Musim kemarau tahun 2003
Sreet... Sreet... Dedaunan kering bergemerisik, saat kaki-kaki beralaskan sepatu menapak ke permukaan tanah. Sinar mentari begitu terik menusuk kulit. Peluh berjatuhan, melawan suhu tubuh yang terus meningkat.
"Tolong... Jangan lakukan itu. Aku mohon."
Terdengar rintihan suara wanita, di sela-sela gemerisik daun dan rerumputan. Nada suaranya sangat lemah, hampir tenggelam ketika angin menderu kencang. Tubuhnya tak berdaya, tatkala para lelaki itu menyeretnya ke semak ilalang.
“Tolong aku…” rintihnya lagi.
Seragamnya yang basah kuyup, penuh tanah dan bunga berduri. Seluruh kulitnya penuh sayatan dan luka lebam. Bibir mungilnya tampak membiru, memohon belas kasih para pria bejat tersebut untuk melepaskannya.
"Tolong lepaskan aku," ucap gadis malang itu dengan parau.
"Heh! Bisa diam, nggak? Kalau sampai ada yang dengar, kamu bakalan mati!" bentak salah seorang pria, sembari menodongkan sebilah pisau ke hadapan sang wanita.
"Tauk, nih. Berisik banget." Pria lainnya turut menghardik wanita lemah itu. "Piye? Kita eksekusi di sini aja?" imbuhnya. -Gimana?-
"Gendeng, kowe. Ini di bawah pohon beringin. Mau kesurupan entar malam?" celetuk salah seorang pria bertubuh paling kurus. -Gila, kamu.-
"Halah! Sore-sore gini takut opo? Wes lah, cepetan,” timpal yang lain, sembari menyesap rokok di jarinya.
"Yo wes, lah. Ayo hom pim pa. Sing kalah jaga keadaan." -Ya udah, lah. Ayo hom pim pa. Yang kalah jaga keadaan.-
"Jangan! Jangan lakukan ... Hmmpp!"
Napas wanita itu sesak, ketika seorang pria berambut merah kehitaman bak blasteran, menyumpal mulutnya dengan gulungan dasi. Air matanya mengalir deras menahan rasa perih di hati. Dirinya terkoyak oleh tingkah laknat para pria iblis tersebut.
...***...
Desa Citraloka, lereng Gunung Lawu. Sang surya semakin bergerak turun di ufuk barat. Rona lembayung memayungi desa kecil di lereng pegunungan nan asri tersebut.
"Bu Tuti, ada lihat anakku, nggak? Udah hampir jam enam kok belum pulang, ya?"
Seorang wanita paruh baya menyapa Bu Tuti yang sibuk menyiram tanaman. Wajah wanita itu tampak kusut dan sayu. Sorot matanya terlihat redup.
"Nggak ada, Bu. Anakku udah di rumah dari tadi, tuh," jawab Bu Tuti. Wanita berdaster itu lantas menunjuk pada seorang gadis manis, yang membawa seikat kangkung segar.
"Oh, Aruna. Apa kamu pulang bareng Kinanti tadi?" tanya Bu Nastiti penuh harap.
"Nggak, Bu. Kami nggak pernah pulang pergi bareng," jawab Aruna acuh. Gadis berkulit kuning langsat itu memang tidak akrab dengan Kinanti, meski mereka sama-sama duduk di kelas dua SMA.
"Oh, gitu ya? Makasih, Aruna," balas Bu Nastiti. Aruna hanya berdehem pelan.
“Astaghfirullah, Nduk. Kok gitu sih ngomongnya?” Bu Tuti menegur sikap kasar putrinya.
"Ya biarin toh, Buk. Wong anaknya aja gak pernah bergaul sama kami," balas Aruna dari dalam dapur.
Sementara Bu Nastiti masih berdiri mematung. Raut wajahnya semakin sayu. Hatinya khawatir dengan keadaan buah hatinya yang belum ada kabar. Telinganya menangkap suara cempreng dari ujung jalan. Bola matanya pun berputar, menilik sebuah sepeda motor butut yang dikendarai pria paruh baya.
"Gimana, Pak?" tanya Bu Nastiti mengejar suaminya.
"Kata bapak satpam sekolah, semua anak-anak udah pulang sebelum jam tiga sore. Seharusnya dia udah sampai di rumah dari tadi. Di jalan Bapak juga nggak ketemu dia," jawab Pak Diman dengan raut wajah murung.
