"Potong saja lehernya!"
"Beri pendosa itu ganjaran yang setimpal!"
"Manusia berhati busuk seperti dia tidak pantas hidup!"
"Jangan biarkan dia hidup!"
"Dasar serigala berbulu domba!"
Gerombolan manusia berkumpul di alun-alun setelah mendengar bahwa hari ini akan diadakan hukuman mati yang dapat disaksikan oleh publik.
Hinaan dan caci maki terus berkumandang kala empat orang prajurit istana dipimpin oleh seorang algojo menyeret gadis ringkih berbaju lusuh membelah lautan manusia yang memberi jalan untuknya naik ke panggung tempat guillotine (alat pemenggal kepala) berada.
Dengan sorot mata yang dipenuhi keputusasaan, gadis itu berjalan maju tanpa mau mengangkat wajahnya. Iris redup biru laut itu hanya mampu menatap langkah kakinya yang gontai.
Malu? Sebenarnya tidak juga. Hingga detik ini dia masih dilanda kebingungan karena sampai hari penghakiman tiba, kesalahan besar macam apa yang telah dilakukan sampai dia pantas mendapat hukuman mati, Itu semua belum terjawab.
Suara sorakan terus terdengar memenuhi alun-alun kota Helldelune. Kalau dipersilakan mungkin orang-orang akan menghujaninya dengan batu.
Gadis itu adalah Quinn de Alger Shuvillian. Putri sulung dari Count Savero de Alger Shuvillian. Ia telah menjadi pelaku percobaan pembunuhan terhadap tunangan Raja baru yang merupakan mantan kekasihnya, yaitu Raiden Vill de Sorrentine.
Dia berdiri sejajar dengan seorang gadis berambut pirang yang berpenampilan anggun bak seorang ratu yang amat sempurna.
"Raiden! Apa yang telah aku lakukan padamu sampai kau tega melakukan ini?!"
Pemuda tampan berwajah baby face itu mengerutkan dahi menatap Quinn dengan hina "kau itu sangat licik. Jadi aku yakin kau tidak bodoh untuk mencari jawaban sendiri."
"Licik?"
Gadis baik seperti dirinya yang selalu mengutamakan kebahagiaan orang lain dan tak pernah berburuk sangka terhadap siapapun itu mana mungkin berpikiran licik hanya untuk mendapatkan tahta.
Quinn dituduh telah meracuni Raja terdahulu yang notabenenya adalah ayah Raiden agar dia cepat naik tahta dan menjadikannya seorang Ratu. Namun ternyata, setelah Raiden menyelesaikan acara pemahkotaan, ia memilih sepupu Quinn untuk dijadikan sebagai calon Ratu.
Karena iri dan usahanya gagal untuk menjadi Ratu, ia dengan tega meracuni minuman sepupunya sendiri saat tengah berkunjung ke rumah untuk meminta restu kepada ayah Quinn.
Kurang lebih begitulah tuduhan yang diterima oleh Quinn malang yang tak tahu menahu soal apapun.
Padahal selama Raiden menggelar acara pertunangan, Quinn sama sekali tak keluar dari rumah. Dia sibuk menangisi lelaki bajingan yang memanfaatkan dirinya untuk menutupi kesalahan yang telah diperbuatnya (Raiden lah yang meracuni ayahnya sendiri).
Quinn terus mengurung diri di kamar sampai akhirnya Penelope, sepupunya, datang berkunjung ke rumah dan menggunakan alasan 'ingin menghibur' kepada sang kepala keluarga untuk memaksa Quinn keluar dari kamar.
Di hari itu jugalah Penelope meminta untuk mengobrol sambil mengadakan pesta teh berdua dengannya. Quinn sendiri tak punya tenaga untuk memikirkan kejahatan apa yang bisa dia lakukan demi balas dendam tetapi tiba-tiba Penelope tergeletak di tanah dan beberapa dayang yang lewat mengetahui itu. Melihat wajah Quinn yang datar membuat mereka berkesimpulan bahwa dialah yang telah berusaha membunuh saudari sepupunya.
"Ayah..ayah tolong aku...aku tidak melakukan semua itu," dengan suara yang parau Quinn memohon pada ayahnya yang juga menghadiri penghukuman nya.
Savero menatap tajam putrinya yang sudah sangat tak karuan wujudnya itu, kebencian terpancar dari sorot mata sang Count yang merasa dirugikan oleh tingkah Quinn. Sekarang namanya tercoreng karena tuduhan atas perilaku buruk Quinn.
Sementara adik bungsu Quinn sama sekali tak bergeming. Dia melempar tatapan yang sama persis dengan ayah mereka. Sejak dulu Killian memang memiliki sifat yang sama persis dengan ayahnya, seseorang yang mudah membenci.
"Sangat mengenaskan." Batin Killian
Killian menatap dingin sosok kakaknya yang sudah di baringkan dibawah lempengan pisau pemenggal. Rambutnya sangat kusut dan gimbal, tubuhnya sudah tampak seperti tengkorak yang hanya berkulit saja. Tulang dan garis pipinya menonjol. Bibirnya amat kering.
"Yang Mulia. Anda bisa memulai penghakiman Lady Quinn."
Penelope yang terus menggenggam tangan Raiden memundurkan langkah lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Dia diajak Raiden untuk secara langsung melihat dari dekat pemenggalan itu "Raiden, aku takut."
"Tenanglah sayang. Kita hanya bisa menyaksikan ini sekali seumur hidup jadi kita harus menikmati pemandangan ini." Balas Raiden sambil mengelus punggung tangan calon Ratu nya.
Mata Quinn memang sudah tidak bisa bekerja maksimal. Namun dia dengan jelas melihat seringai tipis terpatri di bibir sepupunya.
"Aku bersumpah negara ini akan hancur di bawah kepemimpinan Raiden! Dan kalian semua akan sadar seburuk apa sikap Raja yang kalian agung-agungkan itu!"
