NovelToon NovelToon

Antagonis?

1. Awal Mula

Lalu lintas menuju malam semakin ramai, lampu-lampu jalan juga sudah mulai dinyalakan. Netra cokelat itu menatap secara acak sejak tadi, melihat indahnya kota saat hari mulai gelap dari balik jendela. Dia sudah berada di cafe buku ini sejak pukul 10 pagi.

1 buku bergenre fantasi urban sudah ia selesaikan dan berniat untuk lanjut ke buku berikutnya tapi hari sudah mau malam. Ia menatap buku yang baru ia buka, melamun dengan jari yang terus mengetuk-ngetuk meja. Kemudian helaan nafas terdengar dan ia menutup buku itu lantas membawanya, buku yang satunya ia simpan.

Tiba di meja kasir untuk membayar dan meminjam satu buku. "Kak Dai, aku mau pinjam buku ini belum sempat baca tadi."

Gadis dengan kacamata yang semula fokus pada bukunya langsung menoleh dan tersenyum. Ia meletakkan buku yang ia baca lalu mengambil buku pendataan. "Sereia ya, pinjam buku apa itu?"

Buku dengan cover biru laut itu ia sodorkan. "Yang ini, mau bayar sama yang tadi." Netranya beralih fokus ke buku yang sebelumnya Dai si penjaga cafe baca, tak seperti buku lainnya yang tampak terurus, yang ini justru terlihat usang dan jarang di sentuh. "Ini buku apa?"

"Oh itu, punya temen dia bikin dan cetak sendiri. Belum selesai tapi ngga tau kenapa acak-acakan begitu, tadi mau diberesin tapi bingung banget soalnya beneran gak nyusun," jelas Dai.

Sereia termenung menatap buku itu. "Boleh aku pinjam? gapapa ntar aku bantu beresin deh."

Dahi Dai mengernyit. "Tapi ini belum selesai, bab menuju akhirnya belum dicetak."

"Gapapa, hitung-hitung baca cerita on going," ujar Sereia yakin tangannya bahkan sudah menyentuh buku itu.

Dai berpikir sejenak kemudian mengangguk. "Yasudah, ingat jangan sampai hilang ya. Kamu jadi mau pinjam yang ini, Rei?"

"Nggak, aku bawa pulang yang ini aja. Jadi yang tadi berapa? aku pesan yang biasa sih."

"Ah itu, tidak usah. Aku traktir hari ini, gih pulang udah mau malem!" Wajahnya tampak berseri-seri mendengar hal itu, buku usangnya ia masukkan ke dalam tas dan terseyum manis.

"Aku pulang ya, Kak! makasih!"

"Iya, hati-hati!" Dai menatap kepergian Sereia yang tampak senang, ia tersenyum sembari memegang beberapa halaman buku yang berada di tangannya.

Jarak antara cafe buku langganan dengan rumahnya memang cukup jauh, tapi berhubungan sekarang dia ingin menikmati angin malam, Sereia memilih untuk berjalan kaki. Pagi tadi dia pergi ke sana naik ojek online.

Tangannya membalik satu persatu lembaran yang hanya disatukan menggunakan paperclip itu sembari ia baca sekilas. Sepertinya cukup menarik, dia juga melihat salah satu peran bernama Hazel Adamina Betrix yang digambarkan sebagai gadis nyaris sempurna. Namun karena hanya membaca sekilas, dia tidak tahu peran gadis tadi sebagai apa.

Tak butuh waktu lama karena terbiasa, Sereia tiba di rumahnya tepat pukul setengah delapan malam. Suasana rumah yang sunyi karena kedua orang tuanya sedang berada di rumah neneknya yang sakit. Sereia memilih untuk tidak ikut karena jadwal sekolahnya padat dan ia tidak mau tertinggal.

Setelah bersih-bersih dan berganti pakaian dengan piyama, Sereia atau yang kerap dipanggil Rei itu duduk di depan meja belajarnya dengan lembaran-lembaran tadi. Ia menyeduh mie cup untuk ia santap malam ini karena tidak terlalu lapar.

Halaman itu juga tidak diberi nomor, seperti sengaja. Hingga netranya menangkap lembaran dengan tulisan yang memuat pemain beserta peran dari cerita itu secara garis besar. Sepertinya memang benar-benar baru dibuat sampai dia sengaja membuat daftar pemain sebagai pengingat.

"Oh, jadi Hazel itu perannya antagonis? wah, tapi nyaris sempurna banget ya, cantik, dari kalangan kelas atas, tapi dia berusaha dapetin si cowo peran utama yang jatuh cinta sama cewe sederhana," katanya bermonolog kemudian menyuapkan mie terlebih dahulu ke mulutnya dan mengunyah sembari memikirkan sesuatu.