"Terus gimana, Pak? Ini udah hampir gelap, loh. Anak kita belum pulang," balas Bu Nastiti sambil menitikkan air matanya.
“Sore, Pak, Bu. Ada apa ini?” sapa seorang pemuda yang melintas dengan sepeda dan seikat rumput di belakangnya. Dia heran melihat Bu Nastiti menangis di tengah jalan.
“Kinanti belum pulang, Nak. Apa kamu ada bareng dia tadi pulang sekolah?” tanya Pak Diman.
“Waduh! Belum pulang? Kami nggak pernah barengan, Pak. Kami nggak sekelas,” balas Aksa.
Pak Diman membuang napasnya dengan kasar. Hatinya gundah. Tak biasanya sang putri seperti ini, "Ayo kita lapor Pak Kades," ajak Pak Diman. Bu Nastiti mengangguk kuat. Dia tak punya pilihan lain saat ini.
“Aku juga kasih tahu warga lain, Pak,” ucap Aksa lalu mengayuh sepedanya dengan cepat.
Sore itu juga, seluruh warga desa membantu mencari keberadaan Kinanti ke seluruh desa. Beberapa di antara mereka bahkan membawa peralatan dapur, karena meyakini Kinanti dibawa makhluk halus.
"Kinan... Kinanti..." seru para warga sembari memukul wajan dan panci dengan nyaring.
Sosok gadis yang mereka cari tak juga muncul. Pencarian terus berlanjut, hingga ke area perkebunan dan hutan lindung yang berbatasan langsung dengan desa.
Sebagian pemuda menyusuri jalanan ke dusun tetangga, yang setiap hati dilalui Kinanti dan teman-temannya menuju ke sekolah. Namun hingga adzan magrib berkumandang, keberadaan Kinanti masih belum ditemukan.
Pak Diman terus berteriak memanggil nama putrinya. Nastiti hanya bisa berlutut di tanah, terisak tak karuan.
"Gimana?" tanya Pak Kades pada para pemuda yang baru kembali dari dusun sebelah.
Mereka semua menggelengkan kepala. "Masih belum ketemu Pak," jawab Aksa.
“Di kebun sebelah wetan juga nggak ada, Pak,” lapor Arga, teman sekelas Kinanti. -Timur-
"Anakku, di mana sih, kamu? Ayo pulang, Nak. Ini sudah malam." Bu Nastiti menangis sesenggukan, memangil putrinya yang tak kunjung di temukan.
Riuh sirine polisi terdengar dari kejauhan. Suaranya kian nyaring dan semakin mendekat. Rupanya salah seorang warga melaporkan kejadian ini pada polisi.
“Halah, ngapain dicariin. Paling juga lagi pacaran sama cowok dusun sebelah,” cibir Aruna.
Nuraninya mati. Bukannya membantu, dia malah menyebarkan gosip yang bukan-bukan pada warga desa yang turut mencari keberadaan Kinanti.
"Nggak mungkin! Anakku nggak begitu!" bantah Nastiti histeris.
"Tapi emang benar, Kinanti itu sering ganjen ke cowok-cowok," cibir remaja itu lagi.
"Jadi kamu pernah melihat Kinanti? Kapan?" Seorang polisi yang baru datang, menginterogasi wanita itu.
"Y-ya di sekolah, Pak," jawab Aruna sambil menundukkan kepalanya. Dia takut diinterogasi oleh polisi lebih lanjut lagi.
Namun keadaan nggak berpihak pada Aruna. Penyelidikan pun terus berlanjut. Setiap remaja yang satu sekolah dengan Kinanti pun dimintai keterangan.
Waktu terus bergulir. Pencarian belum membuahkan hasil. Keberadaan Kinanti tak diketahui bagai ditelan Bumi. Hasil interogasi polisi pun menemukan jalan buntu.
"Sebaiknya Ibu pulang saja ke desa. Biarkan kami para polisi yang melanjutkan pencarian ini," ujar Pak Polisi.
"Aku nggak mau pulang. Anakku belum ketemu," tolak Bu Nastiti meraung-raung.
"Semakin malam semakin berbahaya, Bu. Kalau terjadi apa-apa, justru akan memperbesar masalah," bujuk para polisi itu.
"Terus gimana dengan anakku? Dia pasti sekarang sedang sendirian, ketakutan di tengah kegelapan?" isak Bu Nastiti.
