NovelToon NovelToon

Gara-Gara PINJOL

Aundy - Telat Nikah

    "Cita-cita kak Ody yang belum terwujud di usia saat ini ... itu me-ni-kah! Dulu aja ngebet kawin. Biar kalau anaknya kuliah dia masih tetap keliatan cantik!" Brandon membuka gosip hangat malam ini, dengan intonasi penuh penekanan.

  "Bener tuh, tumben yang ini jomblo nya awet, biasanya tiga bulan juga udah dapat pacar lagi!" ayah ikut menimpali. Sedangkan pria yang duduk di hadapan ayah, saat ini sedang terbahak, seolah menghina diriku yang dulu suka gonta-ganti pacar.

  "Padahal, ingat kan, Mas! dulu mbak Salma usia 25 tahun udah nganterin Ody sekolah!"

   "Udah nikah dua kali malah!" tambah ayah semakin menjadi.

  Obrolan tiga pria yang saat ini duduk di teras rumah membuat gendang telingaku seakan ingin meledakan larva panas. Dipikir-pikir pantas juga mereka mendapat piala atau piagam penghargaan dari lambe dower.

Emang salah ya, kalau aku belum nikah di usia 25 tahun, sampai-sampai menjadi topik obrolan begini? Bukankah lebih baik telat nikah dari pada asal kawin? Lagian, aku juga masih nyaman kali— dengan hidupku sekarang. Lebih tepatnya aku tengah menikmati posisi singleku! Sebelum nanti diributkan dengan acara membersihkan ompol, pup bayi, atau bahkan ribetnya membuat MPASI. Belum lagi tubuhku yang tidak ada seratus enam puluh centi meter ini digelondoti lemak atauuu ... lebih parahnya adu mulut dengan mertua. Seperti bunda dulu 😭.

Eth, jangan salah, aku tidak masalah ya jika menghadapi semua itu! Aku sudah siap mental, aku sudah siap batin! Bagaimanapun itulah nikmatnya jadi wanita—mumpung bunda masih ada kan, ada yang bantu momong. Tapi untuk masalah mertua, aku akan nuntut pisah rumah saja deh! Setahun sekali ketemu gitu kan, enak! Berasa diharapkan.

Sebenarnya, ada hal lain yang membuatku masih betah sendiri setelah putus dari kekasih terakhirku. Mendekatlah, siapkan camilan, tak perlu tisyu, kalian bakal tahu gimana kisahku!

  "Nanti aku jodohin aja kalau dia belum mengenalkan calonnya juga!"

Ancaman ayah membuatku melangkah menuju teras rumah, sambil membawa nampan berisikan kopi dan teh yang masih mengepulkan uap.

  "Ayah!" Aku melotot tajam ke arah pria yang sibuk menghisap rokok. Itu adalah ayahku yang masih gagah perkasa meski usiaku sudah 25 tahun. "Aku aduin bunda, loh!"

  Tentu saja ancamanku membuat mereka bungkam. Bunda adalah penguasa di rumah ini, siapapun yang berani mengusik hidup putrinya. Tidak ada ampunan, dia akan maju paling depan. Sekalipun ayah yang melakukannya.

  "Dia masih menyu-sui adikmu!" ayah tampak melirik ke dalam rumah.

  "Pokoknya kalau ayah masih berniat jodohin Ody, malam ini juga aku balik ke Malang. Masa bodoh dengan pernikahan anak om Panji!" Setelah meletakan teh poci ke atas meja, aku segera meninggalkan teras.

Gertakan yang baru saja meluncur dari bibirku, sepertinya benar-benar membuat mereka mengalihkan obrolan. Terdengar kini dunia per-otomotifan yang tengah mereka bahas.

  Sebenarnya, baru tadi pagi aku tiba di kota Semarang. Jujur aku tidak ingin pulang, meninggalkan tumpukan pekerjaan di kota Malang. Tapi demi apa ini adalah permintaan bunda! Siapa sih yang berani membantah kalau ada embel-embel 'bunda yang minta! enggak takut kualat kamu, yu ?(singkatan sebutan Jawa untuk kakak perempuan) Mumpung bunda masih hidup! Bahagiain dia, kek!' begitulah rayuan si jangkung Brandon. Supaya prince di rumahnya ini balek kampung.

