NovelToon NovelToon

Aku Anak Germo

Pertemuan kembali

Tinggal di kompleks lokalisasi bukan hal bagus untuk anak perempuan yang telah berusia dua puluh tahun sepertiku. Pernah mencoba untuk sewa indekos menggunakan sedikit gaji yang diri ini terima dengan bekerja di sebuah toko roti, tetapi itu tidak berlangsung lama.

Setiap kali aku meninggalkan rumah, kaki tangan Mama menjemput paksa dan tidak jarang mereka membuatku malu.

Jika bersikeras tidak ingin pulang, mereka berkata tentang anak siapa aku, hal itu membuat diri ini dikucilkan teman-teman indekos. Kalau sudah begitu, dengan terpaksa pulang juga ke sarang setan itu.

Bagi gadis-gadis Mama, mereka memakai siang hari untuk istirahat dan malam hari untuk bekerja. Beruntung jika mendapat sif pagi dan pulang sore, setibanya di rumah, aku akan membawa semua keperluan seperti makanan dan minuman ke dalam kamar. Aku tidak ingin keluar kamar jika mereka sudah bekerja

Sialnya jika mendapat sif siang, pulang kerja malam pukul sepuluh dan sampai di rumah sudah pukul setengah sebelas. Aku akan melewati gadis-gadis berpakaian hanya sejengkal dari pangkal paha. Belum lagi mata-mata pria hidung belang menatap liar seakan ingin menerkam.

Malam ini benar-benar merasa bosan. Suara dentuman musik dan aroma alkohol selalu menemani. Segera mengambil jaket dan kunci motor, keluar rumah meninggalkan tempat ini, walau entah ke mana aku pun tidak tahu.

Tanpa disadari, kepergian ini diketahui Mama, orang-orang suruhannya sudah menghadang motor dan memaksa diri ini turun lalu ikut pulang bersama mobil mereka.

"Hei, lepaskan dia!" Suara laki-laki berteriak dan berlari ke arahku.

"Jangan ikut campur!"

Bug!

Satu pukulan mendarat di wajahnya.

"Sudah pergi saja! Mereka orang suruhan mama, saya nggak apa-apa." Hanya itu yang mampu aku ucapkan kepada lelaki itu.

Aku berhasil dibawa ke dalam mobil, melihat lelaki itu masih berdiri menatap ke arahku sambil mengelap sedikit darah di sudut bibirnya.

"Maaf!" teriakku.

***

Mama sudah menunggu di dalam kamar.

"Dari mana kamu, Ratu?"

"Cuma keluar bentar, mau cari makanan."

"Kamu jangan bohong, ya! Saya ini mama kamu, saya tahu itu bohong. Jangan coba-coba kabur dari rumah ini! Kalau berusaha kabur, kamu akan mama kurung selamanya. Mulai besok nggak usah kerja, uang saya banyak, berapa pun yang kamu butuhkan saya ada," ucap Mama seraya melangkah keluar kamar.

***

Pagi ini ada jadwal sif, dengan susah payah akhirnya bisa merayu Mama untuk mengizinkan berangkat kerja, tetapi dengan catatan aku harus diantar jemput oleh Om Toni—salah satu orang kepercayaannya.

Toko roti tempatku bekerja kedatangan koki baru, keahliannya membuat berbagai macam cake dan roti tidak diragukan lagi. Dengan sekejap, cake polos itu bisa diubahnya menjadi cake berharga ratusan ribu.

Jam istirahat makan siang, aku duduk sendiri di Rest area khusus karyawan, menikmati bekal sederhana yang kubawa dari rumah.

"Sendirian aja?" sapa koki baru tadi.

"Iya, Pak," jawabku bingung harus memanggil apa.

"Nggak usah manggil ‘Pak’, panggil saja saya Yusuf, Aa Yusuf!"

'

"A Yusuf orang Sunda, ya?" Aa Yusuf hanya menganggukkan kepalanya.

"Tadi malam, kamu nggak apa-apa?"

