"Bang, kenapa baru pulang?" tanyaku, "biasa nya pulang hari sabtu, ini senin baru nongol?" Ucapku lagi sambil mencium tangan seorang lelaki berkulit putih yang tiga tahun lalu menikahi ku. Namanya Rizal, orangnya pendiam, romantis dan lemah lembut.
"Iya maafkan Abang sayang, sekarang pekerjaan lagi sibuk teman-teman banyak yang di off. Jadi, Abang kerepotan menghandle tugas mereka," balasnya sambil mencium keningku.
"Kenapa harus di off apa ada masalah dengan pekerjaan?" tanyaku. Ia pun menjawab, "iya, lagi ada pengurangan karyawan, perusahaan lagi bermasalah dalam keuangan, sehingga tak dapat membayar karyawan sebanyak kemarin."
"Dila mana?" Bang Rizal menanyakan gadis mungil berambut ikal yang berusia satu setengah tahun ialah buah cinta pernikahan kami.
"Di ajak main sama Ayumi ke rumah sebelah." Ayumi anak pertama kak Marni, yaitu kakak perempuan bang Rizal.
Tak lama kemudian Dila pulang dan berlari menuju ayahnya. Bang Rizal pun langsung menggendong dan menciumnya. Begitulah kerinduan dan kasih sayang suamiku sebelum adanya duri dalam pernikahan kami.
"Dila sayang, Ayah punya hadiah untukmu." Bang Rizal pun mengeluarkan sebuah kotak berwarna pink.
"Apa itu yah?" tanya Dila. Dengan suara mungilnya Dila mengambil kotak itu dan membukanya. kemudian berkata, "Asyik! boneka belbi makacih Ayah." Dengan penuh kegirangan ia meraih benda itu.
"Sama-sama sayang," balas Bang Rizal.
Sementara itu, aku membuka tas suamiku yang usai bekerja, kosong tak ada baju kotor. Hanya ada peralatan kerja dan sapu tangan berwarna biru yang masih wangi.
Aku pun bertanya,"Bang, kenapa tak ada pakaian kotor?" kemudian, ia pun menjawab, "sebelum pulang, Abang mencuci semua pakaian kotor di kontrakan, karena kasian kamu kecapean seharian ngurusin Dila belum lagi pekerjaan rumah yang tidak ada beresnya."
"Uh … so sweet banget suamiku ini, pengertian sekali. Jadi makin cinta, deh," ucapku sambil memeluk dada bidang lelaki berusia 26 tahun itu.
"Bang, aku ingin punya rumah sendiri, malu selama ini numpang sama orangtua. Apalagi disini ada kak Marni yang sudah berkeluarga dan beranak empat," rengek ku.
'Kak Marni yang judes membuat tidak betah tinggal disini' batinku.
"Iya sayang, do'akan saja semoga kerjaan Abang lancar dan kita bisa menabung untuk masa depan, Aamiin," ucapnya sambil menjatuhkan badannya ke atas sofa.
***
Sudah larut malam Bang Rizal belum pulang juga tadi sih bilangnya mau ke rumah Adnan teman dekatnya. Karena tak kuat menahan kantuk, akhirnya aku pun terlelap di samping Dila. Tanpa tahu kapan suamiku pulang.
Tak terasa waktu sudah subuh ayam pun berkokok. Aku bergegas mencari benda pipih berwarna hitam, milik sang suami untuk melihat jam, karena jam weker dikamar rusak di banting Dila tadi siang.
"Bang, ponselmu dimana? aku cari-cari tak ketemu juga?" tanyaku. Tetapi Suamiku tak menjawab dan masih terlelap. Tiba-tiba … terdengar suara dari arah saku celananya.
Andaikan waktu bisa terulang kembali ku ingin …
Sebuah lagu favoritku yang menjadi nada dering gawainya. Belum selesai lagu itu, langsung dimatikan olehnya.
"Kenapa dimatikan, Bang, teleponnya? mungkin penting," ucapku sambil mengambil ponselnya. Belum sempat ku raih, ia mengambilnya duluan. Aku merebutnya tetapi direbut kembali.