  Sudah dua tahun ini aku bekerja di kota Malang. Beberapa bulan yang lalu, aku sempat ingin mendirikan usaha sendiri. Usaha kecil-kecilan sih, yang nantinya akan aku besarkan bersama Dirga. Sialnya setelah pinjaman online ku senilai 50 juta cair. Aku harus menelan kenyataan pahit, karena Dirga membawa kabur uang itu.

 Lima puluh juta plus tabungan pribadi raib seketika. Silakan saja tertawa, mengumpatiku dengan kata 'kapok' semoga kalian menerima hadiah setelah ini ya!

  Pria bernama Dirga Setyawan Itu minggat entah kemana. Bahkan ribuan kali aku menelpon, mengirim pesan, tidak ada satu pun yang direspon. Mungkin, dari dia aku dipaksa belajar ilmu keikhlasan, meski merelakan uang puluhan juta tak semudah kata. Tapi efeknya luar biasa, aku jadi lebih selektif lagi dalam mengenal pria. Jangan tampang aja yang dilihat! Dirga memang tampan, sih! Mirip aktor Korea yang depannya ada namanya Lee itu. Tapi ya itu, ternyata dia penipu.

  Dan imbas buruknya, adalah kehidupanku sekarang. Tidak ada yang tahu aku terlilit pinjaman online senilai 50 juta. Yang bunganya akan semakin bertambah setiap bulan. Aku sendiri tidak ingin mengatakan pada ayah. Meski pun dia sanggup melunasinya. Tapi efeknya itu loh, pasti aku akan langsung disuruh balek ke Semarang. Nggak boleh hidup mandiri lagi!

  "Ayah kamu ngobrol sama siapa, sih, Dy?"

  Suara bunda membuyarkan lamunanku. Bibirku tersenyum cerah, berupaya melenyapkan bayangan wajah Mas Dirga dari pikiranku. "Om Panji." Kutepuk ruang kosong di sampingku memberi isyarat ke bunda supaya duduk. "Adik udah bobo, Bun?"

  "Iya," jawabnya lembut.

  Jangan heran ya? Ucapan ayahku tadi memang benar. Aku masih memiliki adik bayi yang usianya masih satu tahun, kalau tidak salah. Jaraknya denganku memang sangat jauh sekitar 23 tahunan. Anggap saja ini insiden fatal. Dulu, bunda kira dia sudah menopause saat dua periode tidak datang bulan. Akan tetapi bulan berikutnya, ketika beliau konsultasi ke dokter: dokter justru mengatakan jika dia hamil.

  Untung anaknya ganteng, kalau cantik bakalan extra ayah Sabda menjaga diusianya yang sekarang ini. Namanya rezeki nggak boleh ditolak, kan? Apalagi dihilangkan, dosa!

  "Pacarmu yang dulu nelepon bunda itu, nggak lagi hubungan sama kamu ya?"

  "Jangan bahas dia, Bun!" Pintaku, yang tidak ingin mengingat setiap momen buruk bersama Dirga. Itu hanya akan membuatku teringat dengan pinjaman online yang notifikasinya selalu mengusik hari-hari indahku.

  Bunda justru tertawa, seolah menganggap remeh ucapanku.

 "Putus cinta soal biasa. Nanti juga ada lagi gantinya! Tapi, Dy?! Usiamu udah dua lima loh!"

  "Bunda mau bilang, kan? Kalau itu si Luluk anaknya udah dua!" selaku, Luluk adalah anak tetangga yang rumahnya mepet dengan rumah uti Deva.

  Emang, siapa yang nggak pengin segera menemukan jodoh? Tapi apa boleh buat kejadian beberapa bulan yang lalu membuat aku trauma menjalin hubungan dengan pria. Bukan berarti aku lesbi ya ... aku masih malas saja mengenal pribadi baru. Intinya, sekarang aku jomblo, gajian full untuk diri sendiri, makan enak sendiri, itu sangat-sangat happy menurutku. Apalagi tak ada budget buat jatah kaos atau kos pacar. Itu Alhamdulillah banget, menurutku.