"Sebaiknya Ibu percayakan saja sama kami," ucap salah seorang polisi.
"Benar, Ibu pulang saja. Biar kami para lelaki yang mencarinya," bisik Pak Diman membujuk sang istri.
“Tapi…” Bu Nastiti berat untuk meninggalkan tempat itu.
"Bu, aku di sini. Di bawah sini. Jangan tinggalkan aku, Bu. Tolong aku, Bu."
Gadis Ayu itu hanya bisa menatap nanar ke arah kedua orang tuanya yang menangis pilu. Air matanya meleleh. Sejak tadi dia berada di tengah-tengah para warga yang mencarinya. Namun entah bagaimana, tak seorang pun yang mendengar rintihannya.
Blar!
Guntur dan kilat tiba-tiba menyambar di langit. Langit yang dipenuhi bintang, telah tertutup dengan gumpalan awan yang gelap. Titik-titik air mulai menetes ke permukaan tanah yang gersang, memaksa semua orang berlarian mencari tempat berteduh.
“Kok tiba-tiba hujan, ya? Padahal masih kemarau,” ucap beberapa warga.
“Emang aneh banget. Apalagi sekarang Jumat Kliwon,” celetuk warga lainnya sambil berlari mencari tempat berteduh.
"Ibu mau ke mana? Jangan pergi. Tolong aku! Tolong! Aku di sini. Ibu mendengarku, kan?"
Rintihan yang sangat lirih itu tenggelam di antara suara derap kaki yang riuh redam, dan tiupan angin yang mampu mencabut pohon beserta akarnya.
Bu Nastiti berlari sembari menoleh ke belakang. Hatinya pilu meninggalkan tempat itu. Rangkaian doa tak berhenti diucapkannya dalam hati.
"Semoga kamu lekas ketemu, Nak. Jangan sendirian di tengah kegelapan," bisik wanita malang itu.
(Bersambung)
“Aduh! Lepas lagi! Kabur ke mana sih, ayamnya?”
Seorang pria menyibakkan semak ilalang, untuk mengejar ayam hutan langka yang kabur. Srak! Srak! Dari arah kanan, dia mendengar suara desau, seperti langkah kaki yang menginjak daun kering. Sontak bola matanya menelusuri arah suara tersebut.
“Kurrr! Kurrr!” Pria dengan blangkon di kepalanya itu menaburkan segenggam biji-bijian, sambil menirukan suara unggas berwarna hitam legam tersebut.
“Tolong, Pak. Tolong aku.”
"Eh? Suara perempuan? Di tengah hutan begini?"
Telinga lelaki itu samar-samar mendengar suara wanita yang meminta tolong. Gerakan tubuhnya pun terhenti. Matanya mengawasi sekeliling, tetapi dia tak melihat siapa pun.
Belantara ini begitu lebat untuk dimasuki oleh seorang wanita. Meski mentari masih bersinar, namun sinarnya telah meredup dan berwarna jingga. Menandakan malam akan segera datang. Suasana di lantai hutan ini pun cukup gelap, karena kanopi hutan dari pepohonan tinggi yang begitu rapat.
"Bapak bisa dengar suaraku? Tolong aku, Pak. Aku terjebak di sini dari kemarin."
"Di mana? Siapa itu?" seru pria itu sambil menahan rasa takut. Tetapi hati kecilnya juga merasa iba, mengetahui seseorang terjebak di sana. Mungkin saja itu pendaki gunung yang tersesat, kan?
"Di sini, Pak." Suara itu kian terdengar jelas, namun sedikit merintih.
"Ya di sini itu maksudnya di mana?" seru pria itu dengan suara bergetar. Kedua tangannya menggenggam erat sebilah bambu, untuk mengurangi rasa takut.
Tidak ada yang menyahut. Hanya terdengar suara dedaunan yang saling bergesekan.
Berkali-kali lelaki berkulit cokelat itu menyentuh tengkuknya yang meremang hebat. Hatinya mulai merasa ragu. Bagaimana mungkin ada suara tapi tak terlihat siapa pun?
Perlahan kakinya melangkah mundur, mencari celah untuk kabur. Namun matanya tetap menelisik setiap celah dedaunan dengan waspada.
Tiba-tiba langkahnya terhenti. Helaian kain yang tidak sempurna, disertai lumuran darah membuat pria bertubuh tegap itu tersungkur ke rerumputan. Rambut panjangnya menjulur ke tanah, hingga menyapu dedaunan kering di lantai hutan yang lembab.
