NovelToon NovelToon

JANGAN PILIH AKU!

JPA!#1

..."Kebencian yang mendalam akan membuat hati semakin sakit, dan pada akhirnya akan berujung dengan kematian."...

...***...

Cinta dan kebencian merupakan dua hal yang  tak bisa dipisahkan. Seolah keduanya telah menjadi satu raga dua jiwa. Ya, semua sudah tersusun rapi dalam takdir. Hanya saja apakah semua hal kita pasrahkan begitu saja, jika kau memilih di antaranya maka kamu termasuk kubangan melodi rasa. Jika, tidak memilih hal apapun dan hanya diam membisu sembari menatap tanpa rasa, maka kamu adalah rasa itu sendiri.

Seorang gadis cantik dengan rambut hitam yang terikat rapi tengah  asik duduk  bersantai di ujung bangku warung di pinggiran kota. Ia duduk dengan menaikan satu kakinya di atas kursi seraya mulai menyantap ayam gepeng yang sudah siap sedia di hadapannya.

“Selamat makan, Wak. Hari ini ngutang dulu ya,” ucapnya santai. Cia mencuci tangannya dan tengah bersiap menyantap hidangan tersebut.

Prangg ….

Piring Cia tiba-tiba melayang begitu tinggi, hingga bertabrakan dengan dinding warung. Sontak saja, hal itu menambah kegaduhan di tengah kebisingan kota. Perlahan Cia tolehkan wajahnya seraya mencari tau alasan makanannya terbang seketika. Ketika ia menoleh, telah tampak seorang pria bertubuh kekar sudah berdiri menatapnya dengan di ikuti segerombolan orang dewasa yang menyeramkan.

“Loe buruan pergi dari sini, gue mau makan!” ucapnya sombong.

Cia hanya menatap tajam pria itu, ia masih menahan amarah karna ayam gepeng tadi berubah jadi ayam terbang. Tapi, pria ini menaikan alisnya seraya menatap remeh Cia sang gadis cantik yang seksi, namun memiliki aura kebencian yang besar.

Tiba-tiba saja pemilik warung datang menghampiri mereka  untuk mencairkan keadaan. “Selamat datang, Bos. Mau makan apa hari ini?” ucapnya memaksakan senyum.

“Ambilkan semua makanan yang ada, buruan!” bentak pria itu, dengan segera pemilik warung langsung bergegas menuruti permintaan preman tersebut. Kalian bisa memanggilnya dengan sebutan Uwak Jo, sang pemilik warung tempat biasa Cia makan.

“Hei, loe!” seru Cia.

Cia memberikan tatapan tajam kepada preman tersebut yang sudah duduk di pojok warung, perlahan preman itu memalingkan wajahnya ke arah Cia.

“Loe manggil gue?” tanya dirinya.

“Iya br*ngs*k, loe kira gue manggil jin l*k*nat!” celetuk Cia yang tak kenal takut.

Preman itu tidak terima dengan ucapan Cia, dan  ia langsung saja  datang menghampirinya. Dengan menyentuh dagu mungil Cia, seraya preman itu menunjukan  ekspresi licik.

“Loe selamat hari ini, karna loe cantik, lain kali …. "

Belum habis preman itu berucap,  Cia sudah lebih dulu melayangkan pukulan kerasnya kepada preman tersebut, hingga hidungnya  sampai mengeluarkan banyak darah.

Bugg ….

Pukulan keras tepat mengenai wajah jelek sang preman. “Kurang ajar loe, cewek gila!" ucap preman yang masih memegang wajahnya yang bengap.

Sontak saja segerombolan anak buah preman itu, langsung berdiri dan bergegas membalas pukulan Cia.

“Diam di situ kalian semua, ini urusan gue sama cewek ini!” teriak sang ketua preman. Tentu saja mereka langsung diam di tempat menuruti kemauan dari Bos-nya.

Cia mulai berdiri dan menatap rendah sang preman, dengan menaikan sebelah alisnya.