  Denting pesan masuk mengalihkan perhatianku. Aku buru-buru berdiri saat melihat nama kontak itu dari salah satu aplikasi pinjaman online.

  JANGAN BON 👤

  Pinjaman lunas, hati pun nyaman!

Yuk, segera selesaikan tagihan pinjaman-mu sebesar Rp 51.073.819 yang sudah jatuh tempo pada 05-08!

  Lagi-lagi pesan ini. Aku segera menghapusnya, khawatir bunda dan ayah akan menemukan pesan keramat ini.

  Aku menguap, pura-pura ngantuk. Lebih baik aku segera masuk kamar dari pada menanggapi pertanyaan bunda yang terlihat masih ingin membahas persoalan Nikah.

  Sebelum masuk kamar, kulihat si bungsu nyaman di atas ranjang. Kuculik bayi menggemaskan itu, kubawa Nakula masuk ke dalam kamarku. Rasanya, meski seharian sudah pegal menggendong aku belum puas mengobati rinduku pada Nakula. "Doain Mbakmu ini cepat kaya yo, Cah Bagus! Biar bisa segera melunasi hutang." kupeluk Nakula, kutimang-timang saat tubuhnya menggeliat. Lalu kami berbaring bersisian, terlelap dalam alam mimpi yang indah sampai akhirnya suara ayam menyapa pendengaran ku.

  Pagi ini begitu cerah, awan seputih salju berarak menghiasi birunya cakrawala. Keindahannya berbanding terbalik dengan perasaan hatiku yang carut marut. Saat aneka pertanyaan dari: kapan nyusul? sampai calonnya anak mana? Target nikah usia berapa dan bla ... bla ... Kira -kira lebih dari 10x pertanyaan itu menyapa, menanyakan perihal statusku. Monoton dan membosankan menurutku. Karena jawabanku tetap sama; belum muncul hilalnya! belum ada, belum ... dan belum, jodoh masih otewe.

 Sedari tadi aku sibuk menemani Jemima yang sudah hampir dekat dengan mempelai pria. Ya, pagi ini aku menjadi Bridesmaids bersama tiga gadis lain. Sebelum tadi ikut melangkah menemani Jemima aku sempat menitipkan ponselku ke bunda. Dan sialnya aku lupa mematikan dering ponselku. Hingga saat kudengar ada panggilan masuk. Sosok bunda yang kini mengenakan kebaya warna coklat susu langsung menghampiriku, tepat setelah mempelai sudah duduk di kursi pelaminan.

  "Nomor kantor, berulangkali menelponmu! pasti ini dari perusahaan Malang!"

  Aku meringis, mendengar bunda mengatakan itu. Lalu melangkah, menjauh meninggalkan keramaian, berusaha mengangkat panggilan yang kutahu, panggilan ini dari aplikasi pinjaman online, yang pusatnya ada di kota Jakarta. Ya, baiklah Aundy mari kita hadapi petaka pagi ini. Aku berusaha menguatkan diri, kalau bukan aku sendiri siapa lagi?

  "Hallo selamat pagi, apa benar dengan ibu Aundy Saesya Bagaskara?"

"Ya, itu saya." aku menjawab lemah saat suara pria di seberang menyapa.

"Perkenalkan, saya Hugo Kresnajaya. Di sini saya ingin menginformasikan, jika pinjaman Anda sudah jatuh tempo ya, Bu. Dan selama lima bulan Anda sama sekali belum membayar angsuran."

  "Mas. Saya tahu. Tapi, Mas masalahnya gajian saya tu tanggal dua lima. Jadi mohon mengerti ya! Saya janji akan melunasinya."

  "Bulan lalu ibu juga bilang seperti itu! Tapi hasilnya, ibu sama sekali tidak membayar tagihan!"

Aku diam. Itu benar.

"Lalu kapan kepastiannya, Ibu? Tujuan saya hanya menanyakan kepastian."

  Lebih baik aku matikan saja panggilan ini, dari pada kepalaku semakin sakit.

