Bruk!
Motor di depanku kehilangan keseimbangan dan menabrak pembatas jalan. Penumpangnya terlempar ke tengah jalan dan terserempet mobil dari arah berlawanan. Aku menjerit di dalam mobilku dan segera menghentikan kendaraan.
Sial! Tukang ojek yang ceroboh itu segera bangun dan melarikan motornya, begitu juga pengemudi mobil yang menyerempet penumpang motor itu, langsung tancap gas tanpa memperdulikan lelaki yang terkapar di tengah jalan dengan darah dimana-mana.
Aku berteriak minta tolong, barangkali ada orang lain di sekitar sini. Tapi entah kenapa jalan ini begitu sepi, tak ada satu pun makhluk hidup yang tampak.
Aku bisa saja berbalik arah dan meminta tolong ke hotel dimana aku tadi mengirimkan kue, tapi aku tak bisa meninggalkan lelaki itu begitu saja. Jadi ku putuskan untuk menolongnya terlebih dahulu.
Ia mengerang lirih. Oh, Tuhan, dia masih hidup. Kulitnya putih, meski tak seputih orang bule. Tapi dia lebih cerah daripada diriku. Aku tak yakin dia bisa berbahasa Indonesia.
"Mister, can you get up? Let me take you to hospital!" aku memberanikan diri berbicara sambil berupaya membangunkannya dan memapahnya ke mobilku.
Gila, badannya yang tinggi membuatku susah menyeretnya masuk ke mobil. "Please be strong, i will drive fastly," gak tau mesti ngomong apa, pokoknya aku ngomong aja. Itu yang aku tahu.
Aku segera mengemudikan mobilku menuju Rumah Sakit terdekat. Begitu tiba, lelaki itu sudah kehilangan kesadarannya. Aku semakin panik dan histeris. Dua orang satpam segera membantuku membawa lelaki itu ke IGD.
"Bu Lala, siapa yang kecelakaan?" Dokter Gugun menghampiriku. Syukurlah, rupanya dokter langganan toko kueku sedang bertugas di IGD. "Aku nggak tau, dok, aku lihat dia kecelakaan dan pelakunya pada kabur semua, jadi aku bawa aja kesini," jawabku dengan gusar. Dokter Gugun langsung mengerti. "Oke, tenang, bu, kita tolong dia terlebih dahulu," ucapnya dan langsung memeriksa lelaki itu.
"Bu, bisa dilihat tangannya yang sebelah kanan, apakah ada luka yang berat?" suara dokter Gugun menyadarkanku akan tangan lelaki itu yang terus menggenggam tanganku meski dia dalam keadaan tak sadarkan diri.
Aku memeriksa tangannya, tampak luka lecet di sekitar tangan dan sikunya. Aku segera mengambil kapas dan alkohol yang disodorkan dokter Gugun dan membersihkan luka itu.
Dengan hati-hati ku lepaskan genggaman tangannya, tapi ia semakin erat menahan tanganku. Aku menyerah, jadi ku biarkan tangannya tetap menggenggam tangan kiriku.
Dokter Gugun menggunting pakaian lelaki itu, tampak darah di bagian perut six packnya. Tuhan, penampakan apa ini? Aku segera memalingkan muka dan membiarkan dokter Gugun membersihkan luka disana dan melakukan beberapa jahitan.
Bersyukur aku mengenal beberapa dokter dan perawat di RS ini, hingga lelaki ini pun cepat mendapatkan kamar perawatan setelah selesai mendapat pertolongan pertama.
"Dia cukup kuat, Bu Lala. Tapi nanti kita lihat lagi perkembangannya. Untuk sementara kita tulis namanya siapa di administrasi?" tanya dokter Gugun. Aku kembali tersadar. Wajah lelaki ini rasanya aku kenal, pernah ku lihat entah dimana. Tapi aku yakin dia bukan orang sini.