“Berani banget loe sentuh wajah gue, dasar gak tau diri!”

Tanpa berbasa-basi terlalu lama. Cia kembali menghujamkan pukulan kerasnya kepada sang preman. berulang-ulang, hingga tak memberikan kesempatan sedikitpun pada orang yang sedang ia pukuli.

Hal itu berlalu cukup lama. pertarungan yang tidak seimbang sama sekali. Cia seperti sedang bersenang-senang dengan apa yang ia lakukan sekarang. pertengkaran tersebut, kini telah banyak menarik perhatian orang banyak. Cia sedikit merasa tidak nyaman, hingga memutuskan untuk segera mengakhiri permainan tersebut.

"Cih, kenapa banyak orang datang sih. padahal gue masih mau main-main sedikit." ucapnya dalam hati.

Sang preman telah jatuh tersungkur kebawah lantai. kondisinya sangat buruk, begitu banyak luka lebam yang sudah Cia lukiskan di wajahnya.

“Lain kali jangan belagu jadi preman. Muka jelek aja banyak tingkah! Kali ini gue ampuni nyawa loe.”

Cia memberikan tatapan tajamnya. sangat menakutkan. Tak lama ia mengambil sapu tangan di saku celana jens robek-robek yang ia kenakan. membersihkan sisa-sisa darah yang masih tertinggal di telapak tangannya.

Beberapa saat kemudian. Cia segera bergegas pergi dari sana. sedikit menutupi wajahnya dari orang-orang yang sudah berkumpul sejak tadi.

“Sial, siapa dia sebenarnya? Pukulannya tadi bukan pukulan biasa, seperti sudah terlatih sejak lama.  Bisa-bisanya gue kalah dari anak ingusan, Memalukan.” batin sang preman.

Semua anak buah sang preman  dan pemilik warung masih terpengangah melihat hal itu, mereka seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa anak perempuan mungil mampu menghadapi salah satu ketua preman yang terkenal bengis di kota tersebut. sangat tidak masuk dalam logika.

Cia terus berjalan menelusuri jalanan kota. Ia mengenakan jaket dan celana sport. Tidak tampak sama sekali dirinya sebagai anak perempuan.

"Kota ini sangat menyesakan. Benar-benar bikin muak," umpatnya.

Cia terus saja berjalan tanpa tujuan. Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering.

Kring ... Kring.

Cia merogo saku jaketnya. Mengambil sebuah ponsel. Melihat nama yang tertera di panggilan tersebut.

"Dia lagi," umpatnya lagi.

Cia langsung memutuskan panggilan tersebut. Hendak kembali menaruh handphonenya di dalam saku, namun belum sempat ia melakukan itu, untuk kedua kalinya handphone itu kembali berdering.

"CK, gak bisa bikin orang seneng apa," ucapnya kesal.

Cia mengangkat panggilan tersebut dengan terpaksa.

"Ya," ucapnya.

"Kamu dimana sayang? Kenapa tidak berangkat sekolah hari ini?" ucap seorang dari sebrang panggilan.

"Ada apa Nyonya. Kalau tidak ada hal penting, saya akan tutup telponnya!!" ucap Cia ketus.

"Sayang, Mama hanya khawatir dengan keselamatan kamu. sebaiknya kamu cepat pulang, jangan sampai Papa marah besar."

"Oke."

Cia langsung saja memutuskan panggilan tersebut secara sepihak. Ia tak ingin lama-lama berbicara pada seorang wanita yang baru saja menelponnya.

"CK. Satunya sok perhatian, satunya slalu marah-marah gak jelas. Hah, menyebalkan!" umpatnya.

Cia kembali melanjutkan perjalanan yang ia mulai. Mau tidak mau ia harus kembali ke tempat yang paling tidak ingin ia datangi.

Bagi dirinya, memimpikan kebahagiaan adalah hal terlarang untuk ia pikirkan. Semakin ia memikirkannya semakin pula duka yang akan datang menghampiri.