  Sialnya nomor shelter Jakarta kembali hadir menghiasi layar. Membuatku cemas kalau-kalau ayah maupun bunda akan tahu. Atau parahnya lagi Brandon akan menguping dan mengadu pada mereka. Aku semakin menjauh dari lokasi demi lebih leluasa berbicara dengan rentenir kekinian itu.

  "Mas, kencan aja yuk! Kita ketemuan, ketemu di mana gitu? Siapa tahu kan kita jodoh?" sengaja, aku menyapa lebih dahulu sebelum dia nerocos menagih hutang.

  "Mohon bayar tagihan Anda ya, Bu! Atau saya akan menghubungi nomor ponsel yang ada di daftar buku telepon ibu!"

  "Heh! Mas Mas rentenir. Aku bakalan bayar kok! Tapi sabar! SABAR!" Aku ingin menangis kalau sudah begini, kaya diperas penjahat gitu rasanya! Tak ingin mendengar suaranya lagi aku pun mematikan ponselku. Biar aja di blacklist dari BI, selamanya aku nggak akan terlibat hutang, setelah ini.

  Namun, saat aku kembali ke tempat acara, sepertinya ucapan pria itu tidak main-main. Terbukti, kudengar dering panggilan dari ponsel bunda.

Mati aku!

Aundy - Target Nikah

Mereka yang berbahagia adalah mereka yang mengubah masalah menjadi hikmah. Ciee, keliatannya pas banget deh kata-kata itu buat aku.

  Jadi, setelah tempo hari si Mas Mas rentenir kekinian itu menelpon dan berakhir loss kontak. Di sinilah aku sekarang. Di salah satu mall besar yang ada di daerah simpang lima, kota Semarang. Tebak aku ngapain?

  Bukan, ya! Bukan ketemuan dengan mas rentenir. Melainkan, sibuk memilih ponsel baru. Btw, setelah kemarin aku diintrogasi ayah kenapa ponselku metong. Aku jawab dong rusak. Astaghfirullah, ampuni Ody ya Allah, sudah bohong. Dan di sini ayah membelikan aku ponsel baru.

  Siapa sih yang nggak mau di belikan iPhone terbaru oleh pengusaha beras porang? Yup, setelah mengundurkan diri dari salah satu perusahaan tambang, ayah mulai berpikir dengan otaknya yang sedikit encer untuk membuat usaha. Dan akhirnya ketemu, membudayakan porang, jenis umbi-umbian yang diproduksi menjadi beras sehat, rendah kalori, gluten free. Istilah bekennya beras shirataki, cek aja di online shop berapa harga perkilonya. Dan ayah masuk salah satu pengusaha sukses itu.

  "Udah. Mau apalagi, Nduk?"

  "Makasih, Ayah!" Aku memeluknya, bersikap manja seperti anak remaja putri. Tak peduli dengan tatapan mereka yang seakan mencurigai ku sebagai simpanan om-om. "Udah deh, Yah. Nanti tabungan ayah abis!" Aku mengulum senyum lalu menariknya untuk pulang.

  Sebelum tiba di rumah, ayah membawaku singgah ke salah satu warung es teler. Aku tak paham kenapa ayah membawaku ke tempat ini. Seolah ingin menghabiskan waktu berdua lebih lama lagi.

  Aku langsung menikmati es teler begitu tersaji di atas meja. Rasa dingin langsung menyentuh kerongkonganku. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Ody! ini nostalgia banget rasanya. Ayah seolah membawaku pada momen di masa lalu, saat aku duduk di bangku SMA, yang setiap hari dijemput sama ayah pakai motor Suzuki Shogun. Dan saat matahari lagi terik, ayah membawaku mampir ke sini.

  "Target nikahmu usia berapa sih, Nduk?"

  "Kenapa sih, Yah? Masih lama!" Nunggu utang lunas dulu. Tentu satu kalimat pendek terakhir hanya mampu kukatakan dalam hati. Ayah yang memiliki prinsip hidup tanpa hutang pasti akan langsung memaki saat tahu aku terlilit hutang. Apalagi pinjaman online yang bunganya waow banget.

  "Keren nggak sih, di usia 46 tahun ayah udah gendong cucu!"

  "Enggak." 46 tahun? Itu kan artinya tahun ini aku udah harus nikah. Lalu, tahun berikutnya melahirkan cucu untuknya.