"Udah biasa sebenarnya yang kayak gini, padahal yang antagonis udah sempurna tapi cowo utamanya suka sama yang sederhana, padahal dia bisa dapetin aja ga sih yang lebih lagi pasti yang ngantri banyak? kalo gue jadi dia pasti lebih mikir gitu. Biar ga nyusahin diri," ujar Rei seraya membalik kertas itu dan mendapati kolom kolom yang biasanya di isi tanda tangan.

Semua nama pemain tertera di sana dengan masing masing kolom. Di atasnya tertulis, "Pilih Karakter Favoritmu!"

Rei mengernyit. "Kalo gue tanda-tangan gapapa kali ya? ga bakal jadi masalah, hehe." Tangannya mengambil pulpen yang berada di atas meja, kemudian dengan lihai dan tanpa berpikir panjang membubuhkan tanda tangannya di kolom milih Hazel Adamina Betrix si peran antagonis.

"Dari awal juga udah tertarik banget sama Hazel walaupun belum baca." Rei bergumam setelah berhasil memisahkan beberapa halaman yang menurutnya sesuai urutan. Niat awalnya ingin menyusun semuanya terlebih dahulu agar dia bisa membaca dari awal tapi nama Hazel menarik perhatiannya lagi.

"Hazel mutusin buat racunin Alexa, tapi ketahuan. Trus karena gakuat imagenya jadi buruk dan makin dibenci Arzhel dia mutusin buat mengakhiri hidup? hah? yang bener aja!" Rei tak habis pikir, cukup kesal karena bisa-bisanya Hazel melakukan hal itu padahal dia bisa mendapat lebih.

"Hadeh, emang dasar cinta bikin buta," ujarnya seraya meninggalkan meja belajar, memutuskan melanjutkan besok mumpung libur jadi dia punya waktu banyak.

Lantas naik ke kasur setelah mematikan lampu dan menjadikan lampu tidur sebagai sumber cahaya satu satunya. Rei termenung setelah menarik selimut. "Hazel, kalo gue jadi lo ... gue bakal lebih milih bahagiain diri gue dulu. cowo mah banyak, pasti dengan status dan penampilan lo banyak yang ngantri."

Setelah cukup memikirkan tindakan Hazek yang menurutnya tidak pas, matanya mulai terasa berat. Rei menguap, diikuti dengan matanya yang mulai tertutup menjemput mimpi.

Namun, baru matanya tertutup sebuah cahaya menyilaukan memaksanya membuka mata untuk memeriksa apa itu. Hanya beberapa detik lalu hilang, Rei membuka mata dan mendapati dirinya yang duduk di kursi dengan keadaan terikat. "Apaan nih?!"

Suara tawa berat menyambutnya, dia mendongak dan melihat sosok laki-laki dengan jubah dan topeng. 3 kartu melayang di belakangnya. "Halo, Sereia Navienera. Bagaimana?"

Rei mengernyit dengan tatapan sinis. "Siapa kamu? apa maksudnya? di mana aku?!" Pertanyaan balik yang beruntun.

"Aku Glio, orang yang mengatur semua ini. Tidak akan membuang waktu, silahkan untuk memilih dari tiga kartu ini."

"Buat apa?! gila ya? lepasin gue!" teriak Rei lagi sembari berusaha melepaskan diri.

Namun laki-laki itu tiba-tiba berada di hadapannya, secepat kilat berpindah dan langsung mengelus pipinya. "Tenang saja, kamu tidak akan mati. Kamu hanya perlu memilih dari ketiga cerita acak ini dan kamu harus selesaikan dengan baik setelahnya kamu bisa kembali ke duniamu."

Rei termenung. "Coba cubit gue," suruhnya. Namun, lelaki itu malah menarik salah satu helai rambut Rei dan mencabutnya dengan kuat membuat si korban menjerit. "SAKIT! oh, bukan mimpi, ya?"

"Bukan, cepat pilih. lebih cepat lebih baik."

Cukup lama Rei berpikir, semua ini tidak bisa ia percaya begitu saja. Tapi memang terjadi juga, duh. "aku pilih yang kanan."

"Aku pilihkan yang tengah, karena sebelumnya kamu sudah menandatangi kontrak dan tidak bisa dirubah."

"Lah, kocak! Kenapa nyuruh milih kalo gitu?" Rei jengkel, ia berdecak. "Lagipula kontrak apa? minimal biarin gue baca dulu bukunya biar tau, bikin kerjaan aja."

"Kamu sudah menandatangani kontrak sebelumnya, selesaikan dengan baik. Karena cerita yang ini belum selesai, aku ingin akhir yang memuaskan."

"Hah, yang mana sih?" Namun bukannya menjawab, sebuah portal muncul tepat di belakangnya sesaat setelah kursi dan ikatan itu hilang. Rei yang belum mencerna apa-apa didorong tanpa persetujuan masuk ke portal.