Sikapnya yang dingin dan terkenal garang, merupakan hal yang harus ia lakukan. Semua demi satu alasan. Bertahan Hidup dalam dukanya yang belum sembuh.

..._Bersambung_...

JPA!#2

...Dunia telah banyak berubah dari masa ke masa. Begitu pula dengan  manusia yang mengalami banyak perubahan setiap hela nafasnya, pikiran mereka akan mulai menimbulkan keraguan takkala hati tak bisa  bernegosiasi dengan akal. Bahkan, banyak pula dari mereka yang memilih untuk tetap diam tanpa banyak bicara. Memilih berjalan sepi daripada mengikuti khalayak ramai, bukan karna dirinya yang tak ingin berbagi ataupun mencoba menyapa tapi sering kali pendapatnya di acuhkan begitu saja....

...***...

Baru beberapa langkah kaki ia masuk ke dalam kelas, Ia sudah di sambut dengan guyuran air kotor yang baunya sangat menyengat.

Byurrr …

Semua seragam yang Cia pakai pagi itu telah basah seketika. Sesaat semua hanya diam dan saling pandang satu sama lainnya, kemudian tak lama setelah itu salah satu siswi bersorak riang menertawakan penampilan Cia yang sudah kumuh.

“Hahaha ... Ye, akhirnya berhasil juga ngerjain loe, let's go ke kantin guys,” ucap senang Kiki, salah seorang murid yang berada di dalam kelas.

Dengan tatapan tajam Cia mulai berjalan mendekat kearah Kiki yang duduk santai di atas meja guru, sembari menyilangkan salah satu kakinya.

“Apa maksudnya ini, Ki!” ucap Cia yang sudah meremas kuat kemeja Kiki. Walau begitu, Kiki masih saja santai dan ia terseyum sinis kepada, Cia.

“Memangnya, gue lakuin apaan?”

“Gue tau, ini semua ulah Loe kan!” pekik Cia.

“Kalau iya kenapa? Loe mau marah sama Gue gitu. Hem ..., dasar anak haram!” ucapnya terseyum puas.

Buugg ....

Mendengar hal itu, Cia langsung melayangkan pukulan kerasnya hingga mendarat tepat membekas di pipi Kiki. Karena pukulan Cia terlalu kuat hingga Kiki langsung tersungkur kedasar lantai kelas, hidungnya bahkan mengeluarkan darah. Karena tidak terima dengan perlakuan Cia kepadanya, ia pun langsung bangkit dan membalas pukulan keras kepada, Cia.

Bugg …

“Brengs*k Loe, Cia!” hardik Kiki.

“Loe yang br*ngsek!” Cia membalas hardikan dari Kiki.

“Dasar anak haram aja belagu loe. Jijik gue lihat muka Loe yang  bre*ng*sek!” pekik Kiki yang melanjutkan pukulan keras pada Cia.

Cia pun tak tinggal diam dan langsung saja membalas kembali pukulan dari Kiki. Akhirnya mereka berdua saling baku hantam satu sama lain. Salah satu dari mereka tak ada yang hendak mengalah, keduanya teramat asik menikmati pukulan demi pukulan dari masing-masing sisi.

Seluruh teman sekelas mereka tak ada yang berniat melerai perkalian itu, karena mereka juga tak tau harus berbuat apa pada Cia dan juga kiki. Ya,  mereka takut jika berani melerai maka ketenangan di sekolah akan berakhir begitu saja.

Cia dan juga Kiki adalah anak dari pemilik sekolah Elite yang mereka tinggali kini, dan sebenarnya mereka berdua adalah satu keluarga, sebagai  kakak dan adik.  Walau begitu, Cia dan juga Kiki sangat suka berkelahi, dimanapun mereka bertemu bahkan mereka berdua takan segan-segan menghajar balik orang yang mengganggu perkelaian mereka.