Sosok yang merintih pilu itu menampakkan dirinya dengan samar. Memamerkan senyumannya pada lelaki paruh baya tersebut. Bukan senyuman manis, melainkan senyuman lebar. Sangat lebar, hingga ke pipi.
“Hahaha … kayaknya aku salah dengar. Kira-kira ayam tadi lari ke mana, ya?” ujarnya sambil beringsut ke belakang. Netranya memandang ke arah lain, pura-pura tidak terjadi sesuatu.
“Nggak usah pura-pura. Bapak bisa melihatku, kan? Hihihihi …”
Seluruh tubuhnya kaku dan membeku. Ke mana pun matanya memandang, hanya sosok itulah yang dilihatnya. Selama beberapa saat, dia hanya bisa terduduk di lantai hutan yang lembab dan kotor. Lelaki itu baru menyadari, bahwa pohon rindang tempat dia beristirahat adalah pohon beringin raksasa.
"Kok Bapak diam aja? Bukannya para lelaki suka ketemu perempuan cantik kayak aku? Ayo bawa aku pergi. Hihihi ..."
"Tolong! Tolong aku!" Pria itu mengumpulkan segenap tenaga, lalu berusaha kabur dari sana. Dia bahkan telah melupakan ayam yang hendak ditangkapnya tadi.
"Haaah, lagi-lagi semuanya pergi. Apa nggak ada yang mau mengantarku pulang? Aku kesepian di sini. Apa perlu aku membantunya menangkap ayam itu?" Sosok itu sepertinya nggak sadar, jika dia telah beda alam dengan manusia.
“Hah? Dia kembali lagi?” Sosok makhluk halus itu heran, melihat pria berperawakan tinggi dan tegap itu datang kembali sambil berlari. “Duh, gagah banget, sih. Waktu muda dia pasti cakep banget.”
“Persetan sama hantu atau apalah itu! Pokoknya obat untuk anakku harus ketemu.” Bibir pria itu berkomat-kamit mengucapkan do’a, saat melalui sosok yang melayang di atas kepalanya.
“Dia berbeda dari pria lainnya.” Sosok itu lalu menyamarkan diri agar tak terlihat, dan membawa seekor ayam ke dekat pria itu.
...***...
"Pak Pandu ... Astaghfirullah. Bapak ke mana aja? Anak Bapak ...?"
"Anak saya kenapa?"
Pria yang baru saja sampai di gerbang desanya itu melempar keranjang bambu berisi ayam cemani, yang sudah susah payah dia cari. Dia lalu berlari mendekati warga desa yang memanggilnya.
"Lho, bukannya tadi ada kabar anak Pak Pandu baru aja meninggal dunia? Tapi itu sehat wal afiat, kok," bisik beberapa pria berseragam satpam dengan wajah bingung.
"Mungkin infonya salah. Tuh, anaknya sehat-sehat aja, kok. Cuma emang kelihatan agak pucat," bisik warga lainnya.
"Terus yang mengumumkan di masjid tadi siapa?" Mereka semua saling bertukar pandang sembari berbisik.
Pak Pandu yang mendengar obrolan itu pun sontak menoleh ke belakang. Dia terkejut melihat sosok manis putrinya berdiri di belakangnya. Matanya terbelalak saat menyadari sesuatu.
"Tunggu! Kenapa makhluk ini mengikutiku, dan menyerupai wajah putriku. Jangan-jangan ..."
...***...
Tahun 2023, Alas Roban Ketonggo.
"Heh, Sat! Kayaknya kita tersesat, nih. Lihat GPS-nya yang benar, lah ...
"Hah? Moso? Gak mungkin sesatlah. Wong tinggal ikuti jalan ini aja sampai ke desa. Gak ada persimpangan lagi," balas Satya sambil menatap ke layar GPS offline, yang langsung terhubung dengan satelit.
"Ya, aku tahu. Tapi masa kamu nggak ingat? Kita udah lewatin pohon tumbang ini tiga kali, lho," ucap Hadyan yang sedang mengemudi.
"Apa iya?"
Satya yang kebingungan pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling mobil. Suasana cukup temaram. Sinar mentari di ufuk barat hampir menghilang di balik horizon. Langit jingga mengintip di celah-celah rimbunnya dedaunan.
"Masa GPSnya salah? Jadi seharusnya kita ke arah mana, nih?” gumam Satya.
