Cinta adalah fitrah semua manusia, banyak yang mengatakan jika cinta itu ujung-ujungnya menyakitkan. Tapi bagiku cinta itu indah, karena cinta tidak butuh sebuah imbalan ataupun balasan.
...\~Cut Dara Maristha\~...
Suara azan Subuh berkumandang merdu dan saling bersahutan satu sama lain. Membangunkan para insan yang tengah terlelap dalam mimpi yang indah.
Di sebuah asrama khusus putri, terlihat seorang gadis berparas ayu mengerjapkan matanya beberapa kali saat suara Azan berkumandang. Ia pun bangun dari posisinya dan melihat tempat tidur sang sahabat sudah kosong. Sepertinya gadis itu sudah terbangun lebih dulu. Kemudian sayup-sayup terdengar suara gemercik air di kamar mandi, dan itu menguatkan dugaannya.
Gadis itu pun langsung membereskan tempat tidurnya seperti biasa, sambil menunggu sang sahabat selesai dengan urusannya di kamar mandi. Karena terlalu pokus dengan kegiatannya, ia tak menyadari jika sahabatnya kini sudah keluar.
"Dara, kamu sudah bangun?" Sontak gadis itu terlonjak kaget dan langsung berbalik.
"Syila, kamu bikin aku kaget tahu gak?"
Cut Dara Maristha, itu lah namanya. Si gadis berpakaian syar'i, pemilik mata bulat dan wajah yang elok. Ia juga berdarah kental Aceh, karena kedua orang tuanya berasal dari sana. Hanya saja sang Ayah membangun sebuah perusahaan induk di Jakarta. Karena itu sejak lama mereka menetap di Ibu Kota.
"Maaf deh, kenapa cepat bangun? Kamu gak salat kan?" Tanya Syila seraya duduk di tepi ranjangnya. Syila merupakan sahabat sekaligus teman sekamar Dara. Gadis itu bernama lengkap Syila Tamara Rehana, berdarah campuran Sunda dan Kalimantan. Ia juga memiliki paras yang cantik. Kebetulan mereka juga satu jurusan di kampus. Dan saat ini mereka baru mamasuki semester 2. Itu artinya masih ada waktu 3 tahun lagi untuk mereka menghabiskan waktu bersama.
"Hm. Aku mendengar suara Azan, jadi terbangun." Sahut Dara melanjutkan kegiatannya. Syila pun mengangguk, sambil mengeringkan rambutnya yang basah menggunakan handuk.
"Oh iya Syil, Nissa kapan balik ke asrama?" Tanya Dara.
"Katanya sih hari ini, tapi gak tau jadi atau enggak. Soalnya dia gak kasih kabar yang jelas." Sahut Syila bangkit dari posisinya. Kemudian gadis itu memakai mukena yang hendak melaksanakan salat subuh.
"Oh." Dara pun mengangguk kecil dan tersenyum pada Syila.
Dara juga mempunyai satu sahabat lagi, ia bernama Anissa Hafisah. Si gadis manis berlesung pipi, ia merupakan warga asli Ibu Kota. Dari ketiga gadis itu Nissa lah yang sedikit berbeda, ia tak memakai hijab. Berbeda dengan Dara dan Syila yang selalu berpakaian tertutup.
Sambil menunggu fajar, Dara pun memutuskan untuk membuat sarapan di dapur umum. Seperti biasa, setiap pagi dapur sudah dipenuhi para mahasiwi. Sebagian dari mereka memang memilih untuk masak sendiri, begitu pun dengan Dara. Katanya sih lebih hemat biaya. Padahal kebanyakan dari mereka itu orang kaya. Termasuk Dara, ia terlahir dari seorang pengusaha besar. Namun tak menutup kemungkinan untuk mereka hidup mandiri.
Berhubung jarak rumahnya yang lumayan jauh dengan kampus. Dara memutuskan untuk tinggal di asrama. Hitung-hitung memperluas tali silaturahim, katanya.
"Hai Sasa, masak apa pagi ini?" Tanya Dara saat melihat salah satu temannya sedang memasak di dapur.
"Biasa, masak tempe orek. Cuma ini yang aku bisa. Mommy bilang aku harus mandiri, supaya tahu gimana susahnya Daddy mencari uang." Jawab gadis bernama Sasa itu dengan santai.
Dara yang mendengar itu tersenyum senang. "Bener itu, kita harus tetap bersyukur atas semua nikmat yang Allah berikan."
Sasa mengangguk pelan.
Kemudian Dara mulai mengupas bawang merah, pagi ini ia akan memasak nasi goreng dan telur dadar.
"Jangan sedih dong, Ra. Tar aku ikut nangis." Ledek Sasa saat melihat Dara sudah berlinang air mata.
"Iya nih, bawang merahnya jahat banget, selalu buat aku nangis dipagi hari." Sahut Dara seraya menghapus air matanya dengan kerudung.
Sasa pun tergelak. "Kamu ada-ada aja, Ra. Memangnya mau masak apa?" Tanya Sasa.
"Nasi goreng aja deh yang gampang, lagi males masak soalnya." Jawab Dara sambil memotong cabe merah dengan begitu cekatan. Karena sejak kecil, ia sudah terbiasa membantu sang Bunda di dapur.
