NovelToon NovelToon

TRAPPED BY THE SECOND MALE LEAD

PROLOG

“Jangan permalukan aku di depan para tamu!”

“Pergi jauh-jauh, jangan berdiri di sini! Jangan sampai kau membuat orang lain curiga!”

“Daripada kau terus mendengar kalimat yang menyakitkan, lebih baik kau keluar saja dari pesta ini. Kau merusak momen bahagia ku.”

Percaya atau tidak, semua ucapan itu terlontar dari keluarga kandungnya sendiri. Tak seorang pun di rumah itu menganggapnya sebagai sesuatu yang layak disebut manusia. Mereka tak menginginkan kehadirannya. Justru, anggota keluarganya lah yang paling berkeinginan untuk menyingkirkan dirinya.

Semua itu bermula dari bertahun-tahun lalu, sebelum menginjak masa remaja, jauh sebelum Ziel Emerald yang notabenenya adalah ayah kandung Meridia menikahi wanita tercintanya, ibu Ziel membawanya berjalan-jalan ke kota kelahirannya.

Salah satu tempat yang masuk ke dalam jajaran lokasi favorit Marchioness adalah pelabuhan, di mana ia bisa melihat luasnya lautan yang entah ke mana airnya mengalir dan menikmati sepoi angin kencang yang tidak hanya menyegarkan kulit namun juga hatinya.

Di sana, ibu dan anak itu bertemu dengan seorang peramal misterius. Wanita paruh baya itu meminta Ziel memperlihatkan garis tangannya dan mulai membaca sesuatu hanya dengan itu. Dari mana dia bisa membaca masa depan hanya dengan melihat garis tangan? Entahlah, itu masih menjadi rahasia besar.

“Hm, ini menarik. Nak, kau benar-benar memiliki masa depan yang tidak biasa.”

Marchioness yang penasaran kemudian bertanya “bisa Anda jelaskan bagaimana maksudnya?”

Wanita itu menerawang masa depan Ziel setelah selesai membaca garis tangan dan wajah Ziel. Dia dengan pasti mengatakan bahwa dipernikahannya kelak, ia akan dikaruniai dua orang putri kembar yang sangat berbeda.

Satu putrinya akan menjadi secerah matahari (membawa keberkahan serta memiliki kekuatan suci) dan yang satunya sekelam bulan di malam yang remang (membawa kehancuran dan kutukan).

Baik Ziel maupun ibunya tampak ragu untuk mempercayai sepenuhnya hasil ramalan wanita asing tersebut.

Tetapi sebuah kebetulan yang aneh terjadi.

Belasan tahun kemudian tepatnya diusia Ziel yang ke-25,  ramalan wanita itu benar terwujud. Pasangan Ziel dan Zoya diberkahi dewa dengan dua putri kembar tak seiras yang kemudian mereka namai Marigold untuk sang kakak dan Meridia untuk si adik.

Setelah Zoya melahirkan dua bayi sehat yang sesuai dengan ramalan wanita tua itu, Ziel menjadi percaya sepenuhnya.

Marigold terlahir dengan rambut pirang bersinar bak untaian benang emas yang berkilau kala tertimpa cahaya. Ia juga memiliki netra biru terang yang tampak seperti berlian sapphire. Dia tumbuh menjadi gadis yang sangat ceria dan dipenuhi kehangatan, serta memberi kebahagiaan pada orang lain.

Sebaliknya, Meridia terlahir dengan rambut biru kehitaman yang mengkilap layaknya batu onyx. Iris matanya nyaris sama dengan Marigold, tapi milik Meridia lebih redup dan sayu. Tidak hanya ciri-ciri saja yang kontras, Meridia juga memiliki kepribadian yang berbeda dengan sang kakak. Meridia cenderung dingin, cuek, dan kurang berempati pada sekitarnya.

Meski banyak mengandung perbedaan, Meridia tak terlahir dengan cacat atau tanda kutukan apapun seperti yang diramalkan. Sayangnya, pandangan Ziel teroksidasi dengan baik hingga ke seluruh isi mansion. Bukan hanya anggota keluarganya saja, bahkan para pelayan di sana juga jadi tak menghargainya sebagai salah satu majikan mereka.

Tak ada yang mau melihat keberadaannya. Meridia bahkan sampai ditempatkan di kamar yang paling pojok dekat asrama pelayan yang pada mulanya ruangan itu adalah Gudang penyimpanan barang tak terpakai lagi.

Begitulah Meridia menjalani kehidupannya yang keras sebagai anak Marquess, tak diperlakukan layaknya seorang bangsawan.

Kalian tahu? Tidak semua kesalahan berada di mereka saja.

Biar bagaimanapun Meridia memang membawa kekuatan yang merusak di dalam dirinya. Apapun benda yang dipegangnya akan berujung mati atau rusak. Mungkin itu juga yang membuat orang-orang membenci dan menjauhinya untuk menghindari kesialan tentunya.

Kejadian yang membuat Meridia sadar bahwa dia memiliki sesuatu yang tidak biasa dalam dirinya bermula di taman keluarga Emerald.

Suatu hari, Meridia kecil yang baru saja dimarahi dengan keras oleh ayahnya bersembunyi ke taman belakang untuk menangis sekaligus menenangkan diri. Awalnya Meridia merasa sangat frustrasi melihat perbedaan kasih sayang antara dia dan Marigold.

Kesedihannya memuncak, namun tangan kecilnya merasa penasaran dan sangat ingin memetik kuntum mawar merah segar itu. Satu sentuhan jari saja mampu meluluhlantakkan tanaman mawar yang luasnya bak permadani dunia itu. Semuanya layu dan mati sampai ke akar-akarnya. Tumbuhan yang tadinya segar mendadak seluruh batangnya menjadi kering keriput tak bernyawa.