Nama asli Cia adalah Priscila Adintira dan Kiki bernama Kiki Wijaya sukti. Mereka berdua adalah anak dari Bapak Agung Sukti Wijaya dengan Nyonya Meriska Adintira. Karena perselingkuhan yang dilakukan 20 tahun silam  keluarga Kiki yang semula bahagia berakhir ricuh dengan kehadiran Cia di dalam kehidupanya. Semenjak hari itu pula, Cia dan Kiki saling melampiaskan amarah mereka masing-masing dengan perkelahian yang mereka ciptakan.

Kiki mencekik kuat leher Cia yang sudah bergeletak di lantai, dan juga ia begitu bersemangat menimpali tubuh Cia.

“Anak haram jangan banyak tingkah. Loe harus inget kalau hidup loe itu, dari belas kasih Mama gue, paham loe, haa!” pekik Kiki.

Dengan sekuat tenaga Cia berusaha meloloskan diri dari tubuh Kiki, hingga ia mengigit kuat tangan lawannya tersebut, hingga membuat Kiki dengan terpaksa  melepaskan cengkramannya.

“Gue gak butuh belas kasihan dari siapapun. Asal Loe tau aja, gue jijik tinggal bareng keluarga mun*fik seperti kalian!” pekik Cia menimpali ucapan KIki.

“Kurang ajar!”

Kiki kembali melayangkan pukulan kerasnya. Ia tak peduli lagi pada setiap luka yang di alaminya begitupun dengan Cia, mereka berdua sama-sama keras kepala dan suka dunia baku hantam dalam berbicara.

Cukup lama mereka berkelahi, dan itu mengundang banyak mata untuk menyaksikan kembali pertarungan yang sengit itu, beberapa siswa dan sisi dari kelas lain ikut berbondong-bondong mengintip dari balik jendela kelas. Suasana semakin ricuh di tambah sorak-sorakan dari siswa yang sedang asyik menonton pertarungan tersebut. Hingga kericuhan itu seketika senyap bak di alam baka. Beberapa langkah kaki menghias jalanan lorong itu menuju tempat perkelahian Cia dan juga Kiki.

Seketika pintu kelas ikut berbunyi seraya menyambut pria tersebut. “Kalian lagi,” ucapnya keluh. Perlahan Pria itu melangkah masuk dan seketika menarik kasar lengan Cia yang hendak melayangkan pukulannya pada Kiki.

“Hentikan!”

Cia menatap tajam pada pria itu, dengan tatapan penuh kebencian. "Pergilah dari hadapanku, Pak Agung Sukti Wijaya yang terhormat!” ketus dirinya.

Kiki yang tergeletak di lantai langsung bangkit seketika mendapat tatapan tajam dari Pria yang ada di hadapan mereka berdua, yang tak lain adalah Papa kandung mereka sendiri. Kiki, yang hanya diam seraya terus menundukan wajahnya yang sudah babak belur itu, dan ia hanya bisa menatap pada dinding-dinding lantai seraya menghindari tatapan dari Agung.

Genggaman erat semakin kuat Cia rasakan, walau begitu matanya tak bergeming sama sekali menatap kebencian pada Agung.

“Dasar anak tidak bermoral!" hardik dirinya seraya menampar keras wajah cantik, Cia.

Cia hanya terseyum sinis dan kembali mentatap wajah Papanya itu.

“Bukannya aku belajar darimu,” ucapnya dingin.

Sorot mata Agung semakin tajam menatap mata Cia, bahkan darahnya serasa mendidih menerima hardikan dari putrinya sendiri. Agung kembali melayangkan tanganya pada Cia, namun gagal karena terhentikan oleh salah satu guru di sekolah tersebut.

“Cukup, Pak!" ucap tegas Pak Adi, wali kelas Cia dan kiki.

“Beraninya kau menghentikanku!” pekik Pak Agung.