"Oh iya, Ra. Kakak kelasku ada yang naksir kamu tuh. Orangnya ganteng banget loh, kamu mau gak aku kenalin?" Ujar Sasa yang hanya dijawab senyuman oleh Dara.
"Ih... kok malah senyum-senyum sih, mau gak?" Tanya Sasa kesal karena tidak mendapatkan jawaban pasti dari Dara.
"Aku gak pernah melarang mereka buat suka sama aku. Tapi untuk menjalin hubungan, aku tidak bisa. Aku selalu menghindari yang namanya pacaran, itu sama aja kita mendekati zina. Udah jangan pedulikan mereka. Anggap saja itu hanya angin berlalu, setelah bosan mereka juga bakal pergi sendiri." Tanggap Dara dengan santai.
Sasa yang mendengar itu merasa takjub. Selama ia mengenal Dara, belum pernah sekali pun ia mendengar tentang keburukannya. Bahkan satu asrama tahu, Dara memiliki kepribadian yang amat baik dan ramah.
"Em... gimana kalau misalkan dia datang ke rumah kamu? Mungkin lamar kamu, Ra. Apa kamu masih nolak juga?" Tanya Sasa yang berhasil mengundang tawa Dara.
"Loh kok malah ketawa sih?" Sasa merasa heran dengan temannya yang satu ini.
"Habis kamu ngomongnya ngaco sih. Lagian mana mungkin ada yang mau lamar aku, Sasa. Aku juga belum siap untuk menikah, masih ingin mencari ilmu agama lebih dulu. Mungkin setelah tamat kuliah, akan aku pikir dua kali." Ujar Dara sambil membolak-balik nasi gorengnya.
"Siapa tau aja dia beneran serius dan mau lamar kamu." Timpal Sasa masih kekeh dengan pendapatnya. Dan saat ini gadis itu sudah selesai memasak.
Dara hanya tersenyum dan menggeleng pelan.
"Kalau gitu aku duluan ya, ada jam pagi." Pamit Sasa seraya membereskan semua alat masaknya.
"Ok." Sahut Dara. Lalu gadis mungil itu pun pergi meninggalkan Dara yang masih berkutat dengan alat masak.
***
Dara berangkat ke kampus agak siangan, karena hari ini ia hanya ada satu jam kuliah. Saat hendak memasuki kelas, langkah gadis itu tertahan karena seseorang memanggilnya.
"Dara tunggu!"
Spontan Dara menoleh kebelakang. Seorang lelaki tampan tampak berlari kecil menghampirinya. Dara pun langsung menundukkan pandangan. Lelaki itu sangat sering menemui Dara. Bahkan bukan hanya di kelas, kadang juga di kantin atau perpustakaan. Bisa dikatakan di mana pun Dara berada, lelaki itu selalu ada. Sepertinya lelaki itu memiliki minat pada Dara. Bisa dilihat dari sorot matanya yang memancarkan rasa kagum.
"Assalamualaikum, maaf ada perlu apa?" Tanya Dara yang masih setia menunduk.
"Wa'alaikumusalam... apa nanti siang kamu sibuk?" Tanya lelaki itu menatap Dara penuh harap.
"Maaf, saya sibuk. Jika tidak ada hal lain, saya pamit masuk kelas." Sahut Dara yang langsung masuk ke dalam kelas. Dan itu berhasil membuat sang lelaki mematung di tempatnya. Bahkan seulas senyuman tercetak jelas dibibirnya.
"Dara, sepertinya aku tidak salah pilih. Kau gadis yang langka, aku akan berusaha untuk mendapatkanmu." Ujarnya sebelum pergi dari sana.
"Ra, kamu kenapa?" tanya Syila saat melihat Dara terburu-buru saat memasuki kelas. Bahkan wajah gadis itu terlihat pucat. Dara pun duduk di samping Syila.
Syila memang berangkat lebih dulu, karena ia ada kelas pagi.
"Enggak papa kok." Jawab Dara memberikan senyuman manis pada sahabatnya. Kemudian ia pun mengeluarkan buku dari dalam tas.
"Owh... aku pikir terjadi sesuatu di jalan." Kata Syila melanjutkan membaca buku.
Dara terlihat menghela napas gusar. Ia sangat takut dengan lelaki yang selalu menemuinya itu. Padahal selama ini Dara selalu menghindar, tetapi lelaki itu masih saja berusaha mendekatinya. Dara merasa tidak nyaman akan hal itu.
"Astagfirullahal'azim." Dara beristigfar seraya mengelus dadanya pelan. Mencoba menenangkan hatinya yang gundah.
Selang beberapa menit. Dosen pengajar pun memasuki kelas dan berhasil menarik perhatian semua penghuni kelas. Dosen itu seorang lelaki yang masih terlihat muda, juga sangat tampan. Ditambah dengan kemeja hitam yang membungkus ototnya yang kekar. Membuat takjub beberapa mahasiswi yang ada di dalam kelas.
"Assalamualaikum," ucap dosen itu berdiri di depan kelas. Menatap seluruh mahasiwanya penuh wibawa.
"Wa'alaikumussalam," sahut seluruh mahasiswa kompak.