"Tadi malam?" Aku balik bertanya sambil memikirkan maksud pertanyaan Aa Yusuf.

"O ... Aa yang tadi malam mau nolongin saya, ya? Maaf, A, bagaimana lukanya? Kalau saya tidak apa-apa." Refleks tanganku ingin menyentuh bekas lukanya.

Aa Yusuf menghindar. "Maaf, jangan!"

Aku pun menarik lagi tanganku.

"Mana dia mengerti itu, A. Di rumahnya aja laki-laki dan perempuan bisa tidur sekamar."

Mendengar perkataan mereka, membuat aku sangat malu, malu sekali. Ingin marah, tetapi yang dikatakannya itu benar.

"Permisi, A." Aku pun pamit menyudahi makan. Berjalan ke loker untuk menyimpan kotak bekal.

"Darah pelacur mah gitu, lihat yang cakep aja langsung ngeluarin rayuan."

Sakit mendengarnya, karena aku bukan pelacur.

Aku tidak mempunyai teman, mereka takut berteman dengan diri ini, takut akan ada bau busuk yang menempel jika dekat-dekat dengan sampah.

Aku selalu berusaha menghindari Aa Yusuf, bukannya sombong, tetapi aku takut dengan laki-laki. Selama ini lelaki yang aku lihat hanya butuh wanita untuk nafsunya saja. Aku tidak tahu apa rasanya jatuh cinta dan terlalu menutup diri untuk lawan jenis.

Hanya mendengar cerita cinta itu dari gadis-gadis Mama, mereka bilang mencintai suami orang, dibelikan ini itu oleh suami orang. Ah, dasar pelakor, kisah cinta apa yang bisa kuambil dari pelakor-pelakor itu.

***

Peraturan baru di toko tempat aku bekerja, satu Minggu sekali akan mengadakan pengajian di malam Jumat. Karyawan yang mendapat sif pagi di hari Kamis, langsung disambung dengan pengajian sehabis jam kerja. Cuma aku karyawan wanita di sini yang tidak menggunakan jilbab, mendengar info mendadak seperti itu, diri ini langsung panik, apa aku harus keluar dulu membeli jilbab?

Jaket kupasang, bergegas mencari toko terdekat untuk membeli selembar jilbab, saat akan menutup loker, ternyata Aa Yusuf sudah berdiri di samping tubuh ini.

"Ini, pakai!" Aa Yusuf menyodorkan selembar kain.

"Apa ini, A?" tanyaku heran dan segan jika terlihat oleh mereka kami sedang berdua.

"Jilbab, sudah disiapkan untuk kamu. Ambil saja! nggak usah susah-susah mencari keluar lagi." Sedikit ragu aku mengambil jilbab di tangannya.

Loker kubuka kembali untuk berkaca saat mengenakan jilbab. Air mata menetes, baru kali ini aku temui lelaki yang menyuruh diri ini menutup aurat.

Pengajian diisi ceramah dan sebelumnya dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Quran yang dibacakan oleh Aa Yusuf. Semua mata teman-teman memandang kagum kepadanya, sedangkan aku hanya tertunduk malu, merasa hina, tidak pantas berada di tempat sesuci ini.

Azan Magrib berkumandang, para peserta pengajian bergantian mengambil air wudu, salat Magrib berjamaah akan dilaksanakan.

Aku tidak punya mukena. Malu rasanya, tidak pernah dibolehkan salat dari kecil.

"Nggak ada gunanya salat, kalau darah pelacur dan uang haram ngalir di badan kamu." Begitulah hardikkan Mama.

Aku memang cantik, tetapi buta agama.

"Kamu nggak salat, Ra?" Pertanyaan Aa Yusuf mengagetkanku.

"S–saya lagi datang bulan," jawabku terbata-bata.

"Dia mana pernah salat, A."

Kembali pernyataan dari teman sekerja itu membuat malu, sudah tidak ada muka lagi dibikin mereka.

"Aa salat dulu, tunggu sampai selesai!" Pinta Aa Yusuf kepadaku.

