tentu, sampai jumpa di rumah nanti, ya?”
“Bye.” Setelah mendapat panggilan itu Cassie mempercepat langkahnya.
***
Sekali lagi aku melirik jam di dinding, pukul 17.50 dan ia belum kembali. Padahal aku sudah membeli makanan ini 30 menit yang lalu. Pintu rumah terbuka ketika aku akan beranjak dari ruang makan.
“Kak Han!” ia langsung berlari ke arahku.
"Hm, kamu belum mandi ‘kan? Cepat mandi lalu makan. Ini makanan kesukaanmu, sayang ‘kan kalau aku habiskan semuanya?” aku tersenyum sambil menggulung lengan kemeja hitamku.
“Baiklah aku akan mandi cepat, tolong taruh ini di studioku. Terima kasih, Kak!” ia menaruh smartphone dan plastik hitam di meja makan lalu berlari menuju ke kamarnya. Seperti perintahnya tadi, aku membawa plastik hitam dan smartphone-nya ke studio melukisnya yang ada di bagian belakang rumah. Ketika aku membuka pintu studio aku di sambut oleh lima kanvas yang baru disketsa dan 8 kanvas yang sudah selesai dilukis. Tidak heran mengapa ia memilih untuk begadang beberapa hari ini, yah, setidaknya bayaranya pantas. Aku segera menaruh kedua benda itu di meja dan meninggalkannya.
Drrrt...drrt... drrt...
Aku tidak menyangka teman-teman akademiku dahulu seramai ini. Tetapi, bukannya sekarang mereka sudah menjadi polisi, ya? Hanya aku yang keluar dari akademi itu. Aku penasaran apakah mereka sedang membicarakan kasus terbaru atau hanya pembicaraan tak penting.
“Eh, mengapa namanya berubah seperti ini?” kata-kata itu meluncur begitu saja keika aku mengetahui bahwa grup yang tadi aku masuki bukanlah grup angkatan akademi kepolisian, namanya sudah berubah menjadi Werewolf Game dengan anggota 100 orang. Siapa yang jahil mengganti namanya? Seratus orang ini ... bermain Werewolf bersama ...
tunggu, apa?
***
Setelah selesai mandi, Cassie yang sudah berganti pakaian menjadi kaus biru langit dan celana pendek biru tua bercorak batik putih itu langsung menuju meja makan.
“Kak, ada apa? Apakah ada kasus baru?” ia langsung menyapa kakaknya yang sibuk mengamati smartphone-nya.
“Tidak ada, ini punyamu,” Han, kakak Cassie, menaruh bungkusan makanan di depan adiknya itu.
“Terima kasih, Kak,” Cassie segera duduk dan membuka bungkusan itu.
“Nasi padang dengan rendang! Kak Han memang tahu apa yang aku inginkan saat ini.”
“Kamu tidak membutuhkan itu, kamu memerlukannya,” Han tersenyum dan mengambil bungkusan makanan lain.
“Kak Han benar, baiklah, aku memang membutuhkannya,” sahut Cassie. Keheningan mulai terbentuk di antara mereka ketika sudah berhadapan dengan makanan masing-masing. Cassie yang tidak menyukai keheningan di antara mereka memulai percakapan, “Hari ini tidak ada kasus serius, bukan?”
“Tentu saja, hanya ada beberapa kasus kehilangan kecil karena kecerobohan. Tidak ada lagi kasus sebesar pencurian patung naga,” jawab pria berambut gondrong itu setelah menelan makanannya.
“Baguslah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kei, dia masih membantu kakak banyak ‘kan? Sudah seminggu aku tidak bertemu dengannya.” lanjut Cassie.
“Ya, anak itu memang berjodoh dengan dunia digital. Bagaimana denganmu, hm? Mengerjakan 13 lukisan dalam seminggu, tidakkah itu melelahkan?” balas pria yang kini berusia 31 tahun itu.
“Yah, memang melelahkan. Tapi aku juga butuh uang untuk hidup. Kalau aku hanya melukis sesukaku, belum tentu ada yang mau membeli. Terkadang aku berpikir, apakah sebaiknya aku belajar komputer seperti Kei agar bisa menemanimu menjadi detektif swasta? Tetapi setiap membuka web tentang coding, cracking, hacking atau apalah itu otakku serasa mogok berpikir. Aku mengingatnya tapi tidak dapat memahaminya,” jawab Cassie sambil memainkan rambut hitam panjangnya dengan tangan kiri.
“Mungkin itu memang bukan bakatmu. Lakukan sesuai bakat dan hatimu,” balas Han.
“Tentu saja. Oh, ya, bagaimana dengan ‘Werewolf Case’ itu? Kalian sudah mendapatkan sesuatu ‘kan?” perempuan itu menatap kakaknya dengan tatapan penasaran.
“Sayangnya belum, tapi aku yakin tidak akan pernah ada kejahatan yang terlalu bersih untuk diungkap.”
“Hm, lalu … bagaimana dengan persiapan pernikahan kakak? Berapa persen lagi?”
“Yah, baru selesai 30% Jika kasus ‘Werewolf’ yang membunuh pengusaha meubel sekaligus peneliti itu selesai cepat, tentu saja tujuhpuluh persennya dapat terselesaikan dengan cepat. Aku harap setelah ini tidak ada kasus berat lagi atau lebih baik tidak ada sama sekali.”
***
Setelah mengisi tenaga, aku kembali ke studio melukisku tempat di mana aku akan menghabiskan malam ini. Sebelum memulai pekerjaan lagi, aku menggulung rambut dan menahannya dengan kuas yang patah lalu mengambil cat putih yang tadi dibeli.
