NovelToon NovelToon

Pura-pura Lugu Padahal Pemuas Nafsu

Sebuah Harapan

Plak!

Tamparan itu terdengar nyaring, memecah keheningan kamar yang dingin. Qeunby tersungkur, tubuhnya jatuh menghantam lantai yang keras. Pipinya terasa panas dan perih, tetapi tidak ada air mata yang keluar. Dia sudah terlalu sering mengalami ini untuk menangis lagi.

"Sudah kubilang, jangan menonjolkan dirimu kalau Kirey ada! Apa kau lupa posisimu di rumah ini? Hidup seperti bayangan! Orang mati saja lebih tahu tempatnya!" Suara tajam itu meluncur dari mulut wanita yang berdiri di atasnya, Ibu tirinya, Ibu Tirinya.

"Qeunby hanya ingin membantu, Ma. Bukan bermaksud- Aaakh!" Qeunby belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika rambut hitam panjangnya dijambak kuat-kuat. Kepalanya tertarik ke belakang, membuat wajahnya mendongak paksa ke arah Ibu Tirinya.

"Diam! Jangan mencoba membela diri!" Ibu Tirinya membentaknya dengan mata menyala-nyala. "Apa yang kau lakukan tadi di depan klien hanya membuat Kirey terlihat bodoh!"

Kirey, putri kandung Ibu Tirinya, melangkah mendekat dengan tatapan penuh kebencian. "Dia sengaja, Mah! Aku yakin dia memang mau mempermalukanku. Mana mungkin aku nggak tahu detail gaun itu? Dia sengaja nggak kasih tahu aku!"

Qeunby terdiam. Tidak ada gunanya membela diri. Semua orang yang menyaksikan kejadian di butik tadi tahu kebenarannya. Ketika Kirey tidak bisa menjawab pertanyaan klien, Qeunby hanya mencoba menyelamatkan situasi. Namun, di mata Ibu Tirinya dan Kirey, bantuannya dianggap ancaman.

"Aku hanya menjelaskan karena klien terlihat ragu. Aku takut mereka batal memesan," Suara Qeunby nyaris tidak terdengar.

"Pesanan itu untuk butik kita, bukan untukmu! Kalau bukan aku yang mendesainnya, gaun itu tidak akan pernah ada!" Kirey menendang perut Qeunby.

Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Qeunby. Namun, dia tidak melawan. Tidak ada gunanya. Ibu Tirinya menarik Kirey menjauh, berbisik, "Sudah, Sayang. Nanti kalau dia mati, kita yang susah."

Mereka meninggalkannya begitu saja, tubuhnya tergeletak lemah di lantai. Dengan susah payah, Qeunby menarik napas, menahan rasa sakit di setiap inci tubuhnya.

'Tuhan, jaga aku dari orang-orang seperti mereka. Berikan aku kekuatan untuk bertahan. Aku percaya, suatu saat bantuan-Mu pasti datang.' Doa itu terlintas di benaknya, meski hati kecilnya meragukan apakah masih ada harapan untuknya.

Drrt! Drrt!

Getaran ponsel memecah keheningan. Dengan tubuh gemetar, Qeunby merangkak ke arah nakas. Dia mengambil ponselnya dengan tangan yang bergetar, lalu membaca pesan yang masuk.

Undangan Reuni

Kepada seluruh angkatan…

Matanya terbuka lebar. Undangan itu seperti jawaban atas doanya. Reuni SMA? Apakah ini kesempatan yang dia butuhkan? Dalam ingatannya, ada seseorang yang mungkin bisa menolongnya keluar dari jerat keluarga ini.

...----------------...

Di sisi lain kota...

"Mommy muak mendengar berita ini, Jo! Berapa kali Mommy harus bilang? Perbaiki reputasimu!" Luisa, seorang wanita berusia 55 tahun dengan penampilan anggun, berdiri di hadapan putranya.

Jonas Hermawan Sagala, pewaris utama keluarga Sagala, hanya bisa menghela napas berat. Di balik wajah tampannya yang menawan, ada rahasia yang menghancurkan hidupnya, kecelakaan tiga tahun lalu telah merenggut kepercayaan dirinya sebagai seorang pria.

"Mommy tidak peduli siapa yang akan kamu nikahi, asalkan dia bisa memberi cucu!" Suara Luisa meninggi.

Jonas berdiri, tubuh atletisnya tampak tegang. "Mom, itu tidak semudah yang Mommy pikirkan," ucapnya datar.

"Kenapa tidak? Kamu punya segalanya, Jo. Wajah, harta, karier cemerlang! Apa lagi yang kurang?"

Jonas tidak menjawab. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Berita tentang disfungsi ereksinya telah menjadi aib yang dia sembunyikan mati-matian. Bagaimana mungkin dia memberikan cucu kalau tubuhnya sendiri sudah tidak mampu?