Sungguh aneh dan membuatku curiga dengan gelagatnya yang mulai berubah dari biasanya.
"Kenapa sih Bang? aneh sekali kelakuanmu hari ini. Aku pinjam ponsel cuma mau melihat jam," protesku.
"Bukan begitu, sa--"
"Sudah, aku mau mengambil air wudhu saja!"
Aku memotong perkataannya, dan langsung mengambi air wudhu kemudian shalat subuh. Setelah selesai, langsung bersiap mencuci pakaian.
Ketika mau mencuci pakaian sebuah dompet hitam jatuh dari celananya. Setelah berpikir berulang kali … "Buka tidak, buka tidak ya? Buka sajalah, ah tidak berani."
Walaupun si pemilik adalah suami sendiri tetapi aku tidak berani membuka dompet itu.
Akhirnya …
Ternyata, rasa penasaran lebih besar dibandingkan rasa tidak enak hati ini. Perlahan kubuka … alangkah kagetnya saat melihat isi dalam dompet itu. Ya, dua buah pas foto berukuran 3×4. Karena penasaran, aku pun langsung pergi menghampiri Papa Mertua yang sedang duduk di ruang tamu sambil menikmati secangkir kopi hitam.
"Pak, ini foto siapa ada di dalam dompet Bang Rizal? barangkali papa kenal sama foto perempuan ini?" tanyaku sambil menunjukkan dua buah foto tadi.
"Oh … itu, teman kerja suamimu dulu waktu di Roxy, yaitu grosir accesoris dan handphone terlengkap di Jakarta. Tapi karena pada hari itu suamimu terlambat masuk kerja, dia di tegur sama pemilik toko. "Kamu niat kerja gak sih? Kesini kerja atau mau main?" Lalu suamimu menjawab dengan lantang "Mau main". Otomatis bosnya marah dan tanpa berfikir panjang Rizal dipecat dari pekerjaannya. begitu Papa menjelaskan dan aku mencoba untuk mengerti, meskipun tetap saja pikiran ini melayang-layang dan bertanya dalam hati "Untuk apa sih foto teman kerja masih saja disimpan dalam dompet? Aku kan cemburu."
Rasa penasaran semakin memuncak saat melihat sebuah KTP Bang Rizal yang masih berstatus lajang. Dan KTP yang sudah berstatus menikah ada di dalam lemari.
Astagfirulloh haladziim …
Kenapa aku ini tak percaya sama Papa Mertua dan mencurigai suami sendiri? ah sudahlah, lebih baik pergi mencuci saja hari sudah mulai siang dan ku ambil foto itu ternyata suamiku tidak menyadari bahwa foto itu tak ada lagi di dalam dompetnya.
***
Keesokan harinya, ketika Bang Rizal masih terlelap dari tidur, rasa penasaran ingin membuka ponselnya muncul. Kali ini tak disimpan di saku nya, kemudian ku cari seluruh isi kamar tak jua ketemu.
Hmmm … dimana ya? gumamku Sambil membereskan atas lemari yang sudah berdebu tanpa sengaja aku menemukannya, ternyata di atas lemari. Dan hp itu dalam keadaan off.
Kenapa harus di atas lemari? di off lagi ih sebel, hati ini gemas.
[Sayang, Mas udah dekat rumah nih, kamu mau dibeliin apa?]
[Sayang, pulsanya udah nyampe belum?]
Terlihat beberapa pesan keluar untuk no yang sama, nomor tanpa nama. Dan nomor itu pun membalas,
[ayang, telepon dong! kangen.]
Begitulah percakapan yang baru terbaca, yang lainnya seperti sudah terhapus. Save sajalah nomor itu dan juga nomor-nomor yang membuatku asing segera di save dalam ponsel supaya nanti bisa dihubungi setelah suamiku pergi bekerja kembali ke Jakarta. Ku taruh benda itu kembali pada tempatnya dan dalam keadaan off, seolah tidak pernah ada yang membuka ponselnya.
"Lebih baik aku diam saja jangan menunjukkan sesuatu yang mencurigakan dan pura-pura tidak tahu, selidiki dulu kebenarannya," gumamku.