Saat melihat smartphone, aku teringat sesuatu, “Oh, ya, Werewolf Game! Bagaimana aku bisa lupa?” Seruan itu terlontar begitu saja karena aku benar-benar lupa kalau diriku sudah terdaftar sebagai pemain. Aku langsung memeriksa aplikasi chatting di smartphone-ku untuk memastikan apakah permainan sudah dimulai atau belum. Namun, aku mendapati suatu perubahan pada nama grup yang menjadi Werewolf Game. Sepertinya kebiasaan iseng teman-temanku masih berlanjut. Baiklah, karena belum mulai dan peran juga belum dibagikan, aku akan meneruskan pekerjaanku ini.
“Cass-“
“Astaga! Aish, untung catnya tidak tumpah ke mana-mana.” Aku terkejut karena Kak Han tiba-tiba saja memanggilku.
“Reaksimu berlebihan, padahal aku hanya memanggilmu pelan. Apakah aku akan mengganggumu di sini?” ia melangkah mendekatiku.
“Yah, tergantung apa kamu akan mengajakku bicara terus-terusan atau hanya diam menonton,” jawabku sambil mulai memberi warna cokelat muda pada sketsa potret di kanvas.
“Aku memerlukan sketsamu tentang ‘Werewolf Case’ itu,” ia berjalan menuju tirai hitam di kananku.
“Sketsa? Bukankah kalian memiliki foto yang lebih akurat? Hubungi saja Kei,” kataku.
“Ia sedang makan malam di luar sambil mencari udara segar dan ia tidak membawa file foto-foto itu,” balas Han.
“Bagaimana dengan Kak Sean? Dia yang biasa memotret ‘kan?” tanyaku sambil meneruskan pekerjaanku.
“Dia hari ini sedang sakit dan aku tidak bertemu dengannya, sudahlah aku akan membukanya.”
“Hm, ya, terserah. “
***
Setelah mendapat izin dari adikknya, Han segera membuka tirai hitam dihadapannya. “Kamu menyusunnya dengan baik,” gumamnya saat melihat peta kota Anagapura tempat mereka tinggal yang penuh dengan sketsa pembunuhan yang ditempelkan di sana.
“Ini… aku baru melihatnya. Kapan kamu membuat sketsa ini?” tanya Han sambil menunjuk salah satu sketsa.
Cassie berhenti sebentar dari pekerjaannya dan menengok ke kanan, tempat sketsa itu berada, “Sepuluh tahun lalu.”
“Bagaimana kamu bisa?”
“Aku mencoba mengingatnya lagi. Itu tidak terlalu akurat,” kata Cassie.
“Ya, memang dan kamu menangis saat menggambarnya,” kata kakak Cassie.
“Huh, pengamatanmu terlalu tajam. Ya, memang. Saat itu sebenarnya aku sangat ingin melupakan kejadian tersebut. Tetapi, untuk membantumu mau tidak mau aku harus mengingatnya lagi. Aku hanya ingin Kak Han kembali menemaniku,” cerita perempuan itu.
“Aku akan pastikan kita berhasil menemukan pembunuh sebenarnya,” Han terseyum dan mengusap lembut sketsa saat kedua orang tua mereka meninggal.
Drrrt ... Drrrt ... Drrrt ... Drrrt ... Drrrt ...
“Aku lupa mematikan notifikasi! Wah, ternyata sudah mulai,” gumam Cassie sambil memandangi smartphone-nya.
“Apanya yang sudah mulai?” kakak perempuan itu berhenti mengamati sketsa dan memandang adiknya.
“Oh! Ini … hehe … Werewolf Game,” jawab Cassie sambil tersenyum.
“Berapa anggota grup itu?”
“Seratus orang,” jawab Cassie lagi.
“Tunggu … apa?” Tanpa aba-aba, Han merebut smartphone adiknya itu.
“Hei! Apa yang-“
“Ada Kei, Sean juga … bagaimana mungkin … ada aku di sini … kamu yang membuat grup ini?” Pria 31 tahun menatap Cassie, meminta penjelasan.
“Aku kira ini grup angkatanku, aku bahkan tidak tahu kalau kalian juga ada di sini,” kata Cassie.
“Tunggu sebentar di sini!” Han berlari keluar studio untuk mengambil smartphone-nya kemudian kembali lagi, “Ini! Aku juga masuk di grup itu. Total anggota 100 sudah termasuk bot-nya.”
“Eh? Bagaimana bisa? Aku tidak mengerti,” Cassie bertanya.
“Awalnya aku mengira ini adalah grup angkatanku, tapi aku mulai curiga ketika jumlah anggota dan nama grupnya berubah dan tidak ada notifikasi siapa yang mengganti nama grup ini,” jelas Han.
“Aneh, seharusnya tidak begitu.”
Ting! Tong!
“Surat!” teriakan terdengar dari luar rumah mereka.
“Baiklah, apa lagi ini? Apakah kamu yang mendapat surat?” Han menghela napas.
“Tidak, tidak ada yang berkata akan mengirimkan surat padaku,” kata Cassie.
“Ambil surat itu,” pinta pria itu.
“Baiklah!” perempuan 26 tahun itu keluar dari studio melukisnya dan mengambil surat tadi.
“Oh, ‘jangan dibuka atau dilihat kecuali orang yang tertera di surat’ sepertinya serius,” gumam Cassie sambil berjalan kembali.
“Surat apa itu?” tanya Han langsung.
