NovelToon NovelToon

Diam-diam Mencintai Mantan Suami

Bab 1 Tragedi Masuk Got

Seminggu ke depan Marisa mendapat cuti tahunan dari perusahaan tempatnya bekerja yang baru diambilnya tahun ini. Marisa tidak mempunyai rencana liburan kemana-mana. Namun, karena desakan sang adik, yaitu Marqisa yang mengajaknya liburan, akhirnya Marisa mengisi waktu cutinya dengan liburan ke sebuah pantai di Jawa Barat, yaitu Pantai Pangandaran.

Marisa dan Marqisa memutuskan berangkat dengan menaiki jasa travel yang bisa mengantarnya sampai tujuan. Dengan ijin dari kedua orang tuanya, Marisa dan Marqisa akhirnya berangkat.

"Kami pergi liburan dulu, ya, Bu, Pak. Assalamualaikum," pamit keduanya kompak.

"Wa'alaikumsalam, kalian hati-hati di sana, semoga selamat dalam perjalanannya," sahut Bu Mariam seraya melambaikan tangannya di iringi Pak Maryana yang juga melambaikan tangan untuk kedua putrinya.

Perjalanan menuju pantai Pangandaran lumayan lama, sekitar kurang lebih 7,5 jam. Semua itu dilalui travel dengan berbagai rintangan, yakni macet dan antri saat di tol.

"Akhirnnya sampai juga, setelah melewat perjalanan yang cukup jauh," guman Marqisa seraya membanting tubuhnya di atas kasur hotel kelas menengah. Wajahnya tengadah ke langit-langit hotel menikmati sejuknya ruangan berAC.

"Ayo, kita nikmati dulu minuman sambutan selamat datang dari pihak hotel, kakak sudah haus nih," ajak Marisa saat beberapa menit yang lalu salah satu pelayan hotel mengantar dua buah minuman ke kamar yang ditempati Marisa dan Marqisa.

"Wah, segarnya," tukas Marqisa sambil menunggingkan gelas bercawan itu ke atas mulutnya. Marina geleng-geleng kepala dengan tingkah konyol sang adik yang menghabiskan minumnya sampai tandas sehingga ditunggingkan di mulutnya.

"Ayo, sebelum kita jalan-jalan di pantai, lebih baik kita mandi dulu. Lalu setelah itu kita makan sore," ujar Marisa mengajak adiknya mandi sebelum jalan-jalan.

"Asikkk, jalan-jalan! Kali aja ada yang nyangkut, ya, Kak, duren," celetuk Marqisa sembari tertawa.

"Ihhh, apa-apaan sih Qis, kamu mau nyari duda di sini? Kita ini lagi senang-senang bukan mau cari duda. Memang kamu demen duda, ya?" sergah Marisa kepada Marqisa yang dianggapnya bicara sembarangan.

"Dudanya bukan untuk aku, Kak. Tapi untuk Kakak si janda lima tahun, ehehehehe," ledeknya sambil berhambur ke kamar mandi hotel karena takut ditimpuk bantal oleh sang Kakak.

"Huhhhh, Marqisa nyebelin, mentang-mentang aku janda lima tahun, seenaknya meledek. Awas, ya, tahu rasa nanti," dumelnya kesal yang melihat sang adik berlari menuju kamar mandi.

Setelah keduanya mandi dan berdandan ala gadis kota yang sederhana, mereka berdua segera keluar dari kamar hotel dan mengunci kembali pintu hotel dengan sebuah kartu.

Mereka berjalan beriringan, Marisa berada di depan sambil menerima sebuah panggilan telpon dari sang ibu. Sedangkan Marqisa berada di belakangnya sembari matanya jelalatan menikmati suasana lorong hotel. Sejenak Marqisa tertegun saat matanya tertuju ke kamar hotel nomer 109. Dari pintu itu keluar seorang pria dewasa yang seperti dikenalnya bersama seorang anak kecil sekitar lima tahun.

"Mas Raka, sepertinya itu Mas Raka. Ah, benar itu Mas Raka." Marqisa menebak seraya mengamati pria dewasa yang baru keluar dari kamar hotel tempat wisata itu. Marqisa yakin anak kecil yang bersamanya merupakan anak dari pria yang disebutnya Mas Raka itu, yakni mantan kakak iparnya lima tahun yang lalu.

"Pasti Mas Raka sengaja liburan juga ke pantai ini bersama istrinya. Wah, gawat kalau Kak Marisa tahu dan bertemu dengan Mas Raka. Alamat perang dingin akan dimulai lagi."