Raiden tersulut emosi, dia menggeram marah "wanita ini tetap saja ingin mencari masalah dengan keluarga kerajaan." Sinisnya.
Quinn tersenyum. Sebuah senyuman yang menyiratkan kebencian mendalam "jangan cemas. Setelah kematian ku ini, jangan harap kalian bisa mendapatkan kebahagiaan."
Sang algojo langsung melepas tali penahan pisau pemotong dan dalam sekejap mata, kepala Quinn sudah terlepas dari tubuhnya.
Darah mengotori tanah alun-alun yang menjadi saksi kematian Quinn, sosok yang di kambinghitamkan oleh Raja dan calon Ratu negara ini.
"Gantung tubuh dan kepalanya di pintu masuk kota agar semua orang tahu siapa saja yang berani mencari masalah dengan keluarga kerajaan akan bernasib sama." Titah Raiden kepada para pengurus jasad Quinn.
akhir yang Ironis bukan?
**Pengenalan Karakter: Part 1
Quinn de Alger Shuvillian (17 tahun**)
2. Savero de Alger Shuvillian (37 tahun)
3. Killian de Alger Shuvillian (15 tahun)
4. Penelope Van Marchetti (18 tahun)
5. Raiden Vill de Sorrentine (18 tahun)
6. Finn Han Blackbird (20 tahun)
7. Bastien Lombardia (70 tahun)
8. Izeqiel de Sylvestria (18 tahun)
9. Iryssa de Sylvestria (15 tahun)
10. Dietrich Carl Veretty (19 tahun)
11. Julien Bianchi (19 tahun)
12. Rupert Khieldinh (20 tahun)
13. Vincent Van Marchetti (40 tahun)
14. Floyd Barclayn (19 tahun)
15. Jean Dvorack (20 tahun)
16. Lin Hwa
17. Christian de Santis (18 tahun)
"Urgh..!"
Erangan kesakitan terus terdengar dari sebuah kamar paling pojok di lantai dua dalam mansion keluarga Shuvillian.
"Akh! Tidak!"
Teriakan yang sama terus menggema dari kamar itu.
Seorang wanita berseragam maid yang pagi ini sedang bertugas membersihkan kamar tersebut merasa cemas usai melihat keringat dingin membanjiri tubuh langsing gadis yang terbaring di atas ranjang tersebut.
Kedua tangan lentik itu dengan kuat meremas sprei kasurnya yang sudah amat lusuh. Wajahnya kian memucat bersamaan dengan tubuhnya yang terus menggeliat liar seakan sedang berusaha kabur dari mimpi buruk yang amat menyiksa.
"Lady? Lady, bangunlah."
Dengan hati-hati wanita itu mengguncang tubuh majikannya.
"T-tolong..." Rintihannya terdengar begitu pilu dan penuh keputusasaan.
Berkali-kali coba dibangunkan pun gadis muda tersebut masih memejamkan mata enggan untuk terbangun dari mimpi buruknya.
"Lady! Lady Quinn, bangunlah!"
Terpaksa ia mengeraskan suaranya agar gadis malang tersebut bisa mendengar dan lekas sadar dari siksaan mimpi berkepanjangan itu "Lady!"
"Aaarrghh!"
Pekikan Quinn membuat sang pelayan terlonjak kaget. Quinn langsung duduk tegap sambil menendang keras selimutnya hingga terjatuh dari ranjang. Tangannya dengan tidak sabaran bergerak meraba leher bersihnya seperti orang ketakutan.
"...."
Dadanya kembang kempis tak beraturan. Nafasnya tersengal-sengal seakan dirinya baru saja berlari sejauh lima kilometer tanpa henti. Matanya terbuka lebar, "Aku masih hidup...?" gumamnya penuh tanda tanya.
Pelayan yang diketahui bernama Vanna itu mengernyit bingung, "Lady, Anda baik-baik saja? Sepertinya Anda mengalami mimpi buruk lagi."
Vanna nampak cemas melihat gelagat Quinn yang lebih parah dari biasanya. Gadis manis berusia tujuh belas tahun itu terus menanyakan apakah dirinya masih hidup atau ini hanyalah mimpi. Ditambah, Quinn terus menampar pipinya dan mencubit punggung tangan nya sendiri untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi.
"Lady? Lady dengarkan saya sebentar." Quinn melirik Vanna, tatapan tak percayanya membuat Vanna semakin mencemaskan kesehatan gadis itu, dia berkata sambil mengelus tangan Quinn, "Sebaiknya Anda segera diperiksa oleh dokter yang ada. Tampaknya gangguan tidur yang Anda alami semakin memburuk."
"Vanna, kau kah itu?" bukannya mendengar, Quinn justru fokus pada hal lain. Quinn menyentuh kedua pipi Vanna, mencubit pelan kedua pipi pelayan wanita itu memastikan. "Vanna!" Wanita yang diketahui bernama Vanna itu terkejut kala Quinn mendekapnya dengan sangat erat.
Quinn menatap sekelilingnya dengan tergesa, "Aku harus memastikan sesuatu!"
Quinn berlari turun dari kasur empuknya menuju kaca besar setinggi dirinya di dekat lemari pakaian. Ia pun mematut dirinya di cermin, "Aku masih utuh, kepalaku masih ada...apa yang sebenarnya terjadi?" otaknya tidak bisa bekerja cepat saat tubuhnya sendiri masih dengan jelas mengingat rasa sakit bilah pisau menembus lehernya. Quinn masih ingat betul bagaimana dia mendengar bunyi tulang lehernya patah terbelah.
Vanna menghela nafas melihat tingkah Quinn yang agak lain dari biasanya, "Dia tidak mendengarkan ku".
"Apa yang dia gumamkan sejak tadi? Hidup? Dia seperti baru saja kembali dari kematian." Lirihnya seraya melanjutkan acara bersih-bersih kamar yang sempat tertunda beberapa menit lalu.
"Apa yang terjadi padaku?" Quinn melihat ada yang berubah dari dirinya setelah terbangun.