“Ada dua surat, ini milikmu,” perempuan itu menyodorkan amplop cokelat dengan nama ‘Callahan Evano Nandana’. Kakak Cassie itu segera menerima surat itu dan membukanya. Cassie sangat penasaran dengan isi surat itu, mencoba mengintip milik kakaknya.
“Cas, kalau kamu penasaran, buka saja milikmu. Sepertinya ini rahasia,” kata Han.
“Eh, iya, benar,” Cassie segera membuka surat miliknya. Isinya ternyata selembar kertas dengan sebuah gambar dan tulisan.
“Ini seperti kartu Werewolf Game … apakah …,” perempuan itu segera membuka aplikasi chatting dan membuka personal chat dengan bot Werewolf Game, “ini sama … tidak mungkin … ini peranku … apa yang terjadi?”
“Ada apa Cassie?” Han kebingungan dengan adiknya yang tiba-tiba gemetaran.
“Werewolf Game … bot … ini sama,” ucap Cassie sambil gemetar. Pria itu segera mencocokkan perannya yang dikirim oleh bot dan yang ada di surat.
“Kamu benar … baiklah, Werewolf Game hanya permainan peran bukan? Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa. Cassie, semua akan baik-baik saja. Apakah mungkin permainan peran bisa menjadi nyata?”
Sementara itu jauh dari kediaman kakak beradik itu, seorang pria muda yang memakai hoodie merah marun berjalan dengan santainya menuju ke rumah. Ia bersenandung kecil sepanjang perjalanan. Langkahnya terhenti setelah melihat amplop cokelat besar tergeletak di depan pintu rumahnya bertuliskan ‘Kei Galen Tarachandra’. Mata kecilnya melihat sekitar. Pria itu hanya mengangkat bahu dan membawa surat itu masuk besertanya.
“Sudah lama tidak ada yang mengirim surat fisik padaku.”
Di sebuah rumah sederhana bercat cokelat muda, seorang pria berwajah pucat dan berambut lurus pendek, membuka pintu setelah seseorang mengetuknya. Di matanya yang sayu, terpancar kekesalan dan di mulutnya tertahan umpatan yang tidak sempat keluar. Ia melihat ke bawah dan menemukan amplop cokelat besar bertuliskan nama ‘Fransiscus Sean Purnama Adi’. Pria itu memutar bola mata kesal.
“Mengapa juga harus mengetuk pintu kalau hanya surat seperti ini?” Ia memungut surat itu, membawanya masuk, lalu melemparnya ke sembarang arah sebelum ia kembali ke kamarnya.
“Akan aku buka besok kalau kepalaku sudah berhenti berputar.”
Jauh dari jangkauan mereka, sekelebat bayangan serigala hitam menyelinap masuk ke rumah seorang perempuan muda saat jarum panjang dan pendek menuju angka 12. Tidak sampai semenit, bayangan serigala itu keluar dari rumah dan kembali menghilang dalam kegelapan. Ia telah berhasil mencuri nyawa seorang anak manusia malam itu. Di tempat lain, seorang anak manusia yang bersembunyi dalam bayang kegelapan malam juga berhasil merenggut nyawa makhluk satu spesiesnya dengan sebilah pisau dapur yang ia ambil dari dapur korban.
“Aku kembali,” bisiknya sebelum kembali menghilang ditelan gelapnya malam tanpa sang rembulan.
***
Pagi hari, setelah malam yang benar-benar mengejutkan, aku tertidur di studio lukis.
“Baiklah, satu jam tak masalah. Aku harus bersiap melanjutkan semua lukisan ini. Semuanya akan baik-baik saja, yang terjadi tadi malam tidak akan berbengaruh apa-apa. Ya, mari melanjutkan hidup,” gumamku sambil meraih smartphone dan keluar studio.
“Cassie! Ada kasus pembunuhan hari ini,” Kak Han menyambutku di depan pintu dengan kabar yang tidak baik.
“Di mana? Siapa korbannya?” tanyaku.
“Ada dua kasus, yang pertama kelanjutan ‘Werewolf Case’ dan yang kedua penikaman dengan pisau dapur,” jawab Kak Han.
“Hei! Itu bukan jawaban dari pertanyaanku. Siapa korbannya?” tanyaku kembali.
“Helena dan Hera,” balas Kak Han. Aku terkejut karena kedua nama yang disebut terasa familier. Diam-diam aku berdoa dalam hati, semoga bukan mereka korbannya.
Drrrt ... Drrrt ...
Aku dan Kak Han menerima pesan secara bersamaan. Kami saling pandang beberapa detik, lalu membuka pesan itu.
Werewolf Moderator -Werewolf Game- : Pagi ini, Sean yang sedang berjalan-jalan sekitar kota melihat Helena A. terbunuh karena dimakan Werewolf dan Hera Z. ditemukan oleh Eddy tewas ditikam di rumahnya.
Werewolf Moderator -Werewolf Game- : Daftar Pemain Mati:
- Hera (Villager)
-Helena (Villager)
“Ini … bukan hanya kebetulan ‘kan?”
Suara goresan pensil adalah satu-satunya suara yang terdengar saat ini. Perempuan berambut panjang itu berusaha menahan tangisnya sekuat tenaga dan menyelesaikan sketsanya.
“Dengarkan aku Cas, kamu tidak harus menahan tangis. Kamu-“
“Tidak, Kei, aku harus menyelesaikan sketsa ini dengan akurat. Aku baik-baik saja,” balas perempuan itu sambil terus menggoreskan pensilnya. Cassie kini berada di rumah Helena, korban pembunuhan kedua dari ‘Werewolf Case’ dan teman sekelasnya dahulu.