"Mommy mau kamu menikah, Jonas. Ini keputusan final!" Luisa pergi, meninggalkan Jonas yang kini sendirian.

"Sial!" Jonas mengacak rambutnya dengan frustrasi. Semua tekanan ini semakin membuatnya merasa tidak berharga.

Drrt! Drrt!

Suara getar ponsel menarik perhatiannya. Dia membuka pesan yang masuk.

Undangan Reuni

Kepada seluruh angkatan…

Mata Jonas berbinar membaca undangan itu. Kenangan masa SMA membanjiri pikirannya. Dan di antara semua kenangan itu, ada satu sosok yang membuatnya tersenyum: gadis pertama yang membuatnya merasakan cinta dan nafsu.

Dia harus datang ke reuni ini. Mungkin ini adalah kesempatan untuk memperbaiki sesuatu yang telah lama dia sesali. Dan, siapa tahu, gadis itu bisa membantunya keluar dari bayang-bayang gelap yang kini menyelimutinya.

...----------------...

Malam itu, di sudut kamar yang berbeda, dua hati yang terluka menggantungkan harapan mereka pada reuni yang akan datang. Bagi Qeunby, ini adalah kesempatan untuk melarikan diri. Bagi Jonas, ini adalah peluang untuk mengembalikan harga dirinya.

Namun, mereka tidak tahu bahwa pertemuan itu akan mengubah hidup mereka selamanya.

TBC.

Malam Reuni

Suasana Ballroom hotel bintang lima malam itu begitu hidup. Gelak tawa, perbincangan hangat, dan dentingan gelas beradu mengiringi alunan musik lembut dari band akustik yang tampil di sudut ruangan.

Acara reuni akbar ini menjadi momen nostalgia bagi para alumni sekolah bergengsi. Mereka yang dulu mengenakan seragam abu-abu kini hadir dalam balutan busana formal nan mewah, mencerminkan status dan kesuksesan masing-masing.

Namun, di tengah gemerlap itu, di sebuah balkon yang sedikit tersembunyi dari hiruk-pikuk, seorang wanita berdiri sendiri.

Gaun hitam panjang yang ia kenakan melekat sempurna di tubuhnya, mencerminkan keanggunan yang sederhana. Rambut hitam panjangnya tergerai, sebagian tertiup angin malam. Kedua matanya yang bulat dan bermata madu menatap ke arah keramaian dalam ruangan, namun pandangannya hanya terfokus pada satu sosok pria berpostur tegap dengan rambut hitam rapi yang tampak sedang bercanda dengan teman-temannya.

Quenby Agatha menelan ludah pelan. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari sosok itu adalah Jonas Hermawan Sagala, pria yang menjadi bagian penting dari masa lalunya. Sosok yang tak pernah ia lupakan, meskipun waktu telah berjalan dua belas tahun sejak mereka terakhir kali bertemu.

Ingin rasanya ia melangkah mendekat, mengulurkan tangan, dan memulai percakapan. Tapi keberanian Quenby tertahan oleh keraguan.

Apakah Jonas masih mengingatnya?

Apakah pria itu akan melihatnya seperti dulu?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di benaknya, membuat langkahnya tetap terpaku di balkon.

Namun, seolah dituntun oleh takdir, Jonas tiba-tiba menoleh. Mata mereka bertemu, dan Quenby merasakan aliran listrik yang membuat tubuhnya kaku. Jonas tersenyum tipis, lalu mulai berjalan mendekat.

Quenby panik. Ia ingin berbalik dan bersembunyi, tetapi kedua kakinya terasa membeku. Dalam hitungan detik, Jonas sudah berdiri di depannya.

"Kamu... Quenby, kan?" suara bariton Jonas terdengar akrab, namun ada nada terkejut di dalamnya.

Quenby mengerjap, mencoba meredakan debaran jantungnya. "Ya, Kak Jonas," jawabnya pelan.

Senyum Jonas melebar. "Syukurlah kamu masih ingat aku. Kupikir aku harus memperkenalkan diri lagi."

Quenby terkekeh kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Tidak mungkin lupa. Kakak... banyak berubah. Tapi tetap sama dalam beberapa hal."

"Berubah lebih baik, kan?" Jonas mengedipkan mata dengan nada menggoda.

"Jauh lebih baik," jawab Quenby jujur.

Jonas memandangnya dengan penuh perhatian. "Dan kamu, Quen. Kamu... semakin cantik."

Quenby merasakan pipinya memanas. Pujian itu membuatnya bahagia, tetapi juga mengingatkannya pada kenangan lama yang tak sepenuhnya indah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.

"Kak Jonas juga terlihat hebat," katanya, berusaha mengalihkan perhatian dari dirinya.

