"Imarasti, minggu depan kamu menikah."
"A-apa?"
Imarasti berharap ini hanya mimpi. Mimpi buruk ketika ia baru saja bangun dari tidur. Namun harapan itu seolaah sirna ketika ia melihat Ibunya sudah menyambutnya di ambang pintu kamar.
"Menikah sama cucu dari Keluarga Tanubrata. Nenek Tanu mau kamu menikah sama cucunya," ditambah Ayah Imarasti yang kemudian muncul di belakang Ibunya, membuat gadis itu semakin mematung di tempat.
Well, Imarasti tidak akan pernah suka jika orangtuanya mulai mengangkat pembicaraan yang menyangkut Nenek Tanu. Kemudian Imarasti hanya bisa mengumpat dalam hati kenapa Ayahnya menyebut nama nenek tua itu untuk menyambut paginya. Ya, Nenek Tanu adalah nenek tua, rambutnya keriting berwarna putih, cerewet, suka mengatur, dan menyebalkan.
Namun terlepas dari itu semua, Imarasti tentu juga tahu bahwa Keluarga Tanubrata sangat berjasa dalam keluarganya. Dimulai dari Nenek Tanu dan suaminya yang banyak berjasa pada nenek dan kakeknya yang telah meninggal sepuluh tahun lalu. Keluarga Tanubrata lah yang membantu usaha konveksi kakeknya hingga sukses dan kini diteruskan oleh Ayahnya. Bahkan lima tahun lalu ketika perusahaan itu dipegang oleh Ayahnya hampir bangkrut Nenek Tanu lah yang menutupi kerugiannya hingga perusahaan itu bisa bangkit lagi.
"Imarasti?"
Imarasti mendongak, menatap Ayah dan Ibunya dengan tatapan kosong.
"Cepet mandi terus siap-siap. Kita mau ketemu keluarga calon suami kamu," ujar Ibunya dengan nada tegas.
"Ta-tapi.." Imarasti mengambil guling, lalu memeluknya erat-erat. Gadis itu mulai menangis tanpa mengeluarkan air mata sambil berteriak, "Ibu! Aku nggak mau nikah! Aku punya pacar namanya Johaness Ardhiansyah dan aku cuma mau nikah sama dia! Bahkan nanti malem dia ngajakin aku kencan!"
"Im—"
"Johan juga kaya, Bu! Kalo aku nikah sama dia aku bakal jadi istri dari pewaris tunggal pemilik pusat oleh-oleh terbesar di Jogja! Terus nanti aku akan lunasin hutang keluarga kita ke Nenek Tanu yang cerewet itu dan—"
"IMARASTI! Berhenti membahas soal Johan. Dia nggak akan bisa jadi imam buat kamu!"
Imarasti terdiam ketika suara tegas Ayahnya menggema di seluruh sudut kamar, membuat nyalinya menciut dan ia hanya bisa memeluk gulingnya semakin erat sambil menatap Ayahnya dengan tatapan takut. Ayahnya memang tak pernah menyetujui hubungannya dengan Johan karena mereka beda keyakinan.
"Ayah, tapi aku nggak mau jadi cucu menantu nenek cerewet itu."
"Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu tentang Nenek Tanu!" Ayah Imarasri sungguh-sungguh ketika mengucapkan kalimatnya. Ayahnya itu tentu sadar bahwa putri tunggalnya terkadang memang kurang ajar. Namun tatapannya mulai melembut bersamaan dengan langkah kakinya yang semakin mendekati tempat tidur putrinya, lalu duduk di tepi tempat tidur hingga kini mereka saling berhadapan, "Nenek Tanu sekarang lagi sakit. Ayah sama Ibu merasa buruk karena beliau terus bilang bahwa ini permintaan terakhirnya, permintaan terakhir sebelum beliau.."
"Meninggal?" sela Imarasti, "Ayah, Nenek Tanu nggak akan meninggal semudah itu. Dia masih kuat dan—"
"IMARASTI!"
Imarasti langsung menyembunyikan wajahnya di balik guling setelah mendengar bentakan Ayahnya tepat di depan wajah. Lalu ia sedikit menggeser gulingnya untuk melirik wajah Ayahnya sekedar memastikan, apa masih marah atau tidak.