Sudah pasti dia tidak akan lolos dari hukuman berat. Begitu Zoya mengetahui bahwa taman bunga kesukaannya mati, Meridia dihukum dengan kurungan selama kurang lebih tujuh hari lamanya tanpa diberi makan dan minum.

Hukuman yang sangat keji untuk ukuran seorang anak enam tahun, bukan?

Seiring berjalannya waktu, dua putri kembar Ziel dan Zoya itu sudah menjadi gadis remaja yang memukau. Namun akibat dari masa kecilnya, Meridia tumbuh menjadi jahil dan suka berbuat onar hanya untuk mendapat perhatian dari orang disekelilingnya. Tak jarang pula Meridia mengerjai Marigold sampai membuat saudarinya itu ketakutan.

Sikap Meridia tak sulit untuk dimengerti. Meridia iri kepada Marigold, bukan hanya dari aspek perlakuan yang diterima saja melainkan keseluruhan hidup nyaman Marigold.

Semua cinta kasih tercurahkan untuk Marigold saja. Lusinan gaun cantik nan mewah yang dijahit langsung oleh penjahit ternama, boneka dan perhiasan yang banyak ragam macamnya, pesta teh, pesta ulang tahun, pesta kedewasaan, semua hanya dialami oleh satu putri Ziel saja.

Hingga suatu hari kala kekesalan itu membuncah, Meridia dengan sengaja menenggelamkan Marigold ke dalam kolam ikan yang cukup dalam tepat ketika matahari sedang terik-teriknya dan menyebabkan Marigold kehabisan nafas lalu pingsan hingga mengalami demam selama dua hari.

Ziel amat sangat murka atas tindakan bodoh Meridia yang mengancam nyawa. Pemimpin kediaman Emerald itu pun memutuskan untuk sepenuhnya tidak mengakui Meridia sebagai putri kandungnya. Sikapnya menjadi semakin kejam pada Meridia.

Keberuntungan Marigold tidak berhenti sampai di situ saja. Untuk masalah percintaan pun Marigold tetaplah menjadi yang paling beruntung. Bahkan lelaki yang Meridia cintai pun lebih memilih Marigold.

Padahal Meridia berharap jika suatu saat nanti akan ada satu orang yang mampu menerima segala kekurangannya, memberi perhatian, dan tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Sayang sekali harapan itu hancur berkeping-keping ketika lelaki itu berucap “maaf, Meridia. Aku tidak bisa bersamamu, seterusnya aku akan menjalani hidup dengan Marigold. Keputusan ini sudah bulat. Aku harap kau melupakanku.”

Penolakan itu tersemat dengan baik dilubuk hatinya yang terdalam. Sakit? Sudah pasti sakit sekali. Rasanya seluruh usaha Meridia untuk terus bertahan hidup meski selalu dirundung kesedihan dan kekecewaan tak berarti sama sekali.

Tak ada satupun yang berjalan lancer dihidupnya. Tidak dengan hubungan keluarga, tidak dengan percintaan, semua yang Meridia dapati hanyalah kegagalan. Meridia tak pernah mencicipi apa itu kasih sayang.

Sampai kapanpun dia tetap akan menjadi bayangan Marigold, ada tetapi tak ditengok sekalipun karena betapa bersinarnya sosok nyata Marigold.

Akhirnya Meridia memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan meminum sebotol racun hasil racikan sendiri dan meregang nyawa setelah bertahun-tahun memperjuangkan sesuatu yang tak akan pernah bisa digapai.

Sungguh, ironis sekali…

CHAPTER 1

Tidak,

Aku tidak mau merasakan kepahitan itu lagi,

Aku tidak mau mengulangi mimpi buruk itu lagi.

“Hei kau, Meridia!”

Panggilan— ralat. Suara sentakan yang mengagetkan itu berhasil membangunkan si pemilik nama dari lamunannya.

Kepala gadis itu menengok ke seorang wanita berseragam pelayan yang tadi membentaknya “Kau mau menggosok meja itu sampai menghilang dari sana?! jangan sengaja melambat karena tugasmu masih banyak! cepat bersihkan lemari yang di sana itu!”

Meridia tidak suka melihat wanita itu memelototinya dan sekarang sedang berkacak pinggang, bersikap seakan dialah yang berkuasa.

Setelah puas menatap gadis bertubuh langsing itu dengan sinis, wanita pelayan itu lanjut mengelap dan merapikan isi meja kabinet. Mulutnya masih bergerak mendumel panjang lebar, “Sialan! Kenapa pula aku harus bersih-bersih bersama dengan orang ini sih?! Tck. Jangan melimpahkan pekerjaanmu padaku!”

Meridia merotasikan kedua bola matanya jengah “Ya, aku dengar.”

Jawaban simpel nan malas itu membuat si pelayan itu semakin jengkel dibuatnya, “Huh! semoga saja aku tidak terkena kesialan darinya. Aku ingin sekali menamparnya!” gerutunya kesal. Meski begitu tangannya tetap bekerja. Sedangkan Meridia diam menikmati gerutuan tidak bermutu baginya itu seolah sedang mendengarkan musik penghibur.

Sekarang Meridia sudah menginjak usia enam belas tahun yang mana ini sudah terhitung dua tahun sejak Ziel memerintahkan putrinya sendiri menjadi bagian dari pelayan yang mengabdi untuk keluarga Emerald. Bertepatan juga dengan jiwa Bianca Gwyneth yang masuk ke dalam tubuh kembaran Marigold itu.

Bianca masuk ke dalam sebuah novel yang ia dapat dari seorang misterius bertopeng yang tak sempat ia lihat wajahnya.