"Kumpulkan tugas minggu lalu." Perintahnya dengan nada datar. Semua mahasiwa pun mengeluarkan tugas masing-masing. Termasuk Dara, ia terlihat membuka tasnya untuk mencari tugas yang sudah ia kerjakan dari jauh-jauh hari. Namun, seketika wajahnya pucat, karena ia tak menemukan tugasnya di dalam tas. Dara mulai panik sambil mengecek kembali isi tasnya. Dan tugas itu benar-benar tidak ada di sana. Seingatnya malam tadi tugas itu sudah ia masukkan ke dalam tas.
Ya Allah, apa mungkin aku lupa?
Dara semakin pucat, saat melihat Syila yang sudah memberikan tugasnya pada komting. Lelaki yang menjabat sebagai ketua kelas pun menatap Dara karena tak kunjung memberikan tugasnya.
"Sepertinya tugasku ketinggalan." Ucap Dara sedikit berbisik pada sang komting. Komting yang bernama Andre itu menatap Dara tak percaya. Bagaimana bisa Dara begitu ceroboh dan meninggalkan tugas dari dosen yang super killer? Andre mengehela napas berat, sebelum meninggalkan meja Dara.
"Siapa yang tidak kumpul tugas?" Tanya sang dosen dengan nada dingin. Membuat orang yang mendengarnya membeku seketika.
Dara menelan air ludahnya yang terasa kelu. "Sa--saya, Pak." Lalu mengangkat tangannya dengan gugup. Dan ia pun langsung mendapatkan tatapan tajam dari sang dosen.
"Keluar!" Tegasnya yang berhasil membuat Dara terkejut.
Memang sejak awal perkuliahan, dosen killer itu sudah membuat sebuah perjanjian khusus. Dimana mahasiswa yang tidak mengumpulkan tugas, maka tidak diberi izin untuk masuk kelas. Dan untuk yang pertama kalinya Dara melakukan kesalahan itu. Ia tak bisa menyalahkan sang dosen. Karena sepenuhnya kesalahan ada pada dirinya.
Dara menatap Syila yang juga sedang menatapnya iba. Dengan penuh penyesalan, ia kembali memasukkan bukunya ke dalam tas. Kemudian bangkit dari duduknya dan beranjak keluar. Lalu tatapan Dara tak sengaja beretemu dengan tatapan lelaki itu. Tatapan penuh kebencian. Dara sendiri bingung kenapa dosennya itu selalu memberikan tatapan yang sama saat masuk ke kelasnya. Tanpa banyak berpikir, Dara pun meninggalkan kelas.
"Kita lanjutkan." Ujar sang dosen mentap semua mahasiswa yang masih membisu. Sepertinya mereka masih syok dengan apa yang menimpa Dara. Kemudian pelajaranpun segera dimulai.
Sedangkan di luar sana, Dara terduduk lemas di bangku. Ini kali pertama ia dikeluarkan dari kelas. Dara terus mengerutuki kebodohannya. Bagaimana ia bisa seceroboh itu? Mungkin hari ini memang hari sial untuknya. Ia juga harus melewatkan ilmu baru yang seharusnya ia dapatkan. Sungguh penyesalan yang luar biasa.
Dara pun memutuskan untuk langsung pulang. "Sabar, Dara." Ucapnya bergegas pergi menuju parkiran.
Dara memasuki mobil dengan malas. Kemudian membenamkan wajahnya di setir untuk sesaat. Kemudian menghidupkan mobil dan melajukannya dengan kecepatan sedang. Tidak lupa ia menghidupkan lantunan ayat suci, agar hatinya lebih tenang. Namun pikirannya benar-benar kosong.
Sampai di persimpangan jalan, Dara tak menyadari jika sebuah mobil oleng terus melaju kencang ke arahnya. Dalam hitungan detik, mobil yang ia kendarai mengalami tubrukan keras dan kecelakaan naas itu pun terjadi.
Jika ini takdir untukku, aku akan menerima dengan hati yang ikhlas ya Allah. Tapi tolong tunjukkan secara jelas, takdir seperti apa yang Engkau gariskan untukku?
...\~Cut Dara Maristha\~...
Dara merasakan kepalanya berdenyut hebat karena membentur setir dengan keras. Bahkan kini darah segar mengalir dipelepisnya. Dengan kesadaran penuh, ia berusaha keluar dari dalam mobil untuk meminta bantuan. Namun, yang pertama kali ia lihat adalah mobil dalam keadaan rusak parah dihadapannya. Bahkan mobil itu mengeluarkan kepulan asap.
Dara membulatkkan matanya saat melihat pergerakan dari dalam mobil. Dan itu seorang wanita. Dengan langkah tertatih, Dara menghampiri mobil itu. Perasaan cemas dan takut mulai menghantuinya. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanya satu, yaitu menyelamatkan orang itu.
Dara menggedor jendela kaca dengan kuat. "Mbak, bisa buka pintunya?" Dara berteriak kencang, berharap wanita itu bisa mendengarnya. Dara juga sangat terkejut saat melihat kondisi wanita itu sudah berlumuran darah. Ia semakin panik dan bingung harus melakukan apa.
"Tolong!" Teriak Dara. Berharap seseorang mendengarnya dan memberikan pertolongan. Entah kenapa saat ini jalanan terlihat sepi, tidak ada satu orang pun yang lewat. Seakan semuanya sudah terencana begitu rapi. Hingga beberapa saat kemudian beberapa mobil yang lewat pun berhenti. Namun tak ada yang berniat untuk membantunya. Bahkan di antara mereka hanya sibuk mengabadikan moment diponselnya. Dara pun sangat kesal melihat orang tak berhati nurani itu.