Lelaki sempurna, sudah tampan dan pintar ilmu agama. Saat mendengar ayat-ayat yang dibacanya sebagai imam salat Magrib ini, hatiku sangat iba, merasa tidak pantas ada di antara mereka. Aku pergi dan tidak akan kembali lagi ke tempat ini--Aku resign.

Mobil yang menjemput sudah menunggu di parkiran toko, jilbab pemberian Aa Yusuf kubuka dan menyimpannya di dalam tas.

Razia di Lokalisasi

Sebenarnya resign bukan pilihan yang tepat, tetapi aku terlalu malu oleh perkataan teman-taman yang mencari perhatian Aa Yusuf.

Seminggu sudah aku di rumah tanpa aktivitas berarti. Mencari-cari lowongan pekerjaan di internet, mengantar lamaran ke sana ke mari.

"Zaman sekarang susah nyari kerja, Neng. Wajah cantik, kulit putih bersih, kamu sudah punya modal, tuh," ucap preman depan kompleksku.

Aku mengerti maksud ucapan mereka. Memiliki fisik seperti itu, bisa saja aku mengikuti jejak Mama

***

Kuhentikan motor matic di sebuah warung bakso tepi jalan. Mengisi perut yang kosong. Memesan semangkok mie ayam bakso dan segelas es jeruk peras, lalu memilih duduk di pojokkan.

Saat itu, aku melihat pria dan wanita memasuki warung bakso ini, mungkin mereka sepasang suami istri. Sang wanita memakai pakaian syar'i begitu indah terlihat.

"Ratu." Ternyata lelaki itu Aa Yusuf.

Aa Yusuf melangkah ke arahku, meninggalkan wanita berpakaian syar'i yang sedang memesan bakso.

"Assalamualaikum, Ra." Ra? Belum ada yang memanggil namaku dengan singkatan begitu, mungkin karena aku juga tidak punya teman akrab.

"Minta nomor HP kamu!"

Aku menyebutkan dua belas digit nomor teleponku. Aa Yusuf segera permisi karena wanita berpakaian syar'i itu sudah selesai dengan pesanannya.

kulihat diri ini, rambut berponi yang terkuncir dengan setelan celana panjang dengan baju kemeja pas bodi. Ah, sangat jauh penampilan dengan wanita itu.

***

"Dari mana kamu seharian, Ratu?" tanya Mama yang sudah menungguku di ruang tamu.

"Melamar pekerjaan, Ma," jawabku sambil mencium tangannya.

Aku meninggalkan ruang tamu yang sudah dipenuhi gadis-gadis Mama.

Ponselku berdering, ada panggilan masuk dari nomor baru. Ternyata panggilan dari Aa Yusuf.

"Aa mau nanya, kenapa kamu tidak menunggu aa selesai salat dan tidak datang-datang lagi?"

"Maaf," ucapku.

"Ra ...." Terdengar suara panggilan dari seberang sebelum tombol merah di ponsel kutekan.

***

Aku sudah lupa kapan terakhir kali bisa tidur nyenyak, tanpa dentuman musik yang baru mati saat azan Subuh berkumandang.

Baru saja akan memejamkan mata, pintu kamar kembali digedor.

"Ratu, bangun!"

Dengan malasnya aku turun dari tempat tidur, saat pintu kamar dibuka, seseorang langsung menarik tanganku.

"Apa-apaan ini, Om?"

Ternyata tempat ini dirazia. Sudah hampir lima tahun tidak pernah ada razia, kenapa sekarang ada razia lagi.

"Tunggu, Om, ambil HP dulu." Aku segera meraih ponsel di atas meja.

Sesampainya di pintu belakang, ternyata sudah ramai orang. Mereka menyelamatkan diri masing-masing.

Di tengah malam begini, aku harus ke mana? tidak punya sahabat yang bisa kudatangi. Menginap di hotel, tidak punya uang. Hanya mencoba menekan nomor ponsel Mama.

"Ratu, mama lagi di kantor polisi, jangan hubungi dulu!" bisik Mama.