  "Piye toh, Nduk!"

  Ayah menatap malas ke arahku. Masa bodoh, aku nggak mau mentarget kapan harus nikah, kapan harus punya anak. Kalau belum ada yang sreg ya nanti dulu. Dulu sih iya pengen nikah muda, tapi setelah lama gak nemu yang pas jadi malas mikirin nikah.

  "Ayah kenalin ke teman ayah mau?"

  Aku tertawa. What the ... "Teman ayah? Usia berapa itu?" aku melongo menanti jawaban.

  "Jangan gitu, Nduk! Keren loh, dia punya usaha minyak goreng. Usianya matang. Kalau kamu belum ada calon bisa dicoba."

  "Aku pasti manggil dia om! Ada fotonya, Yah?" Pura-pura tertarik demi menyenangkan hati ayah.

  "Nggak ada. Bunda ngasih ayah hape jadul. Ayah khawatir loh, Nduk. Kamu lama di Malang gak ada yang jagain. Kalau diapa-apain orang gimana?"

  "Ayah, di sana ada papa Farhan loh. Jadi, nggak usah khawatir berlebihan." Aku tahu. Aku paham mereka khawatir denganku. Bahkan, saat dulu hendak pergi saja harus melihat bunda meratapiku selama 48 jam.

  "Kalau begitu. Jawab pertanyaan ayah. Jujur!"

  Aku menelan ludah kasar, lalu mengalihkan fokus dengan menikmati es teller. "Apa?" Sahutku setelah menelan potongan kolang-kaling.

  "Kamu udah punya pacar lagi apa belum?"

  Demi apa? Kenapa pertanyaan selalu balik ke ini lagi. Dari pada aku dijodohin beneran sama om-om yang katanya teman ayah itu. Lebih baik aku bohong lagi. "U—udah!"

  "Alhamdulilah... Kalau gitu cepetan kenalin sama ayah! Ayah mau ngasih wejangan sama dia!"

  Nyari bantuan ke siapa coba kalau udah begini? Di kantor cuma ada empat cowok, pak bos, si O-BE dua, sama karyawan magang. Tapi mereka semua nggak dekat denganku.

  "Kapan-kapan deh, Yah. Kan hape Ody mati. Ini juga bingung gimana mau ngabari ke dia."

  "Okay, ayah tunggu ya." Kulihat ayah begitu semangat.

  Kami mulai membahas topik lain. Hingga pukul dua siang, ayah baru membawaku pulang ke rumah sekalian jemput Brandon yang kini duduk di kelas dua STM.

  "Eh! Ody cuci tangan dulu jangan pegang adik! Kebiasaan ya habis dari luar loh!"

  "Iya, Bundahara. Masak apa nih Bun?"

  "Ayahmu nggak ngajak makan emang?"

  Kebiasaan bunda pasti selalu menjawab dengan pertanyaan. "Cuma makan es doang, Bun."

  Suasana mendadak sunyi, ayah sudah tepar di depan tv. Si Brandon sibuk otak-atik motor cb nya di teras rumah. Sedang bunda sibuk di dapur setelah tahu Nakula bobo dengan ayah. Tentu saja aku mengotak-atik ponsel baru yang baru dibelikan ayah.

  Hingga suara dari halaman rumah, mengalihkan perhatianku.

  "Nyari siapa ya, Mas?"

  "Apa benar ini rumah Bu Aundy Saesya Baghaskara!"

  Reflek aku langsung melompat dari sofa, mendekati sumber suara. Aku takut itu mas mas rentenir kekinian yang kemarin menghubungiku.

Saat langkahku tiba bibir pintu, aku melihat sosok pria tengah menengadahkan kepala menatap matahari yang condong ke arah barat. Silau. Dia lantas menutupinya dengan tangan.

  "Maaf, mas siapa? Kenalan dulu dong!"

  Rasa penasaranku semakin menjadi. Tapi aku belum mau bergabung dengan mereka. Tidak lama aku bisa melihat pria itu menerima uluran tangan Brandon.