“Bagaimana Sean?” tanya kakak Cassie, Han.
“Aku sudah bilang untuk ke TKP saat Cassie selesai,” sahut pria berkacamata di sebelahnya, Kei.
“Sedikit lagi selesai. Aku hanya perlu menebalkan garisnya,” kata Cassie setengah berteriak.
“Kita harus melebihi kecepatan polisi, apalagi di sini kita hanya punya satu tim. Untung Sean ke TKP Hera dahulu, tanpa keberatan,” ucap Han sambil menggulung lengan kemeja putihnya.
“Selesai!” perempuan itu segera berdiri dan beranjak dari ruang tamu di rumah itu, TKP pembunuhan Helena.
“Ayo, kita segera ke tempat Kak Hera,” ajak Kei pada Cassie.
***
Sepanjang perjalanan, ia hanya diam. Tidak mengatakan apapun, tidak memberikan ekspresi apapun. Hanya memeluk badannya yang dibalut kaus tosca dan cardigan hitam.
“Ei, kalau kamu ingin menangis lakukan saja. Jangan kamu tahan-tahan terus. Aku sahabatmu, bukan orang lain,” kataku sambil melihat ke cermin di langit-langit mobil.
“Kamu mungkin tidak merasakannya Kei, karena dia tidak terlalu dekat denganmu,” ia akhirnya berbicara dengan agak gemetar.
“Aku merasakannya. Aku juga terkejut mendengarnya karena seingatku dia tidak memiliki musuh,” balasku.
“Ah, benar. Kamu mengenal semua orang bahkan yang tersembunyi sepertiku,” katanya sambil menundukkan kepala.
“Apa maksudmu? Kamu cukup terkenal kok,” balasku sambil kembali memperhatikan jalanan.
“Tahun pertama terkenal karena prestasi, tahun kedua terkenal karena tuduhan palsu, tahun ketiga terlupakan.”
“Hey, bukan karena tidak ada fotomu di Years Book lalu kamu dilupakan, kamu tetap diingat se-“
“Tidak! Ah, ini juga salahku. Aku selalu tidak punya waktu untuk menghikangkan fobiaku,” ia memotong perkataanku dengan keras. Lalu, ia kembali menunduk.
“Itu bukan salahmu. Itu adalah salah mereka yang membuatmu mempunyai fobia itu. Jadi buang jauh-jauh kebiasaan menyalahkan dirimu itu,” ucapku lembut. Aku benci ketika orang menyalahkan diri mereka untuk kesalahan yang tidak pernah mereka buat, terutama Cassie.
“Kei …,” ia memanggilku pelan.
“Hm, apa?” sahutku.
“Sebenarnya, sejak kapan kamu tahu aku fobia kamera?” Cassie bertanya pelan.
“Sejak aku menolongmu keluar dari kerumunan wartawan di gerbang sekolah. Sebenarnya waktu itu aku kebetulan lewat,” jelasku dengan sedikit mengenang masa suram itu.
“Kak Yuna pernah bilang padaku untuk berdamai dengan masa lalu agar fobia itu setidaknya berkurang tetapi … sampai saat ini aku belum bisa. Soal kebetulan … ah, kamu berkali-kali menyelamatkan nyawaku. Saat kecelakaan itu, kejadian itu, kamu dan keluargamu selalu menolongku, anehnya,” matanya menerawang ke masa lalu dan tersenyum kecil, “aku tidak percaya yang namanya kebetulan. Kamu dan kedua orang tuamu pasti ada di sana untuk sebuah alasan atau … katakanlah … takdir mungkin?”
“Ya, mungkin takdir,” aku mengiyakan, “Takdir ….”
***
“Apa kau baik - baik saja? Seharusnya aku bisa melakukan sesuatu untuk mencegah ini terjadi,” aku bertanya pada Sean yang sedari tadi hanya diam.
“Bukan, ini bukan salahmu. Ini salahku yang tidak menjaga Hera. Jika seandainya … ah, percuma. Waktu tidak bisa diputarbalikkan,” ia menghela napas menyesal tidak dapat melakukan apa-apa.
“Ya … aku setuju … penyesalan itu selalu ada tetapi … yah, Sean, terima kasih telah melakukan tugasmu tadi meskipun berat. Kamu boleh tidak mengikuti penyelidikan hari ini, Cassie bisa menggantikanmu,” kataku sambil menepuk punggungnya.
“Aku tetap akan ikut, aku akan baik - baik saja,” dasar keras kepala. Padahal aku memberinya kesempatan untuk istirahat sehari lagi.
Drrrt ... Drrrt ....
“Hm? Grup ini lagi …,”gumamku.
“Kau … ada di grup itu juga?” Sean mengintip dari belakang.
“Ya, kali ini Moderator yang mengirimkan pesan,” kataku sambil membaca pesan di grup Werewolf Game.
Werewolf Moderator -Werewolf Game-: Siang hari, pemain dipersilakan berdiskusi siapa Werewolf atau Serial Killer-nya. Diskusi selesai pada pukul 3.55 sore dan eksekusi akan dilaksanakan setelah vote selesai. Kalian memiliki waktu 5 jam mulai dari sekarang.
“Sial! Bagaimana bisa mereka mengajak kita bermain-main untuk mencari Werewolf dan Serial Killer dalam 5 jam?” Sean merutuki pesan itu. Benar-benar bukan Werewolf Game biasa.