***
"Mah, Abang berangkat dulu ya!" ucap Bang Rizal berpamitan untuk pergi bekerja lagi.
"Iya Bang, hati-hati! jaga kesehatan ini kan musim hujan, di Jakarta suka banjir," ucapku sambil merapihkan kerah bajunya yang terlihat belum rapi. Diciumnya keningku dan ku peluk dada bidangnya.
"Ayah mau kemana?" tanya Dila.
"Ayah mau pergi kerja dulu sayang biar bisa beliin Dila mainan dan kita nanti pergi jalan-jalan," jawabnya.
"Iya Ayah, jangan lama-lama nanti Dila kangen," ucap Dila manja dengan bibir mungilnya.
"Iya sayang," sahut Bang Rizal Dan ia pun segera berangkat.
Hari semakin berlalu ponselnya kenapa selalu tak aktif kalau lagi di tempat kerja? Apa lagi hari Sabtu dan Minggu. Alasannya selalu karena ada bosnya. Mungkin tak ada sinyal, ku lihat di televisi banyak berita banjir jangan-jangan dia terjebak banjir? Ah sudahlah berkata yang baik-baik saja karena ucapan adalah do'a.
***
"Bibi nginep ya kata umi!" terdengar suara Nina memanggilku. Meminta untuk menginap di rumah Kak Marni yang baru untuk acara syukuran.
"Iya Nina, sebentar Bibi membereskan dulu mainan Dilla berantakan sekali.
Aku pun segera bergegas pergi untuk menyusul Nina karena Dilla sudah duluan pergi.
"Kak ciri-ciri suami selingkuh itu seperti apa?" Aku bertanya ke pada Kak Marni sambil memasukkan potongan cabe pada sebuah blender. Kak Marni pun menjawab,
"Kakak juga tidak tahu karena belum pernah merasakannya, ih … amit-amit, yang jelas, pasti ada perubahan 180 derajat celcius dari biasanya, kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" tanya Kak Marni heran.
"Tak bermaksud apa-apa sih Kak, tadi aku nonton sinetron di televisi jadi baper deh hehehe," jawabku mengalihkan pembicaraan agar Kak Marni tidak curiga.
"Ah! kamu ini korban sinetron juga ya hihihi?" jawab Kak Marni sambil tertawa.
"Hehe bukan begitu Kak, kan biar bisa diambil juga pelajarannya, pesan yang disampaikan pada sinetron itu bisa kita ambil hikmahnya.
"Iya juga," jawabnya.
Alhamdulillah acara syukurannya berjalan sempurna. Aku pun pulang. Kemudian mencoba menghubungi no ponsel yang tadi chat mesra bersama suamiku. ternyata tidak aktif. Kemudian ku coba hubungi no satu lagi yang dinamai teh Nuri. Nama yang asing bagiku dan setahuku bang Rizal tak mempunyai teman yang bernama Nuri, "Siapakah Nuri itu?" rasa penasaranku semakin memuncak.
[Assalamualaikum.] Chat pertamaku untuk teh Nuri pada sebuah aplikasi bergambar gagang telepon berwarna hijau. Tetapi tidak aktif ceklis satu. Tak lama kemudian … pesan nya ceklis dua dan berwarna biru pertanda sudah dibaca.
[Wa'alaikumsalam, ini siapa ya?] tanya teh Nuri.
[lagi apa?] ucapku so akrab seolah kami sudah saling kenal.
[Biasa habis pulang kerja, eh, tau ni pasti Mas Rizal 'kan? Hayo ngaku no nya baru lagi sih mas? tanya Teh Nuri.]
[ya yang kemarin ke blokir salah masukin pin,] ucapku penuh penasaran siapakah Teh Nuri itu?
Belum sempat terjawab tentang siapa Teh Nuri itu, aku mencoba untuk menghubunginya kembali. Namun seperti biasa ponselnya tidak aktif, dan terkirim setelah pukul lima sore. Dalam hati sempat bertanya,
"Apa sih aktifitas Teh Nuri itu sehingga aktif pada waktu tertentu?"