“Maafkan saya, Pak. Tapi, di sini terlalu banyak siswa yang memperhatikan. Sebaiknya Bapak bicarakan hal ini di rumah saja,” pinta Pak Adi.

Mendengar ucapan dari Pak Adi, Papa Cia dan juga Kiki tersadar akan apa yang ia lakukan ditempat umum. Wajahnya merah menahan malu atas sikapya barusan. Perlahan ia melonggarkan dasinya dan secara otomatis bersikap selayaknya pria terhormat.

“Papa tunggu kalian berdua di rumah nanti,” seru sang Papa.

Setelah mengatakan hal itu akhirnya ia beranjak pergi dari ruangan kelas tersebut.

“Ya … Udah habis ni drama keluarganya, yuk balik ke kelas," ucap salah satu siswa, yang sedari tadi menyaksikan pertengkaran mereka.

"Iya nih gak seru, baru juga mulai dah habis, yuk balik aja," ucap siswa lainnya membalas.

Dan benar saja, semua siswa-siswi yang tadinya bersikap antusias menyaksikan pertarungan Cia dan juga Kiki, kini berlalu pergi seolah tak ada yang terjadi. Begitu pula dengan para murid yang berada di dalam kelas, mereka bersikap acuh dan sibuk dengan urusannya masing-masing.

“Cia dan Kiki ikut Bapak keruang guru, sekarang!" tihta Pak Adi.

“Maaf, Pak. Perut saya tiba-tiba kebelet, saya ijin ke WC dulu ya,” tukas Kiki yang sudah berlari ke luar kelas, sedangkan Cia juga ikut melenggang dengan santainya ke luar kelas.

“Kamu mau kemana lagi, Cia? Ikutan ke WC juga!” ketus Pak Adi.

“Ogah banget gue ngikutin Kiki ke WC juga, Jijik," batinnya.

Cia terus melanjutkan langkah kakinya tanpa menghiraukan wali kelasnya itu, karna merasa kesal Pak Adi kembali melayangkan pertayaannya.

"Cia, berhenti. Kamu mau kemana Bapak bilang!"

Dengan memutar bolah matanya Cia berhenti sejenak dari langkahnya dan berbalik menghadap, Pak Adi. "Ada apa lagi, Pak Adi?"

"Jawab pertayaan saya!” tanya Pak Adi.

Dengan sedikit mendecak ia menjawab dengan malas pertayaan wali kelasnya itu.

“Mau nongkrong, Pak. Jadwal malakin anak kelas satu, lagian Bapak gak lihat baju saya kotor gini,"  celoteh Cia dan asik melenggang pergi begitu saja.

“Dasar anak-anak kurang ajar. Kalau bukan karna Papa-nya pemilik sekolah ini saja sudah aku hajar habis-habisan.” batin pak Adi.

Begitulah keseharian Cia yang sangat kacau setiap harinya, Sikapnya yang sangat terbuka akan sesuatu, dan juga tingkah premannya membuat ia di kucilkan satu sekolah. Apalagi predikat yang ia bawa sebagai anak haram  semenjak kecil, tepatnya 4 tahun yang lalu membuat identitasnya semakin buruk di mata masyarakat. Bagaimana tidak, kerjaanya setiap hari hanya bisa membuat keributan di mana-mana apalagi ia juga ikut dalam geng preman di kota S. Sikapnya yang dingin dan juga tak segan baku hantam menambah kesan buruk pada dirinya sendiri. Semenjak kecil ia selalu di kucilkan karna ibunya seorang  wanita panggilan. Dan, kebetulan Ibu Cia saat itu jatuh cinta kepada Papa Kiki, hingga akhirnya mereka berdua berselingkuh di saat Kiki berumur 1 tahun dan hasil dari perselingkuhan itu lahirlah Cia. Seorang  anak yang terlahir di dunia ini akan di anggap suci dan mampu membawa berkah serta kebahagiaan di dalam keluarga. Tapi hal itu sepertinya tidaklah berlaku untuk seorang, Cia.