Dara terus memutar otaknya untuk menemukan cara agar pintu mobil wanita itu bisa dibuka. Hingga ia mengingat sesuatu. Ia pun bergegas menuju mobilnya dan mengambil salah satu headrest. Kemudian Dara pun kembali ke mobil wanita itu dan berusaha memecahkan kaca bagian belakang. Semua itu memang tidak semudah yang dibayangkan.
"Ya Allah tolong hamba." Dara terus berusaha untuk memecahkan kaca tebal itu. Dan akhirnya kaca itu berhasil dipecahkan. Dara mengucapkan rasa syukur. Kemudian dengan tergesa membuka pintu depan melalui bangku penumpang.
Dara sedikit bergetar saat melihat wajah wanita itu yang dipenuhi darah.
"Tolong panggilkan ambulan." Teriaknya pada orang-orang yang masih menonton di sana.
"Sudah, Mbak." Sahut salah seorang dari mereka.
Dara semakin panik, ia menatap wanita itu yang juga sedang menatapnya dengan napas tersengal. "To--tolong jaga suami saya."
Dara tidak bisa mendengar dengan jelas perkataan wanita itu. Bahkan kini kepalanya semakin sakit, pandangannya juga ikut mengabur. Kemudian sayup-sayup ia mendengar suara sirine ambulan. Dan diwaktu bersamaan, kesadaran Dara pun hilang.
***
Dara mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya lampu. Lalu ia menyentuh kepalanya yang terasa sangat sakit. Yang pertama kali ia lihat yaitu sang Bunda yang tertidur dengan posisi duduk disampingnya. Dara juga masih mengingat dengan jelas kecelakan yang menimpanya.
"Bunda." Dara menyentuh punggung Zahra. Sontak Zahra terkejut dan langsung bangun dari tidurnya. Ia tampak senang saat melihat putrinya sudah sadarkan diri.
"Dara, apa yang sakit, Sayang?" Tanya Zahra mengusap kepala putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Kepala Dara sakit, Bun." Sahut Dara menyentuh perban dikepalanya.
"Dokter bilang kepala kamu terbentur, Bunda sangat khawatir." Ucap Zahra menghadiahi kecupan di pucuk kapala Dara.
"Dara gak papa, Bun. Dara haus."
Zahra tersenyum mendengarnya, lalu ia pun mengambil air putih di atas nakas. Dan membantu Dara membenarkan posisinya menjadi bersandar. Dara meneguk air putih itu perlahan. Kemudian memberikan gelas yang sudah kosong pada Zahra.
"Sudah?" Tanya Zahra yang dijawab anggukkan oleh Dara.
Tidak lama, Ayah Dara pun masuk bersama suami istri yang sama sekali tak Dara kenali. Sepasang suami istri itu menatap Dara cukup lama.
"Mereka orang tua dari wanita yang mengalami kecelakaan bersama kamu." Ujar Raffi menghampiri putri bungsunya.
Dara terkejut mendengarnya. Lalu menatap keduanya penuh tanda tanya. Begitu pun sebaliknya, dua orang paruh baya itu terlihat bingung dan saling menatap satu sama lain.
"Mereka ingin bicara sama kamu," lanjut Raffi seraya mengusap kepala putrinya dengan lembut.
"Mohon maaf sebelumnya, Saya Hesti. Ibu mertua dari Della. Tujuan kami ke sini untuk meminta tolong agar Nak Dara menemui Della. Dia terus mencari wanita yang menolongnya saat itu." Jelas Hesti sedikit ragu.
Baik Raffi dan Zahra pun langsung menatap Dara.
"Bisa Buk, saya akan menemuinya." Jawab Dara yang berhasil membuat kedua orang tuanya terkejut.
"Kamu belum baikkan, Nak."
"Insha Allah Dara baik-baik aja, Bun." Ujar Dara mencoba meyakinkan sang Bunda. Ia juga memberikan senyumannya yang khas. Yang berhasil membuat sepasang suami istri itu terpana. Senyuman itu seolah-olah menghipnotis keduanya.
"Baiklah." Pasrah Zahra.
"Ayah juga sudah bicarakan ini dengan dokter, beliau mengizinkan. Apa kamu sanggup berjalan? Jika tidak, ayah ambilkan kursi roda." Ujar Raffi membantu Dara turun dari brankar.
"Inhsa Allah bisa, Yah. Kaki Dara cuma sakit sedikit." Sahut Dara memegangi tangan Raffi dengan erat. Kemudian mereka pun beranjak keluar dari ruangan VIP itu.
Sesampainya di UGD. Seketika langkah Dara tertahan, karena terkejut melihat sosok pria yang amat ia kenali berdiri tak jauh darinya. Bukan hanya Dara, lelaki itu pun tak kalah terkejut saat melihat kehadiran Dara. Tatapan keduanya pun saling mengunci satu sama lain.Hingga Dara pun tersadar dan langsung menunduk.
"Arham, masuklah bersamanya. Della ingin bicara pada kalian," pinta Hesti pada putranya yang bernama Arham.