Karena bukunya tampak menarik dan tidak merasa ada keanehan, Bianca menyimpan buku itu dan membacanya saat senggang. Tentu saja Bianca tidak menyukai karakter usil Meridia. Di buku tidak dijelaskan dengan detail kehidupan dari sisi Meridia.

Setelah dua tahun hidup sebagai karakter yang tak disukainya, Bianca jadi tahu alasan dibalik brutalnya sikap Meridia kepada Marigold. Menjadi yang paling terbelakang, tak dianggap sebagai anak dan anggota keluarga, selalu disisihkan. Dia jadi tahu kehidupan dari sisi Meridia yang hanya menjadi bayangan si pemeran utama wanita.

Meridia mendengus pelan seraya bergumam “Pantas saja dia jadi pengganggu ulung."

Apa boleh buat, dia melakukan segala jenis kejahilan karena hanya dengan cara itu Meridia akan mendapat perhatian dan orang lain akan mau bicara dengannya. Itu cara Meridia melepas kesepian yang merasuk sampai ke relung jiwanya.

Sebuah kemoceng mendarat di punggung Meridia. “Tadi sudah ku peringatkan, kan? atau kau memang sengaja ingin ku panggilkan Yang Mulia Ziel?!” gertak pelayan yang menjadi partner bersih-bersih itu berapi-api, “Cepat bereskan pekerjaanmu! Kau ini bukan ratu di rumah ini, jangan bersikap seenaknya saja!”

“Kau juga bukan kepala pelayan di rumah ini. Jangan berlagak seperti kau memiliki jabatan yang tinggi, jadi berhentilah memerintah pelayan lain. Pantas saja kau ditugaskan bersamaku di sini.” Balas Meridia sinis. Gadis bersurai panjang itu tersenyum meledek, “Biar bagaimanapun aku tetap putri kandung majikanmu. Aku hanya sekedar mengingatkan, kalau kau lupa.”

“Kau…!” geram si pelayan kesal.

“Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Sampai jumpa.”

Meridia mengalah dan akhirnya pergi mencari tempat lain untuk dibereskan, yaitu dapur. Hanya dalam hitungan detik, tepat setelah ia membuka sedikit pintunya, Meridia segera menyesali keputusannya untuk pergi ke sana.

Pantas saja dapur lebih hening dari biasanya, ternyata sedang digunakan oleh Marigold. Si heroine novel Light and Shadow itu tengah berdiri memandangi apa yang ia panggang di dalam oven manual dapur.

Senyuman antusiasnya membuat tiga orang pekerja di sana tersenyum gemas “Nanny, apa kira-kira ini akan berhasil? Aku sangat tidak sabar menunggunya matang~!” ucapnya dengan nada manja.

Wanita yang berprofesi sebagai pengasuh anak majikannya itu mengangguk yakin tak membiarkan Marigold kecewa ataupun putus asa. “Tentu saja, Yang Mulia. Anda tidak perlu cemas.”

“Dia benar. Anda sudah mengikuti semua prosedurnya dengan benar, malahan Anda bisa jadi pemanggang kue yang hebat hahaha,” sahut sang koki kepercayaan Marquess Ziel.

Oh, dan jangan kalian lupakan suasana serta senyuman hangat yang muncul di sekitar mereka. Sangat mengharukan. Terlalu mengharukan sampai membuat Meridia mual melihatnya.

“Astaga, Yang Mulia. Lihatlah tepung di wajah Anda. Sebentar,” wanita bertubuh berisi itu dengan lembut mengelap semua jejak putih tepung yang menempel di pipi dan dahi Marigold.

Marigold menunjukkan senyum sepolos anak kecil “Hihi terimakasih, Nanny.”

Gadis itu tumbuh dengan baik, kasih sayang yang berlimpah pasti berhasil membangun yang mental sehat baginya, pikir Meridia yang sedari tadi diam mengamati dari depan pintu dapur.

Iris sapphire Marigold bergeser ke ekor mata setelah menangkap ada bayangan seseorang sedang berdiri di depan pintu. “Oh ternyata ada Meridia di sini,” sambutnya penuh keceriaan, sepertinya suasana hati gadis bersurai pirang itu sedang sangat baik. Seketika tatapan orang lain menjadi dingin kepadanya, berkebalikan saat mereka berinteraksi dengan Marigold.

Senyuman manis nan menggemaskan milik Marigold itu tak lantas membuat Meridia ikutan luluh seperti orang lain karena ia tahu itu semua palsu.

Di beberapa kesempatan ketika mereka berdua bersama, entah mengapa Meridia menyadari bahwa saudari kembarnya seperti sengaja memojokkannya, membuatnya bertahan ditempat di mana perbedaan perlakuan yang mereka berdua dapat sangat terasa.

Tidak hanya sampai situ, Marigold juga sengaja membelanya seolah-olah dialah saudari yang paling sempurna dan membuat Meridia tidak berdaya mengatasi situasinya sendiri.

“Meridia? kenapa kau malah melamun?” gadis itu terkesiap tatkala Marigold mendekatkan wajah ke arahnya, entah sejak kapan gadis itu berdiri di hadapannya. “Ayo, kemarilah. Aku ingin menunjukkan kue buatanku.” Ekspresi dua orang itu (pengasuh pribadi Marigold dan koki) berubah menjadi lebih tak mengenakkan.

“Ya ampun. Bukan aku yang ingin menempel pada idola kalian ini, jangan pelototi aku begitu. Mata kalian seperti hampir keluar saja.” Batin Meridia malas menghadapi situasi yang sama setiap harinya.

Marigold memerintahkan koki keluarga mereka untuk mengeluarkan kue dalam panggangan tersebut lalu ia perlihatkan pada adik kembarnya “Lihatlah. Ini adalah hasil percobaan pertamaku. Meridia, bagaimana menurutmu?”