Setelah pertengkaran itu para murid kembali melanjutkan aktivitas belajar seperti biasa, walaupun Cia dan juga Kiki tak kunjung kembali semenjak mereka pergi. Begitulah? kebiasaan kakak beradik itu yang menjadikan sekolah seperti tempat bermain.

...***...

Di sisi lain, Cia pergi untuk ke ruang ganti siswa di sekolah, untuk mengganti pakaian biasa yang ia bawa, di sana ia juga mebersikan diri dari kotoran akibat ulah Kiki. Tas sekolah yang biasa terisi buku pelajaran namun berbeda pula denganya. Karna Cia hanya membawa baju bebas tanpa ada satu bukupun di dalamnya. Setelah selesai ia kembali keluar ruangan dan menuju ke arah kantin.

Setelah selesai berganti pakaian, telah nampak Cia yang sudah bersantai tidur di bawah rimbunnya pepohonan tua yang di halaman sekolah, dengan melipat kedua tangannya ia jadikan sebagai penyangga kepala yang tergeletak diatas rerumputan liar. Dengan menikmati angin sepai-sepoi yang menerpa wajah cantiknya itu. Tak lama suara langkah kaki seseorang mengusik pikiranya yang hendak terlelap tidur.

..._Bersambung_ ...

JPA!#3

...“Cinta bukanlah sebuah alasan untuk engkau memihak pada kebencian, ia bukan pula alasan untuk engkau  memilih cinta yang lain. Cinta tetaplah ia, dan dia adalah cinta itu sendiri"....

...***...

Srek ... Srek ... Srek ....

Irama langkah kaki yang menari bersama rerumputan liar di taman itu.

“Aiss … kaki siapa yang berisik sekali itu?” ucapnya kesal.

Tak lama Cia membuka kedua matanya untuk mencari tau asal keributan yang mengusik tidurnya itu. Ia bangkit dan mulai duduk seraya melihat sekeliling, tapi yang ia dapati hanyalah angin lalu.

“Apa gue tadi salah denger ya?” gumamnya.

Karna tak ada hal yang ia dapati, akhirnya Cia kembali membaringkan tubuhnya dan kembali bergeletak beralaskan rumput liar. Beberapa saat kemudian ia mulai kembali memejamkan retina matanya kini terdengar kembali suara irama langkah kaki yang sama. Sontak hal ini memicu sifat premannya kembali. Tanpa menunggu lama Cia bangkit dari tidurnya dan langsung berteriak hingga memekikkan telinga.

“Gila. Siapa yang berani ganggu tidur siang gue, keluar loe sekarang!”seru Cia yang sudah membusungkan badannya.

Setelah ia berteriak tak ada satupun tanda-tanda kehadiran seseorang di sana, yang ada hanyalah sapaan angin yang tengah melintas. Cia semakin bertambah kesal karna merasa ditipu seseorang, dirinya yang tak kenal ampun itu semakin mendidihkan amarah yang tersimpan di dalam dirinya.

“Sial*an, ada yang macam-macam sama gue ternyata,” ucapnya semakin kesal.

Tak lama suara langkah kaki itu kembali terdengar di dasar telingahnya. Pandangan Cia tertuju pada sebuah semak-semak yang terlihat bergoyang tak tentu arah.

“Ternyata sembunyi di sana dia, loe bakal nyesel karena ganggu tidur siang gue.” umpatnya.

Langkah kakinya mulai menapaki rerumputan liar itu, semakin lama ia mulai mendekati semak belukar yang semakin bergerak bebas di hadapannya. Perlahan ia mengulurkan tangannya untuk membuka jalan di balik semak-semak tersebut, dan seketika sesuatu hal keluar secara tiba-tiba dari sana.

Cia terkejut saat sesuatu melompat kehadapannya sehingga membuatnya jatuh terperosok ke tanah.

“Si*a*lan, apaan tuh loncat-loncat?”