Kedua pegawai negeri sipil yang bekerja sebagai pelestari hutan itu saling memandang dengan wajah bingung. Ini pertama kalinya mereka memasuki wilayah ini tanpa pemandu. Seharusnya dengan mengikuti jalan tanah yang biasa dilewati mobil offroad, mereka akan sampai di desa terdekat.
"Bismillah."
Hadyan kembali mengemudikan kendaraan double gardan mereka. Jalanan tanah berbatu itu semakin menyempit dan menanjak. Perasaan kedua pemuda itu tak tenang. Seharusnya mereka menuruni gunung, bukan naik.
Benar saja. Hingga matahari benar-benar terbenam, mereka kembali melalui tempat yang sama, pohon tumbang di pinggir jalan. Kabut putih mulai menyelimuti hutan, membuat jarak pandang semakin terbatas.
“Ya Gusti, kita beneran tersesat ini,” bisik Hadyan dengan tubuh lemas. "Coba sini ku lihat GPS-nya." Hadyan meminta benda mirip HP jadul itu pada rekannya.
“Aku kebelet buang air kecil, nih,” bisik Satya sambil merapatkan kedua pahanya.
“Heh, mau dibuang di mana? Ini udah malam, di tengah hutan pula,” larang Hadyan. Kedua netranya tak lepas menelisik GPS untuk mencari jalan keluar.
“Ya terus? Masa mau ditahan sampe ke desa? Udah di ujung, nih,” rengek Satya dengan gelisah.
“Masukin botol aja, gih. Tuh, ada botol bekas di belakang,” jawab Hadyan acuh.
“Dih, ogah! Udah, ah. Aku mau keluar sebentar. Ojo ditinggal, yo.”
"Jangan sembarangan buang air di hutan, woi! Ini kita lagi tersesat. Ntar kesambet, lho," kata Hadyan mengingatkan.
Tanpa menghiraukan seruan rekannya, Hadyan langsung membuka pintu dan berlari menuju pohon tinggi besar. Pohon randu raksasa itu pun bergoyang pelan, terkena hembusan angin. Sesosok makhluk berwajah pucat dan mata hitam bolong, duduk di salah satu dahannya.
"Hmmm, dia beneran harum banget. Cakep juga. Pasti dia salah satu cowok-cowok jahanam itu."
Satya tidak sadar. Seuntai rambut panjang turun dari atas pohon, diikuti sosok tanpa mata itu. Barisan giginya yang putih tampak berdarah. Makhluk itu melayang turun, ke dahan yang lebih rendah untuk menyapa Satya.
"Dia ke sini mau meminta kekayaa, jabatan atau ilmu pelet, ya? Dia bawa sajen apa?"
“Permisi, Mbah,” ucap Satya.
“Mbah? Enak aja. Dasar nggak sopan! Terus sajennya mana? Aku lapar."
Sosok itu tampak marah. Kemeja safari berwarna cokelat muda itu mendadak berlumuran darah. Sosok itu mengukir senyuman yang sangat lebar di wajahnya. Tangannya memanjang hendak menyentuh bahu pemuda tampan itu.
"Kamu harus jadi milikku. Hihihihi."
(Bersambung)
“Permisi, Mbah,” ucap Satya.
“Mbah? Enak aja. Dasar nggak sopan! Terus sajennya mana? Aku lapar."
Sosok itu tampak marah. Kemeja safari berwarna cokelat muda itu mendadak berlumuran darah. Sosok itu mengukir senyuman yang sangat lebar di wajahnya. Tangannya memanjang hendak menyentuh bahu pemuda tampan itu.
Tapi kemudian gerakannya mendadak berhenti. “Lho, lho dia ngapain? Ih, gak sopan."
Sosok yang menyerupai wanita itu terkejut tatkala Satya menurunkan risleting celananya, dan mengeluarkan hajatnya yang tertahan. Ia pun terbang membelakangi Satya, yang menunaikan tugas pentingnya.
"Kamu benar-benar gagah dan auramu besar sekali. Kamu harus jadi milikku. Hihihihi."
"Hah? Apa itu? Kok kayak ada suara ketawa?"
Hadyan yang menunggu Satya di dalam mobil mendadak merinding. Kepalanya celingukan ke kanan dan ke kiri untuk melihat keadaan. Dia mendapati pohon randu di dekat Satya bergoyang bagai tertiup angin. Tapi hanya pohon randu itu yang bergerak, pohon lainnya tidak.
