Alda Kusumawaty adalah anak tunggal di keluarganya. Kata orang, dia adalah anak kepinginan karena lima tahun mamahnya baru bisa hamil. Hidupnya sangat bahagia karena sangat dicintai orangtuanya. Alda seperti puteri kerajaan yang selalu mendapatkan apapun yang diinginkan. Tapi, sifatnya menjadi egois dan cepat marah.
"Pokoknya aku mau hape terbaru, mah. Hapeku sudah jadul. Aku malu, mah! Teman-teman sekolahku mengolok-olokku!" ungkap Alda sambil membanting hapenya. Sekarang dia sekolah di SMA internasional yang sebagian muridnya anak orang kaya.
"Ya, ampun. Nanti papa belikan yang baru, sayang!" tegur Mamah Alda yang bernama Asri Aldiyani. Dia sangat terkejut melihat Alda membanting hape padahal baru dibelikan dua bulan yang lalu.
"Memangnya papa kemana sih, mah? Udah seminggu gak pulang juga!"
"Papamu kan lagi ke Jepang, sayang. Nanti malam juga pulang dan pasti akan membelikan hape yang baru buat kamu," jawab Asri sambil memunguti serpihan hape Alda.
Sementara Alda malah tiduran di sofa dan membiarkan mamanya membersihkan hapenya.
"Biarin aja, mah. Kan ada Bik Tinah. Ngapain sih capek-capek!" cetusnya yang kurang suka melihat apa yang dilakukan mamahnya.
Asri tersenyum dan membiarkan Alda bersikap semaunya.
"Bik Tinah lagi memasak di dapur. Lagi pula, kalau dibiarkan nanti kakimu bisa terluka kalau menginjaknya!"
"Aakh, mamah! Kayak mamahnya temanku dong. Kalau mengantar selalu cantik dan staylis. Jangan kayak pembantu seperti itu. Kalau ada di dekat Bik Tinah, pasti disangka pembantu juga!"
"Alda!" Kali ini, omongan Alda agak kasar. Asri mulai merasa hatinya menjadi panas.
"Benar kok, mah. Mamah lihat aja di kaca. Apa mamah gak takut kalau papah punya simpenan? Papah itu kan selalu rapi, sementara mamah seperti pembantu!"
Tangan Asri gemetar. Ucapan Alda sudah kelewatan. Namun, ketika teringat setiap malam berdoa agar diberikan anak, hatinya menjadi luluh.
"Iya, sayang. Nanti mamah dandan yang cuaaantik!" sahut Asri meski hatinya masih panas.
"Bukan cuma dandan di muka mah, baju mamah juga jadul bener. Pokoknya kalau ngantar aku ke sekolah mamah harus make over dulu!" celetuk Alda lagi.
Asri tertawa kecil. Alda memang sudah remaja sehingga bisa menilai sesuatu seperti orang dewasa.
"Oke, bos. Nanti kamu yang dandanin mamah, ya!" ucap Asri dengan senyuman.
Alda gak bereaksi. Dia malah menyalakan tv dan mengangkat kakinya tinggi.
Asri hanya geleng-geleng kepala melihat sikap puterinya itu. Dulu, Alda adalah gadis kecil yang manis. Sikap dan gayanya berubah setelah masuk ke SMA internasional.
Malamnya, Papa Alda sampai juga di rumah. Dia memang sangat berbeda dengan Mama Alda. Penampilannya selalu rapih dan tampan.
"Papah ...."
Alda langsung bergerayut manja di pundak papanya.
"Wah! Ada apa, nih? Kenapa kamu manja begini? Lagi merajuk, ya?" tebak Papa Alda. Namanya Randy Kusuma. Dia hanya melirik istrinya yang hanya tersenyum. Mamah Alda memang orang yang sederhana. Namun senyumannya lebih berharga dari apapun.
"Hape aku rusak, pah. Mamah yang menjatuhkannya!"
Deg! Asri sangat terkejut dengan perkataan puterinya. Padahal Alda sendiri yang merusak hapenya. Tapi Asri gak bisa membantah omongan Alda.
"Rusak? Aduh! Hape itukan baru dibeli dua bulan yang lalu!" ucap Randy dengan wajah kaget.
"Tau tuh, mamah. Emang mamah ceroboh, pah. Udah, belikan lagi yang baru!"