"Sudah Ayah bilang kan jangan ngomong kayak gitu. Ayah tau kamu merasa nggak bisa bebas dengan hutang jasa itu tapi," tatapan Ayah Imarasti melemah, "maaf karena nggak bilang sama kamu sebelumnya. Sebenarnya..." ketika kalimat Ayahnya menggantung, Imarasti mulai menyingkirkan guling dari wajahnya secara perlahan, menatap Ayahnya dengan tatapan bingung.
"Imarasri nduk.." Ibu Imarasti mendekat, lalu ikut duduk di tepi tempat tidur di sebelah suaminya, "sebenarnya kamu sudah dijodohkan."
"E-eh?"
Ayah Imarasti mengangguk lalu berkata, "Iya, sama cucu Nenek Tanu yang namanya Arthayuta Tanubrata, teman kecil kamu."
"APA??? SI TENGIL ITU???" Imarasti shock.
"Hush! Kamu nggak boleh gitu sama calon suami kamu," tegur Ibu Imarasti.
"Bahkan aku nggak pernah temenan sama dia, Bu. Dia jail, ngeselin, kelakuannya arrgh dia tuh selalu aja ngajak berantem aku. Aku nggak mau sama dia. Mending sama Rasyad aja. Cucunya Nenek Tanu kan nggak Yutakoyaki doang, masih ada Arrasyad Tanubrata. Udahlah Ayah, Ibu, nikahin aku sama Rasyad aja," cerocos Imarasti.
Sejak kecil Yuta dan Imarasti memang tidak pernah akur. Imarasti selalu dibuat menangis oleh Yuta, bahkan ia merasa kalau Yuta amat sangat membencinya. Padahal dulu Yuta hanya iri karena kakeknya sangat menyayangi Imarasti. Almarhun Kakek Tanu dulu sangat menginginkan cucu perempuan namun cucunya semuanya laki-laki, itulah alasannya mengapa Kakek Tanu sangat menyayangi Imarasti.
"Jangan gila kamu! Rasyad masih kelas satu SMA," tegur Ayah Imarasti.
"Tapi Yah..."
"Dan Nenek Tanu minta pernikahan itu dipercepat karena sesak paru-paru yang dideritanya semakin parah," ujar Ibu Imarasti mengelus kaki putrinya yang masih dibalut selimut.
Imarasti masih memasang wajah kosong. Ia masih tidak percaya bahwa ia harus menikah dengan Si Tengil Arthayuta Tanubrata. Dan hei, bahkan mereka masih kuliah semester lima!?
🍓🍓🍓
Kini Imarasti dan keluarganya tengah berada di kediaman Keluarga Tanubrata. Terlihat Nenek Tanu yang kini duduk di kursi roda dengan senyuman mengembang meperhatikan Imarasti dan Yuta yang sedang duduk bersebelahan. Imarasti terus menekuk wajahnya, sedangkan Yuta bersikap acuh.
"Lihat, kalian begitu serasi. Nenek nggak sabar buat nikahin kalian berdua."
"Sabar Bu, nggak lama lagi mereka akan segera jadi suami istri.." ujar Ayah Yuta.
"Kakak ipar, kok mukanya ditekuk mulu sih?" goda Rasyad ke Imarasti.
"Rasyad kakak iparnya jangan digodain gitu dong.." tegur Ibu Yuta.
"Kakak ipar apaan?!" batin Imarasti sambil masih terus menekuk wajahnya.
"Jadi anak Ayah malu-malu nih?" goda Ayah Imarasti sambil menepuk-nepuk kepala putrinya yang disambut tawa orang-orang di sana kecuali Yuta.
Imarasti semakin dongkol dengan situasi ini. Apalagi melihat ekspresi sok cuek Yuta yang membuat gadis itu semakin muak.
"Maaf sebelumnya.." ujar Imarasti tiba-tiba yang membuat semua menatap Imarasti penasaran.
Imarasti menatap serius ke arah Nenek Tanu dan orangtua Yuta secara bergantian. Ia menunduk lagialu dengan takut-takut ia berucap, "Sebenernya Imarasti sudah punya pacar."