Ya. Matanya. Muncul corak yang tidak biasa di manik biru pudarnya itu, sebuah corak coklat keemasan layaknya daun berguguran yang menghiasai tanah pijakan di musim gugur.
Quinn berlari ke jendela besar yang mengarah ke balkon kamar, "Ini rumahku. Aku kembali? Tapi bagaimana bisa aku kembali ke sini?"
Kebingungan masih menghujam dirinya tak henti-henti. Pening di kepala tak ia rasakan asal semua pertanyaannya lekas bertemu dengan sebuah jawaban.
Quinn sadar betul. Seperti yang dikatakan Vanna sebelumnya, Quinn memang memiliki gangguan tidur. Dia seringkali terbangun, tidur sambil berjalan, bermimpi buruk, atau mengalami insomnia parah hingga beberapa hari ia terus terjaga.
"Mimpi ini terlalu menyakitkan untukku."
Namun kali ini rasanya berbeda. Jika itu mimpi, rasanya terlalu lama. Jika itu sungguhan hanya bunga tidur, mengapa rasanya begitu nyata? Sensasi dingin pisau yang melesak masuk melalui tengkuk leher hingga memisahkan kepala dari tubuhnya masih terekam jelas di otaknya. Bahkan rasa nyeri parah saat pisau itu secepat kilat jatuh kepadanya juga masih tertancap dalam di memori.
Brak!
Pintu kamar Quinn dibuka kasar oleh seorang pemuda berambut hitam dengan mata besarnya yang menawan "Apa yang kau lakukan?! Kau membuat ayah menunggu lama!" Bentaknya marah pada pertemuan pertama mereka di pagi ini.
"Killian...?"
"Kami tak punya waktu untuk bersantai seperti kau, kak. Jadi jangan seenaknya membuat orang lain menunggu. Kami membuang-buang waktu hanya untuk seseorang seperti dirimu." Ujarnya dingin tak berperasaan, dia tidak peduli dengan penampilan kakaknya yang kacau.
Quinn tidak heran. Sejak dulu memang seperti itulah sikap Killian terhadap kakak kandungnya sendiri. Killian mewarisi hampir sempurna menyalin sikap ayahnya, Savero de Alger Shuvillian.
"Ya, aku tahu."
Mengingat betapa tidak pedulinya Killian terhadap dirinya saat itu membuat Quinn merasa sedih dan kesal. Melihat wajah adiknya saat ini masih melempar tatapan yang sama dinginnya membangkitkan rasa kecewa dalam relung hati Quinn. Sebegitu tak pedulinya kah ia dengan anggota keluarga sendiri?
"Jangan membebani kami dengan keegoisanmu."
Brak!
Lagi-lagi pintu kamar Quinn yang jadi korban pelampiasan. Langkah pemuda itu terdengar mulai menjauh tidak lama setelah dia membanting pintu tak bersalah.
Quinn lantas menghampiri Vanna yang masih membersihkan meja, "Vanna, aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu".
"Ya, Lady. Tanyakan saja, saya akan menjawab sesuai dengan pengetahuan saya."
"Berapa umurku sekarang?"
"Ya..? A-Anda lupa dengan usia Anda sendiri?" Alis Vanna mengkerut heran.
Quinn segera menangkap arti tatapan Vanna. "Ah tenanglah, Vanna. Aku tidak separah itu, aku hanya lupa saja. Belakangan ini aku merasa ada banyak sekali yang mengganggu pikiran." kelihatannya alasan Quinn tetap membuat Vanna cemas.
"Sekarang usia Anda sudah tujuh belas tahun, Lady."
"Aku kembali ke tiga tahun yang lalu," batin Quinn. Iris nya yang unik terpejam berusaha fokus, "Apakah itu mimpi? ataukah itu penglihatan tentang masa depan?" Quinn tidak pernah berpikir dia bisa menjadi seorang cenayang yang bisa melihat masa depan.
Dalam kebingungan, Quinn tetap bergerak bersiap-siap mengganti pakaian.
Beberapa menit kemudian Quinn selesai bersiap dan datang ke ruang makan yang di mana adik dan ayahnya sudah duduk di kursi masing-masing tanpa menyentuh sendok dan garpu di hadapannya.
Quinn duduk di samping kanan Savero. Pria bercitra dingin itu menatap putri sulungnya tanpa ekspresi. Savero tidak pernah memarahi anak-anaknya jika mereka tidak membuat kesalahan, tetapi Quinn menjadi tegang tatkala wajah marah ayahnya sebelum dia dipenggal terlintas dalam benak. Jujur saja, itu membuat Quinn menggigil takut.
"Kau datang terlambat." sepenggal kalimat Savero mampu membuat gadis berwajah manis itu bergidik ngeri.
Quinn menegang mendengar suara datar milik Savero "Maafkan atas ketidaksopanan saya, ayah." kepalanya tertunduk dalam.
"Aku dengar kau mengalami gangguan tidur lagi."
Quinn melirik wajah tenang Savero. Dia tidak tahu ayahnya punya waktu untuk bertanya mengenai keadaan putrinya, "Ah, ya benar."
"Aku sudah menyuruh Aston untuk memanggilkan dokter. Setelah sarapan temuilah dia segera." titah sang Count Shuvillian.
Meski terkesan datar, tetapi Savero tetap memperhatikan putri sulungnya itu. Sisi inilah yang membuat Quinn merasa takut. Takut akan mengecewakan atau melukai Savero, karena sekali saja berbuat kesalahan Savero tidak akan mentolerirnya sekecil apapun itu.
Sifat ayahnya berubah setelah kematian istri tercintanya, Sirena, tepat setelah Killian resmi berusia lima tahun. Kini Killian sudah menginjak usia 15 tahun yang artinya sudah 10 tahun semenjak sepeninggal sang Countess kesayangan.
"Baik. Terima kasih, Ayah."
Hanya bunyi dentingan piring dan garpu yang saling beradu yang menggema dalam besarnya ruang makan keluarga Shuvillian. Tak ada yang bercakap-cakap, semua fokus pada piring masing-masing. Itulah salah satu etika dalam kelas bangsawan.