Shiaaa! Aku ingat dia pemain lakorn terkenal yang sering dipuja Karin, temanku. Namanya David, iya, David! Tapi aku harus meyakinkan diriku kembali. Jadi dengan persetujuan dokter Gugun, aku membuka dompet yang ada di tas pinggangnya.
Benar, dia David, artis bromance terkenal itu!
Mimpi apa aku bertemu orang ini?
Tanpa sadar aku menampar wajahku untuk memastikan ini bukan mimpi. Terlupa bahwa sebelah tanganku masih digenggam oleh lelaki itu.
Ia mengaduh pelan, kesadarannya sepertinya sudah kembali. Mata elangnya perlahan terbuka, menatap lekat padaku. "Thank you," ucapnya lirih. Aku hanya mengangguk, lidahku terasa kelu. Aku bingung harus berkata atau bertanya apa, bahasa Inggrisku jeblok!
Matanya menatap sekeliling, lalu berhenti pada botol air di nakas samping ranjangnya. Oh, mungkin dia haus. Aku segera meraih botol itu dan memasukkan sedotan lalu menempelkan ke bibirnya. Tuhan, kenapa bibirnya bisa merah gitu meski tanpa lipstik?
Dia meminum air itu beberapa kali sedotan. Lalu memberi isyarat sudah. Aku kembali meletakkan botol itu.
"Wait a minute, i will find doctor to see you here," ucapku sekenanya, ku harap dia mengerti bahasa Inggrisku. Dia menggeleng, "please don't leave me alone," ucapnya dengan puppy eyes.
Aku menarik nafas perlahan dan menghembuskan kasar. Manik matanya terlihat berkaca-kaca. Sepertinya aku salah memasang ekspresi.
"Okey, i'm here. But the doctor...."
"Let me take a rest. You too. I'm sure the doctor has given me enough help," ia meringis ketika tangan kirinya meraba bagian pinggang dan perutnya yang terbalut perban.
Ia kembali memejamkan mata. Aku kembali berupaya melepaskan genggaman tangannya dan kali ini berhasil. Fiuh!
Aku menarik nafas lega ketika berhasil melepaskan tangannya. Sesaat ku tatap wajah indah di depanku. Alis yang tebal, hidung bangir, bibir merah, rahang tegas, begitu tampan meski beberapa luka menghiasinya.
Teleponku berdering, segera ku angkat ketika ku lihat nama anakku tertera di layar. "Mamah dimana? Koq lama amat nganter kuenya?" cericit Hana begitu telepon ku angkat. Aku menepuk keningku, betapa dari tadi aku belum mengabari orang rumah tentang kejadian ini.
"Mamah di Rumah Sakit..."
"Mamah kecelakaan? Atau kena serangan jantung lagi? Aku kesana sekarang ya, Mah?" suara panik Hana terasa membuat telingaku pecah.
"Hai, mamah nggak kecelakaan, mamah justru menolong orang yang kecelakaan!"
"Syukurlah... Terus mamah kapan pulang? Orangnya selamat? Udah ada keluarganya kan?" ah, anak ini pertanyaannya merepet kayak petasan.
"Mamah gak tau ini kapan pulang, belum beresin admin pasiennya. Tadi baru diurus sama dokter Gugun. Pasiennya juga ini bukan orang sini, gak tau mamah gimana menghubungi keluarganya."
"Liat hape-nya aja, Mah! Kan pasti ada kontak yang sering chat sama dia" saran Hana, aku tahu anakku semuanya cerdas.
"Mana bisa mamah baca tulisan di hapenya," desisku sambil menatap telepon orang itu yang beberapa kali berdering tapi tak berani ku angkat.
"Dikunci ya, Mah? Minta tolong A Yayang buat unlock!" ide apalagi itu. Aku tahu anak tertuaku itu hacker, bahkan semua medsosku terus dipantaunya.
"kamu bisa baca tulisan Thailand, Han?"
"Hah? Emang yang kecelakaannya orang Thailand?"