Arham Maulana Pratama merupakan dosen killer yang mengusir Dara dari kelas siang tadi. Mata tajam Arham terus tertuju pada Dara. Bahkan terlihat jelas kilatan amarah dipelupuk matanya. Entah apa yang ada dalam pikiranya saat ini?
Arham pun bergegas masuk untuk menemui sang istri, Faradella Lestari. Wanita yang dinikahi Arham setahun yang lalu, melalui perjodohan kedua orang tuanya. Wanita itu juga yang menabrak Dara beberapa jam yang lalu.
"Masuklah, Nak." Titah Hesti dengan senyuman ramahnya.
Dara pun menatap kedua orang tuanya bergantian. "Dara bisa masuk sendiri." Katanya yang langsung mengikuti jejak Arham. Dara berjalan dengan sedikit tertatih.
Saat memasuki ruangan itu, yang pertama kali Dara dengar hanya suara denyitan alat pendeteksi jantung. Di sana ia bisa melihat seorang wanita terbaring lemah dengan berbagai alat bantu yang menempel ditubuhnya. Dan saat ini Arham duduk disebelahnya. Menggenggam tangan wanita itu dengan erat. Dara melangkah dengan ragu, menghampiri brankar itu dengan tatapan kosong.
Della mulai membuka matanya perlahan, kemudian seulas senyuman terbit disudut bibirnya yang lembam. Dara bisa melihat tatapan Arham yang penuh luka saat melihat istrinya.
"Kak," sapa Della pada suaminya. Lalu pandangan wanita itu beralih pada Dara yang sudah berdiri disebelah kirinya. Tangan wanita itu bergerak perlahan untuk menyetuh lengan Dara. Lalu menariknya perlahan dan berakhir dengan genggaman erat.
"Terima kasih." Ucap Della dengan suara lemah. Dara pun tersenyum dan mengangguk pelan.
"Tolong Jaga dia untukku," timpal Della yang sama sekali tak Dara pahami maksudnya. Namun berbeda dengan Arham, lelaki itu tampak kaget dan langsung menatap Dara. Dara yang masih bingung pun menatap Della dan Arham bergantian. Mencari sebuah penjelasan.
"Menikahlah dengannya, Kak."
Deg! Bagaikan ribuan belati menghantam jantung Dara. Semuanya terdengar semu ditelinganya. Dara memejamkan matanya, mencoba menepis semua pikiran buruknya. Mungkin ia salah dengar.
"Jangan katakan hal itu, kau akan sembuh. Berjanjilah padaku, Della. A--aku berjanji akan selalu ada untukmu mulai saat ini," kata Arham seraya menyentuh wajah Della yang terlihat semakin pucat.
"Maaf, aku tidak bisa menepati janjiku untuk bertahan bersamamu, Kak. Kamu harus bahagia, gadis ini akan menjadi kebahagiaanmu mulai saat ini." Della meneteskan air matanya.
Dara yang mendengar itu tersentak mundur dan hendak melepaskan genggaman tangan Della. Namun genggaman wanita itu semakin mengerat.
"Menikahlah dengannya...." kini suara Della semakin tenggelam. Ia juga memberikan tatapan memohon pada Dara.
"Apa maksudmu? Aku tidak mengenalnya, begitu pun sebaliknya. Kami tidak mungkin menikah, kau sudah gila Della." Arham mengusap wajahnya dengan kasar.
"Menikahlah dengannya... a--aku ingin melihatmu bahagia sebelum aku pergi." Napas Della mulai tersengal, dan semakin erat menggenggam tangan Dara. Dara menggelengkan kepalanya sambil menatap Della lekat.
"Maaf, aku tidak bisa." Ucap Dara begitu pelan.
"Aku mohon. Menikahlah dengan suamiku. Berjanjilah untuk membuatnya bahagia bersamamu. Begitupun dengan kamu, Kak. Berbahagialah bersamanya. Aku yakin dia jodoh terbaik yang Allah kirimkan untukmu." Della terus memohon seraya menatap Dara dan Arham penuh harap.
Della berani mengatakan hal itu karena ia punya alasan sendiri. Sebelum kecelakan itu, Della sempat berdoa dan meminta petunjuk pada Sang Maha Kuasa agar mengirimkan seorang wanita solehah untuk suaminya. Della mengalami pendarahan saat itu dan hendak ke rumah sakit. Arham tak mengetahui jika Della sedang hamil. Oleh karena itu Della mengemudikan mobilnya sendiri menuju rumah sakit. Hingga kecelakaan naas itu pun terjadi. Dan saat Della membuka mata, wajah Dara lah yang terekam jelas di memorinya. Ia berpikir, jika tuhan mengabulkan doanya. Mengirimkan seorang biadari cantik, yaitu Dara.
Sejak awal Della memang berniat untuk pergi dari kehidupan Arham. Rumah tangga mereka tak sebaik yang orang lain pikirkan. Pernikahan atas dasar perjodohan tak selamanya berjalan baik. Termasuk pernikahan mereka saat itu.
Dara tercengang, ia bingung harus bicara apa. Bahkan mulutnya terasa kelu.
Ya Allah, apa rencanamu sebenarnya? Dara berkata dalam hati, jujur ia masih belum siap untuk menikah diusianya yang baru menginjak 19 tahun ini. Ditambah lagi ia tak mungkin menikah dengan lelaki yang notabennya dosen killer yang sangat ia hindari.