Setelah sarapan selesai semua lantas pergi menuju tujuan masing-masing. Keluarga yang tidak hangat memang. Semua pelayan juga tahu mereka bertiga akan berinteraksi ketika perlu.
Quinn hendak kembali ke kamarnya lagi untuk merenungkan semua yang terjadi kepadanya tetapi Killian menghalangi jalan, "Kau mau kemana?"
Quinn mendongak memandang wajah putih pucat adik bungsunya, "Aku mau ke kamar."
"Kau punya kelas dengan Finn."
"Aku tahu. Aku belum pikun."
Quinn berlalu pergi tanpa menghiraukan Killian lagi. Pemuda berwajah manis nan tegas itu mengerutkan dahi. Dirinya dilanda oleh kepelikan gadis yang biasanya ceria itu, "Ada apa dengannya?" ia memutar kepala menatap punggung kakaknya yang mulai mengecil.
Tangan Killian mengepal. Dia berpikir Quinn sedang mencoba mencari lain untuk menarik perhatian dari Savero dan dirinya karena Quinn tak pernah dihiraukan meski dia berbuat baik sekalipun.
Quinn mengubah tujuan. Ia pergi ke taman belakang rumahnya untuk memikirkan kembali apa yang terjadi padanya. Berdiam diri di kamar akan membuatnya merasa semakin terbebani.
Tak ada siapapun di sana. Sepi tak berpenghuni. Hanya ada hamparan rumput terawat dan puluhan jenis bunga berdiri di sana seolah siap menemani Quinn untuk berpikir dalam.
Dulu taman ini sepenuhnya tanggung jawab Sirena. Dia sangat suka menanam bunga, baginya mencium aroma tanah bisa menenangkan pikiran dan hati sehingga Savero sengaja menyediakan lahan khusus untuk istrinya. Sekarang semua diserahkan pada tukang kebun keluarga mereka.
"Tidak ada yang sadar dengan mataku, apa hanya aku yang mampu melihatnya?" Semua orang memberi respon yang biasa saja seperti tak ada yang aneh terjadi pada dirinya.
"Masa bodoh dengan mata ini. Bagaimana aku bisa kembali ke sini?" Tidak masalah jika Quinn terbebas dari kematian yang tragis. Tapi yang membuatnya penasaran adalah alasan dibalik kembalinya ia ke masa lalu.
Apakah Tuhan ingin memberinya satu kesempatan lagi untuk hidup demi diri sendiri?
Ia terus terbayang bagaimana Raiden dan Penelope berbahagia atas kematiannya dan berpesta pora untuk merayakan kemenangan keduanya. Mereka seperti seakan baru saja mendapat anugerah besar dari seluruh dewa di langit.
Dulu, Quinn berpikiran sederhana dan polos, dia terlalu naif untuk mengetahui niat terselubung keduanya. Raiden memanfaatkan kedekatan Quinn dengan Raja untuk dapat cepat merebut tahta walau memang dialah putra mahkotanya. Sedangkan Penelope memanfaatkan dirinya agar dia bisa terlihat lebih bersinar dari Quinn dan merebut semua apa yang dimilikinya.
Tangan Quinn meremas roknya dengan kuat guna menyalurkan amarah setelah mengingat wajah mereka berdua.
"Aku tidak akan berakhir menyedihkan seperti yang kalian inginkan!" Geramnya marah.
Dari kejauhan Killian terus memperhatikan ekspresi kakaknya. Dia berdiri bersama dengan seorang lelaki yang merupakan guru sejarah bagi Quinn. Laki-laki tersebut memang guru pilihan Killian.
"Sudah ku duga ada yang aneh dengannya." Gumam Killian, kedua alisnya bertaut ketika melihat ekspresi marah Quinn dari kejauhan.
Pemuda tampan dengan penutup mata itu melirik pemuda di sebelahnya, dia mengulum tawa, "Pfft. Yang Mulia, Anda juga aneh. Tidak biasanya ada sepeduli itu dengan kakak Anda sendiri."
"Diamlah." sinisnya.
"Hahaha maaf, saya terbawa suasana. Ini sangat menarik," kekehnya sambil memandang lurus ke depan— tepatnya ke arah paviliun tempat Quinn sedang duduk bersantai, "Jadi? apa yang Anda ingin saya lakukan?"
"Awasi dia baik-baik. Laporkan semua tentang nya setelah kelasmu berakhir. Mengerti?" tersirat sebuah ancaman dalam perintah Killian.
Lelaki bernama Finn itu mengangguk santai "Baik, baik, saya mengerti." dia kemudian mengangkat bahu ringan tak mau ambil pusing. "Seperti biasa Anda ini terlalu serius. Tidak lama lagi Anda bisa kelihatan 40 tahun lebih tua."
"Kau ini cerewet sekali. Aku ingin merobek satu matamu yang tersisa." Killian mengangkat sedikit pedang nya.
"Oops! Maaf, Yang Mulia. Saya akan diam sekarang" ia memperagakan gerakan meresleting mulut di depan mulutnya sendiri.
Quinn mengangkat wajah saat ekor matanya menangkap sebuah bayangan seseorang berjalan mendekat. Ia tak berekspresi ketika melihat Finn datang menghampiri, pemuda berusia dua puluh tahun yang menjadi pengajarnya dalam sejarah Ethereal.
Sebelumnya, Quinn tidak lama belajar dengan Finn. Setelah tahu bahwa Quinn menjalin hubungan yang spesial dengan Raiden, Finn memutuskan berhenti mengajar dengan alasan Quinn sudah memiliki semua dasar-dasar sejarah negara yang bisa menjadi bekal untuknya ketika menjadi ibu negara ini suatu saat nanti.
Di hari yang sama Finn memberikan sebuah kenang-kenangan berupa lukisan air terjun sebagai tanda perpisahan mereka. Setelah itu Finn pergi menjadi seorang pengembara yang tak pernah menetap disuatu tempat sehingga keberadaannya sulit dilacak.