Jam di ponsel menunjukkan pukul dua dini hari. Aku hanya menggunakan piama selutut, dinginnya angin malam terasa menusuk ke dalam tulang, yang terpikir setelah Mama, hanya Aa Yusuf. Ingin menghubunginya, tetapi takut bila istrinya marah.

Aku sudah berada di luar kompleks, melewati pemukiman warga, tanpa alas kaki, terkadang telapak kaki ini menginjak batu yang terasa sakit menusuk.

Tampak sebuah musala kecil berada di ujung jalan, melangkahkan kaki ke sana, semoga malam ini dapat beristirahat sebentar walau hanya untuk menyandarkan badan.

"Bangun, hei bangun!" Sayup suara yang kudengar.

Mencoba membuka mata walaupun terasa berat, ada dua orang yang menggunakan mukena seperti ingin melaksanakan salat Subuh.

"Maaf, Bu, saya tertidur di sini," ucapku.

Warga-warga sudah mulai berdatangan, sepertinya waktu Subuh sudah dekat.

Para peronda pun telah selesai melaksanakan tugasnya.

Melihat orang-orang berkumpul di teras musala, mereka langsung menghampiri.

"Ada apa ini?" tanya salah seorang dari mereka.

Aku merasa terpojok, bingung harus berkata dan menjelaskan apa.

"Dia itu, orang kompleks depan. Tadi malam di kompleks itu ada razia, kabur dia itu."

Begitulah ucapan mereka, aku sudah tidak tahu lagi siapa yang berkata.

"Pelacur ini, sudah pergi kamu, berani-beraninya menginjakkan kaki di kampung kami!"

Ibu-ibu itu mendorong, menyuruhku pergi dari tempat ini.

"Ra," sapa Aa Yusuf yang mungkin heran melihatku subuh-subuh begini sudah berkeliaran di sini.

"Kamu kenal dia, Yusuf?" tanya ibu-ibu bermukena putih itu.

"Dia teman kerja saya," jawab Aa Yusuf sambil membuka jaket yang dia pakai, lalu memberinya kepadaku.

"Jangan kamu dekat-dekat dengan perempuan itu, Yusuf! Dia pasti pelacur juga," teriak salah satu warga.

Aa Yusuf menoleh ke arahku, aku hanya menggelengkan kepala tanpa ada kata yang bisa terucap. Menangis? Sudah tidak bisa mata ini mengeluarkan air mata.

"Tunggu aa sampai selesai salat, Ra! Aa mohon."

Aa Yusuf menyuruh warga bubar dan segera melaksanakan salat Subuh berjamaah. Lima belas menit kemudian, salat selesai. Aku masih duduk di teras musala menunggunya.

Aa Yusuf mengajak ke rumahnya agar diri ini bisa beristirahat dan sarapan. Aku menolak karena segan dengan wanita di warung bakso itu, takut bila istrinya akan marah.

Setelah mendengar penjelasannya, ternyata wanita itu adalah adiknya. Akhirnya aku mau ikut walau ada rasa takut, takut orang tuanya akan marah. Sesampainya di rumah, semua ketakutanku sirna, Ibu dan Adik ternyata sangat baik.

"Nak Ratu, mandi dulu! Bersihkan badannya biar segar, baru kita sarapan bersama," ucap ibunya.

"Pakai baju Salma aja, Kak!"

Aku melihat ke arah Aa Yusuf, dia hanya mengangguk sambil tersenyum. Selesai mandi, di atas tempat tidur sudah tersedia baju yang akan kupakai. Keluarga Aa Yusuf sudah menunggu untuk sarapan. Selesai sarapan aku membantu Salma mencuci piring.

"Kak, Kakak cantik pakai baju syar'i seperti ini."

"Tapi kakak nggak punya," jawabku malu.

"Kamu nggak harus langsung berpakaian syar'i, Ra! Bisa dulu berpakaian yang panjang dan longgar, menutupi aurat," sambung Aa Yusuf yang ternyata dari tadi mendengar pembicaraan kami.