Glio melambaikan tangan. "Semangat."

.......

.......

.......

.......

Hawa yang hangat menyentuh kulitnya, terdengar suara percikan seperti berasal dari percikan api. Cukup sunyi, tapi sebuah tangan seperti menggenggam tangannya. Matanya terbuka secara perlahan, dan langit-langit yang tampak mewah langsung menyambut pemandangannya. "Huh?"

"Hazel, kamu sudah sadar?" Pertanyaan itu membuat Rei terdiam, cukup lama. Kepalanya terasa sakit entah kenapa.

Hazel? siapa?

Sampai kemudian netranya membelalak, Rei bangun dan menemukan jika seorang wanita tengah menatap khawatir padanya. Pandangannya mengedar dan melihat cermin rias di sana dengan segera bangun tak memperdulikan wanita yang terus memanggil nama Hazel itu.

Di depan cermin, ia tertegun. Rambut pirang, mata hijau dan wajah yang benar-benar menakjubkan. Ini tentu bukan Sereia, bukan dirinya. Hazel? Hazel mana dulu nih?

"Hazel Adamina Betrix?!" teriaknya menggema, wanita yang sejak tadi mengikutinya lantas memegang bahu dan mengelus pipinya.

"Ya, Hazel, kenapa? Habis jatuh dari tangga kamu tidak hilang ingatan bukan?" Rei masih terdiam, astaga dia benar-benar masuk ke dalam cerita yang baru dia baca beberapa halaman bahkan sebagai antagonis?

Sebagai antagonis? Hazel Adamina Betrix yang dia sukai?

Namun antagonis?

Hah ...

2. Bertemu Tokoh Utama

Setelah meminta wanita yang ternyata adalah ibu kandung Hazel Adamina Betrix, Harmonia Demara Betrix. Kalau Rei tidak salah ingat itu juga. Karena jujur saja dia hanya ingat beberapa dari daftar peran di cerita tanpa judul ini.

Benar juga, Rei masih berpikir kenapa cerita tanpa judul dan belum selesai ini? apa maksud Glio bahwa sebelumnya dia menandatangani kontrak apa? Rei benar-benar kebingungan andai laki-laki itu ada saat ini jelas semuanya akan ia tanyakan.

Rei menunduk di depan cermin, menghela nafas panjang. Ia berbalik, tapi entitas laki-laki dengan jubah dan topeng tiba-tiba berada tepat di depannya. "AH!"

"Bagaimana?" tanya Glio yang langsung mengundang tatapan sinis, Rei masih memegangi dadanya karena terkejut. Lalu suara ketukan di pintu membuatnya menoleh.

"Hazel, ada apa? apa kamu baik-baik saja?" Itu Harmonia, pasti khawatir.

"Ya, aku baik-baik saja, Ibu. Tadi hanya ada tikus!" ujar Rei berbohong.

"Baiklah, jika ada apa-apa panggil pelayan. Ibu ada urusan sebentar." Suara langkah kaki menjauh dan mulai pelan. Rei kembali memusatkan perhatiannya pada Glio yang masih menunggunya untuk menjawab.

"Bagaimana?" Glio mengulang. Rei berdecak lalu memukul tangan laki-laki itu tanpa pikir panjang, mengusap wajahnya kasar dan cemberut.

"Ya lo pikir aja lah! minimal kasih gue penjelasan maksud dari kontrak, terus yang lain pokoknya informasi secara garis besar!" Gadis itu duduk membelakangi cermin sedang Glio tetap berdiri. Ia memutar tangannya lalu selembar kertas muncul di tangannya seperti sulap.

Selembar kertas itu ia berikan pada Rei. "Ini kan kolom tanda tangan peran yang dari cerita itu, apa hub- OH JADI INI?!!"

Rei menutup mulutnya sembari menatap kertas itu, kertas berisi kolom tanda tangan peran dari cerita yang belum selesai yang dia dapat dari Kak Dai si penjaga cafe buku. Tanda tangannya jelas masih terlihat di kolom tanda tangan Hazel Adamina Betrix.

"Kamu membubuhkan tanda tangan kamu di sana, itu aku hitung sebagai kontrak bahwa kamu mau memainkan peran sebagai Hazel Adamina Betrix," kata Glio. Rei masih tak habis pikir, hanya gara gara ini? tau begitu dia tanda tangan di kolom Alexa saja. Jadi antagonis pasti resikonya tinggi juga, sebagai peran jahat yang kebanyakan tak disukai banyak orang, bisa jadi dia berakhir tragis. Mana dia belum membaca bab akhirnya yang belum dicetak juga.