Sosoknya yang ceria sama seperti Quinn (yang dulu) menambah kesan misterius pada Finn. Dia sama sekali tak pernah menunjukkan perasaan apapun selain sembrono dan suka bermain-main. Tapi yang pasti Quinn sadari setelah kembali dari kematian adalah Finn memiliki perasaan yang tulus kepadanya.
Pemuda riang dan murah senyum itu melambai tinggi-tinggi pada Quinn "Yo, Lady. Apa kabar? Kelas kita akan segera dimulai. Bisakah kita ke perpustakaan sekarang juga?"
"Ya."
"Huh?" Matanya mengerjap beberapa kali dengan cepat. Otaknya berusaha memproses sesuatu.
Finn mematung ditempat ketika Quinn memberikan respon yang berbeda dari kemarin. Dia sekarang terkesan mirip dengan ayah dan adiknya. Quinn tidak menyapanya balik atau menanyai kabarnya seperti biasa, "O-oh, ya.. baiklah, mari kita pergi."
"Apa suasana hatinya sedang buruk?" Tanya Finn dalam hati.
"Maaf, kak."
"Hm? Kenapa?"
"Bisakah kita belajar di perpustakaan umum saja? Aku ingin mencari buku yang tidak ada di rumahku."
"Oh begitu? Aku tidak keberatan."
"Terima kasih."
Dan sekarang Quinn hanya akan berbicara ketika ada perlu . Mulutnya tak berniat mengucap sepatah kata pun apalagi menyunggingkan senyum, kalau tidak terdesak oleh suatu keadaan. Finn berpikir gadis ini sudah mulai depresi dan tidak bisa lagi menyembunyikan stress nya dengan menjadi sosok yang periang.
Berjalan-jalan memang menjadi salah satu opsi terbaik untuk mengobati rasa gundah yang membelenggu. Melihat pemandangan kota yang damai menjadi penyelimur hati Quinn. Setidaknya ada rasa begitu, sebelum dia mengingat apa yang terjadi di kehidupan sebelumnya.
Quinn menatap kumpulan manusia yang berlalu lalang. Gadis cantik bermarga Shuvillian itu masih ingat betul bagaimana semua masyarakat setuju untuk memberinya hukuman mati.
Tatapan kebencian serta cacian yang mereka lontarkan seolah belum cukup untuk menyalurkan semua kemarahan yang mereka rasakan. Sedangkan Quinn menerima hukuman yang tidak pantas dia terima.
Seketika tubuhnya bergidik merinding mengingat momen di mana ia dianggap seperti kotoran menjijikkan yang tak pantas hidup.
Finn yang menyadarinya segera bertanya, "Kau baik-baik saja?".
Quinn mengangguk kecil "Ya".
Pemuda itu tidak memerlukan penjelasan panjang lebar untuk tahu suasana hati gadis bertubuh mungil disebelahnya. Dia lantas mengetuk bahu mungil Quinn menggunakan jari telunjuknya, "Mau ke sana sebentar? Aku tidak sempat membuat sarapan karena bangun terlambat."
Kalau itu Quinn yang dulu, pasti dia sudah mengiyakan dengan antusias, lalu mengobrol tentang banyak hal tak penting untuk menghidupkan suasana selama diperjalanan menuju restoran. Sayangnya Finn tak akan mendapatkan momen itu lagi mulai dari sekarang.
Jawaban singkat Quinn membuat pemuda itu mati kutu. Apa aku membuat kesalahan? dia seperti tidak menyukaiku, pikir Finn kebingungan.
Mereka duduk di bagian luar kedai yang mana tersedia payung besar untuk melindungi mereka dari sinar matahari agar tidak silau.
Finn memesan dua pancake madu untuknya dan juga Quinn. Netra amber yang bening itu fokus pada objek yang duduk tenang di hadapannya. Finn duduk sambil menumpu dagu, "Kau bisa ceritakan apa saja padaku kalau kau mau. Aku penjaga rahasia terbaik se-Helldelune ini."
Quinn melirik Finn lewat ekor matanya, "aku tidak punya sesuatu untuk diceritakan." jawabnya pendek kemudian fokus lagi menghadap jalanan. Melamun tampaknya bukan ide buruk.
Finn tadinya menahan diri untuk tidak menanyakan apapun, tapi mulutnya sangat gatal ingin memberitahu apa yang dia rasakan. "Kau tahu, kau hari ini bersikap agak aneh".
Quinn terkesiap. Ia mendengus pelan lalu menatap dengan benar lawan bicaranya, "Aneh?" ulang Quinn memastikan pendengaran.
"Ya. Kau tahu, kau tidak aktif seperti biasanya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?" Quinn tidak langsung menanggapi pertanyaan Finn, "Ah, aku tahu. Kau pasti memikirkan kenapa sikap adikmu belakangan ini semakin buruk."
"Kenapa kau bisa beranggapan begitu?" Quinn tertarik mendengar pendapat dari sudut pandang Finn sebagai guru yang sudah jelas setiap hari berinteraksi dengan anggota keluarga Shuvillian.
"Yah, siapapun juga akan sadar kalau hubungan persaudaraan kalian tidak baik. Sebenarnya apa yang memulai hubungan kalian jadi seperti ini?"
"Sejak dulu kami seperti ini."
"Bingo!"
Satu alis Quinn terangkat, dia tidak mengerti maksud Finn. "Apa?" tanyanya menggambarkan seluruh kebingungannya.
Finn memakan pancake nya dalam gigitan besar. Sengaja ia memakan potongan besar dan tak melanjutkan ucapannya agar Quinn menunggu dan tetap fokus kepadanya.
Dahi Quinn berkerur, lalu ia memilih membuang muka. Menjadikan Finn sebagai teman cerita itu tidak buruk, tapi keraguan masih menyertainya. Dia sendiri saja belum menemukan jawaban. Paling juga dia akan dianggap tidak waras kalau dia baru saja kembali hidup.