"Hugo Kresnajaya. Dari pin—

  "Heh, Mas Ugo!" Sela ku berteriak lantang. Membuat dua orang itu langsung menatapku bingung. Aku mendekati mereka, aku harus mencegah niat pria itu yang hendak menagih hutang.

  "Dik masuk, Dik!" Titahku, kasar.

  Kupastikan Brandon sudah berlari memasuki rumah terlebih dahulu baru aku mendekati pria itu. Tapi teriakan yang keluar dari bibir Brandon seolah memancing masalah baru.

  "Ayah, ada pacar mbak Ody di depan, Yah!"

  Kampret banget tuh bocah! Kalau pacar kan bawanya bunga mawar, lah ini? Minta bunga pinjaman iya!

  Aku masih termangu, menatap sosok pria di hadapanku. Lagi-lagi yang berdiri adalah pria idaman wanita. Keren, bajunya rapi, aromanya wangi, rambutnya klimis. Setelannya cool banget pokoknya, pak boss di kantor aja kalah. Ini kelihatannya Made In Indonesia asli. Kira-kira kalau tidak salah tebak, usianya 30 tahun awal. Tingginya 180an cm, aku sedikit mendongak agar bisa menatap matanya. Dan yang paling menarik adalah ada tahi lalat tepat di atas bibir, hitam legam membuatku gemas dan ingin mencabutnya. Enak kali ya dimainin pakai telunjuk? Kaya ngupil gitu, dikorek-korek biar copot tahi lalatnya. Kan, jadi mbayangin!

  "Selamat siang, Ibu Aundy. Akhirnya kita bisa bertatapan langsung. Boleh kita bicara di dalam rumah?"

  Enak aja, dia mau buat duniaku gelap! No way!

   "Boleh silakan!"

  Bukan, bukan aku yang menjawab, tapi ayah yang sudah berdiri di bibir pintu. Mengamati aku dan mas mas rentenir bergantian.

  "Nduk, bawa masuk tamunya. Panas. Dibuatin minum dulu kek!"

  Aku menoleh ke arah ayah sambil meringis. "Ayah ...."

  "Ayah cuci muka dulu ya. Nanti kita bicara!" Ayah terlihat senang, sambil berjalan masuk rumah lagi. Mungkin dikira aku sedang membawa calon menantunya.

  Aku menghela napas lega, setidaknya aku memiliki ruang dan waktu untuk berbicara empat mata dengan mas rentenir ini.

  "Mas, hutang aku kan, 51 juta ya. Aku janji akan melunasinya. Ayah aku tuh emosian, kalau dia tahu, bisa dibunuh aku. Aku paham, Mas hanya pegawai yang ingin mencapai target. Tapi aku nggak akan lari dari tanggungjawab, kok. Jadi, please tutupin hutangku dari keluargaku. Mereka tidak tahu apa-apa. Ini masalah pribadiku, Mas! Mas pergi, gih! Pulang sana!"

  "Tidak bisa. Kecuali ibu Aundy membayar sekarang, baru saya akan pergi."

  "Bisa nggak sih sedikit saja kamu kasihan padaku?! Mas aku habis kena tipu, uang itu dipakai sama mantan pacar yang nggak tahu diri itu. Tabunganku raib juga. Jadi please ...." Aku memohon, meminta dia bekerja sama. "Yah ..." Bujukku lagi ketika matanya mulai menatapku iba.

  "Tidak bisa."

  "Ody, bawa masuk tamunya!"

  Suara ayah kembali menyapa. Membuatku mau tidak mau menggelandang rentenir ini masuk ke dalam rumah.

Kami bertiga sudah duduk di kursi tamu. Ayah berhadapan dengan pria itu. Sedangkan aku masih harap harap cemas meski nyawa tinggal separoh.

Aundy - Kok Jadi Gini?

Ternyata, bukan hanya ojek online, transfer online, belanja online, pacaran online. Penyelidikan online pun sepertinya bisa juga. Aku curiga Pria yang duduk di depan ayah ini, sudah mengenalku lewat online data yang aku kirim ketika mengajukan pinjaman. Terbukti Mas rentenir ini, mampu menjawab dengan benar dan baik, sepuluh pertanyaan dari ayah tentang aku. Dari TTL, nama adik, nama orang tua, agama, asal kota, alamat rumah semuanya benar. Bahkan, hobi dan makanan kesukaanku saja, dia bisa menjawab dengan penuh keyakinan.