"Iya! Mana bisa mamah baca tulisan di hapenya meskipun Aa kamu bisa meng-unlock hape ini!"
"Yaudah kalau gitu, Mah. Kabarin kalau perlu apa-apa. Hana mau mandiin Fian dulu. Dari tadi dia nanyain Mamah terus."
"Iya, Nanti minta Aa kamu antar baju ganti buat Mamah kesini. Sekalian bawa kemeja pendek dan celana pendek Papah yang di lemari kanan. Buat ganti baju pasien ini,"
"Gapapa, Mah? Bukannya itu satu-satunya baju dan celana Papah yang masih Mamah simpan buat kenangan?"
Aku menghela nafas perlahan. Hana benar, hanya itu yang masih aku sisakan setelah Papahnya meninggal setahun lalu. Tapi aku juga tak mungkin keluar saat ini untuk membeli baju ganti buat orang ini.
"Gapapa, Han. Sekalian bawa minum dan makanan, ya. Mama lapar juga."
Hana terkekeh. "Siap, Komandan!" serunya sebelum menutup telepon.
Aku duduk di sofa sambil terus menatap lelaki tampan yang tampak lelap di depanku. Mungkin pereda sakit yang diberikan Dokter Gugun membuatnya mengantuk, atau sisa-sisa biusan saat tadi dokter Gugun menjahit lukanya masih berefek pada tubuhnya. Entahlah. Aku tak mengerti karena itu bukan duniaku.
Yang ada di pikiranku saat ini adalah kenapa dia ada di daerahku? Sendiriankah? Berlibur ke daerah terpencil? Ah, aku ingat dia keluar bersama ojek itu dari hotel dimana aku mengantar kue tadi. Berarti dia menginap disana.
Aku segera meraih teleponku dan mencari sebuah nama. Segera ku tekan tanda panggilan.
"Sore, Lala, ada yang bisa Bunda bantu?"
"Bunda, maaf mengganggu, aku mau minta tolong," Bu Lis, senior manager hotel itu selalu memintaku memanggilnya Bunda, katanya aku mengingatkannya pada anaknya di Pekanbaru.
"Boleh, apa yang bisa Bunda tolong?"
"Apa ada orang Thailand yang menginap di hotel?"
"Ada, Lala, kemarin dia check-in pas Bunda lagi ada di front office. Apa dia memesan kue?"
"Nggak, Bunda, dia kecelakaan tadi terus aku bawa ke Rumah Sakit,"
"Astaga! Terus kondisinya bagaimana? Dia check in sendirian kemarin. Pas malam juga dia makan sendiri di resto hotel,"
"Kondisinya sudah mendingan, Bunda, aku minta tolong amankan dulu kamarnya, ya, kalau over stay juga mohon dibantu dulu ya, Bunda, soalnya aku nggak tahu kapan dia boleh keluar dari Rumah Sakit,"
"Siap kalau gitu, Lala. Kabari Bunda kalau perlu bantuan lainnya. Oiya, dia memesan kamar untuk sepuluh hari. Sepertinya dia sedang berlibur sendiri,"
"Baik, Bunda, terimakasih,"
Aku menarik nafas lega, satu urusan selesai. Kembali aku menatap lelaki tampan itu. Kalau saja Karin tahu aktor favoritnya ada disini, dia pasti histeris. Aku tak tahu kenapa dia suka sekali menonton bromance, padahal dia sudah bersuami, dia juga bukan orang yang belok.
Ah, bicara tentang belok, Karin pernah bilang orang ini punya pacar lelaki juga. Lawan mainnya di bromance dan mereka sering dipasangkan. Tapi kenapa dia berlibur sendiri kesini? Apakah dia sedang lari dari dunia selebritisnya? Apakah dia sedang bermasalah dengan pacarnya?
Haruskah aku kabari Karin? Sepertinya jangan dulu. Lelaki ini butuh privasi, mungkin itu sebabnya dia memilih berlibur sendiri kesini.