Salma meninggalkan kami, aku masih dengan cucian piring dan Aa Yusuf masih berdiri di depan pintu.

"A ...," ucapku ragu.

"Kenapa, Ra?"

"Ajari Ratu salat, bisa?"

"Alhamdulillah, tentu bisa, tetapi kamu biar ibu yang mengajarkan."

Tiba-tiba ponsel berdering, ada panggilan masuk dari Mama. Mama menelepon menanyakan keberadaanku, meminta share lokasi karena dia akan menjemput.

Lima belas menit setelah itu terdengar suara klakson mobil, aku segera pamit menyalami Ibu. Aa Yusuf mengantar sampai ke depan rumah.

"Terima kasih, A, atas pertolongannya."

"Ratu buruan!" bentak Mama.

Terlihat di wajah Mama bahwa dia tidak senang dengan Aa Yusuf.

Setelah aku masuk ke dalam mobil, Mama bertanya kenapa aku berteman dengan lelaki miskin seperti itu.

"Ini apaan lagi, baju seperti ini, kuno banget."

Mama mengangkat ujung bajuku. Aku hanya diam, tidak menjawab satu kata pun.

Mobil mengarah ke sebuah apartemen, salah satu punya Mama. Di dalam kamar sudah ada paper bag berisi pakaianku. Mama meminta untuk mengganti pakaian.

Aku pilih baju yang setidaknya menutup aurat, walaupun tidak ada yang longgar seperti yang dikatakan Aa Yusuf.

Mama mengajak ke toko roti tempat diri ini bekerja kemarin. Sepertinya Mama marah dengan perkataan mereka. Kenapa Mama harus marah? Padahal yang dibilang mereka semunya benar.

Sesampainya di toko roti, Mama memborong semua kue yang sudah terpajang.

"Biar mereka tahu, mama punya banyak uang, bisa membeli mulut-mulut mereka yang sok suci," ucap Mama dengan sombongnya.

Aku hanya diam, tidak berani melawan Mama. Ia kembali menatap Aa Yusuf dengan tajam yang berada di situ. Setelah puas membuat kegaduhan dan pamer harta, Mama mengajakku pergi.

"Jangan kamu berteman lagi dengan laki-laki itu, mama akan nikahkan kamu dengan Om Pras!" ancam Mama.

Om Pras lelaki kaya sudah beristri, yang dari dulu ingin menikahiku.

Aku mengatakan kepada Mama bahwa sudah mendapatkan pekerjaan, padahal setiap hari keluar rumah hanya untuk belajar mengaji dan salat dengan ibunya Aa Yusuf.

Kompetisi Masak

Kehadiran Aa Yusuf mulai terasa di hati. Saat dia berkata ingin menemui Mama untuk melamarku. Perasaan diri tidak pantas itu muncul. Masih banyak perempuan yang berilmu agama di luar sana.

Takut keluarga baik-baik itu akan dikucilkan warga jika pernikahan itu terjadi. Mana mungkin aku bisa membiarkan orang sebaik mereka harus menanggung aib, anak laki-laki kebanggaannya menikahi anak seorang germo. Aku akan mencoba menjaga jarak, walaupun itu terasa berat.

"Ratu, ada cowok nyari, tuh. Cowok idaman banget. Dia berani langsung ngelamar lu ke mami," ucapan Kak Dinda mengejutkan.

Aku berlari ke lantai bawah. Ternyata benar, sudah ada Aa Yusuf di situ.

"Berani kamu datang kemari, cuma modal cinta? Anak saya ini sudah ada calonnya. Orang kaya raya, kamu dibandingkan dia, bukan apa-apa. Jangan pernah bermimpi bisa mendapatkan Ratu. Bawa ke sini uang seratus juta! Baru saya izinkan menikahi Ratu."

Kata-kata Mama membuatku sakit, ternyata di mata Mama aku hanya sebatas nominal.

Mama rela melihat anaknya menjadi istri simpanan yang penting punya menantu kaya raya. Hanya kalimat menyuruhnya pulang, yang sanggup keluar dari bibirku.