  Padahal kalau ditanya, nama lengkap dia aja aku nggak tahu, dan baru hapal detik ini, setelah ayah bertanya nama lengkapnya. Nama mas mas rentenir itu Hugo Kresnajaya.

  "Umurnya berapa, Mas?"

  Ayah melemparkan pertanyaan lagi. Kurasa ini sudah pertanyaan ke tiga belas setelah kami duduk di kursi tamu.

  "Tiga puluh delapan, Pak."

  Apa?! Berarti mukanya baby face banget dong. 13 tahun selisihnya sama aku. Demi apa ya Allah! Kupikir dia masih 31, 32 tahunan! kulirik ayah dia tengah manggut-manggut.

  "Jadi tujuan kamu datang ke kota Semarang untuk apa?"

  "Yah, kita baru break!" Selaku, memotong mas Hugo yang hendak menjawab pertanyaan ayah.

  "Break apaan sih, Nduk?"

  "Kita sedang ditimpa masalah, Ayah. Dan kami lagi intropeksi diri buat benerin semuanya. Intinya kalau sama-sama merasa masih butuh, kita bisa lanjut lagi gitu!" Good Ody! Karangan yang bagus, besok langsung bikin kerangka, lalu cetak novel, dijamin best seller. Pujiku pada diri sendiri lalu meringis, saat melihat tatapan bingung dari mas Hugo. Yah, meski wajahnya judes tapi kok kerasa ada manis-manisnya gitu! Apalagi tanda hitam di atas bibirnya, bikin guemesh.

  Kulihat respon berbeda dari ayah, hembusan napas terasa begitu ketara, seolah menahan kecewa atau apalah hanya dia dan Tuhan yang tahu ketika aku menyampaikan berita palsu ini.

  "Jadi menurutmu, Mas Hugo. Hubungan ini mau dilanjut atau sampai di sini saja? Masa iya, datang jauh-jauh nggak memiliki tujuan pasti?"

  Aku berharap mas Hugo akan memilik putus. Lalu pergi jauh dari rumah dan nggak akan muncul lagi di depan ayah. Tapi dia kok bungkam, seolah ikut saja sama alur cerita, dan menunggu endingnya.

  "Karena sudah sampai sini. Bagaimana kalau kalian menikah saja."

  "AYAH!"

  "PAK!"

  Suaraku seirama dengan panggilan mas Hugo untuk ayah. Dia terlihat sangat keberatan dengan pilihan ayah, sama halnya denganku.

  "Ayah itu sebenarnya nggak suka kamu pacaran, Nduk! Takut kamu hamil, takut bibirmu dicicipi banyak pria, takut ada lelaki *****-***** kamu dan nyari keuntungan dari tubuhmu. Sebenarnya ayah nggak suka, jadi sebaiknya kalian menikah saja. Toh usia mas Hugo juga sudah matang. Matang banget malahan."

  Apaan ini, kenapa aku malah kena imbasnya begini?! Balikin lagi ke scenario awal bisa nggak, cerita yang ujungnya aku dan mas Hugo nggak bakalan nikah gitu. Aku paham mas Hugo ganteng. Jelas dan pasti digandrungi kaum Hawa. Tapi aku nggak mau ngalahin prinsipku dong, harusnya untuk calon suami lebih selektif lagi kan, kenapa jadinya justru asal comot begini sih?!

  "Pak, kedatangan saya bukan untuk itu!"

  "Mas! Kita butuh bicara sebentar," selaku. Aku nggak mau ayah tahu aku punya hutang. Dan diminta balik ke Semarang. Hilang kebebasanku, nggak bisa nge cat rambut, nggak bisa pakai lipstik semerah cabe. Jam 9 wajib di kamar. Aku nggak mau itu!

  "Ya kalian perlu bicarakan ini, baik-baik. Dan untuk kamu, Nduk!" aku menunggu ayah berbicara. "Ayah bukan mau mengancam, tapi ayah maunya, kalau kamu nggak mau menikah sekarang. Lebih baik kamu ke Semarang aja. Handle penjualan online yang mulai rame!"