"Don't stare at me na," ucapnya lirih. Sialan! Rupanya dia sadar aku menatapnya terus menerus.
Mata cokelatnya terbuka, tangannya seperti berusaha mencari sesuatu.
"Looking for your phone?" tanyaku sambil menyerahkan teleponnya. Ia meraih itu dengan sedikit meringis, lecet di tangan kanannya pasti perih, aku bisa membayangkan itu. Sedangkan tangan kirinya dibebat karena patah. Ia mematikan teleponnya, ya, aku tak salah lihat. Ia memilih mematikan teleponnya dan kemudian memintaku menaruhnya kembali.
"Why don't you call your family?" tanyaku heran. "Or maybe your boyfriend?" Sial, kenapa mulutku ini lancang sekali tanpa bisa direm.
Matanya menatapku malas. Huft, aku tahu aku salah bicara. "You can leave me if you're busy," desisnya. Atau lebih terdengar seperti merajuk. Aku menatapnya tak percaya, dia segera memalingkan tatapannya.
"Forgive me if I misspoke. I can't leave you like this," ucapku pelan. Hiyaaa, yang waras ngalah aja lah. Aku masih punya nurani, bagaimana bisa aku meninggalkan dia di Rumah Sakit ini sendirian. Apalagi sepertinya dia sedang ingin menghindari dunianya.
Kruukkk....
Aku menatapnya kaget, suara perutnya jelas menunjukkan kalau dia lapar. Perawat belum membagikan makanan, tapi tadi dokter Gugun sempat memberiku biskuit dan air mineral. Wajahnya terlihat memerah, mungkin dia malu karena aku mendengar suara perutnya. Ah, kenapa makin terlihat tampan ketika dia salah tingkah begitu?
Oh Tuhan, dia terlihat menggemaskan dengan wajahnya yang memerah.
Kruukkkk....
Perutnya berbunyi lagi. Wajahnya semakin memerah. Tangan kanannya segera meraih ujung selimut dan menariknya hingga menenggelamkan wajahnya.
Aku tertawa lepas. Oh Lala, kenapa kamu tidak bisa menjaga perasaannya? Tapi dia jadi makin menggemaskan dan memancing keisenganku. Hayolah, dia pantas jadi adikku. Jangan berpikir yang aneh-aneh.
Aku segera membuka biskuit yang tergeletak di nakas, lalu menepuk selimut yang menutupi wajahnya. "Hi, please get some biscuits for your self. Then I will find some food for you,"
Dia menurunkan selimut dan berusaha meraih biskuit dengan tangannya. Sikunya mengenai ujung ranjang sehingga dia mengaduh. Aku akhirnya mengarahkan biskuit itu ke bibirnya dan mulai menyuapinya biskuit.
Dua keping biskuit sukses masuk ke mulutnya hingga berlabuh di dalam perutnya. "Thank You," lirihnya yang hanya ku balas dengan anggukan.
Teleponku berdering, Yayang rupanya menghubungiku. "Mah, ada di ruangan apa?" tanyanya begitu panggilan terhubung.
"VIP nomor 5 lantai 3," jawabku. Panggilan langsung terputus. Begitulah anak lelaki, tak banyak berbasa-basi.
Tak sampai lima menit pintu kamar sudah terbuka dan wajah Yayang menyembul dari balik pintu.
"Akhirnya anak Mamah datang juga, terima kasih, Sayang," seruku sambil meraih kotak bekal yang dia bawa. "Mamah lebay!" serunya. Aku tertawa, senang menjahilinya.
Yayang menatap lelaki itu. Aku sadar Yayang butuh penjelasan apa yang terjadi.
"David, this is my big son. Yayang, ini David, dia tadi kecelakaan dan Mamah membawanya kesini karena tadi tak ada siapapun di jalan,"
Yayang melihatku dan David bergantian, aku sadar anak itu ingin mengatakan berhati-hatilah padaku. David terlihat kurang nyaman.