"Saya tidak bisa, Mbak. Saya belum siap untuk menikah. Saya minta maaf ." Ujar Dara mencoba untuk menolak. Ia juga berusaha melepaskan genggaman tangan Della. Dan hendak pergi dari sana.
"Please...." Suara Della terus melemah sejalan dengan suara alat pendeteksi jantungnya.
"Baiklah, aku akan menikah dengannya. Kau puas Della? Aku mohon bertahanlah, aku akan memenuhi keinginanmu." Arham bicara dengan lantang. Tentu saja ucapannya berhasil menahan Dara yang hendak membuka pintu.
Gadis itu menoleh dan cukup terkejut saat mendapatkan tatapan tajam dari Arham.
"Aku akan menikahinya." Arham terus mengulangi ucapannya dengan tatapan tak lepas dari Dara.
Dara menggeleng kuat. "Tidak, saya tidak mau."
"Aku akan menikahinya, Della. Aku akan menikahinya tepat di depan matamu." Ulang Arham yang berhasil membuat Della tersenyum bahagia. Dengan amarah yang memucak, Arham pergi meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum itu ia sempat memberikan tatapan tak bersahabat pada Dara. Dan itu membuat tubuh Dara mundur perlahan.
Gadis itu menyandarkan punggungnya di daun pintu setelah kepergian Arham. Matanya juga terpejam, seakan tak mampu menerima kenyataan yang tengah menimpanya. Ia berharap semua ini hanya mimpi dan segera terbangun.
"Kenapa mbak melakukan ini?" tanya Dara seraya membuka matanya dan menghampiri Della. Ia sangat sadar, jika ini bukan sekadar mimpi belaka. Dara memberikan tatapan penuh selidik pada Della. Namun wanita itu malah tersenyum seraya memejamkan matanya.
"Takdir," jawab Della tanpa membuka matanya. Bahkan suaranya semakin tenggelam hampir tak bersuara.
"Takdir apa, Mbak? Tidak ada takdir seperti ini. Yang tahu takdir manusia hanya Allah, Mbak."
Dan lagi-lagi Della diam tak memberikan jawaban. Kemudian seorang dokter dan beberapa perawat pun masuk untuk memeriksa kondisi Della.
Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Dara benar-benar bingung dengan semua yang terjadi. Ia menatap Della yang terbaring lemah, ada sedikit getaran dalam hatinya saat melihat kondisi Della saat ini.
Jika ini takdir untukku, aku akan menerima dengan hati yang ikhlas ya Allah. Tapi tolong tunjukkan secara jelas, takdir seperti apa yang Engkau gariskan untukku? Kini Dara benar-benar dirindung pilu. Hati kecilnya tak berdaya. Bagaimana jadinya jika ia menolak keinginan wanita itu? Mungkin ia harus menanyakan semua ini pada Sang Pemilik Hati. Agar mendapat jawaban yang pasti.
Cinta itu bukanlah sebuah kesalahan, tetapi cinta akan terlihat salah jika kita menempatkannya di posisi yang salah pula. Cinta yang tulus hanya didapat dari-Nya yang tak pernah tidur, dari-Nya yang mengatur skenario kehidupan.
...\~Cut Dara Maristha\~...
Awan mendung menyelimuti langit ibu kota. Seakaan menunjukkan kesedihan mendalam atas kepergian Della untuk selama-lamanya. Sungguh kesedihan yang amat mendera untuk keluarga Pratama. Della telah berpulang kerahmatullah tepat tiga jam yang lalu. Dan saat ini Arham masih terduduk lesu, menatap pusaran terakhir istrinya dengan tatapan kosong. Tangannya mengepal erat tanah merah itu, menyalurkan rasa sakit dihatinya. Setelah puas, ia pun bangkit dan langsung beranjak pergi. Dara yang sejak tadi ada di sana pun langsung menyusul Arham. Karena saat ini ia sudah sah menyandang status istri Arham. Sebelum kepergian Della, Arham berhasil mengikatkan benang suci itu pada Dara.
Bukan tanpa alasan yang jelas untuk Dara menyetujui pernikahan itu. Selama dua hari terakhir, Dara terus meminta petunjuk dari Sang Maha Kuasa. Jawabannya hanya satu, Arham lah yang selalu hadir dalam mimpinya. Wajah itu terlihat jelas dan berulang selama dua malam. Oleh karena itu Dara yakin dengan keputusannya.
"Pak tunggu sebentar!" Seru Dara saat melihat Arham hendak masuk ke dalam mobil.
"Jangan pedulikan aku." Sahut Arham dengan nada dingin. Kemudian ia pun langsung pergi meninggalkan Dara yang mematung ditempatnya.
Dara terlihat bingung sekarang, pasalnya ia tak tahu di mana rumah lelaki yang saat ini sudah menjadi suaminya itu. Bahkan ia tak membawa mobil, keluarga Arham juga sudah pulang lebih dulu. Dara mengehela napas panjang, lalu memutuskan untuk pulang dengan taxi. Ia sedikit berjalan menjauhi pemakaman. Karena di sana tak ada taxi yang lewat. Tiba-tiba hujan turun begitu deras dan berhasil membasahi tubuh Dara. Ia pun langsung berlari menuju sebuah halte yang lumayan jauh.