"Emang begitu, mah?" tanya Randy kepada istrinya.
Asri sedikit gugup. Dia gak mungkin menyalahkan puterinya sendiri. Lebih baik dirinya aja yang disalahkan.
"I-iya, pah. Tangan mamah basah jadi hapenya terjatuh. Maafkan mamah ya, pah. Belikan aja lagi yang lebih bagus, pah!" jawab Asri setelah bisa mengendalikan perasaannya.
"Ya, sudah. Nanti papah belikan yang baru! Tapi nanti ya, sayang. Papa mau istirahat dulu!"
Tiba-tiba, Alda menarik tangannya dari bahu papahnya. Wajahnya langsung ditekuk seakan gak setuju dengan kata-kata papahnya.
"Pokoknya harus sekarang belinya, pah! Hapeku rusak. Bagaimana bisa sekolah besok?!" tanya Alda sambil bertolak pinggang.
Randy sangat terkejut dengan kelakuan Alda. Dia memandangi istrinya yang hanya menunduk. Pasti hape Alda bukan istrinya yang merusaknya. Dia sangat tahu, Asri adalah orang paling teliti dan penyabar.
"Iya, lihat aja nanti. Pokoknya papah mau mandi dulu. Emang kamu gak nyium ketek papah bau aceeem?" tanya Randy dengan sedikit bercanda.
"Iiikh, papah jorok!"
Alda langsung kabur dan masuk ke dalam kamarnya.
Randy tertawa kecil melihat sikap puterinya. Tapi tidak dengan Asri. Dia jadi pendiam.
"Ada apa, mah? Kenapa murung begitu? Bukannya senang suaminya pulang. Emangnya gak kangen, ya?" ledek Randy setelah ada di dalam kamar tidur.
Asri diam aja sambil merapikan baju dari koper yang dibawa suaminya.
Randy merasa sudah terjadi sesuatu. Dia segera mendekati Asri dan memeluknya dari belakang.
"Ada apa sih, sayang? Jangan cemberut gitu. Nanti aku kabur lagi looh!"
Asri langsung menatap Rady tajam begitu mendengar ucapannya.
"Kabur kemana? Apa ke rumah simpenan kamu?" tanyanya dengan nada suara tinggi.
Randy sangat terkejut dengan reaksi Asri. Gak biasanya, dia semarah itu.
"Kamu kenapa sih, sayang? Pake ngomong simpenan lagi!"
Asri menarik napas panjang. Gak ada gunanya marah tanpa alasan jelas.
"Kata Alda, aku kayak pembantu, papah pasti nyari simpenan!" Akhirnya Asri mengatakan alasannya.
"Astaga! Kenapa Alda ngomong seperti itu. Aku heran sekarang sikapnya sangat kasar, bicaranya juga jadi jelek. Dulu, Alda sangat menyayang!"
Randy sangat terkejut mendengar cerita istrinya.
"Iya, pah. Apa karena kita terlalu memanjakannya, ya? Aku sedih duluan kalau mau memarahinya. Lima tahun bukan waktu sebentar untuk menunggu kelahirannya. Orang-orang sudah mencapku perempuan mandul!" Asri terduduk lemas di tepi tempat tidur. Dia teringat umpatan ibu mertuanya ketika pulang ke kampung.
"Dasar perempuan mandul! Makanya dulu aku gak setuju anakku menikah denganmu. Nyatanya, sekarang kamu itu gabug!" ucap Ibu mertuanya setelah tiga tahun Asri gak mengandung juga.
"Kata dokter, saya sehat, bu. Mungkin, memang belum waktunya dikasih anak," jawab Asri yang gak terima dengan perkataan ibu mertuanya.
"Terus harus menunggu sampai kapan? Nunggu kamu tua? Nunggu aku mati?!"
Asri hanya bisa menangis. Hatinya terasa sangat sakit seperti tertusuk pisau. Meski gak berdarah namun sakitnya masih terasa sampai sekarang!
Bersambung ....
Sudah jam delapan malam dan hujan tiba-tiba turun. Randy terlalu lelah sehingga tertidur sementara Asri masih membereskan pakaian dari koper.
"Papaaa!"
Tiba-tiba, Alda muncul sambil mendorong pintu dengan cukup keras.
Randy sangat terkejut sampai melompat dari tempat tidur. Begitu juga Asri yang merasakan jantungnya berdetak kencang.