Meridia menautkan kedua alisnya. Di lihat dari sisi manapun roti-roti itu tetap sama saja dengan lapisan kue pada umumnya. Tak ada yang spesial dari itu. Apanya yang mau dinilai? Meridia tidak mengerti apa yang ditanyakan oleh kembarannya.

“Bagus, kuenya pasti akan lebih bagus dari ini. Kau sangat pandai, jadi hasilnya akan dua kali lipat lebih cantik,” terpaksa Meridia berbohong demi keselamatannya sendiri.

Intensitas senyum Marigold meningkat “Sungguh? terima kasih Meridia,” Marigold menunduk menatap beberapa potong roti yang nantinya akan ia susun menjadi satu, “Ini adalah kue yang aku buat untuk ulang tahun ibu. Bagaimana kalau kita hias kue ini bersama?”

Pengasuh Marigold menggeleng tidak setuju dengan ajakan Marigold “Yang Mulia, Anda tidak perlu melakukan itu. Dia hanya akan merusak semua usaha Anda dengan kutukannya". Wanita itu berani mengatai Meridia sebab tidak ada satupun yang memihaknya sehingga dia tidak takut ditegur atau dimarahi seseorang.

Meridia tak tahan dengan tatapan mengintimidasi dari dua orang di belakang Marigold. Bukan keinginannya untuk berada di tengah-tengah momen mengharukan ini.

“Dia benar, Marigold. Kau yang mahir. Jika Marchioness tahu itu ada campur tanganku, dia bisa jadi tak sudi memakannya. Lagipula siapa yang tahu kapan kue itu akan beracun saat ku sentuh nanti”.

Gadis berambut pirang bergelombang itu mengerucutkan bibirnya, “Kenapa kau berkata begitu? kita ini ‘kan sama-sama anak ibu, tentu saja dia akan senang menerima kejutan ini.”

Inilah yang Meridia maksudkan tadi.

Marigold selalu menumbalkannya untuk menarik lebih banyak simpati dan perhatian dari orang lain.

Menjengkelkan bukan? Meridia saja ingin menampar wajah cantik saudarinya itu.

Sudah menjadi rahasia umum di mansion Emerald bahwa Ziel dan Zoya tidak menganggap Meridia sebagai anak mereka, perlakuan mereka pada Meridia jauh dari kata hubungan keluarga.

“Kau tahu sendiri buktinya. Aku tidak mau memberi Marchioness kutukan di hari ulang tahunnya,” Meridia mengalihkan pandangan ke arah lain “Meskipun aku sangat ingin melakukannya.” Sambungnya dalam hati.

Marigold berkacak pinggang seraya menggembungkan pipi kanannya, “Kau itu adikku! ini, lihatlah sendiri,” gadis cantik itu menggaet lengan Meridia. “Aku baik-baik saja saat menyentuhmu. Tidak ada tanda kutukan atau apapun itu yang muncul padaku".

Aku tidak sudi berdekatan denganmu. Menyingkirlah.

Meridia melepas tangan Marigold dengan kasar “itu karena kau berbeda. Kau punya kemampuan pemurnian. Tidak seperti orang pada umumnya.”

Meridia buru-buru memberi jarak agar Marigold tak menyentuhnya lagi “Aku harus membantu paman Sammy di kebun belakang. Semoga berhasil.” Meridia tak mau berlama-lama berada di satu ruangan dengan Marigold, ia berlari lewat pintu belakang dapur.

Tampak seringai tipis terbingkai di bibir manis Marigold sekilas sebelum daun pintu yang dibuka Meridia kembali tertutup. Marigold membalikkan badan dan memasang ekspresi lembutnya lagi “Berikan aku lebih banyak hiasan yang manis ya.” Mintanya pada si koki.

“Baik, Yang Mulia.”

“Yang Mulia. Sebaiknya Anda tidak usah terlalu dekat dengan dia. Saya takut nyawa Anda terancam. Kita tidak tahu kapan dia akan mencelakai Anda.” Ujar pengasuh Marigold.

“Kau ini terlalu berlebihan, nanny. Dia bukan bom yang bisa meledak kapan saja dan menghancurkan apapun yang ada dalam jangkauannya.”

Sementara itu Meridia sudah mengeluarkan peralatan kebun dan beberapa bibit bunga lavender yang sudah tumbuh setinggi jari telunjuk. “Lady, apakah tidak apa-apa Anda membantu saya di sini? Sekarang cuaca sedang cukup terik.”

Hanya Samuel, si tukang kebun berusia empat puluh dua tahun yang mau bersikap biasa saja selayaknya atasan dan bawahan kepada Meridia. Itu sebabnya Meridia merasa lebih tenang dan nyaman mengerjakan pekerjaan kebun bersama dengannya.

Meridian tersenyum tipis sambil menjawab, “Tenang saja. Aku ke sini karena ingin menanam bunga lavender yang sudah aku tanam beberapa hari lalu. Aku harus memindahkannya agar dia bisa tumbuh dengan baik.”

“Oh jadi Anda yang menanamnya di pot-pot kecil itu? Sepertinya itu akan bagus di tanam di bagian sini karena tidak terlalu panas dibanding bagian lain. Aromanya yang menenangkan mungkin bisa sampai ke kamar Anda.”

“Haha mungkin saja. Terima kasih, paman Sammy.”

Hari ini Samuel bertugas memangkas beberapa cabang pohon yang tidak rapi jadi dia harus terus berada di atas tangga. Pria itu tidak bisa membantu Meridia dibawah sana.

Sesekali dia menunduk ke bawah untuk mengawasi Meridia dan ia menjadi cemas melihat gadis itu bekerja dengan tatapan kosong “Lady, Anda mau mengubur bunga itu sampai ke pucuknya?”