"Qisa, cepat dong, lelet amat!" Marisa mengingatkan adiknya yang masih tertegun mengamati pria dewasa yang dilihatnya tadi. Marqisa berlari kecil menghampiri Kakaknya yang sudah lebih dulu.

Tiba di pantai mereka berdua sangat menikmatinya. Berkejar-kejaran layaknya ABG dan bermain pasir. Kadang ombak pantai yang ombaknya pasang dikejar Marqisa dengan tawa centilnya yang khas.

"Kak Risa, foto aku, ya, kalau ombaknya sudah pasang. Nanti ambil fotonya saat aku jumping, ya." Marqisa memberi arahan pada Kakaknya layaknya sang Fotografer. Marisa hanya mengangguk pelan, terpaksa dia harus mengikuti adiknya itu.

"Ayo, Kak, kita foto bersama, minta tolong Ibu tukang jualan kopi itu," tunjuknya pada seorang ibu-ibu penjual kopi di pantai itu. Marisa setuju dan berusaha minta tolong pada Ibu penjual kopi.

"Jepret, jepret." Mereka berhasil diambil beberapa foto oleh Ibu penjual kopi pantai itu.

"Terimakasih, ya, Bu," ucap Marisa seraya melihat hasil jepretan si ibu penjual kopi tadi. Marisa nampak tersenyum saat melihat hasil foto si ibu tadi, dia kagum dengan hasil yang bagus foto tersebut.

"Wah, bagus banget, Kak. Ternyata ibu penjual kopi tadi pandai ambil gambar yang pas, ya? Hasilnya juga cantik." Marqisa memuji hasil jepretan ibu tukang kopi tadi. Marisa juga sangat puas dengan hasil jepretan ibu tadi.

"Ayo, Kak kita masuk kamar hotel saja, aku pengen boker nih." Tiba-tiba Marqisa mengeluh pengen buang hajat.

"Di sini saja, nanti malah kebelet kalau harus ke hotel dulu. Ayolah, cepat. Itu di depan ada penunjuk arah toilet, kamu di sana saja bokernya," suruh Marisa menunjuk sebuah plang petunjuk. Marisa tidak membantah, dia segera bergegas menuju toilet.

Karena merasa bosan, Marisa yang harus menunggu lama sang adik boker, iseng dia berjalan-jalan ke taman sekitar hotel tempat mereka nginap. Taman di hotel ini didominasi hampir 90% tanaman berbunga, selain wangi dan indah Marisa memang sangat suka dengan bunganya. Ada bunga Dahlia dan Zinitia dan lain-lain.

     Ketika Marisa akan melangkah menuju bunga Dahlia, tiba-tiba seorang gadis kecil berlari mengejar sebuah balon yang terbang lalu jatuh ke dalam got setinggi satu meter.

     Malangnya, kaki si gadis kecil itu ikut terperosok dan jatuh ke dalam got. Sehingga marabahaya itu tidak bisa dielakkan lagi.Marisa tentu saja kaget dan refleks berlari menuju gadis kecil itu jatuh. Kemudian suara jeritan bocah cantik dan teriakan Marisa sama-sama terdengar mengkhawatirkan.

"Awwww," jerit anak itu melengking.

"Awasss," teriak Marisa kaget seraya berlari ke arah anak yang terlanjur jatuh ke dalam got sedalam satu meter. Pantas saja jatuh, lebar gotnya saja luas selebar satu meter, sehingga sulit jika harus dilangkahi kaki kecil dan masih pendek seperti anak kecil itu.

     Sejenak Marisa berpikir dalam hati, "Kemana orang tua gadis kecil ini? Tega-teganya tidak mengawasi anaknya saat bermain."

Anak kecil itu terbujur sambil menangis, Marisa memanggilnya seraya mengulurkan tangan. Namun sepertinya kaki anak itu terkilir sehingga tidak bisa berdiri. Dengan rasa belas kasihan yang tinggi, akhirnya Marisa turun ke dalam got untuk membantu anak kecil itu naik.

"Adik kecil, ayo kakak bantu. Kakak gendong saja, ya, karena sepertinya kaki kamu sakit," tukas Marisa mengulurkan tangannya. Anak kecil itu hanya bisa mengangguk seraya meringis.

Marisa menggendong anak kecil itu, lalu bersiap menaiki got yang tingginya satu meter. Tidak lupa balon yang dikejar anak itu dinaikkan juga. Karena tidak ada pegangan yang bisa menolongnya berpegangan, akhirnya Marisa memutuskan meletakkan anak kecil itu duluan di permukaan tanah di samping balon yang tadi.