Cia terkejut. Dengan raut wajah yang masih pucat pasih, Cia melanjutkan kembali melihat ke arah semak-semak karna rasa penasarannya semakin kuat. Dan tiba-tiba sentuhan hangat menyapa dasar bahu Cia yang masih fokus pada semak-semak tersebut.

“Hei, lagi apa?” ujar pria itu.

“Bujung aspal, busyet dah!" teriak Cia kaget.

Sontak saja Cia terkejut untuk kesekian kalinya, dan tanpa sadar ia melayangkan pukulan kerasnya kepada pria yang menepuk pundaknya itu. Tentu saja pria itu meringis kesakitan menerima pukulan dari Cia.

“Auww ... Gila loe ya," ucap pria itu.

Perlahan Cia menatap pria yang ia pukul tadi dan sontak saja sorot matanya terbelalak melihat pria di hadapannya itu yang tak lain adalah Sahabatnya sendiri.

Lebih lengkapnya Bima Bagaskara yang juga merupakan siswi di sekolah itu, Bima Bagaskara yang sering akrab di panggil dengan Bima, ia  bukanlah seorang anak dari pengusaha sukses seperti yang lainnya. Ia terlahir sebagai anak jalanan yang hidup sebatang kara sedari kecil, walau begitu kecerdasaanya sangatlah di puji oleh pihak sekolah hingga akhirnya Papa Cia memberikan beasiswa pada Bima. Dan semenjak itulah Cia bersahabat dengan Bima.

“Bima,” ucap Cia terheran-heran.

Bima yang masih meringis kesakitan memandang wajah Cia dengan kesal.

“Loe gila ya, Cia. Muka gue yang tampan ini bonyok gara-gara loe tau gak!” ucap kesal Bima.

Dengan mengangkat satu alisnya Cia menatap Bima dengan tatapan heran. “Apaan sih, Bim. Lemah banget jadi cowok," celoteh Cia.

“Bukan gue yang lemah, tapi loe aja jadi cewek terlalu kasar tau gak!” celoteh Bima menimpali perkataan Cia.

Raut wajah Cia semakin mengkerut melihat tingkah Bima yang seperti kekanakan itu, walaupun Bima di sekolah adalah murid teladan tapi kehidupannya di luar  itu jauh dari kata anak yang baik ataupun teladan, bagaimana tidak. Bima merupakan pimpinan preman di seluruh kota dan ia juga yang mengajarkan cara bertarung pada Cia pertama kali sewaktu ia kabur dari rumah Papanya. Namun, rahasia ini hanya di ketahui oleh Cia seorang, karna setiap kali Bima memimpin kelompoknya ia selalu saja memakai sebuah topeng yang menutupi wajahnya dan hanya menyisakan bagian mata yang terlihat tajam.

Tanpa menghiraukan Bima lebih lanjut Cia berlalu pergi begitu saja. “Mau kemana, Pris?” ucap Bima yang sudah menahan tangan Cia.

Plakk ….

Lagi-lagi tamparan cukup keras mendarat di wajah Bima yang tampan. “Loe kenapa malah nampar gue sih?” tanya Bima kehereanan.

Cia menaikan sebelah alisnya seraya menatap Bima yang masih kesakitan karna tamparannya. “Gue kan udah pernah bilang, jangan lagi panggil gue dengan nama itu, loe paham gak sih, Bim!” ucap Cia kesal.

“Oke  maaf. Gue lupa, tapi gak mesti loe tampar gue juga kan!” elakan Bima.

Cia yang sadar akan kebiasan buruknya itu perlahan meletakan tangannya seraya mengelus dengan lembut pipi Bima. “Maaf, gue kelepasan.” ucapnya sembari menatap dalam wajah Bima.

Sontak saja itu membuat Bima menjadi tersipu malu di buatnya, dan ia langsung saja memalingkan wajahnya menjauh dari Cia.