"Ada apa, Alda? Papa lagi istirahat!" Randy sedikit kesal dengan sikap Alda yang gak tahu sopan santun.
"Papa janji mau belikan hape baru untukku. Satu jam lagi tokonya tutup. Pokoknya malam ini juga hape itu harus ada!" ungkap Alda dengan nada suara tinggi.
"Besok aja, Alda. Kasihan papa masih kecapean. Lagipula diluar hujan," ucap Asri yang kurang suka dengan sikap puterinya itu.
"Pokoknya, Alda gak mau tahu! Kalau gak ada hape, besok Alda gak mau sekolah!" seru Alda sambil keluar dan membanting pintu.
"Gimana, pah? Di luar masih hujan!" Asri menyibak tirai jendela. Air mengalir di balik kaca cukup deras.
"Biar papah ganti baju dulu." Randy beranjak dari tempat tidur.
"Aku ikut, pah. Biar papah gak ngantuk di jalan!" ujar Asri yang gak tega kalau suaminya pergi sendirian.
"Nah begitu, baru istri yang baik!"
"Emangnya selama ini aku bukan istri yang baik?" Asri sedikit ngambek.
"Tentu aja kamu adalah istri yang baik dan terbaik!" sahut Randy sambil memamerkan kedua jempolnya.
Alda semakin gelisah. Dia menunggu papanya keluar dari kamar. Gimana kalau dia gak bawa hape besok? Pasti teman-temannya semakin mengejeknya!
Gak lama kemudian mamah dan papahnya keluar. Mereka tersenyum melihat puterinya sudah berdiri di depan pintu.
"Mamah ikut sama papah, ya sayang. Kamu baik-baik di rumah sama Bik tinah. Jangan merepotkan karena sekarang waktunya istirahat!"
"Tenang aja, mah. Aku mau tidur aja. Tapi besok pagi hapeku harus ada, ya!" tegas Alda.
"Oke, bos cantiik!" ucap Asri dan Randy hampir berbarengan. Mereka ingin selalu membahagiakan puterinya itu.
Alda langsung masuk ke dalam kamarnya. Hatinya sudah tenang dan bisa tidur dengan nyenyak.
"Jaga Alda ya, bik. Meski Alda sekarang agak berbeda tapi hatinya tetap baik, kok!" ucap Asri sebelum masuk ke dalam mobil. Sementara, Randy sudah ada di dalamnya.
"Baik, bu. Saya juga tahu Neng Alda dari kecil. Umur segitu adatnya emang beda, bu. Nanti juga jadi baik lagi," sahut Bik Tinah. Dia juga tahu perubahan sikap Alda yang lebih egois.
Bik Tinah menutup pintu gerbang rapat dan menguncinya begitu mobil majikannya sudah mulai jalan. Dia merasa kasihan juga dengan mereka. Anak penginannya malah membuat mereka menderita.
"Pelan-pelan aja bawa mobilnya, pah!" ucap Asri ketika melihat hujan semakin deras dan membuat kaca buram.
"Iya, mah. Tapi tokonya sebentar lagi tutup!" sahut Randy yang masih serius menyetir. Matanya juga jadi gak bisa melihat jelas karena kaca yang buram.
"Tapi tetap hati-hati, pah. Jalanan jadi licin kalau hujan," ujar Asri mengingatkan.
Randy gak menjawab dan sangat serius menyetir. Sudah lama dia gak keluar malam. Rumah mereka memang agak masuk dari jalan raya. Di sana masih banyak pohon-pohon tinggi yang tumbuh di sisi jalan.
Asri menahan napas setiap kali ban mobil tergelincir. Dia gak mau terlalu bawel sehingga membuat suaminya gak konsen.
Apapun yang terjadi, mereka sangat menyayangi Alda. Asri ingat sepulang dari rumah mertuanya, dia membuat keputusan yang besar.
"Apa ini, mah?" tanya Randy ketika Asri menyodorkan sebuah kertas.
"Ini adalah sertifikat rumah peninggalan orangtuaku, pah. Jual saja dan uangnya untuk biaya bayi tabung!" jeas Asri.
"Bayi tabung? Apa kamu yakin, mah? Kamu tahu kan di dalam agama kita hal itu tidak disarankan. Kita harus menerima kalau belum dipercaya untuk mendapatkan anak. Aku yakin kalau sudah saatnya, kita juga akan dikasih!" ungkap Randy yang kurang setuju dengan keputusan Asri.