"Ayo, kamu duduk dulu di sini, Kakak harus naik mengangkat kaki untuk ke permukaan tanah ini," ujarnya. Saat Marisa akan naik, tiba-tiba sebuah tangan mengulurkan bantuannya. Siapakah dia?

Bab 2 Sorot Mata Tajam Itu

     Marisa menerima uluran tangan orang itu, sebuah tangan yang kekar dan kokoh, dengan urat-urat yang membentang. Marisa menyimpulkan itu merupakan tangan seorang kuli bangunan yang bekerja di proyek sekitar hotel. Namun, anehnya Marisa sejak tadi tidak melihat pembangunan sebuah proyek di sekitar hotel tempat ia menginap.

     Kini tubuh Marisa sudah berada di atas permukaan tanah. Sebelum mendongak dan berterimakasih, Marisa bermaksud meraih tubuh bocah kecil nan cantik tadi untuk dipangkunya. Namum, Marisa kalah cepat dengan seseorang yang tadi mengulurkan tangannya. Marisa segera menoleh dan hendak mengucapkan terimakasih sambil menanyakan anak itu anak siapa.

     "Terimakasih banyak Mas atas uluran tangannya," ucap Marisa pada lelaki bertubuh kekar atletis dan tinggi itu yang kini sudah membelakanginya dengan memangku bocah kecil tadi di tangan kirinya. Dan sebuah balon yang tadi jatuh, di tangan kanannya.

     "Sama-sama, saya juga terimakasih banyak, karena Anda telah menyelamatkan anak saya dari got," balasnya sembari perlahan menolehkan tubuhnya ke belakang, dengan mata yang masih fokus pada balon.

     Tepat saat mata Marisa melihat wajah si lelaki, Marisa terhenyak dan kakinya mundur beberapa senti. Marisa mengenal wajah tampan itu, dengan sorot mata yang teduh. Namun ketika lelaki itu juga menatap wajah Marisa dengan jelas, tiba-tiba sorot mata teduh itu berubah tajam dan tegas.

     Lelaki yang kira-kira umurnya sekitar 10 tahun lebih tua dengan Marisa itu menatap dengan sorot mata terkejut, lalu berubah tajam, entah apa sebabnya.

     "Mas Raka!" serunya kaget tapi melemah, entah apa yang Marisa rasakan saat itu. Dengan cepat Marisa menundukkan tatapan matanya ke permukaan tanah, ia tidak sanggup menatap sorot tajam mata itu lagi. Apa yang terjadi dengan Marisa, apakah dia mengenal lelaki jutex itu atau ada hal lain yang lebih menakutkan lagi?

     "Papa, Tante itu yang menolong aku. Makasih tante cantik," celotehnya jelas seraya bermaksud mendongakkan tubuhnya ke arah Marisa dan ingin meraih Marisa. Namun lelaki yang bernama Raka itu mencegah dan menarik tubuh bocah kecil itu ke dalam pangkuannya.

     "Ayo, kita kembali. Makanya kamu jangan nakal dong, Sayang. Kalau diawasi Papa itu jangan lari-lari, kan Papa jadi soak," ujarnya menasehati seraya membalikkan tubuh.

     "Mas Raka," panggil Marisa berubah sendu. Namun lelaki tampan berusia 35 tahun itu terus berjalan tanpa menoleh lagi. Pertemuan bersama lelaki tampan bertubuh kekar dan atletis itu, mengingatkan Marisa pada kejadian lima tahun yang lalu saat dirinya masih menyandang gelar seorang istri.

     Usia Marisa yang masih muda saat itu, yakni 19 tahun, membuat rumah tangga yang dijodohkan itu kandas begitu saja. Marisa menjadi janda muda diusia tepat 20 tahun, setelah satu tahun lamanya mengarungi rumah tangga yang sama sekali tidak bahagia dan jauh dari kata harmonis.

     Selain perbedaan usia yang jauh 10 tahun, sikap Marisa yang nampak belum dewasa dan masih sangat labil membuat dia lepas tanggung jawab sebagai istri. Marisa pada saat itu masih suka ngumpul bareng teman-temannya dan nonton, sehingga lupa akan kewajiban sebagai serang istri.

     Pemberontakan Marisa dimulai ketika dia dipaksa dijodohkan dengan Raka yang notebene lelaki yang jauh dari tipenya. Marisa tidak suka pada lelaki tua diatasnya kala itu, dia suka dengan lelaki yang tidak jauh beda perbedaan usianya. Itu alasannya kala itu.