Ini hari Minggu, sehabis Dila tidur aku segera meraih ponsel dan mencoba menghubungi Bang Rizal. Sudah tiga hari ini dia tidak aktif, kenapa ya? Karena ini musim hujan aku lihat berita di televisi banyak yang kebanjiran dan khawatir Bang Rizal terkena dampaknya.
"Kamu kenapa belum tidur?" tanya Papa Mertua yang sedang meminum obat, kebetulan beliau sedang tidak sehat.
"Belum mengantuk," jawabku sambil memapah beliau yang kelihatan tidak sanggup berjalan dan langsung mengantarkannya ke kamar.
***
Matahari mulai menampakan sinarnya, cuaca hari ini cerah sekali sudah hampir seminggu Papa Mertua sakit terbaring lemas. Dokter pun menyarankan agar segera dibawa ke rumah sakit.
"Kamu siapkan peralatan yang mau di bawa, takutnya Papa harus di opname!" titah Mama Mertua.
"Iya Ma, saya siapkan dulu peralatan yang mau di bawa," sahutku. Kemudian … aku pun segera memasukan pakaian dan keperluan Papa Mertua ke dalam sebuah tas berwarna hitam. Tak lupa peralatan Dila juga dibawa.
"Ini, pegang dulu sama kamu!" kata Mama sambil menyodorkan sebuah amplop berwarna cokelat dan berisi lembaran uang pecahan Ratusan ribu yang aku pun tak tahu berapa isinya.
"Uang apa ini Ma?" aku bertanya karena belum mengerti apa maksudnya memberikan uang itu.
"Itu uang untuk admnistrasi pengobatan Papa, kamu pegang dulu soalnya Mama sudah pikun takut nanti lupa nyimpen," tandasnya.
"Iya, baiklah nanti saya simpan," jawabku sambil memasukan amplop itu ke dalam tas.
Merasa heran kenapa Mama menitipkan uangnya kepadaku bukan Kak Marni saja, kan aku hanya sekedar menantu jadi merasa tak enak hati. Karena sikap Kak Marni selalu judes sama aku, semenjak kehadiran Dila lah yang membuatnya agak sedikit berubah. Tapi aku tidak berani menolak permintaannya.
Akhirnya dengan mengendarai sebuah mobil Ambulans, kami tiba di sebuah rumah sakit umum yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal kami. Sepanjang jalan Dila merengek karena mungkin belum terbiasa pergi jauh menumpangi sebuah mobil.
Dua jam kemudian tibalah ke rumah sakit. Kami segera turun dari mobil. Dan Papa segera di papah oleh Kak Imron dan Kak Iwan. Kak Imron adalah suami Kak Marni dan Kak Iwan suaminya Kak Mae yang juga saudara sepupu Bang Rizal.
"Keluarga Bapak Subagja!"
Terdengar suara dokter yang baru keluar dari ruangan ICU.
"Saya istrinya," sahut Mama mertuaku.
"Begini, suami Ibu menderita batu ginjal dan harus menjalani proses cuci darah, bila ada pendonor bisa segera dilakukan operasi. Sehubungan rumah sakit kami kekurangan perlengkapan maka saya sarankan untuk di rujuk ke rumah sakit yang lebih besar." Dokter pun menyodorkan sebuah kertas rujukan ke rumah sakit itu.
Mama Mertua segera menyetujui saran dokter meskipun nampak kehawatiran di wajah wanita setengah baya itu. Dan kami langsung segera berangkat menuju rumah sakit. Setelah sampai di sana ayah langsung dibawa ke ruang perawatan. Melihat Dila yang rewel Kak Imron dan Kak Iwan menyarankan agar para wanita pulang saja biar mereka yang menjaga Papa selama di rumah sakit.
Akhirnya kami pulang diantar mobil ambulans yang tadi membawa kami ke rumah sakit. Tak lupa aku memberikan amplop berisi uang kepada Kak Imron yang tadi Mama titipkan.
***
Sudah hampir sebulan Papa di rumah sakit dan mengalami cuci darah. Bang Rizal pun mengambil cuti untuk bisa bergantian menjaga ayah. Dokter menyarankan untuk segera dilakukan operasi karena kondisi Papa semakin lemah dan hanya bertahan selama proses cuci darah.