Sial, kenapa dia tidak pernah mengira akan terjadi seperti ini? Iyalah, yang seperti ini diluar nalar, tidak mungkin terjadi yang biasanya hanya ada di dalam cerita dia malah mengalaminya sendiri. Mau tidak percaya tapi saat dicoba waktu itu juga bukan mimpi, hadeh ...

"Ini apa ngga bisa gue hapus aja?" tanya Rei serasa mendapat harapan untuk mengakhiri sebelum semua ini berjalan makin jauh.

Glio memutar bola matanya malas. "Tanda tangan kamu sudah menyatu, tidak bisa dihapus, mau ditutupi juga tidak akan mempengaruhi apapun. Kalau kamu robek juga tidak bisa. Intinya mau kamu lakukan apapun, kertas itu kebal."

:)

Rei tiba-tiba mengernyit, lalu menatap Glio dengan tatapan menelisik. "Tunggu, gue dapet cerita belum beres ini dari Kak Dai penjaga cafe, dia bilang kalo cerita ini punya temennya yang cetak sendiri. Jadi, lo temennya Kak Dai?"

Glio terdiam sejenak, lalu mengedik. "Bukan."

"Terus apa hubungan lo sama cerita ini?"

"Cerita itu milikku, tapi aku bukan teman dari orang yang kamu sebutkan tadi. Ceritanya sudah selesai tapi aku tidak puas dengan akhirnya."

"Lho, Kak Dai bilang belum selesai bab akhirnya."

"Oh ... sebenarnya sudah, tapi menuju akhir aku tidak puas dengan hasilnya jadi aku anggap belum. Atau mungkin ada yang hilang lembar menuju akhirnya makanya orang tadi menyebutnya belum selesai."

"Tapi gue belum baca apapun? gue gak punya petunjuk apa-apa selain kejadian yang Hazel ngeracunin Alexa," kata Rei putus asa. Dia benar-benar hanya baru membaca bagian itu karena yang lain belum ia susun.

Tangan laki-laki itu menyentuh kepalanya, kertas kontrak itu juga menghilang. "Informasi lain agar kamu tidak kebingungan akan muncul di waktu tertentu di udara. Aku ingin hasil yang memuaskan sampai akhir, jadi jalani saja sesuai keinginanmu. Jangan gegabah, mulai saat ini kamu bukan Sereia Navienera lagi, melainkan Hazel Adamina Betrix."

Sereia Navienera, gadis yang paling anti dengan konflik, paling menjauhi dan menghindari perselisihan, tapi harus menjadi seorang antagonis, Hazel Adamina Betrix.

Mulai saat ini, dia adalah Hazel, bukan Sereia.

>> Hazel Adamina Betrix

.

.

.

.

Setelah malam yang ia lewati dengan memulai dari nol lagi, Hazel saat ini sudah berada di meja makan. Sarapan bersama ayahnya Theodore Calico Betrix dan ibunya Harmonia Demara Betrix. Ah, dia ternyata adalah anak tunggal.

"Bagaimana hubungan kamu dengan Arzhel?" tanya Theodore, Hazel langsung berhenti karena memang dia tidak tahu? dia bahkan belum bertemu sama sekali karena ini pertama kali.

"Oh, memangnya kenapa, Ayah?" Benar sekali, paling benar dia balik bertanya terlebih dahulu untuk mencari informasi lebih lanjut. Walaupun Glio bilang informasi lain akan muncul, tapi sepertinya tidak semudah itu. Karena dari semalam dia tak mendapat apapun selain dari penjelasan Hazel Adamina Betrix anak keturunan keluarga kelas atas, sangat menyukai warna merah dan dijodohkan dengan Arzhel Agnan Mageo, sama sama keluarga kelas atas, tapi Arzhel malah jatuh cinta pada gadis biasa, Alexa Hazetta.

Sudah itu, dia tak mendapat apa-apa lagi. Dasar Glio!

"Kalian sudah lama tidak bertemu Ayah lihat, apa ada masalah? bahkan waktu kamu pingsan kemarin sehabis terjatuh dari tangga Arzhel hanya mampir sebentar karena memiliki urusan. Tapi, dia menitipkan sesuatu, Ayah simpan di kamarmu."

"Ah, aku dan Arzhel baik-baik saja. Beberapa waktu lalu hanya terlibat masalah kecil, tapi lekas akan membaik," jawab Hazel, Theo mengangguk saja tampak tidak curiga dan percaya pada anak tunggalnya itu.

Hazel berpikir sejenak, sepertinya dia tidak mulai dari awal cerita. Sarapan selesai, Hazel pamit ke kamarnya dengan ditemani kedua pelayannya. Dia tidak tahu kehidupannya di sini semegah itu sampai kedua pelayan itu mengikutinya terus seakan tidak mau dia kekurangan atau kesusahan sedikitpun.

"Nona Hazel ingin melakukan apa hari ini?" tanya salah satu pelayan, Hazel mendongak dan sebuah nama muncul di kepala pelayan itu.