Aa Yusuf dipaksa keluar oleh orang-orang suruhan Mama. Sejak hari itu, Mama mulai mengekang. Tidak boleh lagi keluar rumah. Bahkan saat aku mandi, ponsel diambil Mama, lalu dipecahkannya.

Duduk di sofa ruang tengah sambil menyalakan TV. Memikirkan nasib, apakah selamanya harus di sini atau dengan menikahi Om Pras aku baru bisa bebas.

Oh, tidak. Mana mungkin menikah dengan lelaki yang sebaya dengan Mama. Kenapa Mama tidak pernah bersikap baik kepada diri ini? Dari kecil, aku belum pernah dipeluknya, apa lagi Papa. Tahu bagaimana wajah Papa saja, tidak. Terkadang aku menertawakan diri sendiri saat membayangkan nasib ini.

"Cowok yang kemarin cakep, ya," ucap Kak Dinda seraya menjatuhkan badannya di sofa merah.

"Siapa?"

"Sok lugu lu. Sudah cakep, berani. Wah, kalau jadi istri dia, gue nggak mau keluar kamar, dah."

"Mesum." Aku melempar bantal kursi ke muka Kak Dinda.

"Jangan bucin! Emang kamu bisa kenyang dengan cinta?" cerca Mama mengagetkan kami.

Karena cinta dia akan berusaha memenuhi kebutuhan pasangannya. Karena cinta dia berusaha membuat pasangannya bahagia. Perkataan itu mengalir begitu saja. Mengakibatkan satu tamparan mendarat perih di pipi kananku.

Kak Dinda yang masih berada di situ berusaha membela. Akan tetapi, dia juga dibentak Mama. Bagaimanapun Mama memperlakukanku, tidak ada lagi air mata yang menetes. Aku seakan tidak punya stok air mata.

***

Menemani Kak Dinda shopping itu sudah menjadi rutinitas jika dia dapat kiriman dari sugar daddy-nya.

Ucapan Aa tentang pakian juga selalu kuingat. Walaupun hanya punya celana jeans panjang dan memakai atasan tunik, setidaknya tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Sementara Kak Dinda menggunakan mini dress model baby doll di atas lutut.

Mobil melaju membelah keramaian jalan raya. Di dalam mobil, kukeluarkan jilbab pemberian Aa Yusuf. Ada rasa tenang saat memakainya. Aku rindu dengan orang yang memberi jilbab ini.

"Sudah berapa lama kalian nggak komunikasi?” tanya Kak Dinda memecahkan lamunanku.

"Ada dua bulanan, Kak."

"Masih ingat nomor ponselnya?"

Aku mengangguk, Kak Dinda mengambil ponsel dari dalam tas dan menyodorkannya kepadaku. Dua belas digit nomor ponsel Aa kutekan.

Hanya suara operator telepon seluler yang menjawab. Dengan nada lirih aku mengatakan bahwa nomor ponselnya tidak aktif. Saat itu Kak Dinda mengusap kepala inj dengan tangan kirinya.

Mobil kami masih berputar mencari tempat parkir kosong, mal terbesar di kota ini biasanya akan selalu ramai saat akhir pekan. Hampir setengah jam dihabiskan untuk mencari parkiran.

Saat memasuki mal, keadaan di dalam lebih padat. Kak Dinda langsung mengajakku ke toko pakaian dalam.

"Beli pakaian dinas dulu, biar uang tetap ngalir," kelakar Kak Dinda. Aku hanya tersenyum kecut.

"Lu mau beli apa? Biar kakak belikan."

Menolak tawaran Kak Dinda dengan halus karena aku tahu sumber uang itu dari meminta suami orang.

Setelah bertanya kepada salah seorang SPG tentang keramaian di lantai bawah, barulah kami tahu kenapa kepadatan mal ini berbeda.

Acara kompetisi para chef dalam bidang cake and bakery yang diadakan stasiun TV, hadiah utamanya cukup besar, seratus juta. Sudah dua bulan kompetisi ini dilaksanakan, sekarang hanya menyisihkan lima orang.