"Kau yang aku kenal pasti akan banyak bicara, menjelaskan semuanya dengan detail atau bahkan sampai membela habis-habisan soal adikmu dan tak sedikitpun mengurangi kadar senyuman mu. Hari ini kau jadi kelihatan seperti orang yang sedang sakit." pungkas Finn tanpa ragu.
"...."
"Baiklah. Hari ini aku biarkan kau bolos kelas."
"Kenapa?"
"Akan ku temani kau berjalan-jalan saja. Kau pasti butuh udara segar, 'kan? kau tidak pernah sekalipun memintaku mengajarimu di perpustakaan umum sebelumnya."
Sial. Menyembunyikan sesuatu dari Finn nampaknya akan menjadi hal yang sia-sia. Jika Quinn tidak berhati-hati dalam bertindak atau bertutur kata, pemuda bermata satu ini pasti akan mengetahui hal baru.
"Aku bisa melakukannya sendiri."
Quinn beranjak dari kursi. Ia melangkahkan kaki dengan lebar "H-hei, Lady! kau mau kemana? pancake mu bagaimana?"
Berkali-kali Finn menyebut namanya tapi Quinn memilih bersikap layaknya tunarungu demi terbebas dari pertanyaan-pertanyaan Finn yang membuatnya semakin stress.
Quinn sudah berjalan cukup jauh dan belum ada tanda-tanda kemunculan Finn di belakang. Kemudian gadis berambut panjang itu beranggapan bahwa Finn akan lama mencari dirinya. "Syukurlah dia belum mengejar".
Quinn berjalan menyusuri jalanan kota seorang diri. Tidak akan ada yang berubah sampai tiga tahun ke depan, semua tetap sama baik bangunan maupun lingkungannya. "Aku akan hidup dengan baik mulai sekarang, " gumam Quinn meneguhkan hatinya.
"Tidak masalah jika mereka mengetahui sikap ku yang berbeda, aku tidak akan jadi se-lugu Quinn yang dulu."
Tangannya mengepal erat kala bayang-bayang wajah bengis Raiden kembali terlintas dalam benaknya.
Segalanya sudah Quinn korbankan hanya untuk membuktikan cintanya yang teramat besar untuk Raiden tetapi yang ia dapat sebagai imbalan hanya sebuah pengkhianatan keji yang berujung pada kematian.
"Oh, Quinn? Kau kah itu?"
Suara itu menginterupsi acara renungan dadakan Quinn. Dia memekakan kedua telinganya. "Quinn, apa yang sedang kau lakukan di sini?". Quinn sangat mengenali suara itu. Tubuh Quinn membeku. Lehernya terasa sangat kaku hanya sekedar digerakkan untuk memutar kepala, "Ada apa? kenapa kau diam saja?"
Gadis tersebut berpindah ke hadapannya supaya bisa dilihat baik-baik oleh Quinn, dia tersenyum ramah "Hei, kenapa kau bengong? Ini aku, Penelope."
Rasa amarahnya telah memuncak hingga ke kepala ketika wajah itu muncul di depan mata sambil memasang senyum tanpa dosa. Quinn sangat ingin mengutarakan seluruh kemurkaannya dengan memaki. Kedua tangannya mengepal erat hingga urat-urat nya menimbul. Rahangnya mengeras.
"Quinn?" Penelope mengerutkan dahi bingung, "kau baik-baik saja?".
"Kenapa kau ada di sini?" Gadis bersurai blonde itu terkejut. Bukan karena pertanyaannya tetapi karena nada bicara Quinn yang serius. Tidak ada senyum di wajah manisnya barang hanya sedetik saja.
Quinn yang ia tahu memiliki sifat lembut, tiap kali berucap nada bicaranya selalu mengalun indah memasuki rongga telinga pendengarnya. "Quinn, kau sedang marah?" tanya gadis cantik nan anggun itu penasaran.
"Ah tidak, aku hanya terkejut karena kau tiba-tiba muncul di sini. Biasanya Killian akan terus membicarakanmu seharian kalau kau berencana akan datang." Mendengar hal itu Penelope terkekeh sambil menutupi mulut dengan anggun layaknya bangsawan wanita yang memperhatikan baik-baik setiap sikapnya saat berada dihadapan orang lain.
"Aku kesini untuk mengantar pesanan," gadis cantik itu mengangkat keranjang anyaman berisi beberapa buket bunga yang terangkai dengan rapi dan indah. "Setelah selesai aku akan mampir menemui Killian dan paman Savero. Sampai jumpa, Quinn~"
"Ya."
Gigi Quinn bergemeretak, kedua tangannya mengepal erat. Nafasnya berpacu dengan cepat akibat dari amarahnya yang tertahan.
Quinn amat sangat ingin menampar Penelope terlebih ketika gadis itu memamerkan senyumnya yang menjengkelkan. Selalu seperti itu.
"Aku hampir saja membogem wajah menyebalkannya itu," lirih Quinn yang kemudian berinisiatif untuk mengikuti kemana Penelope pergi.
Penelope Van Marchetti. Dia adalah sepupu Quinn, ayahnya adalah kakak dari ayah Quinn. Mengapa nama marga mereka berbeda? Itu terjadi karena mereka (Savero dan kakaknya) memilih membangun keluarga sendiri dan memecah diri dengan ayah mereka yang merupakan Grand Duke bermarga Lombardia.
Tidak ada satupun dari dua bersaudara itu yang memiliki niat melanjutkan tugas Bastien Lombardia sebagai seorang Grand Duke di kerajaan Ethereal ini.
Mereka memutuskan keluar dari mansion Bastien dan membuat marga baru sekaligus membeli status kebangsawanan mereka sendiri. Vincent dengan pangkat Viscount dan Savero dengan pangkat Count nya.
Penelope memang tak kalah cantik dari Quinn. Bahkan gadis itu memiliki proporsi tubuh yang sempurna, wajah yang cantik berkelas, serta mempunyai kulit yang bersih. Tanpa usaha apapun Penelope tetap akan menjadi sorotan para lelaki.