“Loe kenapa sih, Bim. Aneh bener,” ucapnya polos.

“Gak ada, gue hanya kecapean aja,"

“Ou … Yaudah gue balik dulu ke  kelas.” Cia mulai melangkah pergi.

“Tumben bener loe balik ke kelas, biasa juga molor di sini,”

Cia yang melangkah pergi, seketika berhenti sesaat dan memalingkan wajahnya ke arah Bima.

“Gue lagi dapat hidayah, udah akh gue cabut dulu.” Cia melangkah pergi sembari melambaikan tangannya pada Bima.

Bima yang melihat itu terseyum tipis seraya terus menatap Cia melangkah pergi.

“Masih sama seperti Cia yang gue kenal dulu.” batinnya.

...***...

...Kediaman Keluarga Wijaya...

Interior rumah yang klasik di tambah dengan padupadan warna hitam keabu-abuan menambah kesan mewah dan misterius rumah super mewah dari keluarga Wijaya. 

Seorang wanita cantik tengah asik menyiapkan masakan untuk makan malam, ia sibuk memotong-motong sayur dengan di bantu salah satu asisten pribadinya. Seketika bell rumah berbunyi keras membuat wanita itu langsung menghentian aktivitasnya dan berlari kecil untuk membuka langsung pintu untuk menyambut suami dan anak-anaknya sedari sekolah. Ya, Nyonya Meriska ini adalah sosok seorang ibu yang begitu peyayang dan perhatian pada setiap anggota keluaganya. Dengan penuh semangat Nyonya meriska membuka pintu utama seraya terus melukiskan kebahagiaan dalam raut wajahnya.

“Selamat datang," ucapnya senang.

Perlahan lukisan kebahagiaan itu mulai memudar ketika tampak wajah suaminya yang terlihat emosi akan sesuatu. Di ikuti dengan raut wajah putri sulungnya yang muram dan hanya diam tertunduk malu.

“Selamat datang, sayang. Kamu pasti lelah sekarang. Istirahatlah dulu dan makan malam akan segera siap,"

“Aku masuk dulu, dan sampaikan pada kedua anakmu untuk menemuiku di ruang kerja.”

“Baiklah, sayang.”

Melihat ekspresi dari suaminya itu ia paham jika kedua anaknya kembali membuat ulah di sekolah. Hal ini sudah menjadi kebiasaan dari keluarga mereka yang hanya di ketahui dalam keluarga saja.

Nyonya Meriska mengambil jazz dan juga tas kerja dari suaminya itu, kemudian Pak Agung langsung naik ke atas tangga untuk menuju ke dalam kamarnya. Tak lama, Meriska menatap Kiki yang mulai berjalan menjauh dari pintu utama.

“Kiki berhenti!” pinta Meriska.

Perlahan Kiki menghentikan langkah kakinya tanpa menoleh kearah Mama-nya itu. “Ada apa lagi, Ma?” ucapnya datar.

“Kamu buat ulah lagi di sekolah? Lalu dimana adikmu, kenapa tidak ikut kalian pulang?” selidik Meriska.

“Siapa yang Mama maksud sebagai adikku, Anak haram itu? Hem …. ” celoteh ia sembari terseyum kecut.

“Jaga ucapanmu itu, Kiki. Cia itu adik kamu dan kamu harus terima itu!”.

“Maaf, Ma. Kiki lelah hari ini, mau istirahat dulu.”

Setelah itu, Kiki langsung saja berlalu pergi dan menuju bilik kamarnya seraya meninggalkan Meriska di ruang tamu. Ia hanya bisa menghela nafas panjang melihat putri sulungnya tersebut, berubah menjadi lebih dingin terhadapnya.

..._Bersambung_...

...*Buah manggis...

...Buah mengkudu...

...Kamu manis...

...kalau mau dukung aku.*...

...BUDAYAKAN MEMBACA DAN DUKUNGLAH KARYA INI DENGAN SEPENUH HATI....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!