Senyum Jonas meredup sedikit, tetapi ia segera kembali ceria. "Jadi, bagaimana kabarmu selama ini? Apa yang kamu lakukan setelah lulus?"

Quenby terdiam sejenak. Haruskah ia jujur tentang kehidupannya yang penuh luka? Atau cukup memberikan jawaban standar? "Aku... menjalani hidup seperti biasanya. Ada suka dan duka," jawabnya diplomatis.

Jonas mengangguk pelan. "Aku mengerti. Hidup memang tak selalu mudah. Tapi aku senang bisa bertemu lagi denganmu."

Percakapan mereka terhenti ketika seorang pria lain mendekat. Sosok itu mengenakan setelan abu-abu yang sempurna dan memancarkan aura percaya diri.

"Jonas, aku mencarimu dari tadi," katanya dengan nada santai.

Jonas menoleh dan tersenyum. "Ah, Ndrew, ini Quenby, adik kelasku dulu."

Endrew mengulurkan tangan. "Senang bertemu denganmu, Quenby."

Quenby menyambut uluran tangan itu dengan sopan. "Senang bertemu juga."

"Maaf, Quen," Jonas berkata sambil menoleh padanya. "Aku harus pergi sebentar. Teman-teman kantor sudah menunggu."

"Oh, tidak apa-apa," Quenby berusaha terdengar santai meskipun hatinya kecewa.

Jonas tampak ragu sejenak, lalu mengeluarkan kartu nama dari sakunya. "Ini. Hubungi aku besok, ya? Aku ingin kita bicara lebih banyak."

Quenby menerima kartu itu dengan tangan gemetar. "Pasti."

Jonas tersenyum, lalu dengan gerakan spontan, ia mengecup pipi kanan Quenby. "Sampai bertemu lagi."

Setelah itu, Jonas dan Endrew melangkah pergi, meninggalkan Quenby sendirian di balkon.

Quenby menyentuh pipinya yang baru saja dikecup. Ada rasa hangat yang menjalar dari sana, tetapi juga dingin yang meresap ke hatinya. Ia menatap kartu nama di tangannya, merasa campur aduk.

Ada perasaan pesimis yang tiba-tiba menyeruak membuatnya takut bahwa Jonas tidak lagi menaruh rasa pada dirinya.

Namun, bukan Quenby namanya jika harus menyerah secepat itu.

"Aku tidak akan membiarkan kesempatan ini hilang," gumamnya pelan penuh tekad.

Ia memandangi sosok Jonas yang perlahan menghilang di tengah keramaian. Dalam hatinya, ia tahu bahwa pertemuan ini bukan sekadar kebetulan. Tuhan telah mendengar doanya, dan ini adalah awal dari sesuatu yang dapat membebaskannya.

TBC

Takdir Macam Apa?

Hentakan musik yang memekakkan telinga menggema di dalam kamar mewah sebuah villa pribadi di kawasan Puncak. Namun, sekeras apa pun musik itu dimainkan, suara-suara sensual yang menggema dari sudut kamar tetap terdengar jelas.

Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang pria duduk sendiri di sebuah sofa kulit hitam. Wajahnya memancarkan ketenangan, tetapi tanpa emosi. Matanya lurus memandang ke arah adegan panas di hadapannya. Tubuh yang bergerak seronok, desahan yang menggoda, semuanya berlalu begitu saja baginya. Tidak ada reaksi. Tidak ada gairah.

"Tuan Sagala, apakah Anda tidak ingin bergabung bersama kami?"

Suara seorang wanita terdengar lembut, penuh dengan rayuan. Wanita itu mengenakan topeng yang hanya menutupi sebagian wajahnya, memperlihatkan sepasang mata menggoda, sementara tubuhnya hampir sepenuhnya terekspos.

"Lihatlah lebih dekat, Tuan Sagala. Aku yakin Anda akan menemukan kenikmatan di sini," tambah wanita itu sambil melenggokkan tubuhnya ke arah pria tersebut, mencoba menggugah sesuatu dalam dirinya.

Namun, Jonas Hermawan Sagala tetap tak bergeming. Wajah tampannya yang sempurna tetap dingin tanpa ekspresi. Bahkan suasana yang begitu menggairahkan di sekitarnya tidak mampu membangkitkan hasrat yang katanya telah lama mati.

Jonas, pewaris tunggal kerajaan bisnis keluarga Sagala, adalah pria berusia 31 tahun dengan latar belakang yang membuat banyak wanita tergila-gila. Tapi sayang, beberapa tahun terakhir, rumor yang merusak nama baiknya menyebar. Orang-orang bergunjing bahwa dia tidak mampu memenuhi kodratnya sebagai pria.