Sayangnya gadis itu sangatlah egois dan licik. Dia pandai menyembunyikan niat jahatnya dibalik wajah menawan nan lugu itu.
Quinn baru sadar bahwa selama ini keceriaan Penelope didasari ingin merebut apa yang Quinn miliki. Saat tahu dengan keceriaan dan kelembutan Quinn mampu menarik banyak perhatian, di situlah Penelope bersikap seolah mereka sama dan berusaha merebut perhatian dari orang-orang di sekitar Quinn.
Selama ini Quinn mengira Penelope memang se-lugu dirinya. Quinn selalu merangkulnya. Setiap kali Quinn bertemu dengan teman laki-lakinya, Penelope dengan sengaja mencuri perhatian mereka, membuat mereka hanya terfokus kepadanya dan membiarkan Quinn diacuhkan. Tetapi Quinn tidak menyadarinya dan malah dengan tidak tahu malunya dia terus mencoba tetap ikut mengobrol meski diacuhkan.
"Aku tidak akan mengulangi kebodohan ku."
Penelope terlihat berjalan dengan enteng, menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya, terkadang dia memberi permen kepada anak-anak yang sedang bermain di dekatnya.
Tidak heran jika seluruh masyarakat menginginkan Penelope yang menjadi Ratu bagi mereka.
Gadis berambut sebahu itu masuk ke dalam toko bunga langganan para bangsawan untuk mengantar pesanan buket. Quinn tak dapat mendengarkan apa saja yang dia bicarakan di dalam namun Penelope segera keluar setelah mendapatkan bayaran.
Quinn masih bersembunyi dengan baik, mengekori kemana pun kaki Penelope melangkah.
Sesayang itu Quinn pada Penelope hingga membiarkannya berteman dengan orang-orang yang dikenali Quinn. Namun semudah itu pula Penelope membuangnya, merebut kekasih yang ia cintai mati-matian, bahkan membuat Quinn sampai harus dihukum mati karena tuduhannya.
Penelope dan Raiden baru saling bertemu tepat sehari setelah putra mahkota itu resmi menjalin hubungan dengan Quinn sebab Quinn sendirilah yang ingin memperkenalkan kekasihnya kepada semua orang agar mereka tahu bahwa Raiden, lelaki yang dia cintai, telah berhasil ia dapatkan.
Lagi-lagi kekecewaan Quinn memuncak. Tunggu— mengapa Penelope masuk ke dalam gang sempit setelah mengecek tidak ada siapapun yang memperhatikannya? "Ada yang tidak beres. Atau jangan-jangan dia ingin bertemu dengan seseorang?".
Sepupu Quinn masuk ke dalam sebuah toko kecil yang hanya memiliki papan nama bertuliskan huruf kuno di atas pintunya "Aku baru tahu ada toko semacam itu di sana."
Itu berlangsung lebih lama ketimbang saat Penelope mengantarkan pesanan bunga. Quinn harus menunggu selama lima belas menit lamanya sampai Penelope akhirnya keluar dengan muka masam seraya menghela nafas gusar.
Meski hanya sekilas netra uniknya itu bisa melihat Penelope memasukkan sebuah botol kecil ke dalam saku roknya sebelum meninggalkan gang sempit nan sunyi itu.
Quinn bergegas berlari ke arah bangunan lain. "Lady, kau sedang menguntit siapa?" Quinn terlonjak kaget ketika mendengar bisikan di dekat telinganya padahal tadi tak ada siapapun di sana.
"Kak Finn. Kau membuatku terkejut!"
"Maaf, aku tidak sengaja, " Finn ikut-ikutan menjulurkan kepala penasaran pada apa yang sedang muridnya amati, "Siapa yang sedang kau ikuti?".
"Bukan urusanmu".
Finn lagi-lagi dibuat keheranan dengan sikap dingin dan ketus Quinn.
"Kak aku ingin meminta tolong".
"Hm? Tolong apa?"
"Aku ingin pergi ke sana," tunjuknya ke toko yang terletak di gang sempit itu.
"ke sana? Memangnya kau sakit?"
"Sakit?"
"Itu adalah toko obat. Berbeda dari toko yang lain, dia bisa membuat obat yang sangat mujarab. Bahkan dia bisa membuatkan obat pesanan untuk penyakit tertentu yang tidak tabib ketahui."
"Oh, begitu."
Finn menyunggingkan senyuman tipis, "Tapi kalau kau mau tetap melihat isi dalam tokonya, aku akan mengantarmu."
"Kau mau mengantarku?"
Seringai jahil Finn timbul. "Ya. Kau sangat penasaran dengan isi tokonya atau dengan si penjualnya?"
"Apa?" Quinn menautkan alis tak mengerti. Mengenai keberadaan tokonya saja dia baru tahu, "Memangnya ada apa dengan pemilik tokonya?"
Finn menaikkan intensitas senyumannya, matanya yang menyipit menandakan dia tengah menggoda Quinn, "Ohohoho jadi kau sungguh penasaran?"
Quinn merengut kesal "Jangan bercanda. Aku bisa menamparmu sampai kepalamu berputar dua kali." Sinis nya.
"Oh kau barusan.. sungguh mengatakan itu?" tidak dibalas pun Finn bisa tahu jawabannya dari mimik gadis berwajah manis itu, "Aku ini gurumu, dan kalau kau lupa aku juga lebih tua darimu, tahu."
Quinn anak yang sangat sopan, dia selalu ramah, dan nyaris tak pernah marah atau kesal. Sekarang Quinn secara terang-terangan mengungkapkan kekesalan dan cara bicaranya pun berubah. Dia jadi mirip sekali dengan adiknya.
"Ekhem!" Finn membersihkan tenggorokannya terlebih dahulu, "Jadi, pemilik toko itu adalah orang yang luar biasa."
Finn pun memimpin jalan. Quinn menatap punggung pemuda yang lebih tinggi darinya itu "Sepertinya dia sering datang kemari, langkahnya sangat santai" batinnya.