"Yaudah kamu putusin aja," potong Nenek Tanu.
Imarasti langsung mengangkat wajahnya dan menatap Nenek Tanu dengan tatapan tak percaya.
"Nggak mungkin kan kamu pacaran sama laki-laki lain di saat status kamu sudah jadi istri Yuta?" ujar Nenek Tanu enteng.
Ya, Nenek Tanu memang suka mengatur dan seenaknya. Keputusannya adalah mutlak.
"Baju pengantin kamu sudah disiapkan ibu mertua kamu," tambah Nenek Tanu yang disambut senyuman lembut Ibu Yuta.
"Nek, bahkan kami masih kuliah semester lima," lirih Imarasti dengan memasang ekspresi seolah mau menangis.
"Bukankah tidak ada larangan menikah untuk mahasiswa?" tanya Nenek Tanu.
Imarasti sudah tidak dapat membalas lagi. Ia hanya menutup wajahnya frustasi. Kemudian Ia melirik Yuta yang masih anteng seolah tidak terjadi apa-apa. Karena geram dengan sikap acuh Yuta, Imarasti langsung bangkit dan menarik Yuta keluar.
"Nek, permisi sebebtar. Imarasti perlu ngomong sama Yuta."
Nenek Tanu mengulas senyum melihat Imarasti yang sedang memegang lengan Yuta. "Oh tentu saja sayang. Take your time. Kalian mau menikah jadi pasti banyak yang kalian obrolkan berdua."
Imarasti pun menarik Yuta ke luar rumah. Kini mereka berada di halaman belakang kediaman Keluarga Tanubrata.
"Lo seneng kan dijodohin sama gue ha?!" sergah Imarasti sambil menunjuk wajah Yuta.
Yuta langsung mengusap kasar wajah Imarasti. "Narsis lo boncel! Lo bukan tipe gue asal lo tau."
Imarasti mengertakkan giginya karena perlakuan Yuta. Lalu ia dorong Yuta yang membuat Yuta sedikit terhuyung ke belakang.
"Terus lo kenapa tadi diem aja pas Nenek bahas pernikahan kita? Bilang aja lo seneng dijodohin sama gue!"
"Lo kayak baru kenal Nenek kemaren aja. Harusnya lo tau kalo keputusan nenek itu mutlak, jadi semua yang lo lakuin tadi itu sia-sia!" Yuta mendorong kening Imarasti menggunakan telunjuknya.
Imarasti memasang ekspresi seolah mau menangis, "tapi gue nggak mau nikah sama lo.."
"Lo pikir gue mau? Udah lah terima nasib aja," ujar Yuta acuh. "Gue mau masuk rumah, di luar dingin banyak nyamuk."
Yuta masuk rumah meninggalkan Imarasti yang masih mematung di halaman belakang.
"Terima nasib katanya?" Imarasti melihat punggung Yuta yang mulai menjauh. "Bahkan dia nggak peduli sama sekali sama gue?!"
Imarasti mengacak rambutnya frustasi sambil menghentak-hentakkan kakinya kemudian ia berteriak, tapi tertahan.
"Aaaaargh! Gue bisa gila 😭😭😭"
..
..
..
TBC
Hari ini adalah hari pernikahan Imarasti dan Yuta. Pernikahan ini hanya dihadiri oleh kerabat dekat mereka dan beberapa teman dekat Imarasti seperti Inggit, Joana, dan Rara. Acara ini memang sengaja dirahasiakan atas permintaan Imarasti dan Yuta. Mereka tidak ingin teman-temannya di kampus mengetahui status pernikahan ini.
"Imarasti gue yang hobinya ngeroweng sana-sini akhirnya nikah juga.." ujar Inggit sembari memeluk tubuh Imarasti yang dibalut kebaya berwarna peach yang nampak pas di tubuhnya. Kemudian diikuti Rara dan Joana yang memeluk sahabatnya yang beberapa jam lagi statusnya berubah menjadi istri.