"Sial!" Jonas bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan kamar itu, meninggalkan suara-suara menggoda yang masih bergema di dalamnya. Sudah cukup, pikirnya. Percuma mengikuti ide gila temannya, Endrew, yang mengatakan bahwa "terapi" semacam ini akan membantunya.

Di bawah langit malam yang gelap, Jonas berdiri di balkon villa, memandang jauh ke arah lampu kota yang berkelap-kelip. "Apa ini karma?" gumamnya pelan, suaranya penuh kekecewaan.

...----------------...

Tangisan yang Terpendam di Sudut Gelap

Di sebuah rumah megah di kawasan elit Jakarta, jeritan kesakitan menggema dari sebuah kamar kecil yang lebih pantas disebut gudang.

Seorang wanita muda tergeletak di lantai dingin, tubuhnya lemah tak berdaya. Wajahnya lebam, dengan darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya. Di hadapannya, seorang wanita paruh baya berdiri dengan sorot mata penuh kemarahan.

"Mau jadi jalang, hah?!" teriaknya seraya menarik rambut panjang putrinya dengan kasar, memaksa kepala wanita itu mendongak. Rambut-rambut hitam itu terlepas dari kulit kepalanya, meninggalkan rasa sakit yang menyiksa.

"Kalau kamu berani pulang larut lagi, aku pastikan kakimu patah!" ancam wanita itu, melepaskan genggamannya dan membiarkan kepala anaknya menghantam lantai dengan keras.

Wanita muda itu adalah Quenby Agatha, 29 tahun, anak kedua dari tiga bersaudara. Hidupnya penuh luka, baik di tubuh maupun di hati. Ia adalah pekerja keras yang mengurus butik keluarga, namun kasih sayang yang ia harapkan dari sang ibu tidak pernah datang.

Dalam gelapnya ruangan, Quenby terisak pelan. Tangisnya tak lagi lantang, hanya gemetar seperti api lilin yang hampir padam. "Papa... Quen kangen," bisiknya, memanggil sosok ayahnya yang telah tiada, satu-satunya orang yang pernah melindunginya.

...----------------...

Pagi yang Menyiksa, Seperti Hari-Hari Sebelumnya

Cahaya matahari pagi menyusup masuk ke sela-sela tirai jendela. Quenby bersiap untuk bekerja di butik. Wajahnya masih menyisakan bekas lebam yang sulit disembunyikan.

"Mau ke butik dengan wajah seperti itu?" tegur sang ibu saat melihat Quenby berjalan menuju mobilnya.

"Quen harus bertemu klien, Ma. Kami perlu membahas desain yang mereka ajukan."

"Kalau nanti orang-orang bertanya soal wajahmu, apa kamu akan menyalahkan Mama?!" nada suara sang ibu meninggi, penuh curiga.

Quenby menarik napas panjang, mencoba menahan diri. "Quen akan tambahkan makeup agar lebamnya tertutupi," jawabnya tenang, meski dalam hati ia ingin berteriak.

Mobil sedan miliknya melaju perlahan di jalanan Jakarta yang padat. Sesekali, Quenby melirik ke kaca spion, melihat bayangan dirinya. Bekas pukulan itu masih terasa. Rasa sakitnya bukan hanya di kulit, tapi juga di hati.

Saat berhenti di lampu merah, matanya menangkap kartu nama yang tergeletak di dashboard. Jemarinya meraih kartu berwarna hitam itu, membaca nama yang tertera di atasnya: Jonas Hermawan Sagala.

Ingatan tentang lelaki itu membuat bibir Quenby melengkung membentuk senyum kecil. Jonas, mantan kakak kelasnya yang dulu pernah mengisi ruang hatinya. Sudah dua hari sejak pria itu memberikan kartu nama itu padanya, tapi Quenby belum berani menghubunginya.

Kini, dia tahu, ini adalah kesempatan. Dengan cepat, Quenby memasukkan nomor Jonas ke dalam kontak ponselnya. Ia menulis nama kontak itu dengan sebutan yang membuatnya tersenyum sendiri. My Jonas.

[Hai, Kak Jonas...]

Pesan itu akhirnya terkirim. Quenby menunggu dengan jantung berdebar, berharap lelaki itu membalas.

Tidak butuh waktu lama sebelum ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari kontak bernama "My Jonas." Quenby menahan diri untuk tidak langsung membukanya, mencoba terlihat santai. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membaca pesan itu.

[Kamu Quen?]

Senyumnya merekah. Jonas masih mengingatnya. Bahkan tanpa memperkenalkan diri, pria itu tahu siapa dia.

Hati Quenby terasa hangat untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Dalam diam, ia berjanji, ia akan mencoba. Jika Jonas adalah jalan keluar dari neraka ini, ia akan melakukan segala cara untuk membuat lelaki itu menjadi bagian dari hidupnya.

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!