“Sebaiknya kita cepat pergi ke kantor, lalu hubungi Kei dan Cassie,” lanjutnya sambil menutup lensa kameranya dan membenarkan jaket kulit putihnya.
“Biarkan mereka menyelesaikan pekerjaannya, mungkin mereka juga sudah tahu,” kataku sambil berjalan menuju motorku.
“Mereka tahu? Bagaimana-“
“Mereka juga ada di grup itu.”
***
“Lihatlah, para pemain mulai menggunakan otak mereka,” kataku sambil mengisi revolver kesayanganku dengan amunisi.
“Tidakkah ini berlebihan? Maksudku, membiarkan pembunuhan terjadi ... ini sedikit ... kau paham?” lagi-lagi dia mengatakan hal itu.
Kutempelkan ujung revolverku ke pelipis pria muda itu, “Ini adalah peringatan terakhirku. Sekali lagi kau mengatakan hal semacam itu ...," aku berbisik tepat di lubang telinganya, “Kamu masih ingat perjanjian awal kita bukan?” Sekujur tubuhnya merinding, sungguh lucu.
"Kau memang pria yang mudah ya? Pancing saja dengan keluarga dan ... ah, kau tidak membutuhkan uangnya karena kau memang kaya,” kali ini aku tidak dapat menahan untuk tertawa.
“Tidak, aku bukan pria yang seperti itu. Baiklah ... apa rencanamu selanjutnya?” pria itu kembali menatap salah satu monitor yang menayangkan roomchat grup ‘Werewolf Game’.
”Mari kita menonton debat online ini, sepertinya akan seru.”
***
“Fate … apa maksud dari ini?” Han menunjuk hasil scan sketsa Cassie.
“Aku melihatnya, itu seperti kertas sisa terbakar,” jelas Cassie.
”Tetapi kertas ini tidak ada di foto ...,” kata Han.
“Ya, aku bahkan tidak melihatnya di sekitar. Aku sudah memotret semua area TKP. Kau bisa melihat semua hasilnya,” jelas Sean.
“Baiklah, Kei. Tayangkan semua foto yang diambil Sean hari ini,” pria yang biasa dipanggil Han itu memberikan perintah.
“Sebentar, aku punya sesuatu untuk kalian,” Kei merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan dua plasik zip dengan kertas sisa terbakar di sisinya.
“Kei, aku tidak melihat kamu mengambil kertas itu ....”
“Tunggu! Coba ke foto TKP Hera,” kali ini Sean memerintah. Kei menayangkan foto yang dimaksud.
“Ah, aku benar-benar tidak berguna ...,” rutuk Sean sambil menaruh kepalanya di atas meja, “Terima kasih, Kei.”
“Kak Sean, ini bukan apa-apa. Tidak ada manusia yang tidak berguna di dunia ini,” kata Kei sambil membenarkan kacamatanya dan kembali fokus pada laptopnya.
“Kalian masih melakukan pertempuran ini?” tanya Cassie tiba - tiba.
“Tentu, sampai orang itu tidak memandang kami sebelah mata dan berhenti menghasut polisi lain membenci kami. Lagipula kami selalu membagi barang bukti TKP dengan mereka, tetapi tidak pernah mereka mau berbagi dengan kita,” jawab Kei.
“ Namun, kami juga tidak bodoh sampai memberi semua bukti yang kita miliki,” tambah Han.
“Sungguh ... ,” perempuan itu memutar bola matanya sebal.
“Baiklah, aku akan membawa ini ke lab forensik, siapa tahu mereka menemukan sesuatu di bukti ini,” putus Han, “Cassie dan kau sebaiknya mencari sarapan. Mengingat kita belum sarapan hari ini. Aku tidak bisa berpikir tanpa makanan.”Pria 31 tahun itu menunjuk Kei untuk menemani Cassie dengan hidung mancungnya.
“Hm, baiklah, kami akan mencari makanan,” balas Kei sambil membereskan barang-barangnya ke tas ransel dan mengenakan kembali hoodie maroonnya.
“Sean, ikut aku. Kita akan pergi sekarang.”
***
“Untuk apa kamu membawa barang-barang itu?” aku menatap tasnya yang sepertinya berat.
“Melanjutkan tugas di restoran, seperti masa kuliah,” jawabnya sambil tersenyum.
“Kuliah sambil mencari masalah,” kataku sambil tertawa bersandar di pintu mobil SUV hitam Kei.
“Sebelum bertemu kakakmu dan membentuk tim ini, orang-orang akan berpikir aku mencari masalah padahal hanya keadilan yang aku cari. Aku berterima kasih padamu untuk kesempatan ini benar-benar pekerjaan yang aku inginkan,” ia tersenyum padaku, “Minggir dulu, aku mau buka pintunya.”
“Tidak perlu, aku bisa membukanya sendiri,” kilahku.
“Kata siapa aku akan membukakan pintu untukmu? Buka pintumu sendiri! Ini bagian pengemudi. Minggir,” aku salah tangkap, astaga.
“Baiklah, maaf!” dengan wajah yang ditundukkan karena malu, aku berlari menuju pintu penumpang dan masuk mobilnya.
“Baiklah, sekarang apa? Memang kamu mau mencari makan di mana sampai harus naik mobil?” tanyaku tak sabaran. Biasanya kami akan makan di warung sekitar sini.
“Aku tebak kamu sudah berhari-hari berdiam diri di rumah. Aku akan mengajakmu keluar,” jawabnya sambil memasangkan sabuk pengamannya, “Pasang sabuk pengamanmu, jangan lupa.”