"Mungkin ada aa kamu di situ." Kak Dinda langsung menarik tanganku untuk berjalan ke arah lift.

Sesampainya di lantai bawah. Keadaan penuh sesak, dengan bersusah payah, kami menerobos penonton untuk sampai ke barisan depan. Sialnya, saat tiba di depan, para chef sudah meninggalkan panggung. Masa jeda bagi para chef Senior untuk memberi penilaian.

Kami tinggalkan tempat tersebut.

Berjalan menuju foodcourt. Setelah memesan makanan, Kak Dinda pamit ke toilet sebentar.

"Ra?"

Aku melihat siapa yang menyapa, ternyata lelaki berpakaian putih, dress code seorang chef.

"Boleh aa duduk di sini?" Sambungnya sambil menarik kursi.

Aa Yusuf duduk di depanku, menatap dengan penuh arti. Mungkin dia heran melihat diri ini sekarang sudah memakai jilbab. Aku hanya tertunduk malu sambil memainkan ujung jilbab.

Terdengar deheman Kak Dinda yang sudah kembali dari toilet.

"Kenalin, ini Kak Dinda," ucapku kepada Aa Yusuf.

"Panggil Dinda aja!" sahut Kak Dinda.

Aa Yusuf bertanya kenapa nomor ponsel tidak bisa dihubungi lagi, setelah memberi tahu bahwa ponsel dipecahkan Mama, dia memberikan ponsel miliknya dan katanya dia akan membeli ponsel yang baru, tetapi aku harus pandai menyimpannya jangan sampai ketahuan.

Aku melihat ke arah Kak Dinda. Kak Dinda berjanji tidak akan memberi tahu Mama perihal ponsel ini.

"Titip Ratu, ya, Din!" pinta Aa kepada Kak Dinda.

"Lu harus menangkan seratus juta! Gue nggak mau lama-lama lu titipin Ratu." Kak Dinda langsung menyeruput coffe ice pesanannya.

***

Aku mengira semua berjalan lancar, ternyata mengelabui Mama itu bukan mudah. Saat aku melaksanakan salat Isya, pintu kamar didobrak. Tetap berusaha khusuk, tetapi mukena ditarik dari belakang hingga terlepas.

"Kenapa juga kamu salat, anak haram?"

Teriakan Mama ini menyakitkan..

"Jangan sok suci, Allah itu tidak ada saat kamu susah, percuma saja taat." Mama menarik-narik rambutku.

Seperti itulah perlakuan yang sering aku terima semenjak kecil jika mencoba belajar agama.

"Kalau tidak mau diatur, pergi cari ayahmu! Jangan bisanya menghamili dan tidak mau tanggung jawab. Sudah syukur saya lahirkan kamu. Tahu begini, dulu saya bunuh saja saat masih di dalam perut. Ingat, kamu harus membalas semua kebaikan saya!"

Mama tidak henti memaki. Aku hanya bisa duduk memeluk lutut di sudut kamar. Sedih itu pasti, tetapi jangan berharap aku mengeluarkan air mata.

Drrrttt!

Ponsel di dalam lemari pakaianku bergetar. Mama membuka lemari dan menemukan ponsel tersebut, secepat kilat Mama melempar ponsel ke lantai dan beranjak keluar kamar.

Terdengar suara Mama menelepon Om Toni untuk menculik Salma.

Cepat kuambil ponsel yang dilempar tadi. Bersyukur masih bisa hidup. Menekan nomor Aa Yusuf, untuk memberi tahu apa yang aku dengar, tetapi panggilanku tidak dijawab.

Kak Dinda berteriak, agar aku menyalakan TV. Ya Allah, benar. Betapa Allah sudah mempermudah segala urusan. Aa Yusuf berhasil menjadi juara. Walaupun dia berhasil mendapatkan uang seperti yang Mama minta, Mama mungkin tidak akan menepati janjinya. Mama itu licik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!