"Aku sudah putuskan, pah. Aku akan berhenti kerja dan menjalani program bayi tabung. Aku gak suka kalau disebut perempuan mandul!"
Asri menangis sejadi-jadinya. Perkataan ibunya Randy sangat menyakitkan. Dia gak akan sanggup jika bertemu lagi dan belum hamil juga. Kata-kata menyakitkan itu pasti akan terlontar lagi dari mulut ibu mertuanya.
Akhirnya Randy setuju juga. Setahun Asri mengikuti program bayi tabung. Kemudian berita bahagia itu pun datang.
"Aku hamil, pah!" ujar Asri sambil memamerkan alat testpac yang menandakan kalau dia hamil.
"Benarkah, mah? Aku sangat senang!" Randy langsung menghambur ke pelukan Asri.
Setahun kemudian, Asri melahirkan Alda. Dia sudah gak takut lagi bertemu dengan ibu mertuanya dan membuktikan kalau bukan perempuan mandul.
Kembali ke saat sekarang.
Tiba-tiba, sebuah ranting jatuh tepat di depan kaca mobil.
"Astaga! Apa itu?" teriak Randy.
"Sepertinya ranting, pah. Biar aku yang singkirkan. Papah di dalam aja!"
"Hati-hati, mah. Ada payung di bangku belakang!"
Asri mengambil payung sebelum keluar dari mobil. Hujan angin menyambutnya dan membuat bajunya sedikit kebasahan. Dilihatnya sebuah ranting cukup besar di atas mobil. Asri pun segera menyingkirkannya.
"Ayo, pah. Jalan lagi!"
"Iya, mah. Apa mamah kebasahan?"
"Gak apa-apa. Cuma sedikit aja, kok! Sebaiknya kita agak cepat, pah. Sudah hampir jam sembilan!" ungkap Asri ketika melihat jam tangannya.
"Iya, mah. Mudah-mudahan gak ada halangan lagi!"
Mereka pun melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini lebih lancar karena mereka sudah sampai di jalan raya.
Tak lama kemudian, mereka sampai juga di toko handphone. Untung sebelum berangkat, Randy menelpon salesnya agar menunggu mereka.
"Apa handphone yang saya pesan sudah ada?" tanya Randy begitu masuk ke dalam toko.
Dua orang sales menyambut mereka.
"Wah! Bapak hebat bisa sampai disini juga, padahal ada hujan badai!" ujar sales yang memakai dasi. Sepertinya dia adalah supervisor toko.
"Iya, dong. Semuanya kan demi anak tercinta!" sahut Randy dengan penuh suka cita.
Seorang sales datang sambil membawakan sebuah kotak handphone edisi terbaru.
"Sebenarnya, handphone ini sudah ada yang memesan, pak. Tapi orangnya masih diluar kota jadi kami berikan buat bapak aja!" jelasnya.
"Wah berarti rezeki anak saya, ya!" Randy sangat senang bisa mendapatkan hape itu tanpa menunggu lama.
Asri melihat ke luar jendela. Dia seperti melihat bayangan hitam dan tinggi besar berdiri di seberang jalan. Wajahnya gak begitu kelihatan karena gelap dan hujan juga.
Aakh, mungkin hanya bayangan pohonan aja, pikirnya. Asri pun gak menghiraukan bayangan itu lagi.
"Bagaimana, apa hapenya sudah bisa dipakai? Soalnya mau dibawa anak saya sekolah besok!" tanya Asri kepada sales perempuan.
"Iya, bu. Lagi di stel hapenya. Silakan ibu minum dulu. Kami ada teh manis hangat!" jawab Sales itu sambil menyodorkan dua gelas teh.
"Oh, iya. Terima kasih, ya. Aku memang sedikit kedinginan. Pasti enak kalau minum yang hangat!"
Asri duduk di salah satu bangku yang menghadap ke luar toko. Tubuhnya menggigil ketika angin berembus entah dari mana. Dia pun menyeruput teh di dalam gelas yang dipegangnya. Tanpa sengaja, dia kembali melihat ke arah luar. Ternyata, bayangan itu masih ada.
"Ada apa, mah? Kenapa melihat seperti itu?" tanya Randy yang duduk di sebelah Asri.