Imarasti melepas pelukan teman-temannya, lalu menatap mereka dengan tatapan memelas. "Kalian tau kan gue bener-bener nggak mau nikah!?"
"Sabar ya Im.. Mungkin ini jalan dari Tuhan biar lo bisa berbaikan sama Yuta," ujar Joana enteng.
Imarasti memasang ekspresi seolah mau menangis. "Gue nggak mau nikah sama dia. Gue cuma mau nikahnya sama Johan."
"Yuta lumayan cakep kok, Im," timpal Rara.
"Bodo! Masih cakep cowok gue. Gue nggak mau nikah sama Yutakoyaki." Imarasti mulai mengeluarkan air matanya ketika mengingat kekasihnya, kemudian ia menatap Rara serius. "Atau.. gimana kalo lo nyuruh Kak Chakra pura-pura bilang kalo sebenarnya gue sama dia udah lama saling mencintai? Terus Kak Chakra culik gue terus..terus.. bawa gue entah ke mana. Terserah, gue nggak peduli. Pokoknya biar gue nggak jadi nikah hari ini!"
Rara langsung menoyor kepala Imarasti. "Otak lo nyangkut di sisir? Ngapain bawa-bawa cowok gue? Suruh bawa kabur cowok lo sendiri lah!"
"Johan nggak mungkin mau bawa gue kabur, dia pasti nurut aja sama bokap nyokap gue. Huaaaaaa gue nggak mau putus sama Johan, gue maunya nikah sama Johan doang." Imarasti histeris membuat teman-temannya bingung harus berbuat apa.
"Jadi Johan belum tau soal pernikahan lo?" tanya Joana yang dijawab gelengan oleh Imarasti.
"Lo harus bilang sama Johan, Im. Kasian dianya nanti. Lebih sakit loh kalo Johan tau hal ini dari orang lain," timpal Inggit.
"Johan nggak akan tau kalo kalian nggak buka mulut. Cuma kalian doang di antara temen-temen kita yang tau pernikahan ini," kemudian Imarasti semakin histeris. Inggit, Joana, dan Rara hanya bisa menghibur dengan menepuk pelan pundak sahabatnya ini.
Setelah memastikan Imarasti lebih tenang, Joana melanjutkan, "Tenang aja, gue juga kenal baik sama Yuta karena kita sama-sama anak mapala, dia orangnya baik kok."
Imarasti menunjukkan wajah semakin memelas, "Tapi Joana, gue-"
Tok tok.
Imarasti dan teman-temannya langsung menoleh ke arah pintu. Mendapati seorang pelayan perempuan kini berdiri di ambang pintu.
"Maaf menganggu, tapi sudah waktunya bagi pengantin wanita untuk turun."
Mata Imarasti membulat. "Guys!!! Huaaaa gimana ini?"
Inggit dan Rara tersentak saat Imarasti berseru sembari mencengkram tangan mereka kuat-kuat.
"Astaga, tenang Im tenang," ujar Inggit.
"Gimana ini?!" Imarasti semakin panik.
"Cepeta Im, lo harus keluar," interupsi Rara sambil menarik tangan Imarasti supaya lekas bangkit dari duduknya.
"Ta-tapi.."
"Cepet!" seru Joana.
"Guys.. :("
Akhirnya kurang dari setengah jam, setelah Yuta mengucapkan beberapa kalimat sakral Imarasti dan Yuta resmi menjadi sepasang suami istri. Nenek Tanu tersenyum sembari meneteskan air matanya menyaksikan Yuta yang sedang mencium kening istrinya. Sementara keluarga yang lain beserta teman-teman Imarasti ikut mengembangkan senyum lega.
🍓🍓🍓
Kini Yuta dan Imarasti ditemani Nenek Tanu dan orangtua mereka ke rumah barunya. Rumah minimalis di kawasan perumahan ini adalah hadiah pernikahan dari Nenek Tanu. Perabotan yang ada di rumah ini juga hadiah dari Nenek Tanu. Ya, seniat ini memang Nenek Tanu dalam mempersiapakan segalanya.
"Gimana? Kalian suka kan?" tanya Nenek Tanu dengan wajah sumringah.