Sesampainya di halte, Dara memeluk tubuhnya sendiri karena merasa kedinginan. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Hingga sebuah mobil silver berhenti tepat didepannya. Dara sangat mengenali mobil itu. Tubuhnya pun terpaku saat melihat seorang pria tampan turun dari mobil itu dengan sebuah payung. Lalu menghampirinya. Tatapan gadis itu pun mendadak kosong.
"Kenapa kamu di sini?" Tanya pria itu seraya membuka jas miliknya. Lalu memakaikannya pada Dara. Dara masih terdiam, bahkan buliran air bening mulai membasahi pipinya. Tubuhnya bergetar dengan suara isakkan yang tenggelam oleh suara hujan.
"Sudahlah." Pria itu langsung menarik Dara kepelukannya. Membuat tangisan Dara semakin pecah. Pria itu tak lain adalah Teuku Haikal Alfaruq, abang kandung Dara. Haikal mengelus punggung sang adik, mencoba untuk menenangkannya.
"Kita pulang." Ajak Haikal yang dijawab anggukan oleh Dara. Lalu keduanya langsung beranjak pergi dari tempat itu. Tanpa mereka sadari, sepasang mata mengawasi mereka dari jauh. Sorot mata itu manajam dan memancarkan aura kemarahan.
***
"Bunda, jika Dara sudah bangun tolong berikan obat ini pandanya." Pinta Haikal memberikan sebungkus obat demam pada Zahra.
Haikal memang seorang dokter. Oleh karena itu ia memeriksa kondisi sang adik yang demam akibat terkena hujan siang tadi.
Zahra pun mengangguk sambil mengusap kepala Dara yang masih tertidur pulas. Haikal yang melihat itu merasa sangat iba. Dara adalah adik satu-satunya yang sangat ia sayangi. Haikal juga mengetahui apa yang menimpa adiknya saat ini.
Haikal merupakan orang pertama yang menyangkal keputusan Dara. Namun adiknya itu sangat keras kepala. Ia tak bisa melarangnya, karena itu ia sangat marah dan enggan untuk menghadiri akad nikah sang adik yang digelar di rumah sakit. Padahal rumah sakit itu tempatnya bekerja. Dan ketakutannya benar-benar terjadi, lelaki itu tak menginginkan Dara.
Pertemuan dengan Dara tadi bukan sekadar kebetulan, karena Haikal memang terus mengikuti mereka sejak di rumah sakit. Bahkan ia juga menyaksikan akad nikah sederhana itu di ruang monitor. Haikal tidak benar-benar marah pada adik keras kepalanya itu. Semarah apa pun dirinya, akan tetap kalah dengan rasa sayangnya pada sang adik.
"Bunda, Ical pamit ke rumah sakit, malam ini kena jadwal piket." Pamit Haikal mencium punggung tangan Zahra.
"Jangan lupa makan dulu," ucap Zahra menatap putranya lamat-lamat.
"Iya, Bunda. Assalamualaikum." Ucap Haikal yang langsung beranjak pergi.
"Wa'alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh." Balas Zahra menatap kepergian Haikal. Kemudian perhatiannya ia alihkan kembali pada Dara. Hatinya sangat sakit saat melihat kondisi Dara saat ini. Zahra tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, karena Haikal menyembunyikan itu darinya.
"Bunda hanya berdoa agar kamu selalu bahagia, Nak." ucap Zahra mengelus kepala Dara begitu lembut. Dan menghadiahi kecupan hangat di keningnya sebelum pergi meninggalkan kamar itu.
Di tempat lain, terlihat seorang pria tengah duduk di sofa sambil menatap kedua orangtuanya bergantian. Tatapan yang sulit diartikan.
"Apa kamu ingin membuat Mama sama Papa malu, Arham? Di mana akal sehatmu, meninggalkan istri kamu sendirian di pemakaman? Bahkan dia tidak tahu alamat rumah kamu, Arham." Geram Hesti tak habis pikir dengan ulah putranya.
"Dia akan pulang, jika tahu dirinya sudah menjadi seorang istri. Lagian wanita itu hanya istri di atas kertas, Ma. Arham menikahinya karena permintaan terakhir Della. Arham capek, mau tidur." Sahut Arham dengan santai dan langsung meninggalkan kedua orang tuanya.
"Jemput dia Arham." Tegas Gilang yang berhasil menghentikan langkah Arham. Arham pun berbalik dan menatap kedua orang tuanya malas.
"Jika dia tau diri, dia akan pulang." Ujar Arham yang langsung pergi meninggalkan Hesti dan Gilang yang terpaku mendengar jawabannya. Tangisan Hesti pun pecah seketika.
"Apa yang harus kita lakukan, Pah? Mama sudah tidak melihat lagi Arham yang dulu, dia berubah Pah. Hatinya sekeras batu."
Gilang memeluk Hesti untuk menenangkannya. "Kita serahkan semuanya pada Allah, Mah. Yang sabar, Insha Allah Arham akan kembali pada dirinya yang dulu." Hesti pun mengangguk. Berharap apa yang suaminya katakan itu benar-benar terjadi. Bahkan saat ini Hesti tak lagi mengenali putranya sendiri..