Kraaaak! Kraaaak! Kraaaak!
Terdengar suara langkah kaki yang seperti menginjak dedaunan kering. Satya buru-buru menyudahi kesibukannya dan kembali ke mobil.
“Gimana? Udah dapat jalannya?” tanya Satya.
“Ck, belum nih. Jalan yang kita lewati tadi udah benar, kok. Harusnya tiga puluh menit aja, kita udah sampai ke desa,” keluh Hadyan.
“Kita tanya sama orang aja,” usul Satya.
“Lah, ngaco! Orang mana yang kita tanyain? Sepi gini.” Hadyan menghembuskan napas pelan, hingga kaca jendela di sebelahnya berembun.
“Itu!” tunjuk Satya. Seorang wanita mengenakan daster panjang bermotif bunga-bunga dan rambut panjang, berjalan di sisi kiri jalan tak jauh dari mobil mereka.
“Astaga! Kok ada cewek malam-malam di hutan?” Pemuda berambut cepak itu lantas mengubah posisinya setengah berdiri. Dia kembali teringat suara tawa misterius tadi.
“Ngapain kamu?” tanya Satya bingung.
“Lihat kakinya. Itu orang beneran atau bukan?”
“Huss! Nggak sopan! Udah pasti orang, lah. Bajunya kan nggak putih. Punggungnya juga gak bolong,” balas Satya lagi. “Pasti suara daun tadi karena langkah kakinya.” Satya berusaha berpikir positif.
“Nggak semua hantu pakai baju putih dan punggungnya bolong,” decak Hadyan menegaskan.
“Udahlah, percaya aja sama aku. Mending kita tanya sama mbak itu. Kamu mau terjebak di sini semaleman?” Satya mendesak rekannya, untuk memajukan mobilnya.
Gulp! Hadyan menelan ludahnya. Dia tak punya pilihan lain, selain mengikuti usul rekannya tersebut. Mobil mereka pun bergerak pelan, mendekati wanita berambut panjang itu.
"Permisi, Mbak. Boleh tanya?" Satya membuka kaca jendelanya, lalu menyapa wanita itu.
Hadyan yang merasa ketakutan, sontak memejamkan matanya rapat-rapat. Dia nggak siap melihat kejutan yang hendak terjadi.
"Oh iya, Mas. Mau tanya apa?"
Suara lembut yang membalas pertanyaan Satya, membuat Hadyan memberanikan diri membuka matanya secara perlahan. Dia terpana melihat kecantikan yang dimiliki gadis sederhana itu. “Syukurlah, beneran orang rupanya,” batin Satya.
"Jalan menuju ke Desa Wingit ke arah mana, ya?" tanya Satya lagi.
"Oh maksudnya Dusun Wingit?" ucap perempuan itu. Satya pun mengangguk.
"Yang itu, Mas. Ikutin jalan tanah itu. Lurus aja terus sampai ketemu pos ronda. Jangan belok ke jalan setapak di sebelah kanan,” jawab dara manis itu dengan ramah. “Mas-nya emang dari mana? Kok malam-malam bisa ada di hutan?" ucapnya sambil melempar senyum manis.
"Kami lagi ditugaskan kantor untuk di sekitar sini, Mbak," balas Satya. "Makasih ya, Mbak. Ngomong-ngomong Mbak mau ke mana? Butuh tumpangan?" imbuhnya.
"Nggak perlu, Mas. Saya lagi cari hewan peliharaan saya yang lepas," balas wanita itu.
"Baiklah, kalau gitu kami permisi dulu, Mbak. Terima kasih," ucap Satya lagi.
Hadyan yang duduk di bangku kemudi hanya melempar senyum, sambil mengangguk ringan. Wanita itu membalas senyumannya dengan sangat lebar dan kelopak mata membesar.
“Astaghfirullah!” ucap Hadyan memalingkan wajahnya dengan cepat.
“Ngopo kowe?” tanya Satya kebingungan. -Kenapa kamu?-
“Ng-nggak, kok.” Hadyan buru-buru menekan pedal gas-nya, dan meninggalkan gadis desa yang masih berdiri di sana.
"Aneh, ini kan jalan yang aku lewatin tadi? Tapi kok kali ini nggak muter ke pohon tumbang lagi, ya?" pikir Hadyan bingung.
"Hadyan, cewek tadi cantik, ya," celetuk Satya memecah keheningan.