Tiing tiiing tiing
Bunyi bel pintu berdentang nyaring setelah Finn membuka pintu toko yang sepi pengunjung tersebut.
Tidak ada satupun pelanggan. Aroma obat-obatan dan ciri khas akar tanaman yang baru ditumbuk menyeruak masuk ke dalam indera penciumannya , Ah menciumnya saja sudah membuat kepalaku pusing." Quinn mengibaskan tangannya didepan hidung.
"Tian, aku datang. Kau dimana?"
Finn berlagak seperti dialah pemilik toko tersebut. Bahkan dia tidak sungkan untuk masuk ke dalam bagian kasir dan mencari sosok pembuat obat mujarab itu.
"Duduklah di sana dulu."
Finn menunjukkan kursi yang tersedia di dekat pintu. Quinn lantas mengangguk dan menerima saran dari guru sejarahnya.
Dua menit berselang seseorang muncul dari pintu yang berada di dekat kasir. Dia membawa sebakul tanaman kering hasil penjemuran selama beberapa hari.
Matanya terbelalak begitu tahu ada orang lain di dalam tokonya "Finn?! Kau mengagetkanku saja."
"Hai. Sibuk seperti biasanya, huh?" Sarkas Finn. Seringai merendahkan itu tentunya hanya dapat ditunjukkan kepada orang yang sudah sangat dekat, kalau tidak maka tidak seharusnya lawan bicara Finn tetap santai menanggapi ledekan itu.
Dimata Quinn interaksi mereka terlihat aneh. Orang yang sudah berjanggut putih panjang tidak mungkin tidak marah apabila anak muda mengajaknya bicara dengan bahasa sepantarannya.
"Kak, bukankah kau bersikap sedikit kurang ajar?" tanya Quinn dengan nada pelan.
"Huh? Dia ini hanya sedang menyamar."
Pria berjanggut itu tersenyum hingga kedua matanya mengecil. Seperti yang dikatakan Finn, itu hanyalah penyamaran. Ia melepas janggut tempelan itu kemudian menggosok area matanya dengan pakaiannya.
Kerutan dimata dan lekukan di area tulang pipi menghilang. Berubah lah ia menjadi sosok pemuda tampan yang tampak kalem dan tentu saja menjadi tidak asing untuk Quinn "Anda..?"
Pemuda berponi itu mengangguk "Ya, saya pendeta yang sering memimpin doa para jemaat di hari Senin, Rabu, dan Jumat." Akunya sebelum Quinn benar-benar mengingat wajahnya.
Pantas Quinn segera mengetahui bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya.
Ialah Christian De Santis. Pendeta muda yang akan segera diangkat menjadi Kepala Pendeta. Dia cukup misterius sebab tidak banyak bicara, ia hanya akan buka mulut dan mengajak orang bicara duluan ketika berurusan dengan kuil ataupun doa yang akan dihaturkan.
Semasa hidup Quinn di masa lalu, Christian tidak cukup dekat dengannya karena kesibukan seorang pendeta— dan ternyata ditambah dengan menjaga toko obat miliknya sendiri. Namun, Christian sangatlah terbuka untuk membantu siapa saja dan mendengarkan curahan hati Quinn ketika dia tengah bimbang.
Meski begitu, Quinn tidak banyak berinteraksi dengannya. Quinn selalu sibuk pergi ke istana untuk menemui Raja dan Raiden sang pujaan hati yang sangat ia gilai hingga buta mata itu.
"Mengapa Anda tidak membuat obat di kuil saja?"
Pendeta muda itu menggelengkan kepala sembari melanjutkan kegiatan menumbuk obat "Saya tidak bisa melakukannya. Di kuil akan selalu ada orang yang mencari dan meminta bantuan, saya tidak akan punya waktu untuk meracik obat. Jadi kalau saya tidak hadir saat tugas, itu bisa jadi alasan terbaik saya agar bisa membuat obat ini."
"Apa ini hobi Anda?"
Finn terkekeh sambil menepuk-nepuk pundak Christian "Hahaha dia ini butuh uang yang banyak. Kau tahu? Dia sangat rak— bwleekkhhh uhuk! Uhuk!"
Christian menjejalkan tanaman herbal kering yang baru saja dia petik dan masih sangat segar ke dalam mulut Finn. "Apa aku perlu memberimu beberapa akar juga? mungkin ini bisa membantu menyegarkan pikiranmu, " Christian tampak tidak menjaga image nya sebagai seorang pendeta. Dia bersikap layaknya anak-anak seusianya.
Christian besar di panti bersama dengan Finn. Namun beberapa tahun belakangan ini keadaan panti lama mereka tengah genting sebab dana yang masuk selalu terlambat.
Christian menekuni dunia pengobatan untuk dapat menghasilkan uang dan membantu biaya hidup anak-anak panti yang jumlahnya mencapai puluhan itu. Setidaknya, uang hasil penjualan obat ini dapat mengganjal perut mereka sampai dana panti nya cair.
"Lalu mengapa Anda tidak menyewa bangunan di pinggir jalan saja? Itu justru lebih mudah untuk Anda memasarkan obat-obatan ini."
"Oh, itu tidak perlu dilakukan. Promosi toko saya sudah cukup bagus," Quinn mengangguk kecil tanda mengerti "Kerkat bantuan Lady Marchetti."
Deg
Dada Quinn berdetak tak nyaman sampai membuat sang empunya merasa sesak. Matanya berair "A-anu, bolehkah aku menanyakan sesuatu?"
"Ya, tentu".
"Apakah Lady Marchetti sering datang kemari?"
Christian tidak langsung menjawabnya. Namun setelah melihat rasa keingintahuan dari Quinn, pemuda itu akhirnya mengatakan "Hampir setiap hari dia datang kemari. Sebelum saya ke kuil atau saat jam istirahat saya sering kemari dan beliau pasti datang."
"Boleh aku tahu dia membeli obat apa?"
"Itu..."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!