Celsa Scott. Pelayan 1 Hazel, umur 19.

Hazel saja umur 18, lantas ia melihat ke arah pelayan satu lagi yang terlihat menunduk tidak mau bertemu tatap padanya. Apa biasanya Hazel semenakutkan itu?

Evie Adnarine. Pelayan 2 Hazel, umur 18.

Hazel tersenyum. "Tidak usah sekaku itu denganku, panggil Hazel saja. Mungkin aku akan memanggil kamu Kakak Celsa karena hanya berbeda satu tahun di atasku. Aku boleh memanggil kamu Evie juga? kita seumuran, kan?"

Kedua pelayan itu tampak terkejut, menunduk dan jari-jari mereka bertaut gugup. "Apa itu tidak masalah?"

"Ya, tenang saja. Aku rasa akan lebih nyaman saja," kata Hazel lagi seraya berjalan ke arah jendela dan melihat keluar. Pemandangannya indah, halaman benar-benar luas sampai menuju gerbang saja sepertinya harus memakai kereta.

"Tapi kami takut Tuan dan Nyonya marah jika kami memanggil Nona begitu," kata Celsa.

"Ya sudah, di hadapan Ayah dan Ibu panggil seperti itu. Tapi saat denganku panggil Hazel saja."

"Tidak apa-apa?" Celsa mengulangi, Evie hanya menyimak karena sepertinya dia orang yang pemalu.

"Tidak apa, kalian sudah makan?" tanya Hazel lagi, kedua pelayan itu saling memandang lalu menggeleng.

"Belum jam makan kami, Hazel." Evie mengangguk mendengar jawaban Celsa. "Jam makan kami pukul sembilan."

"Kalau begitu, tolong siapkan pakaian yang nyaman untuk aku pakai hari ini, kita jalan-jalan." Celsa dan Evie mengangguk dan segera menyiapkan apa yang Hazel minta begitupun dengan aksesoris lainnya.

Karena Hazel menyukai warna merah, lemarinya benar-benar didominasi oleh warna merah kebanyakan juga pakaian yang menurutnya terlalu ribet untuk dipakai sehari-hari. Beruntung Evie dan Celsa menemukan yang cukup simple, itupun katanya sudah lama tidak dipakai.

Celsa dan Evie tentu kebingungan, tapi tidak bertanya lagi. Setelah selesai bersiap, mereka segera berangkat menggunakan kereta. Hazel memandangi setiap hal yang ia lewati sebagai bekal jika suatu saat ia pergi sendiri jadi tidak tersesat.

"Emm, apa ada tempat makan yang kalian pikir bagus?" tanya Hazel. Sorot mata Evie tampak berbinar ingin mengatakan sesuatu tapi Celsa menahannya.

"Kami takut makanannya tidak sesuai-"

"Tidak-tidak! Katakan saja, aku juga ingin mencoba makan di tempat lain." Hazel menunggu setelah itu.

"Ada restoran baru bukan di dekat butik Ace's, sejalan menuju rumah Tuan Arzhel. Apa kamu ingin sekalian pergi ke sana?" tanya Evie.

Hazel mengernyitkan, memang harus sekali ya bertemu laki-laki itu sekarang? dia belum terlalu tertarik. "Tidak, lain kali aja. Ayo kita ke sana!"

Celsa mengernyit, terlihat kebingungan sekali. "Tapi kamu biasanya setiap hari mengunjungi Tuan Arzhel, bahkan kamu belum bertemu beberapa hari ini. Maaf kalau lancang, apa ada sesuatu?"

"Tidak ada, aku hanya ingin bersantai hari ini." Hazel tersenyum, tak memikirkan hal itu sama sekali. Celsa dan Evie tidak bertanya sampai mereka berhenti di restoran yang sebelumnya Evie maksud. Cukup sederhana, tapi indah dan tampak nyaman dengan dua lantai. Bangunanya berwarna putih dengan dihiasi tanaman bunga yang menjalar. Segar.

Mereka turun dan lantas masuk, Hazel memilih kursi di lantai dua karena menurutnya itu akan nyaman sekali. Namun saat dia sampai di ujung tangga, dia menabrak seorang gadis yang tengah bergandengan dengan seorang laki-laki, dia tidak fokus karena sibuk melihat sana sini.

"Ah, maaf! kamu baik-baik saja?" tanya Hazel panik, tapi saat gadis itu melihatnya, ia buru-buru melepaskan tangannya dari si laki-laki. Hazel yang tidak paham mengernyit bingung karena gadis itu terlihat sangat ketakutan. Saat itulah nama muncul di kepala mereka.

Arzhel Agnan Mageo. Peran utama laki-laki, 19 tahun.

Alexa Hazetta. Protagonis, peran utama perempuan, 18 tahun.