"Hah? Ya cantik, sih. Tapi serem tahu. Cari hewan peliharaan di hutan malam-malam gini. Kalo orang gak tahu kan bisa dikirain kunti," celetuk Hadyan. Dia masih teringat senyuman lebar wanita itu.
"Ya elah, penakut amat sih. Mungkin warga desa sini emang udah biasa ke hutan malam-malam," kata Satya.
"Tapi kok wajahnya pucat gitu, ya? Senyumnya juga … "
“Manis, kan?” potong Satya.
Hadyan menghembuskan napas panjang, sambil terus mengemudikan mobilnya di jalan tanah yang berlubang. “Apa aku aja yang terlalu kepikiran?” pikir Hadyan.
“Awas!”
Bruk!
“Opo iku?” tanya Hadyan saat mobilnya telah berhenti. Dia merasa menabrak sesuatu. Lututnya lemas seketika. -Apa itu?-
“Kucing hutan kayaknya. Tapi selamat, kok.” Satya menunjuk seekor hewan yang berlari ke sebelah kanan. “Kowe ngopo, to? Ngantuk? aku ajalah yang bawa mobil,” pinta Satya. -Kamu kenapa, sih?-
“Nggak usah,” balas Hadyan tegas. Tapi baru beberapa meter, Hadyan kembali kehilangan kendali karena nggak fokus.
“Kowe mau bawa aku ke jurang? Ayo cepet tuker tempat. Aku aja yang bawa mobil,” desak Satya.
Kali ini Hadyan tak bisa membantah, Mereka pun bertukar posisi dan melanjutkan perjalanan.
"Btw kita belum makan malam, lho. Kira-kira di dusun ada warung yang masih buka nggak ya? Makan mi rebus juga nggak apa-apa deh, buat ganjel," ucap Hadyan mengusap perutnya.
"Kalo laper di kursi belakang ada roti sama air minum, tuh. Ganjel itu aja dulu," balas Satya tanpa menoleh. Jalanan curam dan berbatu memaksanya harus tetap fokus.
Hadyan pun memutar tubuhnya ke belakang, untuk mengambil roti. Gerakan tangan Hadyan terhenti, saat melihat pemandangan aneh di belakang mobil mereka. Sesosok wanita berjalan tepat di belakang mobilnya, sambil melempar senyum pada Hadyan.
"Kok dia bisa ngejar mobil ini?" pikir Hadyan bingung. "Ah, bukan itu. Dia kok bisa senyum sama aku? Harusnya kan nggak bisa lihat ke dalam mobil," pikir Hadyan merinding. Wanita itu masih mengejar mobil mereka sambil tersenyum pada Hadyan.
"Loh, gak jadi makan, kowe?" tanya Satya.
"Ng- nggak, nanti ajalah," ucap Hadyan dengan suara bergetar. "Bisa lebih kencang, gak? Biar cepat sampai desa,” pinta pemuda itu.
"Walah, gemblung kowe! Ya nggak bisa, lah. Jalannya turunan gini. Kamu mau masuk jurang?" gerutu Satya. -Duh, gila kamu.-
"Nggak, kok. Hahaha."
Hadyan tertawa hambar. Bola matanya berputar ke arah spion kiri. Bayangan wanita yang tersenyum di sana membuat peluhnya mengalir deras.
"Ini nggak bener," pikirnya.
Tiga puluh menit kemudian, mereka pun melihat kelap kelip lampu dan bangunan sederhana dari papan. Itu adalah pos ronda yang dikatakan wanita tadi. Satya pun menepikan mobilnya, untuk menyapa warga desa yang sedang ronda.
"Permisi, Pak. Boleh kami numpang istirahat?" sapa Satya dan Hadyan.
"Oh, boleh. Kalian ini dari mana? Kok malam-malam bisa ada di hutan?" tanya salah seorang pria berkumis tebal.
"Kami PNS Kehutanan dari Provinsi, Pak. Ditugaskan di sini untuk ..."
Senyum di wajah Satya menghilang. Kedua bola matanya membesar tatkala melihat sosok wanita yang berjalan menuju pos ronda. "Kok dia udah ada di sini? Apa ada jalan pintas menuju pos ronda?" pikirnya terkejut.
Rasanya tak mungkin seorang wanita bisa berjalan secepat kilat di pegunungan, meski mobil tersebut hanya melaju dengan kecepatan empat puluh kilometer per jam.
(Bersambung)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!