"Itu, pah. Bayangan itu melihat ke sini dari tadi. Apa mata mamah yang salah lihat, ya?"
Randy pun melihat ke arah yang ditunjukkan istrinya.
"Gak ada apa-apa, mah. Mungkin hanya perasaan mamah aja. Kalau agak pusing, merem aja sebentar. Mungkin tadi kehujanan jadi mata mamah agak buram!" terang Randy.
"Iya, pah. Bisa jadi mata mamah kurang jelas. Ya udah mamah merem sebentar ya, pah!"
Asri menuruti perkataan suaminya. Dia pun memejamkan matanya bahkan sampai terlelap.
Di dalam tidurnya, Asri merasa seperti berada di depan sebuah lorong bersama suaminya juga. Bayangan hitam tinggi dan besar ada di hadapan mereka. Dia gak berkata apa-apa. Mereka pun perlahan berjalan mengikuti bayangan itu masuk ke dalam lorong.
"Mamah, papah, jangan tinggalkan Alda ...."
Dari jauh, puteri mereka memanggil. Asri ingin sekali kembali dan bersamanya. Namun langkahnya sangat berat. Mereka tetap saja berjalan semakin masuk ke dalam lorong.
"Aldaaa, Aldaaa ...." panggil Asri.
"Mah, mah. Bangun, mah. Apa mamah mimpi?"
Randy terus menggoyangkan bahu istrinya yang terus memanggil nama anak mereka. Gak lama kemudian, Asri membuka mata.
"Mamah mimpi, ya?" tanya Randy lagi.
Asri belum sadar benar. Dia ingat bayangan hitam itu juga ada di dalam mimpinya.
"I-iya, pah. Kenapa bisa sampai mimpi, ya. Padahal mamah cuman merem sebentar!" jawab Asri keheranan.
"Iya, mah. Hapenya sudah siap. Ayo kita pulang!"
"Iya, pah!
Asri pun segera bangkit dari kursi dan mengikuti langkah suaminya.
Kedua sales itu segera menutup toko begitu selesai melayani mereka.
Hujan belum reda juga, bahkan angin semakin kencang.
"Papah masuk aja dulu, mamah belakangan!" ucap Asri ketika sudah di luar toko.
Randy mengangguk dan mengeluarkan kunci mobil. Asri mengantarkan suaminya masuk ke dalam mobil dahulu. Kemudian dia akan masuk setelah kunci pintu sebelahnya dibuka.
Baru saja Asri akan membuka pintu mobil, bayangan hitam besar itu muncul lagi. Asri sangat terkejut ketika melihatnya dari jarak dekat. Bayangan itu mengulurkan tangan seakan ingin mengajaknya pergi.
Tiba-tiba sebuah cahaya terang muncul dari ujung jalan. Cahaya itu berkelak kelok dengan suara nyaring. Belum lagi Asri melihat jelas, cahaya itu sudah sampai di depannya.
Astaga! Itu adalah cahaya lampu dari sebuah truk. Secepat kilat, truk itu menabrak Asri dan suaminya yang ada di dalam mobil.
Bruuuugh ....
Tubuh Asri terpental ke tengah jalan. Sementara mobil Randy langsung ringsek. Entah bagaimana keadaan suaminya.
Napas Asri tinggal di ujung tenggorokan. Darah mengucur dari kepalanya. Di saat terakhir, Asri masih bisa melihat bayangan hitam itu. Dia mengulurkan tangannya dan wajahnya baru kelihatan. Wajah tanpa mata dan mulut! Sedetik kemudian, semuanya menjadi gelap.
*****
Alda gak tahu apa yang terjadi pada orang tuanya. Dia tertidur nyenyak seperti bayi. Bahkan bermimpi berada di suatu tempat yang sangat indah. Mamah dan papahnya juga ada di sana. Wajah mereka bersinar dengan senyuman mengembang.
"Kami mencintaimu, sayang. Jadilah seseorang yang selalu bersinar dimanapun kamu berada!" ungkap mamahnya.
"Iya, sayang. Jadilah dirimu sendiri!" ucap papanya juga.
Mereka menggenggam tangan Alda erat dan mengajaknya berlarian. Kemudian mereka sampai di sebuah jembatan yang sangat indah.
Mamah dan papahnya melepaskan tangan Alda kemudian berjalan melewati jembatan itu.