Aku juga memasng sabuk pengaman milikku, “Sudah.”
“Jangan banyak tanya dan nikmati saja perjalananmu,” ia mulai menyalakan mesin mobilnya.
“Apa maksudnya? Kamu menculikku?”
“Diam saja, kamu akan sangat bersyukur aku culik.”
“Dasar ....”
***
“Tahan di sana,” baru saja kami menginjakkan kaki di depan gedung laboratorium forensik, teman lamaku menghadang, “Detektif Han dan Detektif Sean ... um ... mana anggota kalian yang satu lagi?”
Aku hanya menatapnya tanpa ekspresi, “Kau berada di depan kami sekarang ini untuk menghalangi kami atau melakukan reuni singkat bersamaku?”
“Menurutmu? Aku harus bagaimana setelah berbeda jalan denganmu?” ia mengangkat kedua alis tebalnya. Baiklah, jelas dia mempermainkanku sekarang.
“Pergilah dari sana sekarang. Jika kau mau berbicara padaku, lakukan itu nanti,” tegasku.
“Baiklah, silahkan lakukan apa yang ingin kau lakukan. Namun, setelah itu ... bagikan hasilnya pada kami karena kepolisian telah menemukan sesuatu di TKP dan mungkin saja benda yang kau bawa itu berguna untuk melengkapi barang bukti. Kau paham ‘kan? Saling melengkapi,” ia tersenyum simpul.
“Kami selalu membagikan hasil pada kalian dan apakah kalian pernah berbagi denganku? Memang jaminan apa yang akan kau berikan? Sulit untuk mempercayaimu sekarang setelah apa yang kau lakukan pada adikku,” aku membalasnya dengan tegas, lagi. Sungguh, bukan waktu yang tepat untuk bermain-main sekarang.
“Akan aku pastikan hal itu tidak terjadi lagi. Namun, jika itu terjadi, kau bisa melepaskan kepercayaanmu padaku dengan kata lain aku akan kehilangan kepercayaanmu,” jawabnya tanpa bergeser dari depan pintu laboratorium.
“Sungguh … bukan percakapan yang berguna … aku sudah tidak mempercayaimu sejak 10 tahun lalu, Dion,” aku melirik ke seragamnya, di sana ada pangkat satu garis lurus yang menunjukkan bahwa dia adalah inspektur dua, “Sebaiknya kau mengingat janjimu itu, Ipda Dion Erlangga. Ayo Sean, aku tidak bisa buang-buang waktu lagi.”
***
Kei dan Cassie melangkah masuk ke sebuah restoran masakan Jawa.
“Selamat siang, selamat datang di Pandawa,” para pelayan menyambut dengan ramah.
“Oh, Kei!” seorang pria dengan tinggi sekitar 173 cm menghampiri Kei dan Cassie, “Lihat siapa yang kau bawa kemari. Sepertinya rumor waktu SMA itu benar dan dia tidak berubah banyak.”
“Rangga, kata siapa? Cassie bukan pacarku dan jangan sekali-sekali menggoda dia,” kilah Kei sambil menunjuk hidung pria yang tingginya sama dengannya itu.
“Whoa! Kau protektif sekali, apakah dia sudah menjadi istrimu diam-diam?” pria itu juga tertawa.
“Apakah aku terlihat seperti pria yang akan melakukan pernikahan diam-diam?” Kei mengetuk-ketukkan kakinya.
“Sudahlah, aku hanya bercanda. Jadi apa yang kau perlukan, Tuan Kei dan Nona Cassie?” Kei membisikkan sesuatu ke telinga pria itu dan ia hanya menangguk.
“Ruangan untuk timmu selalu tersedia di sini. Cassie, kau baru pertama kali kemari ‘kan? Ikuti aku.” Mereka bejalan bersama menuju ke ruangan di belakang restoran.
“Baiklah, kau mau pesan makan sekarang atau nanti?” tawar Rangga.
“Nanti saja, aku akan menunggu Kak Han dan Kak Sean,” putus Kei.
“Oh, baiklah,” kata Rangga, “Tunggu sebentar, apakah kalian masih punya waktu?”
“Ada apa?” sahut Cassie.
“Mungkin ini akan mengganggu kalian, tetapi, kemarin aku masuk ke grup bernama Werewolf Game dan mengalami auto add dari Werewolf Moderator. Apakah kalian tahu mengapa itu bisa terjadi?” cerita Rangga.
Kei menjentikkan jarinya, “Itu dia yang sedang kita selidiki hari ini.”
“Sungguh? Apa ini ada hubungannya dengan Helena? Dia juga ada di grup itu dan … yah … kalian tahu ‘kan?” Rangga menghela napas.
“Kami masih belum tahu apakah dua kasus ini berhubungan atau tidak,” terang Kei, “tapi aku sedang mencari data semua anggota grup. Aku sudah dapat memastikan ada teman SMA kita di sini.”
“Kita tidak bisa langsung menghubungkan dua kasus yang sepertinya berhubungan, harus ada kepastian,” kata Cassie sambil menggoreskan sesuatu di ponsel pintarnya dengan stylus .
“Hmm, baiklah, kalian bisa melanjutkan pekerjaan kalian. Aku akan kembali mengawasi pegawai-pegawaiku,” Rangga beranjak dari hadapan mereka. Kei segera mengeluarkan laptopnya dari tas dan menyalakannya lalu memakai kacamata. Ruangan itu menjadi hening karena mereka larut dalam pekerjaan masing-masing.
Kring! Kring!