Oh ...

"Hazel, maaf! aku tidak sengaja," kata gadis itu ketakutan, Arzhel menarik tangan Alexa dan kembali menggenggamnya di depannya. Seakan sengaja.

"Oh, tidak apa-apa. Aku yang harusnya minta maaf karena tidak berhati-hati, apa kamu terluka?" tanya Hazel, dia bingung. Apa dia harus berbuat jahat? tapi bagaimana? :)

Arzhel melemparkan tatapan sinis. "Tidak usah berpura-pura, Hazel."

"Apa maksudmu?" Hazel mengernyit, dia bahkan belum melakukan apa-apa.

"Aku tau kamu sengaja menabrak Alexa bukan? jika saja dia tidak sedang bersamaku, kamu pasti sudah menyakitinya." Arzhel berucap dingin sembari menyembunyikan Alexa di belakang punggungnya. Benar-benar takut jika saja ia menyakiti dia.

"Terserah katamu saja, tapi aku benar-benar tidak sengaja." Pandangan Arzhel kali ini tampak menelisik, Alexa juga terlihat menatapnya dengan kebingungan yang tinggi.

"Dengar, Hazel." Laki-laki itu maju 1 langkah dan mengacungkan jari telunjuk padanya. Nada bicaranya tegas dan menekan. "Mau kamu berubah menjadi baik atau bagaimanapun, itu tidak akan merubah pandanganku padamu karena kamu selalu memiliki niat jahat pada Alexa. Aku tidak akan pernah melepaskan kamu jika sampai Alexa terluka lagi. Aku harap perjodohan kita batal karena yang aku cintai hanya Alexa, selamanya."

Kali ini Hazel tersulut emosi. "Aku tidak sengaja menabrak Alexa dan aku sudah meminta maaf. Aku tidak melarang kamu dengan siapapun, aku tidak peduli. Keluarga kita yang menginginkan kita menikah, jika kamu tidak setuju, silahkan bicara pada keluargamu saja."

Hazel berdecak, balas menatap sinis pada Arzhel. Ia memilih untuk pergi saja daripada harus terus berbicara pada laki-laki yang sudah menjadi budak cinta itu. Sial, mulutnya pedas sekali. "Aku tidak mengira jika Arzhel akan semenyebalkan itu. Tapi memang tampan. Argh! kalau saja bukan karena alur cerita aku tidak akan mau bertemu dengannya lagi."

Sedang Arzhel memandangi kepergian Hazel yang lain daripada biasanya. Kali ini dia benar-benar tidak menempelinya sama sekali bahkan berani padanya seperti tadi. Apa yang terjadi? apa otaknya bergeser karena jatuh dari tangga kemarin?

Alexa menarik ujung pakaiannya. "Arzhel, apa Hazel marah kepadaku?"

"Tidak usah dipedulikan. Bisa-bisanya kamu memikirkan dia padahal dia sering berbuat jahat padamu," ujar Arzhel sembari mengusap puncak kepala Alexa.

Gadis itu tersenyum senang. "Hazel sebenarnya baik, aku memang salah seharusnya aku tidak mengganggu kalian karena sudah dijodohkan."

"Tidak, aku tidak mencintainya, Alexa. Aku akan mencari cara agak perjodohannya dibatalkan."

"Terima kasih, Arzhel."

3. Matteo Zegreus Agore & Camorra Zarow Roayene

Suasana hangat dan langit yang tampak cerah setidaknya membuat rasa kesal Hazel sedikit memudar. Celsa dan Evie tampaknya kebingungan dan terkejut, gadis yang biasanya mengejar-ngejar Arzhel tanpa ampun bisa melakukan hal seperti tadi.

Hazel juga menyuruh kedua pelayannya itu untuk memesan makanan berat, sementara dia sendiri memesan makanan manis karena sudah sarapan.

Tak bisa ia pungkiri, pertemuannya kembali dengan kedua peran utama itu sangat tidak mengenakan. Kenapa Hazel bisa suka pada laki-laki yang terlalu percaya diri itu? Kalau bukan karena alur cerita dia lebih memilih untuk mencari laki-laki lain saja, tentu banyak yang mengantri, cih.

"Makan yang banyak, kita jalan-jalan lagi setelah ini. Aku terlalu sering berkunjung ke rumah Arzhel sehingga jarang pergi ke tempat-tempat yang lain," ujar Hazel.

"Hari ini benar-benar tidak akan pergi ke rumah Tuan Muda Arzhel?" tanya Celsa memastikan dan Hazel tanpa ragu mengangguk sehingga membuat kedua pelayannya itu saling bertatapan sebentar, Evie menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Suara langkah kaki terdengar mendekat, tapi Hazel tak teralu peduli karena ia pikir pengunjung lain. Sebelum kemudian langkahnya itu berhenti di sampingnya lalu sebuah suara perempuannya menyapa telinganya. "Hazel? Kamu benar Hazel, kan?"