Teguran Samuel menyadarkan Meridia dari lamunan “Astaga, aku lupa hahaha.” Meridia tertawa hambar, tangannya bergerak sendiri sampai Samuel menyadarkan bahwa dia telah menggali lubang yang terlalu dalam melebihi ukuran tinggi tanaman lavendernya.

Rasa simpati Samuel membuatnya memilih berhenti sejenak dari pekerjaannya. Pria itu membantu Meridia membuat lubang untuk memindahkan lavender. “Apa yang sedang Anda pikirkan, Lady? Sejak tadi saya perhatikan Anda banyak melamun.” Tanya Samuel perhatian.

“Paman, aku ingin bertanya sesuatu padamu.”

“Apa itu?”

“Jika kau jadi aku, apa kau akan memilih kabur dari sini? Atau kau akan bertahan hidup di sini dengan caramu sendiri?” Samuel tersentak mendengar pertanyaan Meridia.

Dia tidak terkejut jika Meridia memiliki pemikiran untuk kabur, dia juga tidak menyalahkan Meridia jika dia tidak menganggap Ziel dan Zoya pantas untuk dia hormati. “Saya tidak memahami dengan baik apa yang Anda alami dan rasakan selama ini, Lady. Jadi silakan Anda putuskan sendiri apa yang baik untuk diri Anda,” jawab Samuel.

Tukang kebun yang sudah selama sepuluh tahun bekerja di kediaman Emerald itu menatap iba kembaran Marigold yang selalu dikucilkan sedari kecil.

Meridia menunduk, tangannya bergerak mengambil sekop kecil. “Aku juga tidak tahu harus bagaimana,” cicitnya sambil mengaduk pupuk.

“Anda jangan khawatir, Lady. Saya selalu punya firasat bahwa Anda akan segera bebas dari rasa sakit ini.”

“…”

“Saya memiliki perasaan yang kuat dan yakin Anda akan mendapatkan cinta yang lebih besar dari ini.”

Meridia menunjukkan senyum getir. “Jangan andalkan perasaan, paman. Semua hal hanya akan berakhir runyam kalau paman selalu melibatkan perasaan di segala hal. Itu merepotkan.”

Ya, itu benar. Meridia tidak suka menyangkut-pautkan perasaan berlebih dalam setiap tindakannya, karena di situlah letak kutukannya akan aktif, setelah selama ini ia coba pecahkan alasan kekuatan itu keluar.

Meridia tidak tahu pasti kapan kutukan itu benar-benar akan terjadi tetapi dia tahu bahwa setiap kali ia melibatkan perasaan yang kuat dalam dirinya maka dia bisa merusak atau membunuh sesuatu yang hidup.

Beruntung, semua orang di rumah itu mengira kekuatan Meridia sesimpel hanya dengan lewat sentuhan, sama seperti Marigold yang harus menyentuh objeknya dulu untuk mengaktifkan kekuatan penyuciannya.

Awalnya dia juga bingung. Namun setelah dua tahun mempelajari kapan dan di mana kilas ingatan Meridia datang lalu membuat kesedihannya memuncak, kutukan itu terjadi.

“Lady, Anda mungkin tidak mendapatkan kasih sayang di sini tapi saya yakin Anda akan bertemu dengan orang yang akan memprioritaskan Anda di atas segalanya, mengasihi Anda, dan menjaga Anda dengan baik.”

Meridia tidak bisa memahami pemikiran Samuel yang terlampau positif. Tetapi selagi itu baik, Meridia merasa tenang mendengarnya.

Meridian tersenyum kecut seraya berkata, “Aku akan sangat senang jika itu terjadi padaku.” hal itu membuat hati Samuel ikut teriris.

Semua orang di sana bertingkah seolah-olah bayi yang lahir dengan selamat hanyalah Marigold seorang. “Tentu saja itu akan terjadi. Justru orang seperti Anda lah yang sangat bisa menghargai sekecil apapun bentuk kepedulian itu.”

“Meridia!” panggil salah seorang pelayan dari pintu dapur. Gadis berparas cantik nan dingin itu menengok. “Marquess memanggilmu ke kantornya!” ucapnya dengan suara keras karena jarak mereka yang cukup jauh. Setelah itu dia kembali ke dalam dapur.

Meridia menghela nafas “kali ini apa lagi?” kurang lebih Meridia sudah menebak setengah hal yang akan terjadi di dalam sana “paman, maaf. Apa kau bisa melanjutkan ini sampai aku selesai dengan urusanku?”

CHAPTER 2

Meridia sudah terlalu hafal dengan kesehariannya yang begitu-begitu saja. Berbeda dengan alur aslinya yang dikisahkan dalam buku, justru yang Bianca rasakan setelah menjadi Meridia sangat berkebalikan. Kebenarannya sungguh berbeda dari kenyataan di lapangan.

Justru Marigold lah karakter serigala berbulu domba. Dia hanya memanfaatkan keadaan untuk semakin bersinar. Saat mereka hanya berdua, Marigold cenderung menunjukkan sifat aslinya tanpa malu dan tanpa takut namanya tercoreng karena dia tahu tak ada sesiapa yang menghargai ataupun mempercayai Meridia.

Kali inipun dalang dibalik pemanggilannya itu sudah pasti ulah Marigold dan bawahannya. Ziel akan langsung meminta Meridia menghadap dirinya ketika menerima aduan bahwa dia telah menyakiti Marigold.

"Dan setelah itu dia akan datang seperti pahlawan untuk membela ku, berakting seperti seorang malaikat yang turun dari surga, dan lagi-lagi semua orang dibutakan oleh senyuman palsu itu." gumam Meridia menyusun naskah drama dalam otak seraya merotasikan kedua bola matanya jengah.

Baru saja dia masuk dan menutup pintu, Meridia terbelalak kaget ketika sebuah vas bunga terbang ke arahnya dan beruntung hanya menyerempet bagian daun telinga saja.