  Kan?! Astaga ayah! baru juga aku batin.

  Aku menarik lembut tangan mas mas idaman wanita itu. Aku butuh privasi agar bisa berbicara dengan Mas Hugo, tapi tidak mungkin membawanya masuk ke kamar. Haram hukumnya bagiku. Jadi— lebih baik di dalam mobil dia, yang ternyata kedap suara.

  "Mau lo apa sih?!"

Kasar, dingin dan menghunus jantungku. Pantas aku dapatkan karena membawa si mas mas ini ke dalam masalah yang rumit.

  "Bisa pelan nggak, ayahku masih ngeliatin kita."

  Kulihat dia menghembuskan napas kasar seraya menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi. Aku semakin merasa bersalah, tapi gimana dong aku nggak mau ayah tahu.

 Di teras rumah kulihat ayah terus memantau kami yang berada di dalam mobil. Seakan takut aku diapa-apain sama Mas Hugo.

  "Aku datang mau nagih hutang bukan menikah dengan mu! Sampai di sini paham, IBU AUNDY?"

  Aku hanya bisa menunduk, memangku sepasang tanganku ke atas paha. Meski panggilannya sudah berubah tapi tetap saja nadanya membentak. Serem tak secakep wajahnya.

  "Maaf."

  "Kehidupan ku udah sempurna. Dan aku nggak mau apapun darimu!"

  "Iya, aku paham, Mas! Aku juga bingung kenapa jadi begini?" Mataku berkaca-kaca, bukan akting, tapi ini beneran, aku menyesal dengan scenario yang sudah kubuat sendiri.

  "Dalam hidup seorang Hugo nggak pernah menginginkan hubungan casual! Jangankan dengan wanita yang belum satu jam dikenalnya. Dengan wanita yang sudah lama mengenalnya saja pun ogah!"

Jadi hubungan casual itu, hubungan tanpa komitmen, jalan bareng aja udah, meski saling suka. Atau parahnya mau en a-ena tapi hanya untuk benefit saja. Semoga dia bukan di tipe terakhir yang aku bayangkan.

  "Terus gimana solusinya? Aku juga belum siap menikah. Aku masih kesel sama mahkluk yang bernama laki-laki. My life is complicated because of men!"

  "Jadi orang jangan bego-bego banget kenapa sih?! Seenggaknya kalau kamu mau rugi jangan ngajak-ngajak orang lain!"

  Ya, aku paham dia pandai bersilat lidah. Tapi sama cewek mbok ya jangan sekasar ini kenapa sih? Aku baper tahu? Bikin melow aja, ternyata sifatnya tak sebaik rupanya.

  Aku membenturkan keningku di dashboard mobilnya. Itu adalah cara jitu supaya aku menemukan jalan keluar, bukan untuk meminta belas kasih dari Mas Hugo.

  Cukup lama kami terdiam di dalam mobil, hening dengan keringat yang sudah mengucur, karena mesin tidak dinyalakan.

  "Okay, aku sudah memutuskan!"

  Aku menoleh ke arah Mas Hugo, siap menantikan jawabannya.

  "Aku tahu yang rugi besar adalah aku. Entah benar atau salah semoga ini bisa membuatmu jera karena sudah merangkai cerita palsu."

  "Jadi? Kita kasih alasan apa?"

  "Kamu turun dulu, biar aku yang menjelaskan kepada ayahmu!"

  Semakin berdebar-debar jantungku. Penasaran dengan keputusannya.

  "Apapun keputusanmu, aku minta jangan mengungkit hutangku di rumah ini! Aku janji saat nanti bonus akhir tahun cair, aku akan melumasinya."

Matanya membola menatapku tajam.

"Eh mak—maksudku melunasinya." aku meralat saat paham kesalahanku.

  "Itu hakku! Makanya kalau nggak mau dikejar aku, ya jangan ngutang!"

  Lemes mendengar ucapannya, ini gara-gara Dirga! Awas saja kalau sampai kulihat batang idungnya. Aku keluar dari mobil Mas Hugo, bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi di depan nanti. Berharap ada kemudahan yang berakhir dengan bahagia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!