Hazel mengernyit, sebelumnya perhatiannya terarah ke jalanan. Namun ia melihat Celsa dan Evie yang tampak berdiri dan menunduk, lantas Hazel memutuskan untuk menoleh dan mendapati seorang gadis dengan pakaian yang cukup mewah itu tengah menatapnya. Di belakangnya seorang laki-laki dengan rambut silver dan mata kelabu itu tengah berdiri juga menatapnya.

"Ah, iya?" jawab Hazel bingung, lalu sebuah nama muncul di atas kepala gadis itu. Camorra Zarow Roayene, 18 tahun, statusnya sebagai sahabat Hazel.

Camorra tiba-tiba berteriak dan menunjuk pada pakaiannya. "Kenapa, kenapa bajumu simpel begini?! Tidak, tidak mungkin!"

Hazel terdiam, sepertinya kesehariannya benar-benar tidak lepas dari kata mewah sampai Camorra bereaksi sebegitunya pada pakaiannya. "Aku sedang tidak mau repot, Camorra."

Gadis itu tiba-tiba cemberut. "Tumben sekali kamu panggil lengkap? Biasanya hanya Morra, apa aku melakukan kesalahan?" tanyanya.

Hazel merutuki diri, dia tidak berpikir sampai sana. Dia juga memaki Glio karena bisa-bisanya tidak memberikan informasi lebih. "Haha, tidak. Aku hanya mencoba memanggil pakai nama lengkap lagi, ternyata kamu masih menyangka kalau aku menggunakan itu jika sedang marah."

Mantap! Dia bisa memberikan alasan yang agak logis dan setidaknya dapat dipercaya.

"Ngomong-ngomong, kenapa tidak menyapa Matteo juga?" tanya dia lagi seraya menunjuk ke laki-laki di belakangnya, Hazel mendongak dan nama lain muncul di kepala laki-laki itu. Matteo Zegreus Agore, 19 tahun status sahabatnya juga. Sepupu dari Camorra. Ow, mereka sepupuan?

"Ah, ya. Matteo, kalian sedang apa di sini?" tanya Hazel mengulang. Evie dan Celsa lebih dulu inisiatif untuk pindah meja agar Matteo dan Camorra bisa duduk dengan Hazel berhubung kursi dalam 1 meja hanya ada 3 kursi saja.

"Sebenarnya kami berniat untuk menjenguk kamu karena kemarin tidak sempat, tadi sampai ke rumah katanya kamu pergi tapi tidak tahu ke mana. Karena khawatir kami mencari kamu, kebetulan kereta kamu masih di bawah jadi kami segera mencari kamu ke sini," jelas Camorra panjang lebar.

"Bagaimana keadaan kamu?" Matteo tiba-tiba membuka suara membuat Hazel terdiam sejenak. Dia bahkan memesan secangkir teh untuk ia serahkan padanya. "Minum yang hangat."

"Aku sudah membaik, tidak separah itu. Kalian tidak usah khawatir," jawab Hazel seraya meminum secangkir teh itu.

"Aku melihat Arzhel dan Alexa si miskin itu di bawah tengah makan bersama, kamu bertemu?" tanya Camorra.

Hazel memutar bola matanya malas. "Iya, tadi aku tidak sengaja menabrak Alexa karena tidak melihat."

"Lalu?"

"Ya Arzhel marah, aku juga sudah meminta maaf tapi Arzhel tidak mau percaya kalau aku tidak sengaja," jawab Hazel lagi. Matteo hanya menyimak, sepertinya suaranya hanya keluar kalau memang perlu.

Camorra manggut-manggut. "Kamu min-KAMU MEMINTA MAAF?!" Teriakan itu membuat Hazel tersentak, Camorra sampai berdiri sambil membelalak.

"Camorra, duduk." Matteo menarik ujung lengan pakaiannya. Gadis itu tersadar, lantas duduk kembali dengan sopan.

"Ya, aku meminta maaf karena aku tidak sengaja sampai menabrak Alexa," kata Hazel lagi.

Mulut Camorra terbuka lalu menatap Matteo sekilas. "Serius kamu meminta maaf? Harusnya sekalian kamu tabrak saja pakai kereta."

Waduh, kenapa Camorra tampak benci sekali. Kenapa ya? Matteo berdeham sampai membuat Camorra cemberut lagi. "Aku sangat kesal dengan gadis tidak tahu diri itu. Padahal dia tahu jika kamu dengan Arzhel sudah dijodohkan tapi masih saja menempel ke sana kemari, tidak tahu malu itu namanya."