Yuta tersenyum lembut ke arah neneknya. "Suka kok, Nek. Yuta suka desainnya yang simple."
"Kesehatannya Nenek langsung membaik loh waktu kalian setuju mau nikah. Bahkan Nenek semangat banget buat nyiapin rumah ini," ujar Ibu Yuta.
Sementara Imarasti masih berkeliling di rumah barunya membuka satu per satu ruangan di rumah itu.
"Nek, ini kamarnya cuma satu doang?" tanya Imarasti sembari berjalan ke sofa ruang tamu tempat Nenek Tanu duduk.
"Iya. Kalian kan udah nikah, jadi apa salahnya?"
"Nek, tapi-"
Belum selesai Imarasti melanjutkan perkataannya tapi sudah dipotong oleh Nenek Tanu.
"Nggak ada larangan mahasiswa untuk hamil kan?"
Imarasti dan Yuta langsung membulatkan matanya mendengar pertanyaan Nenek Tanu barusan.
"Lagipula Nenek yakin orangtua kalian pasti juga tidak akan keberatan kalau misalkan segera punya cucu," lanjut Nenek Tanu yang disambut senyuman canggung orangtua Yuta dan Imarasti.
"Baiklah, sebaiknya kita pulang. Biarkan pengantin baru ini istirahat dan menghabiskan malamnya," ujar Nenek Tanu ke orangtua Yuta dan Imarasti sembari mengerling jahil ke arah Yuta dan Imarasti.
Orangtua Imarasti dan Yuta pun pamit pulang setelah memberi beberapa nasihat kecil ke anaknya. Sampai pada giliran Nenek Tanu yang pamit ke Imarasti dan Yuta dengan mencium keduanya secara bergantian.
"Semangat ya! Semoga berhasil. Jangan lupa makanan sama susunya dihabiskan. Tadi kan kalian nggak sempet makan malam," ujar Nenek Tanu sebelum masuk mobil dan berlalu pergi.
Yuta dan Imarasti masih mematung di ambang pintu. Kemudian mereka saling menatap satu sama lain, melihat dari atas ke bawah saling menelisik. Tiba-tiba mereka teringat perkataan Nenek Tanu barusan yang membuat mereka salah tingkah dan membuang pandangan mereka ke segala arah.
"Gu-gue mau mandi duluan. Gerah." ujar Imaradti meninggalkan Yuta.
"Ya-yaudah gue mau makan dulu baru mandi."
Karena Imarasti mandinya lama dan Yuta tipikal orang yang benci menunggu, akhirnya Yuta memilih mandi di kamar mandi luar. Ketika Imarasti keluar kamar mandi ia tidak menemukan sosok suaminya. Setelah mengeringkan rambutnya gadis itu langsung berbaring di ranjang karena demi apa pun kaki dan punggungnya terasa sangat pegal akibat terlalu lama berdiri dengan sepatu setinggi 12 cm yang tentunya sangat menyiksa.
Di saat Imarasti mulai sayup-sayup tertidur tiba-tiba ranjangnya bergerak yang otomatis membuatnya terbangun dan menoleh ke arah samping. Di sampingnya, ia mendapati Yuta yang ikut berbaring.
"Ngapain lo di kamar gue?" omel Imarasti.
"Ini juga kamar gue. Lo lupa tadi nenek bilang kamar di rumah ini cuma satu?" gumam Yuta acuh sembari memejamkan matanya.
"Lo tidur di luar lah!"
"Ogah! Lo aja sana yang tidur di luar kalo lo nggak mau tidur sama gue."
Imarasti mendecak sebal sambil menatap Yuta tajam. "Di drama-drama tuh ya, cowonya ngalah tidur di sofa! Nggak peka amat sih jadi cowo."
Yuta membuka matanya kemudian menatap Imarasti lelah. "Udah deh nggak usah rewel. Gue bukan cowo yang ada di drama picisan yang lo tonton. Jadi jangan harap gue bakal ngelakuin itu buat lo. Gue mau tidur. Capek." Yuta kembali memejamkan matanya.
Imarasti semakin dongkol dengan perlakuan Yuta.