     Rumah tangga itupun hanya bertahan satu tahun, setelah Raka merasa menyerah untuk memperjuangkan Marisa yang seperti ABG yang senang ngumpul dan tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.

      "Papaaa, tungguin Tante itu. Aku mau kembali ajak tante itu," rengeknya membuat Marisa tersentak saat mengenang kejadian hancurnya rumah tangga dirinya bersama Raka lima tahun yang lalu. Dia Raka mantan suaminya yang dulu tidak dihiraukan dan disia-siakannya.

     Marisa melihat gadis kecil itu ingin menghampirinya, tapi Raka terlanjur memaksanya kembali ke dalam hotel. Langkah terburu-buru Raka membuat hati Marisa teriris, sebab kejadian di masa lalunya seakan terbayang dan dikuliti lagi. Dia memang bukan istri yang baik kala itu dan Marisa mengakuinya.

     "Cantik betul gadis kecil itu, sepertinya ibu atau istri Mas Raka yang sekarang sangat cantik dan baik. Anaknya juga sangat ramah dan baik," puji Marisa diam-diam tapi dengan hati yang tersayat-sayat. Tiba-tiba sebuah penyesalan menghampirinya, setelah lima tahun menjadi janda muda, Marisa belum terbersit sedikitpun ingin membina rumah tangga kembali. Tapi kini dia dipertemukan kembali dengan mantan suaminya dalam keadaan yang sudah berbeda. Mantan suaminya sudah berumah tangga dengan seorang perempuan yang sangat baik dan cantik tentunya.

     Helaan nafas berat dan sesak kini terdengar, Marisa terbayang-bayang kembali masa lalu dan sorot tajam penuh amarah yang baru saja ditujukan padanya dari Raka mantan suaminya.

     "Maafkan aku Mas Raka, jika masa lalu bersamaku tidak bahagia, semoga rumah tangganya yang sekarang bahagia dan kekal selamanya," doa Marisa tulus di dalam hatinya.

     "Kak Risa, ngapain bengong di sini? Pantesan aku cari di mana-mana tidak ada, rupanya bengong di sini. Emang ngapain, sih, Kak di sini? Nggak kesambet, kan?" heran Marqisa yang tadi pamit boker ke Marisa.

     Marisa sontak memegangi dadanya, jantungnya seakan mau copot gara-gara dikejutkan Marqisa. "Aduhhh, apa-apaan, sih, kamu Qis, ngagetin kakak saja?" protes Marisa pias saking kagetnya. Padahal tadi dia memang sedang melamun membayangkan masa lalu saat berumah tangga dengan Raka yang gagal.

     "Ayo, kita lanjut petualangan kita Kak. Kita ke pantai sebelah sana aja, sambil aku mau minum air kelapa muda di kedai sana. Haus nih," ajaknya sembari berjalan duluan. Marisa mengikuti Marqisa di belakangnya dengan langkah gontai.

     "Ya Allah, siput amat sih Kak jalannya, ayo dong, masa kalah sama ibu-ibu itu yang lari sana lari sini sama pasangannya," komplen Marqisa lagi membandingkan Marisa dengan ibu-ibu di pantai sana bersama pasangannya. Marisa memonyongkan bibirnya tanda tidak senang, sebab sejak tadi adiknya itu ngomel melulu.

     "Lihat, lihat, Kak, itu tuh di sana ada bule, siapa tahu sekarang Kak Risa suka sama yang interlokal. Wuihhh cakep lagi," celoteh Marqisa menunjuk jarinya pada dua orang bule yang sedang menikmati sunset.

     "Qisa, apa-apaan, sih, Kakak itu datang kemari bukan mau cari jodoh, akan tetapi cari hiburan melepas lelah karena bekerja. Kakak sedang tidak minat yang begituan apalagi interlokal. Memangnya telpon seluler, ada lokal dan interlokal," sergah Marisa tidak suka dengan adiknya yang hoby menjodoh-jodohkan tidak jelas.

      "Kak Risa awassss," peringat Marqisa saat sebuah bola pantai milik anak-anak mengenainya dan kena tepat di betisnya. Marisa meringis karena bola pantai itu sepertinya dilempar sangat keras oleh seseorang.

     Marisa menunduk dan meraih bola pantai itu lalu berdiri melihat siapa kira-kira yang bermain bola pantai yang mengenainya.