Praang!

Vas itu pecah berkeping-keping setelah menghantam pintu di belakangnya, "APA YANG TELAH KAU LAKUKAN PADA PUTRIKU?!" Hardik sang kepala keluarga Emerald berapi-api.

Meridia meringis, memegangi telinga kirinya yang terasa nyaris lepas, "Aku tidak melakukan apa-apa padanya," memang itulah kenyataannya. Tapi apapun yang Meridia lakukan dan ucapkan semua akan selalu salah, bahkan bernafas pun merupakan kesalahan terbesar baginya.

"Jangan banyak alasan dan akui saja perbuatanmu!" Meridia melirik seorang maid yang berdiri di dekat meja kerja Ziel. "Seah bilang kalau kau sudah bersikap kasar pada Marigold. Sampai kapan kau terus bersikap liar seperti itu?! Kau benar-benar keterlaluan!"

Sebenarnya apa saja yang dia adukan? Kenapa ayah seperti orang kesetanan?

Meridia mengelus dada sambil mengontrol pernafasan guna menyalurkan ketenangan dalam dirinya. Meridia mengulum bibir bawahnya, "jangan mengumpat, jangan memarahinya balik," ia terus bersugesti baik untuk menghindari sesuatu yang buruk terjadi.

Meridia sudah amat paham bahwa apa yang dia katakan saat puncak amarah tersentuh, kejadian buruk akan terjadi sesuai sumpah serapah yang tidak sengaja ia suarakan.

"Sejak pagi aku sibuk dengan pekerjaanku sendiri. Aku tidak punya waktu untuk mengganggu apalagi menjahili Marigold. Aku sudah pasti tidak berbuat kasar padanya." Meridia tahu tidak ada gunanya membela diri, tapi setidaknya dia ingin menyangkal.

Setelah mulutnya mengatup, barulah ia teringat dengan kejadian di dapur.

Meridia memang tidak berniat menepis tangan Marigold dengan kasar. Dia tidak sengaja melakukannya karena Marigold tak mau melepas tangannya, jadi mau tidak mau dia mengeluarkan tenaga yang cukup untuk melepaskan diri.

Astaga, apa itu juga termasuk ke dalam kekerasan? Selembut apa orang harus memperlakukan Marigold? Mereka benar-benar terlalu fanatik.

Ziel menggeram kesal, "Sejak kau lahir kau selalu saja menyusahkan orang lain! tidak ada satupun cara yang bisa aku lakukan untuk mengatasi kebandelan mu ini!" maki Ziel tanpa belas kasih walau sudah melihat darah menetes dari daun telinga kiri Meridia, PUTRI KANDUNG-nya.

Oh, jadi secara tidak langsung kau juga menyalahkan istrimu yang melahirkanku dengan selamat juga? Kerja bagus, Marquess.

Meridia melayangkan tatapan dingin pada Ziel. "Jangan salahkan aku sepenuhnya. Kau pikir aku senang hidup seperti ini? aku juga tidak pernah meminta untuk lahir di keluarga ini." balas Meridia datar, tak kalah datar dengan raut wajahnya.

"Kau!" geram Ziel kesal.

Setelah puas membuat Ziel kesulitan berkata-kata ia pun berbalik hendak keluar. "Mau kemana kau?! aku belum selesai bicara denganmu, anak kurang ajar!"

"Aku masih di sini, tahu. Kau tidak perlu berteriak begitu pun aku masih bisa mendengar suaramu walau kau baru saja ingin membuatku tuli dengan melempar vas itu ke arahku," sinis Meridia.

Gadis bernetra biru gelap itu menatap sosok ayah kandungnya yang sedang melotot, "Kita berdua sama-sama sibuk, 'kan? jadi singkat saja, hukuman yang seperti biasa, iya 'kan?"

Meridia sengaja tersenyum selebar-lebarnya yang ia pernah lakukan untuk membuat Ziel semakin kesal. Setelah menikmati wajah marahnya walau hanya sepersekian detik, Meridia terkekeh seraya menutup pintu ruang kerja itu.

"Dasar bedebah kurang ajar!" umpat Ziel murka. Pria yang memiliki kerutan di sekitar matanya itu mendengus kasar setelah melihat Meridia bersikap semakin berani.

Ziel duduk di kursi dan menyandarkan punggungnya untuk mengurangi tegang yang ia rasakan ditulangnya pelipisnya, "Aku tidak tahu harus bagaimana memperlakukannya." gumamnya menyerah.

Meridia tidak sedang ingin melanjutkan pekerjaan di kebunnya, dia tak ingin membuat bunga lavender yang ia rawat dengan rajin mati begitu saja karena saat ini emosinya sedang kurang baik jadi ia memutuskan untuk istirahat sebentar di kamarnya.

"Ini dia," gumam Meridia. Dia menghentikan langkah setelah melihat di depan pintu kamarnya tampak Marigold tengah menunggu kedatangan si empunya kamar sambil memainkan rumbai roknyan di depan pintu.

Sadar Meridia sudah datang, Marigold lantas tersenyum lebar, tangannya terangkat untuk melambai kecil, "Kau dihukum lagi ya? mau aku bantu bebas dari kurungan?" suasana hatinya sudah cukup buruk saat ini, mendengar nada manja Marigold ketika bicara membuatnya ingin muntah.

Adik kembar Marigold itu enggan menjawab ucapan kakaknya dan memilih untuk mengabaikannya. Meridia membuka pintu, tetapi dengan cepat Marigold melengos masuk menyusul sang empunya kamar. "Aku sudah bilang padamu berulang kali, kau tidak akan menjalani kehidupan seperti ini lagi kalau kau mau menuruti semua perkataanku," Marigold menyeringai melihat telinga kiri saudarinya yang sudah berdarah akibat menerima amukan Ziel.