"Lo gila? Masa gue tidur sama cowok?" omel Imarasti yang tidak ditanggapi oleh Yuta.
"Yutakoyaki!"
Masih tidak ada respon.
"Sialan gue dicuekin." Lalu Imarasti melirik sebuah guling kemudian Ia ambil dan ia gunakan untuk memukul wajah Yuta. "YUTAKOYAKI BANGUN LO KAMPRET!"
BUGH! BUGH! BUGH!
"APA-APAAN SIH LO?!" Yuta menangkap guling yang sedang dipegang Imarasti
Imarasti menarik paksa guling itu kemudian ia letakkan di tengah-tengah ranjang. "Ini batas suci. Lo nggak boleh lewatin batas ini." Imarasti meletakkan satu guling lagi di tengah.
Yuta hanya menatap Imarasti datar.
"Gue tetep harus jaga diri gue sendiri. Gue nggak mau sampe lo apa-apain," ujar Imarasti lagi.
Yuta mendengus, kemudian ia menatap Imarasti dari atas ke bawah. "Gue nggak nafsu sama lo!"
"Sialan! Gini-gini gue lumayan seksi ya," ujar Imarasti sembari membusungkan dadanya. "Cuma sengaja gue tutupin karena gue tau di sini ada kucing, karena yang namanya kucing kalo dikasih ikan ya pasti maunya."
Yuta tidak menggubris celoteh Imarasti dan memilih untuk memposisikan dirinya tidur di ranjang senyaman mungkin.
Melihat Yuta yang sudah nyaman dengan posisinya, Imarasti berjalan ke arah meja rias yang telah disiapkan oleh Nenek Tanu. Seperti halnya wanita pada umumnya, gadis itu melakukan ritual sebelum tidur dengan memakai pembersih wajah dan krim malam. Tidak lupa Imarasti juga melepas kaitan branya yang sudah menjadi kebiasaannya sebelun tidur. Kemudian ia melirik Yuta yang tengah tertidur.
"Oh dia beneran udah tidur? Yaudah gue lepas di sini aja," gumam Imarasti bermonolog.
Imarasti pun melepas kaitan branya dengan sedikit mengangkat bajunya yang membuat bagian perut dan punggungnya terekspos. Posisi Imarasti saat ini sedang berdiri membelakangi Yuta.
Sebenarnya Yuta belun benar-benar tidur. Jadilah ketika Yuta membuka matanya ia melihat pemandangan punggung polos yang membuatnya sampai menelan saliva.
"Ugh udah.." Imarasti langsung berbalik yang membuat Yuta buru-buru memejamkan matanya lagi.
"Sekarang waktunya tidur.." ujar Imarasti pelan sembari berjalan mendekati ranjang.
Imarasti pun membaringkan tubuhnya di samping Yuta yang dibatasi oleh dua guling. Sebelum memejamkan matanya ia melirik Yuta sekilas. "Semoga dia nggak ngorok.."
Lima menit kemudian nafas Imarasti terdengar teratur yang artinya Ia telah tertidur. Saat itu Yuta masih belum bisa tidur, ia masih terbayang-bayang punggung polos istrinya.
'Ayolah Yuta itu baru punggung doang belum-'
Yuta melirik Imarasti, lebih tepatnya matanya berfokus ke dada istrinya.
'Dia kan udah jadi istri gue, ngintip dikit nggak dosa kan?'
Kemudian Yuta memukul-mukul kepalanya sendiri.
'Bodoh! Kenapa otak gue jadi konslet gini sih cuma gara-gara punggung?!'
Kemudian Yuta berusaha mati-matian untuk dapat tidur dan melupakan bayangan punggung Imarasti.
..
..
..
TBC
"Eungh.." beriringan dengan lenguhan kecil yang lolos dari bibirnya, kelopak mata Imarasti terbuka perlahan. Kali ini paginya terasa berbeda, jadi lebih....hangat?
Imarasti pun mulai sadar bahwa kini ia terbangun bukan di kamarnya. Ketika kesadarnnya berangsur-angsur mulai pulih, ia tidak bodoh hanya untuk menyadari bahwa yang membuat paginya menjadi lebih hangat adalah sebuah pelukan dan pelukan itu bukan milik ibunya atau pun ayahnya. Dengan amat sangat perlahan Imarasti mendongak, mendapati Yuta yang tengah tidur nyenyak sambil memeluknya posesif.