"Mamah, papah. Tunggu! Alda mau ikut!" ujar Alda dan bersiap menyusul mereka
"Tidak, sayang. Waktumu belum tiba!" sahut mamahnya sambil melambaikan tangan. Begitu juga dengan papahnya.
"Mamah, papah. Jangan tinggalkan Aldaaa!"
Alda terbangun dan terkejut ketika mendengar suara alarm. Sudah jam 6 pagi dan dia harus siap-siap berangkat sekolah. Semalam tidurnya sangat nyenyak apalagi mendengar suara hujan yang entah kapan berhentinya. Hanya saja mimpinya sangat tidak enak karena mamah dan papahnya pergi meninggalkannya. Alda masih merasakan kesal di dalam hatinya.
Sebenarnya ada sesuatu yang membuat matanya terbuka yaitu hape terbaru yang dijanjikan orangtuanya. Pokoknya, Alda gak mau sekolah kalau hape itu gak ada!
Wajah Alda langsung cerah begitu melihat sebuah kotak hape di atas meja. Namun, kotak itu sangat kotor dan berwarna merah. Alda mengambil kotak itu.
Hueeek!
Bau amis dan menyengat hidung Alda membuat perutnya bergejolak. Bau apa ini? A-apakah bau darah?
Matanya melotot begitu menyadari hape barunya malah dalam keadaan kotor. Pasti mamahnya yang sudah ceroboh.
"Mamaaah!" teriaknya sambil berjalan turun ke lantai bawah dengan membawa kotak hape itu. "Mamah memang selalu ceroboh!" gerutu Alda.
"Mamaah! Papaah!"
Gak ada siapapun di ruangan itu. Pasti mereka ada di kamar. Alda segera menuju ke kamar orang tuanya. Dia pun menarik gagang pintu dengan kasar.
"Mamah ceroboh banget, sih! Hape baruku jadi bau dan kotor begini!" teriaknya. Namun di sana juga gak ada siapapun. Kemana sih, mereka? Alda sudah mulai geregetan.
"Bik Tinaaah!" Alda segera ke dapur. Di sana pasti ada Bik Tinah. Biasanya jam segini sedang bikin sarapan.
Benar aja dugaan Alda. Bik Tinah sedang membuat sesuatu di atas kompor.
"Kenapa gak nyahut sih, bik? Bibik tuli, ya? Mamah sama papah kemana?" tanya Alda kasar.
Bik Tinah gak menjawab. Hanya terdengar suara isak yang tertahan.
Alda tertegun menyadari Bik Tinah sedang menangis, "bibik nangis, ya? Apa bibik yang sudah membuat kotor kotak hape baruku? Bibik ini gimana sih? Apa bibik mau dipecat?" ungkap Alda dengan nada suara tinggi.
Bik Tinah gak bisa menahan perasaannya lagi. Sikap anak majikannya itu sudah kelewatan. Dia pun mematikan kompor dan menatap Alda dengan bersimbah airmata.
"Apa neng sangat marah dengan noda kotor itu? Padahal orangtua neng sudah menukar nyawa mereka demi hape itu!" ujar Bik Tinah di sela tangisnya.
"Maksud bibik apa? Semalam cuman hujan air bukan hujan batu. Mereka.gak akan mati cuma kehujanan aja!"
"Baiklah, neng! Sekarang orangtua neng ada di rumah sakit gara-gara hape itu!"
"Di rumah sakit? Apa mereka sakit? Masa sih kehujanan sedikit aja sampai dirawat!" sahut Alda semakin mencemooh kedua orangtuanya.
"Ya, sudah. Lebih baik, neng melihat sendiri keadaan orangtua neng!" Hampir aja Bik Tinah menampar mulut majikannya itu. Tapi dia teringat ucapan manjikannya untuk menjaga Alda.
"Males, aah! Nanti aja. Aku mau sekolah dulu. Paling aku pulang udah sampek rumah!" ujar Alda sambil nyelonong pergi.
Bik Tinah terduduk lemas di kursi makan, "astaga, tuan dan nyonya. Apa yang harus saya lakukan kepada Neng Alda. Maafkan bibik ...," ucapnya lirih. Airmatanya kembali mengalir. Hatinya benar-benar panas dengan sikap Alda. Andai saja dia tahu kalau orangtuanya sudah meninggal!!!
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!