Ya, kalian sekarang tahu inilah sosok sebenarnya dari Marigold yang senantiasa diagung-agungkan banyak orang.

Gadis berpakaian seragam pelayan itu menelengkan kepala sedikit, "Aku tidak berminat jadi mainanmu. Aku merasa lebih baik menjalani hukuman yang seperti ini daripada harus tunduk mendengar semua perintah dari anak manja sepertimu."

Dia tidak bodoh untuk mengerti bisa rencana Marigold. Mau menurut atau tidak, Meridia tetap akan dirugikan. Bedanya hanya jangka pemanfaatannya saja. Jika Meridia mau tunduk, sudah jelas sepanjang ia hidup akan terus dimanfaatkan oleh kakaknya sendiri.

Gadis yang dipuja banyak orang itu merengut marah. "Anak manja katamu?!" ulangnya tak terima. Kemudian ide lain muncul dikepala pirang itu, yaitu memamerkan apa yang ia miliki.

"Aku tidak pernah meminta apapun, mereka sendirilah yang mau menyayangiku. Mereka juga yang mau memberi segalanya padaku tanpa diminta. Kau lihat sendiri, aku terlahir dengan keberuntungan luar biasa. Jika kau mau menurutiku, semua orang pasti akan menerima mu."

Meridia mengangguk acuh tak acuh, "Ya ya ya, saya mengerti, Tuan Puteri." Ia merobohkan diri di ranjang sempit dan keras miliknya, "Aku tidak tertarik dengan tawaranmu. Jika ada pilihan, aku lebih memilih diusir dari rumah ini daripada harus tunduk padamu."

Meridia sejujurnya heran, mengapa Marigold begitu ngotot ingin membuatnya menuruti semua keinginannya? Apapun itu alasannya, Meridia tak pernah bisa mempercayai gadis berwajah malaikat namun berhati iblis itu.

"Kau!" kedua tangan Marigold mengepal erat, ia pun mulai menangis sampai sesenggukan di depan pintunya yang masih terbuka lebar. Telinganya sudah cukup sakit dan kini giliran gendang telinganya yang berdenyut nyeri mendengar tangisan Marigold.

Meridia beranjak duduk, "Kali ini apa lagi?".

Meridia mendengar suara langkah kaki beberapa orang di Lorong. Lima orang pelayan sedang berjalan menuju kamar masing-masing, akan tetapi mereka segera mengubah haluan tatkala melihat Marigold menangis tersedu-sedu tanpa ada seorang pun disisinya.

"Pantas dia tiba-tiba memilih untuk menangis daripada beradu argumen denganku," lirih Meridia melihat tingkah Marigold yang mengesalkan.

Mereka, para pelayan setia Emerald, mencemaskan Marigold. "Yang Mulia, apa yang telah terjadi? Mengapa Anda menangis di sini?" mereka serempak memandang Meridia yang duduk di pinggir ranjang sambil bertumpu dagu, ekspresi datarnya membuat mereka makin kesal "Apa yang sudah kau lakukan pada Yang Mulia Marigold?!"

Kenapa semua orang suka sekali mengusikku padahal mereka sendirilah yang membenciku? Aku hanya ingin menikmati masa hukumanku.

Seseorang pergi meninggalkan Marigold memanggil kepala pelayan untuk menegur Meridia atas apa yang sesungguhnya tidak dia lakukan.

Marigold terisak sambil menutupi mulutnya "Padahal aku hanya ingin mengajaknya menikmati pesta teh bersamaku di taman, tapi dia malah mengusirku. Aku tahu dia sangat menderita karena tidak ada siapapun yang memperhatikannya," Meridia sangat mengapresiasi kecepatan saudari kembarnya dalam merangkai skenario kebohongan.

Marigold tersenyum sambil menyeka airmata tipuannya, "Maaf. Adikku tidak melakukan apa-apa, aku saja yang tidak siap mendengar bentakannya. Kalian tidak perlu khawatir."

Semudah itu Marigold melimpahkan seluruh kesalahan pada dirinya. Jika ada orang yang masih bisa berucap 'tapi dia itu tetaplah kakakmu' maka Meridia dengan yakin dan niat penuh akan mendamprat mulut orang itu menggunakan tongkat bola kriket.

Marigold memasang senyum malaikatnya untuk menarik simpati orang-orang yang pada dasarnya sudah berada di bawah kontrol gadis tersebut. Mereka berkaca-kaca, "Astaga, Yang Mulia. Anda baik sekali." Mereka tersentuh dengan sikap bohongan Marigold.

Mereka melempar tatapan sinis dan tajam melihat Meridia tak bergeming meski Marigold tengah menangis di hadapannya.

Meridia mengangkat bahunya seraya menaikkan satu alis "Apa? aku tidak melakukan sesuatu yang salah. Aku sedang menjalani hukuman yang baru saja diberikan Marquess padaku." ucapnya ketus.

Mereka semakin kesal melihat Meridia yang acuh dan cuek. Gadis berambut biru dongker itu tersenyum simpul, "Aku tahu, aku tidak akan dapat jatah makan lagi. Kalian tidak perlu khawatir, aku sudah mendapatkan hasil dari perbuatanku sendiri. Sekarang kalian semua keluarlah. Aku ingin tidur siang."

Meridia sudah mulai bosan dengan pertunjukkan ini dan ingin segera mengistirahatkan indera pendengarannya yang sudah berdengung. Dia pun memilih untuk menarik selimut dan tidur menghadap ke jendela luar sehingga posisinya memunggungi pintu.

"Kalian cepatlah kembali bekerja kalau tidak ingin ditegur. Jangan lupa tutup pintunya ya, aku mau tidur siang." sambung Meridia santai.