“Kei, smartphone-mu,” Cassie berhenti sejenak dari pekerjaannya dan memanggil Kei.
“Oh, sebentar,” Kei memasang hadsfree-nya dan menerima panggilan, “Ada apa, kak?”
“Bukti baru? Apa?”
“Kejadian langka mereka mau bertukar info seperti ini.”
“Kami? Rekaman CCTV, beberapa data anggota grup dan tempat makan.”
“Tidak usah? Kak Han, semua kemungkinan ini pasti ada.”
“Hanya permainan? Baiklah.”
“Cassie?” pria itu menatap Cassie yang masih sibuk dengan pekerjaannya, “Dia akan baik-baik saja.”
“Oh? Tidak! Tidak mungkin terjadi. Kami masih hanya sahabat.”
“Akan aku putus sambungannya jika Kak Han membicarakan hal seperti itu lagi.”
Cassie menatap Kei bingung karena perkataan pria itu barusan, “Membicarakan hal apa?”
”K-kamu dengar?” Kei memasang wajah terkejut.
“Kamu berbicara sangat keras tahu! Aku sudah selesai meyeketsa ulang bayangan pria ini,” Cassie memperlihatkan hasil kerjanya pada Kei.
“Ini di luar dugaan! Bagaimana bisa kamu melakukannya?” Kei terpukau.
“Entah, tanganku serasa bergerak sendiri. Selalu begitu,” kata Cassie sambil tersenyum.
“Iya, dia mengandalkan perasaannya. Lagipula perasaannya selalu tepat,” Kei membalas Han.
“Itu satu-satunya petunjuk yang kita punya. Tidak ada orang lain yang melewati daerah itu pada jam tersebut,” pria itu melanjutkan pembelaannya.
Cassie menepuk punggung Kei, “Biarkan aku berbicara padanya.”
“Baiklah,” Kei melepas dan menyerahkan hadsfree-nya padaa Cassie.
“Kak, aku tahu dirimu sangat ingin mengalahkan keakuratan penyelidikan kepolisian. Tetapi semuanya yang mencurigakan harus diselidiki,” bujuk Cassie.
“Tidak, aku bisa jamin tidak akan ada lagi orang yang berakhir seperti dirimu,” perempuan itu terus-terusan meyakinkan Han.
“Setelah semua ini kau masih meragukanku?”
“Entahlah, kadang aku juga masih meragukan tentang ini. Tetapi ini sudah terlalu sering terjadi,” Cassie menunduk.
“Terlalu tepat untuk dikatakan kebetulan. Lagipula aku tidak percaya adanya kebetulan.”
Han menghela napas, lagi-lagi adiknya mendebatkan firasatnya yang selalu tepat itu. Dia bukanlah orang yang hanya percaya firasat, ia butuh bukti. Namun, sudah berkali-kali dia mengalami firasat Cassie yang tak pernah sekalipun melenceng.
“Baiklah, kita akan selidiki itu. Kau yakin tidak ada orang lain selain itu?” Han memastikan.
“Mati? Bagaimana bisa CCTV di tempat-tempat itu mati bersamaan?” matanya membelalak dan suaranya meninggi.
“Baiklah, aku akan ke sana. Kirimkan hasil rekaman CCTV yang asli,” Han memutus sambungan telepon.
“Kita masih punya banyak pekerjaan sebelum sarapan sekaligus makan siang.” Mereka beranjak dari laboratorium itu menuju tempat yang ditunjukkan rekaman CCTV yang dikirim Kei.
“Kerja bagus semua. Kalian berhasil menyelesaikan ini semua sebelum aku mengambil cuti,” seorang pria muda berkata sambil memberi tepuk tangan penghargaan kepada karyawan-karyawannya.
“Orang tua Anda pasti akan sangat bangga mengetahui ini,” salah satu karyawan itu berceletuk.
“Hm, sepertinya,” pria berusia sekitar 26 tahun itu tersenyum, “Pertahankan prestasi ini sampai aku kembali. Aku mempercayakan semuanya padamu An.”
“Saya pegang kepercayaan ini. Jangan khawatir,” perempuan yang dipanggil An itu tersenyum.
“Baiklah waktunya makan siang. Apakah kalian tidak keberatan aku traktir hari ini?”
***
Menjaga restoran kadang kala juga membosankan. Yah, hanya menanti pesanan. Melihat orang masuk, keluar, dan makan. Mengawasi bagaimana kerja para koki. Aku butuh sesuatu yang mengejutkan seperti ….
“Halo Rangga!”
“Arkana?” yap, itu mengejutkan. Kemunculan teman lama dengan para karyawannya.
“Bagaimana restoranmu?” ia memulai pembicaraan.
“Seperti yang kau lihat, ramai lancar,” aku tersenyum, “Bagaimana dengan usaha snack-mu?”
“Beruntunglah aku beralih menjadi kripik buah-buahan. Tidak menjual semangka goreng,” Arka tertawa.
“Itu ide paling aneh yang pernah kau lontarkan, bahkan satu angkatan termasuk orang sepertiku mengetahui itu,” aku juga ikut tertawa, mengenang masa lampau.
“Ah, masa lampau ... bukankah tidak seharusnya kita membicarakan ini?” raut wajahnya berubah.
“Hei! Hei! Jangan jadi sok bersedih atas masa laluku,” aku mengacungkan jari telunjuk di depan hidungnya dan tertawa kecil, “Aku sedang membalaskan dendamku jadi jangan mengkasihaniku.”
“Dengan restoran ini? Namanya kau telah selesai membalaskan dendam. Aku tak sabar untuk merasakan masakan restoranmu,” Arka berkata sambil menelusuri interior restoranku.