     "Tanteeee, itu bolaku," teriak seorang anak kecil seraya menengadahkan tangannya meminta bola pantai yang dipungut Marisa.

          "Mas Raka dan anak kecil itu lagi," bisiknya kaget, sejenak Marisa tertegun.

Bab 3 Sebuah Hukuman di Masa Lalu

     Dua buah tangan mungil tengadah dengan wajah imut nan cantiknya ikut mendongak. Dia meminta bola yang kini ada di tangan Marisa. Marisa menurunkan tubuhnya dan berjongkok menyamai tinggi gadis mungil yang tadi sempat ditolongnya saat jatuh ke got.

     "Tante? Ini tante yang tadi menolong aku, bukan?" tanyanya menyakinkan.

     "Betul, tante memang orang yang tadi menolong kamu saat masuk got," jawab Marisa seraya meletakkan bola itu di tangan gadis kecil itu. Jantung Marisa langsung berdegup seketika, sebab dia sudah tahu siapa sebenarnya bapak gadis kecil di hadapannya ini. Setelah bertemu dengannya rasa bersalah di masa lalu seolah menyelinap dalam dada Marisa.

     "Sayanggg, tuh, kan, kalau Papa yang lempar nanti kejauhan dan kena orang lain," sergah suara khas seseorang yang ternyata masih Marisa hafal suaranya.

     "Mas Raka," seru Marisa sambil berdiri dan hendak berbasa-basi sejenak dengan Raka. Namun, Raka segera menarik lengan gadis kecil itu dan pergi begitu saja seperti ingin menghindari Marisa.

     "Kak Risa. Kak Risa masih kenal dengan lelaki itu, kan?" Marqisa tiba-tiba menghampiri dan bertanya dengan memasang wajah heran dan kaget, sebab Marqisa tidak menduga bahwa Kakaknya akan bertemu secara tidak sengaja dengan mantan suaminya lima tahun yang lalu.

     "Papaaaa, aku ingin main bola dengan Tante itu sebelum kita masuk ke kamar hotel," pinta gadis kecil itu sambil merengek dan memaksa Papanya untuk memutar tubuhnya kembali. Marisa dan Marqisa mendengar rengekan gadis kecil itu, keduanya masih di situ berdiri saling pandang.

     "Kita pergi saja Kak, sebelum istrinya datang, aku tidak mau istrinya salah paham terhadap kita terutama terhadap Kak Risa," usul Marqisa was-was. Marqisa takut kakaknya dijadikan korban salah sasaran kecemburuan istri orang karena melihat anaknya dekat dengan perempuan lain. Terlebih sikap Raka yang tidak bersahabat saat melihat Marisa, Marqisa bisa menyimpulkan, mantan suami kakaknya itu masih mengenang pahitnya masa lalu bersama kakaknya, meskipun saat perceraian kakaknya lima tahun yang lalu Marqisa masih ABG, tapi dia sudah paham betul kejadian dan penyebab perceraian itu apa.

     Marisa setuju dengan usuk adiknya itu, mereka mulai membalikkan badan dan melangkah meniggalkan tempat itu.

     "Tanteeee, jangan pergiiiii!" teriak seorang bocah ke arah Marisa dan Marqisa, sudah bisa ditebak itu pasti gadis kecil itu.

     "Tante, kenapa aku panggil kalian pergi begitu saja? Apa kalian tidak suka bermain dengan anak kecil?" ulang gadis kecil itu membuat Marisa dan Marqisa dilanda bingung.

      "Ayo, Sayang, jangan paksa mereka untuk bermain denganmu. Mereka ada kesibukan lain. Apalagi ini sebentar lagi malam, lebih baik kita kembali ke kamar," paksa Raka meraih tubuh kecil itu ke dalam pangkuannya.

     "Tidakkk, aku hanya ingin main sebentar sebelum malam," pintanya lagi. Marisa tidak tega, dia membalikkan tubuhnya dan segera berlari menuju anak kecil itu. Marqisa ingin mencegahnya, tapi tidak keburu.

     "Ijinkan aku sebentar bermain dengan anakmu, Mas. Aku tidak akan menyakitinya," ujar Marisa menatap penuh permohonan pada Raka yang menatap tajam ke arah Marisa.

     "Ayo Tante, kita bermain bola dan pasir. Papa tunggu saja di sini, ya," celotehnya polos seraya berontak dari pangkuan Papanya . Gadis kecil imut yang cantik menggemaskan itu berlari dan memegang jemari Marisa erat seakan takut dilepaskan.