Persediaan uang semakin menipis, karena biaya untuk cuci darah lumayan menguras dompet. Papa Mertua hanya seorang guru yang kini sudah pensiun. Kemudian Bang Rizal dan yang lainnya berdiskusi sehingga memutuskan untuk melakukan operasi. Setelah melakukan tes, ternyata ginjal Bang Rizal yang cocok sama Papa, dan ia pun menyanggupinya.
"Bukannya tak mau menerima niat baikmu, tetapi Papa kasihan kamu masih muda perjalanan hidup yang di lalui terlalu singkat jika harus mendonorkan ginjal sama Papa. Anak istrimu butuh kepala keluarga yang tangguh, kalau engkau tak punya ginjal nanti tak bisa bekerja keras."
Begitulah ungkapan Papa kepada Bang Rizal, akhirnya dengn penuh pertimbangan operasi pun tidak dilaksanakan.
Setelah genap satu bulan akhirnya Papa meminta untuk pulang saja karena bosan suasana rumah sakit dan meminta untuk rawat jalan saja. Setelah di rumah banyak sanak saudara dan juga tetangga yang menjenguk.
***
"Kakek ada belek nya," Kata Dila yang sambil mengelap mata lelaki yang berbaring di depannya itu. Lalu ia menyuapinya dengan bubur yang tadi pagi aku buat. Tak lama kemudian aku tinggal sebentar untuk memasak. Papa pun tertidur lelap.
"Kakek bangun! kakek bangun!"
Terdengar suara Dila memanggil sambil menepuk pipi Papa yang dari tadi tertidur dan mendengkur keras. Aku pun segera menghampiri, kenapa tidur nya ngorok begitu? ku bangunkan juga tak bangun-bangun.
Tak berfikir panjang segera ku panggil Mama dan Kak Marni. Mereka bilang Papa sedang Lalampahan (dalam bahasa indonesia sedang Sakaratul maut). Tak lama kemudian,
Prepeet ....
Suara dari a*** Papa dan mengeluarkan kotoran berwarna hitam yang dalam bahasa Sunda biasa disebut t*i pari disertai darah, sebuah kotoran manusia berwarna hitam yang dipercayai bila sudah keluar, azal akan segera tiba.
Kak Marni segera memanggil Abah Haji Iding yang kebetulan sesepuh dan ketua pesantren di kampung Bang Rizal. Sebelum magrib Papa menghembuskan nafas terakhirnya. "Innaalillaahi wa inna ilaihi roozi'un ...." Ucap kami serentak. Suara adzan pun terdengar pertanda magrib telah tiba.
"Abang dimana kenapa ponselnya baru aktif?" ucapku agak kesal.
"Iya Abang pulang dijemput sama Adnan mungkin agak maleman, motornya masuk ke bengkel," jawab Bang Rizal.
Tak lama kemudian ia tiba, jenazah Papah dimandikan dan di shalatkan, dan banyak yang mengaji semalaman secara bergiliran. Proses pemakaman dilakukan pagi hari.
***
Seperti biasa selama tujuh hari setelah hari kematian, dikampung kami mengadakan acara tahlilan.
"Kemana mamah si Dila?" ucap bi Een tetanggaku yang masih kerabat sama Kak Marni.
"Ada tuh di kamar lagi tiduran, katanya sih masuk angin," ketus Kak Marni smbil memicingkan mata.
Kemudian Mama yang baru saja masuk ke dapur menyela pembicaraan mereka,
"Habis dikerok sama Mama, memang semalaman dia tidak tidur karena sibuk banyak yang dia kerjakan, jadi Mama suruh istirahat saja."
Kak Marni langsung memalingkan muka nya terlihat kecemburuan teradapku karena memang selama ini hubungannya dengan adik semata wayangnya itu kurang baik.
Seminggu sudah kepergian Papa mertua. Bang Rizal dan keluarga yang lain kembali berangkat bekerja. Karena terlalu sibuk sampai aku lupa urusan Teh Nuri. Nantilah kalau sudah ada waktu aku coba hubungi lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!