Kepala pelayan sudah hadir di sana dan mendengar pernyataan terakhir Meridia. Dahinya pun berkerut, "Kau sangat tidak tahu sopan santun. Sepatutnya kau meminta maaf ketika kau berbuat salah, bukannya malah abai. Minta maaflah pada Yang Mulia Marigold." Titahnya yang tak digubris oleh Meridia.

"Oh astaga, bagaimana caraku menjelaskannya ya? sejak dulu aku tidak pernah disekolahkan di sekolah kepribadian padahal aku adalah anak kandung Marquess dan saudari kandung Marigold. Maaf ya, aku tidak pernah belajar itu semua jadi aku tidak tahu sopan santun," cibiran itu sengaja Meridia utarakan. Berharap hati mereka terketuk walau nyatanya tidak.

"Dia sudah berbaik hati mau mengajakmu bermain dan menikmati teh bersama! Kau ini benar-benar tidak tahu diuntung!"

"Iya. Memangnya kau pikir siapa lagi yang mau mempedulikanmu selain Yang Mulia Marigold?! Memang benar, kau ini pusat kesialan di rumah ini!" timpal pelayan lain yang geram mendengar ucapan Meridia.

"Yang Mulia, mari kira keluar dari ruangan pengap ini".

"Kami bisa menemani Anda bermain".

"Iya, Yang Mulia. Anda tidak perlu lagi bersedih."

Iris berlian Marigold berbinar, "sungguh?".

"Ya, tentu saja".

"Kalau begitu, ayo bermain di luar".

"Baik, Yang Mulia." mereka pun segera keluar dari sana dengan membanting pintu kamar Meridia.

Sementara itu sang pemilik kamar baru bisa bernafas lega setelah kepergian mereka. "Akhirnya tenang juga. Aku nyaris mati menonton drama menjijikkan itu."

Meridia duduk kembali dan menghadap ke arah jendelanya yang terbuka lebar, membiarkan angin meniup anak rambutnya. Manik biru sayunya menatap kosong pemandangan di luar sana, sorot matanya mengisyaratkan bahwa pemilik iris itu tak memiliki semangat hidup.

Ia gunakan waktu hukuman kala itu untuk merenung seraya menikmati buaian lembut angin di musim semi. Tadinya dia hanya berniat untuk bersantai tapi tahu-tahu dia mengingat sesuatu yang membebani otaknya, "Kalau tidak salah ingat, tidak lama lagi aku akan bertemu dengan pemeran utama lelaki yang akan menjadi cinta pertamaku."

Setelah pertemuan itu terjadi Meridia akan terobsesi dengan lelaki tersebut sampai mengubah sifatnya sendiri yang tidak karuan menjadi selayaknya wanita bangsawan pada umumnya dengan belajar mandiri tanpa guru.

Akibat obsesi itu pula Meridia menjadi kehilangan akal saat cintanya direbut oleh Marigold.

"Tunggu dulu. Ada yang aneh," Meridia mengelus dagu memikirkan keanehan dalam ingatannya "Mengapa ingatanku hanya sampai pada kematian Meridia? Seharusnya masih ada kelanjutan dari novel itu. Aku yakin itu bukan akhir dari novelnya."

Meridia memang ingat bahwa kematian Meridia terjadi di dua bab terakhir yang artinya masih ada kelanjutan kisah menyorot kehidupan bahagia si pemeran utama. Bukan hanya samar, tetapi dia benar-benar melupakan bagian setelah Meridia bunuh diri.

"Dua tahun terjebak di sini sudah cukup untuk menggerus ingatanku? Aku payah sekali," dia menepuk dahinya dengan keras, "Apapun itu, aku tidak akan mengulangi kejadian yang sama lagi. Aku tidak akan meminum racun hanya karena cintaku tertolak."

Otaknya bekerja lebih keras daripada biasanya, berbeda dengan tujuan awal dia duduk di dekat jendela kamar. "Aku akan pergi dari sini minggu depan." Meridia telah membulatkan tekad untuk meninggalkan masa lalu yang menyedihkan dan meninggalkan semua luka di mansion ini, lalu mencari kebebasan yang nyata untuk dirinya sendiri.

Tiga hari berlalu sejak Meridia menyelesaikan masa hukumannya tanpa keluar kamar dan tanpa makan atau minum. Orang pertama yang Meridia temui adalah Samuel si tukang kebun yang kebetulan sedang memanen anggur hijau di kebun belakang.

Meridia sangat suka membantu Samuel dalam merawat dan menjaga semua tumbuhan yang hidup di kebun belakang "Paman Sammy, biarkan aku yang melakukannya!" seru Meridia gembira.

Pria itu tak tahu dari mana Meridia mendapatkan semangat dan energi itu tanpa makan dan minum. Hanya saat menanam atau saat sedang memanen saja Meridia terlihat begitu ceria dan bersemangat.

Samuel tersenyum menyerahkan gunting pada Meridia, "Anda yakin bisa melakukannya? Ini sedikit rumit," katanya sambil mengelap peluh di dahi.

"Serahkan saja padaku, aku sudah bukan amatiran lagi kalau soal memanen hehehe."

"Apakah anak ini hanya sedang menyembunyikan kesulitannya lagi?" tanya Samuel dalam hati.

Samuel terkekeh geli melihat semangat Meridia yang sama seperti anak kecil, tapi lagi-lagi tatapannya berubah menjadi sendu kala melihat punggung kecil gadis tak berdosa itu. Samuel sendiri tidak yakin apakah Meridia akan mendapatkan jatah makan hari ini atau tidak.

Baru tiga tangkai yang berhasil Meridia potong, tiba-tiba suara keras yang berasal dari pintu belakang terdengar menyebut namanya dan menginterupsi kegiatan seru yang tengah ia kerjakan.

"Meridia!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!