     Akhirnya Marisa dan Marqisa bermain bola dan pasir di pantai itu sesuai keinginan gadis kecil itu. Meskipun Marisa merasa canggung dan malu berada di hadapan mantan suaminya, tapi Marisa berusaha setenang mungkin saat bermain bersama anaknya Raka.

     "Huhhhh, takdir apa lagi yang direncanakan Tuhan sehingga aku dipertemukan kembali dengan mantan istri sok ABG itu. Kenapa harus bertemu dan kenapa Cila tiba-tiba mau dan lengket dengan Marisa?" dumel Raka di dalam hati.

     2Sampai kapanpun Raka akan ingat perlakuan Marisa dulu saat masih menjadi istrinya. Mereka dijodohkan dan tidak ada cinta sama sekali diantara mereka. Namun, Raka sebagai pria yang lebih dewasa dari Marisa kala itu, dia berusaha mencintai dan menerima Marisa apa adanya, tapi tetap saja Marisa yang masih belia saat itu belum juga bisa membuka hatinya dan mencintainya, malah kegiatan sehari-harinya dia habiskan berkumpul dengan teman-temannya, bukan mengurus rumah tangga.

     Mungkin, Raka juga salah telah menerima perjodohan begitu saja dari kedua orang tuanya, berharap silaturahmi antara kedua orangtuanya berlanjut dengan perjodohan mereka. Karena Raka tidak mampu bertahan dengan sikap Marisa yang tidak peduli, akhirnya Raka menyerah dan rumah tangga itu bertahan cuma satu tahun.

**

     Raka masih memperhatikan interaksi antara anaknya dan kedua adik kakak itu begitu akrab. Dan dengan waktu yang terhitung cepat mereka mudah dekat. Raka tahu mungkin Cila sedang merindukan sosok seorang Mama yang selama ini dia rindukan. Wajar saja Cila merindukan sosok seorang Mama, sebab sejak usia Cila dua tahun, Mamanya Cila atau almarhumah istrinya meninggal dunia akibat penyakit leukimia yang menggerogoti tubuhnya.

     Raka sadar betul apa yang dirasakan Cila saat ini, dia merindukan kasih sayang seorang Mama untuk menemani hari-harinya, tapi apa dikata, istri yang dia cintai telah berpulang ke hadirat sang Khalik dan meninggalkan Cila yang masih batita kala itu.

     Sehingga saat ini pun Raka belum mau membuka hatinya untuk perempuan lain, yang jelas sosok Marsela ibu kandung Cila belum bisa digantikan oleh perempuan manapun.

     Jeritan dan celotehan bahagia dari bibir sang anak terus mengalir, Raka melihat betapa bahagianya Cila saat ini menikmati kebersamaan dengan orang asing yang baru saja dikenalinya. Namun Cila seakan sudah sangat dekat dan tidak terlihat canggung.

     "Papaaa, ayo ikut main, sebentar saja," tarik Cila tanpa Raka sadari sebelumnya sehingga Raka tidak bisa menolaknya. Dengan terpaksa Raka berdiri dengan hati yang kesal. Cila terus membawa Papanya ke tengah pemainan lempar bola, dan bagi siapa saja yang tidak bisa menangkapnya, maka akan diberi hukuman yaitu dilumuri pasir di wajahnya.

     Mereka berempat masih bermain dengan rasa canggung yang masih dirasakan Marisa, sedangkan Raka dengan wajah tanpa senyum masih menerima lemparan bola dari ketiga perempuan beda usia itu dengan mulus.

     "Awghhhh," jeritan dari mulut Marisa refleks terdengar saat Marisa gagal menerima lemparan bola dari Raka, sehingga Cila memutuskan menghukum Marisa.

     "Tante gagal terima bola dari Papa, jadi Papa harus menghukum Tante. Karena siapapun yang melakukan kesalahan harus dapat hukuman," celoteh gadis kecil imut itu seakan mengorek kesalahan lama Marisa kepada Raka di masa lalu. Marisa terhenyak dan ingin menghindar, tapi atas kesepakatan tadi terpaksa Marisa harus menerima hukuman itu.

      "Ayo Papa, ambil pasirnya untuk dibalurkan ke wajahnya Tante," ujar Cila memberikan aba-aba. Raka berpikir sejenak dengan perintah gadis kecilnya, haruskah ia melakukan itu? Namun ketika dia ingat masa lalu, sepertinya inilah kesempatan untuk membalaskan sakit hati pada Marisa di masa lalu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!