Imarasti bahkan tidak bisa berteriak karena saking shocknya. Lalu dengan perasaan takut bercampur ragu, ia memberanikan diri membuka selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya. Dan hembusan nafas lega keluar dari bibirnya ketika mendapati bajunya masih lengkap.
Imarasti sempat tertegun untuk beberapa detik ketika Yuta semakin menariknya ke dalam pelukan laki-laki itu. Kemudian..
BUGH
"AW!" Yuta mengusap kepalanya yang sempat terbentur lantai.
Ya, Imarasti menendang laki-laki yang berstatus sebagai suaminya ini sampai jatuh dari ranjang.
"APA-APAAN SIH LO?" murka Yuta yang telah dibangunkan secara tidak manusiawi oleh perempuan yang kini menyandang status sebagai istrinya.
Imarasti pun langsung bangun dan duduk di ranjang sambil bersila.
"LO LAH YANG APA-APAAN! MAKSUD LO APA PELUK-PELUK GUE HA? CARI KESEMPATAN LO YA?"
Yuta pun bangkit dan menatap Imarasti kesal.
"Bukannya lo yang cari kesempatan? Lo yang tadi malem deket-deket gue! Noh liat!" Yuta menunjuk dua guling yang tergeletak di lantai. "Lo udah melewati batas suci yang lo buat sendiri."
Dan benar saja, kini Imarasti duduk di tempat yang harusnya menjadi milik Yuta. Imarasti mengercutkan bubirnya sebal merutuki kebodohannya.
"Tapi lo yang meluk gue!" seru Imarasti tidak mau kalah.
"Gue nggak akan peluk lo kalo lo nggak nempel-nempel gue dan bisa diem samalem!" Yuta melemparkan guling yang tadinya tergeletak di lantai ke arah Imarasti.
Imarasti baru saja akan memekik namun sebuah suara yang terdengar asing lebih dulu masuk ke dalam pendengarannya.
Suara tangisan bayi.
"Yut, lo denger sesuatu nggak?"
Yuta terdiam menajamkan indera pendengarannya.
"Suara bayi bukan?" tanya Yuta yang diangguki oleh Imarasti.
"Nggak mungkin kan kita langsung punya bayi cuma gara-gara kita tidur pelukan?" lanjut Yuta.
"Lo gila! Kapan gue hamilnya coba?!"
"Terus itu suara bayi siapa? Eh nyet, itu kayaknya suaranya dari luar deh," ujar Yuta.
Imarasti langsung lompat turun dari ranjang dan memegang lengan Yuta.
"Jangan-jangan anak kuntilanak penghuni rumah ini," gumam Imarasti.
Tuk
Yuta menyentil kening Imarasti.
"Mana ada setan pagi-pagi buta gini?"
Imarasti menggigit bibir bawahnya sembari mengerjapkan matanya menatap Yuta. Yuta hanya mendengus pelan kemudian ia berjalan ke arah pintu kamar.
"Yuta, mau ke mana?"
"Mau ngecek ke luar lah.."
"Ikuuut.." Imarasti berlari kecil menyusul Yuta kemudian ikut berjalan sambil memegang lengan Yuta.
Mereka berdua pun berjalan ke arah ruang tamu. Imarasti masih terus memegang lengan suaminya. Dia paling benci hal-hal yang berhubungan dengan hantu.
"Nenek??" pekik Yuta dan Imarasti bersamaan.
Nenek Tanu hanya tersenyum simpul melihat cucunya yang tengah memasang wajah kosong.
"Nenek ngapain di sini? Dan itu bayi siapa?" tanya Yuta beruntun ketika melihat sosok bayi laki-laki berusia sekitar sembilan bulan di pangkuan neneknya.
Nenek Tanu berjalan mendekati Yuta dan Imarasti.
"Sayang, itu papa sama mama kamu.." ujar Nenek Tanu lembut ke bayi yang sedang ia gendong.