Di dalam kamar mandi, Arham memukul tangannya ke dinding. Hingga mengeluarkan darah segar. Ia juga mengguyur tubuhnya di bawah shower. "Aaakhhhhh!" Arham berteriak frustasi. Ia sangat marah pada takdir yang selalu mempermainkannya. Bahkan rasa sakit ditangannya tak sebanding dengan sakit dihatinya.
"Kau sama saja dengan wanita murahan itu, semua wanita seperti kalian sama saja. Menyembunyikan kebusukan dibalik pakaian besar." Umpat Arham saat mengingat bayangan Dara yang sedang memeluk seorang pria asing. Hal itu benar-benar memengaruhi perasaannya yang saat ini tengah berkecamuk.
Siang tadi Arham memang kembali untuk menjemput Dara. Namun ia tak menyangka akan mendapatkan pemandangan menyakitkan itu. Dara memeluk seorang lelaki asing di tempat umum. Yang benar saja? Wanita berpenampilan alim seperti Dara melakukan itu. Saat ini pikiran lelaki itu dipenuhi hal-hal negatif tentang istri barunya.
Satu jam berlalu, Arham pun keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk sebatas pinggang. Lalu pandangannya langsung tertuju pada foto pernikahan dirinya degan Della. Ia tersenyum getir. Kisah cintanya tak pernah berjalan mulus. Bahkan istri yang baru saja mulai ia cintai harus pergi jauh dan tak mungkin untuk kembali. Sejujurnya Arham sudah mulai menerima Della dan membuka hatinya untuk wanita itu. Tapi takdir berkata lain, tuhan merenggut paksa wanita itu darinya. Yang membuat Arham tak habis pikir lagi, Della menyuruhnya untuk menikahi Dara. Gadis yang mengingatkannya dengan masa lalu yang menyakitkan. Seakan mengorek luka yang belum sepenuhnya kering.
"Kenapa kau melemparku kejurang yang sama lagi Della? Kenapa kau lakukan itu?" Kesal Arham meraih foto Della yang sedang tersenyum. Lalu melemparnya asal ke atas kasur. Kemudian pandangannya beralih pada laci yang sedikit terbuka, karena penasaran Arham membuka laci itu. Matanya terbelalak saat menemukan sebuah benda dengan dua garis merah di dalamnya. Jantung Arham pun berpacu hebat, ia tahu pasti benda apa itu. Arham langsung memakai piama miliknya dan beranjak keluar membawa benda itu.
"Mama, apa maksud semua ini?" Tanya Arham melempar benda pipih itu di atas meja. Hesti yang melihat itu sangat terkejut dan langsung bangun dari posisinya. Namun dengan cepat ia menormalkan ekspresinya.
"Apa Della hamil, Ma?" tanya Arham penuh curiga. Hesti menatap Arham sekilas.
"Ya, dia tidak ingin kamu tahu. Della tidak bisa bertahan karena mengalami pendarahan hebat. Mama minta maaf tidak memberi tahu kamu soal itu, ini semua permintaan Della." Jawab Hesti masih bersikap tenang. Meski sebenarnya ia merasa bersalah pada Arham.
Amarah Arham pun semakin tersulut mendengar jawaban Hesti. Lalu pikirannya langsung tertuju pada Dara. Karena ia masih berpikir kecelakaan yang terjadi disebabakan oleh gadis itu.
"Jadi wanita itu sudah membunuh istri dan calon anakku? Aku tidak akan pernah memaafkan kesalahannya." Geram Arham dengan mata yang memerah.
"Tidak, Arham! Dara tidak bersalah. Itu murni kecelakaan." Hardik Hesti yang tak terima dengan tuduhan Arham.
"Cukup! Mama jangan membela wanita itu lagi di depanku. Aku muak, Ma." Sahut Arham dengan suara lantang. Hesti yang mendengar itu sangat kaget. Lalu lelaki itu bergegas pergi menuju kamarnya. Mengabaikan perasaan Ibunya.
Hesti terduduk lesu, ia benar-benar sudah kehilangan Arham yang dulu. Arham yang selalu bersikap ramah dan menghormati orang tua. Namun kali ini semua itu seakan berbanding terbalik. Bahkan sebelum ini Arham tak pernah membentaknya.
"Ya Allah, tolong lindungi anak hamba, jauhkan dia dari perbuatan buruk. Ampuni segala kesalahanya selama ini, lembutkanlah hatinya Ya Allah." Hesti menangis sendu. Ia mengharapakan Arham kembali seperti dulu lagi.
***
Suara azan subuh berhasil membangunkan gadis cantik yang tengah bermimpi buruk. Ia tersentak dari tidurnya dengan napas yang memburu. Bahkan tubuhnya sudah dipenuhi peluh.
"Astagfirullahal'azim." Ucapnya seraya mengusap wajah. Lalu mengambil air putih di atas nakas. Ia sangat haus.
"Bismillahirrahmanirrahim." Perlahan ia meneguk air itu hingga tandas. Kemudian meletakkan gelas kosong itu ke tempat semula. Namun ia tersentak kaget saat melihat seorang pria asing duduk di sofa dengan sorot mata yang tajam mengarah padanya. Sontak gelas itu terjatuh dan menghasilkan bunyi pecahan yang nyaring.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!