"Oh, ya biarkan sajalah. Lagian kami dijodohkan bukan saling mencintai, kalau dia mencintai Alexa yasudah. Aku tidak ingin membuang-buang waktu." Perkataan itu membuat Camorra mengernyit dan menatap Matteo lagi.

"Ini benar Hazel kan? Apa kami salah orang? Tapi kamu bersama kedua pelayanmu itu." Camorra menunjuk ke arah Celsa dan Evie yang sejak tadi diam sambil berdiri menjauh dari makanan mereka karena takutnya tidak sopan.

Hazel mengernyit. "Kenapa dari tadi diam? Kalian lanjut makan saja, tak apa." Dia lalu kembali menoleh pada Camorra dan Matteo. "Ini aku benar Hazel kok."

"Aneh," kata Camorra sembari mendengus. "Oh, ya? setelah ini mau ke mana?"

"Aku ingin berkeliling, aku bosan ke rumah Arzhel terus." Hazel memasukkan kembali sesendok kue itu.

Matteo tiba-tiba tersenyum. "Aku tahu tempat bagus yang jarang orang kunjungi."

Mata hijau Hazel berbinar mendengarnya. "Di mana? aku ingin ke sana, pokoknya berkeliling saja sampai aku lelah."

"Kamu tidak mau berbelanja?" Camorra mengernyit, dia lebih senang bepergian untuk mencari pakaian pakaian cantik lain yang cocok baginya.

"Bagaimana kalau berbelanja terlebih dahulu lalu pergi ke tempat yang Matteo katakan tadi?"

"Baiklah, demi kamu Hazel. Aku sebenarnya malas kalau selain berbelanja," katanya sedikit lesu.

"Good, mau pergi sekarang? kalau iya aku akan menyuruh Celsa dan Evie untuk pulang."

"Lho, Nona tidak mau kami temani?" tanya Evie, tumben sekali mereka berdua disuruh pulang. Camorra dan Matteo juga bingung mendengarnya.

"Kalian berdua pulang saja, nanti sore jemput aku lagi. Aku kan bersama Matteo dan Morra," ujar Hazel.

"Tapi kami takut Tuan dan Nyonya marah jika tidak menemani Nona Hazel."

Hazel menggeleng. "Tidak, ini aku yang mau kalian tenang saja."

"Ya, bisa pakai kereta kuda kita saja. Bertiga pakai kereta kuda," kata Matteo kemudian, tapi gadis dengan netra hijau itu malah mengernyit. Matteo pun bertanya, "Kenapa?"

"Aku ingin jalan kaki. Bagaimana?"

"JALAN KAKI?!"

.

.

.

Mereka sebelumnya mampir ke butik ternama langganan mereka terlebih dahulu, berbelanja seperti yang Camorra mau. Hazel hanya membeli beberapa pakaian yang berbeda warna agar isinya tidak dominan merah lagi, dia juga memilih yang tidak terlalu mahal tapi Camorra malah memarahinya.

Kenapa tidak membeli yang mahal seperti biasanya? Apa paman Betrix melarang kamu berbelanja lagi? Ya ampun ... Hazel sebenarnya tidak berniat berbelanna hari ini, tapi lain hari.

Matteo membelikannya sebuah topi, karena dia bilang tempat yang akan mereka kunjungi berada di luar ruangan. Hazel juga lupa tidak membawa topi jadi kebetulan sekali. Setelah itu Hazrl dan Matteo berjalan kaki ke tempat yang ingin mereka tuju karena sudah deket, sedang Camorra memilih untuk tetap menggunakan kereta kudanya. Dia bilang tidak kuat panas.

Sesampainya di tempat yang Matteo maksud, gerbangnya terbuka lebar. Hanya ada beberapa kereta kuda sekitar 1-4 buah saja, mungkin memang tempat yang jarang dikunjungi atau hanya beberapa orang yang tahu. Jalan kemari memang cukup terpencil sih.

Namun tempatnya nampak terawat, seperti taman bunga yang di tengah hutan. "Camorra, mau turun tidak?" tanya Matteo, gadis di dalam kereta itu sedikit mengintip melihat keadaan luar.

"Ini aman?" Camorra bahkan tampak ragu untuk turun. "Sepatuku akan kotor tidak?"

"Tidak, pasti aman selagi kamu tidak terpeleset," jawab Matteo dan itu membuat Hazel tertawa kecil. Camorra sepertinya memang menjunjung tinggi penampilan.

Gadis itu cemberut sebelum kemudian memutuskan untuk turun, dengan hati-hati melangkah agar tak menimbulkan masalah. Benar saja, di sini adalah taman bunga, di tengahnya terdapat sebuah danau. Cantik sekali dan itu membuat Hazel senang.

Mereka hendak mendekati danau, tapi dari arah samping terdengar suara langkah kaki yang mendekat.

"Kamu bahkan mengikutiku sampai sini."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!