“Baiklah, kau bisa mengambil tempat di manapun sesuai yang kalian suka,” sambungku.
“Termasuk dapur?” Arkana dan pertanyaan bodohnya, kebiasaan itu ternyata tidak hilang.
“Tidak, Ar. Kau bisa ambil ruangan meeting, misalnya,” balasku.
“Hm, baiklah. Aku akan mengambil ruangan biasa, lesehan,” Arkana mengeluarkan cengiran andalannya.
“Bisa, ayo ikut aku.” Aku menjadi pemandu jalan mereka. Aku tidak menyangka bisa bertukar cerita dengan teman lamaku.
***
Aku menatap CCTV yang terpasang di tiang lampu itu, “Benar di sini tempatnya, Kei?”
“Ya benar, itu adalah CCTV yang menangkap gambar tersangka pertama kita,” balasnya dari sambungan telepon.
“Baiklah, di sini ada banyak jejak sepatu dan sandal. Sepertinya kita terlambat menyadari. Para warga melewati jalan ini sebelum kita sempat melihat jejak sepatu pembunuh itu,” aku menghela napas kesal. Kenyataan bahwa aku lagi-lagi melewatkan sesuatu membuatku marah pada diriku sendiri.
“Werewolves, mereka ‘kan yang membunuh Helena?” kata Sean.
“Ya, dugaan sementara kasus ini memiliki hubungan dengan pelaku Werewolf Case ,” kataku menyampaikan dugaan sementara.
“Bukankah itu artinya mereka melakukan pembunuhan ini bersama-sama? Seperti serigala memburu mangsanya?” Sean menduga-duga.
“Tidak juga, terkadang serigala hanya berburu sendiri. Sampai sekarang tidak ada tanda yang menunjukkan pelaku Werewolf Case ini maju sendiri atau berkelompok. Hanya satu petunjuk kita selama ini, gigitan yang menyerupai taring serigala,” aku membantah Sean.
“Kita benar-benar terombang-ambing. Tidak ada petunjuk jelas kecuali ukuran kaki dan sehelai rambut. Setidaknya lebih baik ketimbang pelaku pembunuhan Hera … hanya ukuran sepatu dan dugaan sang pembunuh adalah pria …,” Sean menunduk dan menghela napas. Aku tahu hari ini benar-benar berat untuknya.
“Sudahlah, aku yakin waktu akan mengungkapnya. Tak lama lagi.”
***
Drrrt ....
Cassie hanya melirik pop-up pesan yang masuk itu.
“Satu jam telah berlalu? Moderator ini benar-benar menginginkan kita mencari Werewolf dan Serial Killer atau bagaimana?” perempuan itu melanjutkan menyuruput teh serehnya.
“Bagaimana menurutmu? Menurutku iya,” kata Kei sambil kembali menatap layar laptopnya.
“Mengapa kamu berpikir seperti itu?”
“Aku sepertimu, tidak percaya dengan kebetulan, pasti ada sesuatu dibalik ini semua,” jawab Kei, “itulah mengapa aku melanjutkan menyelidiki semua orang yang ada di grup ‘Werewolf Game’, aku ingin tahu apa motif grup mencurigakan ini muncul.”
“Kamu berpikir kasus ini saling terhubung?” tanya Cassie.
“Ada kemungkinan itu terjadi,” Kei mengangguk-angguk.
“Perasaanku mengatakan hal yang sama. Kamu tahu sendiri ‘kan bagaimana firasatku itu,” perempuan itu menghela napas.
“Aku sebenarnya sudah lama ingin menanyakan in-“
“Apakah kami mengganggu pernyataan cintamu, Kei?” Han dan Sean berdiri di depan pintu ruangan rahasia dan tertawa kecil.
“Tidak, aku sedang tidak menyatakan cinta,” bantah Kei, “Cepat masuk dan pesan makanan.”
“Aku sampai kelaparan menunggu kalian datang,” keluh Cassie.
“Jadi kalian belum pesan makanan?” tanya Sean. Kei dan Cassie menggeleng bersama.
“Astaga, cepatlah pesan sesuatu. Pembahasannya bisa dilanjutkan nanti.”
***
Memang benar kata orang-orang, penyesalan itu datang di akhir. Yah, kalau penyesalan datang di awal namanya bukan penyesalan lagi. Duduk di sini membuatku merasa seperti pembunuh. Mengangkat pantatku dari sini justru akan membuat keluargaku terbunuh. Sungguh, sudah seperti mendapat buah simalakama.
“Jam makan siang, intensitas percakapan menurun. Nah, kau mau makan apa hari ini?” pria itu melembut. Huh, dia ini punya gangguan jiwa atau bagaimana?
“Memangnya kau mau pesan makanan kemari? Bukannya sama saja membuka persembunyianmu?” tanyaku sambil terus menatap monitor - monitor itu bergantian.
“Aku tidak sebodoh itu, sekarang cepat katakan kau ingin pesan apa,” katanya sambil bersiap keluar dari liang tanah ini.
“Baiklah, aku pesan rendang. Sudah sana pergi,” aku menghela napas lega. Akhirnya orang itu pergi juga dari hadapanku.
“Oh, ya mengingatkan. Jangan kau pikir setelah aku pergi kau akan bebas melakukan apa saja. Aku selalu mengawasimu,” ia menyeringai lalu keluar dan menutup pintu. Aku mengedarkan pandang, di sudut atas ruangan aku menemukan CCTV.
“Sial.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!