Yuta membulatkan matanya dan sedikit membuka mulutnya karena kaget.
"Pa-pa? Ma-ma?" lirih Imarasti yang tidak kalah kaget.
"Iya sayang, kalian adalah orangtua dari bayi ini.."
"Tapi, Nek tapi—"
Ucapan Imarasti barusan langsung dipotong oleh Nenek Tanu, "Nggak ada tapi-tapian. Yuto adalah hadiah ke dua pernikahan kalian."
"Yu-yuto?" Yuta masih memasang wajah blanknya.
"Iya, Yuto. Yuto Alvaro Tanubrata. Nenek yang kasih nama. Kemarin waktu Nenek ada kegiatan amal di panti asuhan Nenek melihat bayi lucu ini, dia mirip banget sama kamu Yuta. Nenek juga sudah mengurus surat adopsi Yuto atas nama kalian. Nenek pengen kalian yang merawat Yuto biar dia bisa merasakan kasih sayang orangtua. Jadi nenek nggak mau sewa babysitter," jelas Nenek Tanu.
Imarasti memijat keningnya yang saat ini terasa penat. Sementara Yuta masih menatap neneknya tidak percaya.
Imarasti menatap Nenek Tanu dengan tatapan memelas. "Nek, gimana kami bisa rawat bayi itu? Kami harus kuliah nek dan—"
"Kalian bisa atur jadwal kalian gimana caranya biar kalian berdua bisa gantian merawat Yuto."
Baiklah, sepertinya Nenek Tanu sekarang hobi memotong perkataaan Immarasti.
"Nek, kami terlalu muda buat merawat seorang bayi," keluh Yuta.
"Kalian bisa saling belajar dalam mengurus Yuto. Ini kamu gendong anak kamu!" Nenek Tanu menyerahkan gendongan Yuto ke Imarasti.
"Itu nenek sudah bawa semua perlengkapan Yuto termasuk box bayinya," ujar Nenek Tanu sembari menunjuk perlengkapan bayi yang ia maksud kemudian melanjutkan, "Nenek harus segera pergi karena ada urusan."
Dua orang suruhan Nenek Tanu pun bergegas mengangkat box bayi dan perlengkapan milik Yuto ke dalam kamar pasangan pengantin baru itu.
Setelah memastikan perlengkapan Yuto tertata dengan baik Nenek Tanu bergegas keluar. Baru saja tiga langkah Nenek Tanu berjalan pergi, namun ia berhenti dan berbalik.
"Oiya, jadi bagaimana malam pertama kalian?" Nenek Tanu tampak tersenyum jahil.
"Bilangnya aja nggak mau dinikahin tapi malam pertama dijalani juga. Dasar anak muda jaman sekarang!" Lalu nenek tua itu pun terkekeh memandangi kedua cucunya itu
Yuta dan Imarasti kembali bengong.
"Kami nggak ngapa-ngapain nek." protes Yuta.
"Kamu pikir nenek percaya setelah melihat keadaan baju istri kamu seperti itu?"
Imarasti refleks menunduk melihat keadaan bajunya. Hampir saja ia berteriak karena tiga kancing teratasnya terlepas sampai sedikit menampakkan dadanya. Namun apa daya ia tidak mau membuat Yuto menangis karena teriakannya. Ia hanya bisa menutup bagian itu dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya ia gunakan untuk menahan Yuto di gendongannya. Lalu ia beralih menatap Yuta tajam, sedangkan Yuta membuang pandangannya ke arah lain.
"Sudah-sudah kalian nggak usah malu-malu. Nenek juga pernah muda! Yaudah nenek pamit dulu. Kalian baik-baik di rumah," kali ini Nenek Tanu benar-benar pergi.
Imarasti sekarang benar-benar ingin menangis menghadapi kenyataan pahit hidupnya. Lalu ia menoleh ke arah bayi yang berada di gendongan, mata mereka bertemu dan bayi itu langsung tersenyum. Imarasti yang awalnya ingin menangis kini hanya bisa tersenyum getir menatap nanar bayi itu.
"Ya Tuhan... Sekarang aku harus gimana?"
..
..
..
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!