"Tak apa, Nak, Mamah disini karena kemanusiaan. Tak ada yang harus dikhawatirkan," ucapku pada Yayang. Anak itu mengangguk. "Hai, Mamah lapar, kamu bawa apa?" aku segera mengalihkan pembicaraan dan membuka kotak bekal yang dibawa Yayang.
Wah, nasi Padang komplit dan ini terlalu banyak untuk dimakan sendiri. Aku menatap David, "you must try this Padang rice!" seruku sambil menyendokkan nasi berikut potongan rendang ke arahnya. Dia menatapku sejenak. "Say Aaaaa..." ucapku seolah menyuapi anak kecil, aku sudah pengalaman soal hal ini. Anakku sudah tiga, kesemuanya aku yang membesarkan, meski ada mbak Citoh di rumah, urusan menyuapi anak tak bisa aku serahkan pada asisten.
David melebarkan mulutnya, satu sendok nasi pun masuk dan perlahan di kunyahnya. "Hmmm, it's delicious," ucapnya tulus. Yayang tampak bergidik dan menatap malas. Ah, anakku sepertinya memikirkan hal lain.
Aku kembali menyuapi David hingga kemudian dia berupaya menggapai sendok yang ku pegang dan tangan kami bersentuhan. "you also have to eat," ucapnya.
"i will eat after you finished your meal," balasku.
"we can eat together," ucapnya lagi dengan mata yang terus menatapku.
Sial, kenapa aku merasa jengah dengan tatapannya. Tuhan, beginikah rasanya ditatap selebritis sampai temanku begitu tergila-gila walau belum pernah bertemu secara nyata?
Oke, aku mengalah. Aku menyuapkan nasi yang sudah disendok ke mulutku dan mengunyahnya perlahan. Astaga, aku baru sadar ini sendok bekasnya. Aku juga tak tahu apa dia punya penyakit atau tidak, pikiranku jadi traveling.
"My turn, please!" tangannya meraih sendok yang ku pegang. Aku jadi kikuk. Oh My God, ia makan makanan dari sendok yang sudah masuk ke mulutku. Dan aku hanya orang asing yang baru bertemu dengannya hari ini. Apa aku mimpi, Tuhanku?
Rasa lapar mengalihkan pikiranku. Aku fokus menyuapinya bergantian dengan diriku sendiri. Kotak bekal yang dibawa anakku pun bersih. Aku tersenyum melihat sisa nasi di sudut bibirnya. Segera ku raih tisu dan membersihkan bibirnya. "Sorry.." ucapku kikuk. Ia tertawa kecil. Tuhan, aku bisa diabetes kalau terus-terusan seperti ini.
"Don't worry about anything, I don't have any infectious disease," ucapnya setelah tawanya reda. Aku tersenyum samar, rasanya seperti pencuri yang tertangkap basah. Dia seolah mengerti pikiranku tadi saat bergantian menyuapinya.
Ehm!
Aku tersadar ada Yayang di ruangan ini. Dia pura-pura batuk untuk menyadarkan Mamahnya yang salah tingkah.
"Mamah ganti baju dulu, Yayang bawa baju ganti buat Mamah. Itu banyak noda darahnya," Ucapnya sambil menyerahkan tote bag berisi pakaian padaku. Aku mengusap kepalanya dan mengacak rambutnya. "Thank you, Sayang,"
Yayang berdecih. "Aku bukan anak kecil, Mah!" serunya sambil merapikan kembali rambut yang sudah ku acak-acak. Aku tertawa puas, selalu senang mencandai anakku. Lewat ujung mataku kulihat David juga berusaha menahan tawanya.
"Cepetan ganti baju, Mah!" Yayang mendorongku ke kamar mandi. Aku segera masuk dan mengunci pintu kamar mandi, membiarkan Yayang dan David berdua disana. Toh dari kamar mandi pun aku bisa mendengar suara mereka. Tapi sepertinya mereka tak saling sapa. Hmm, aku tahu anakku sulit beradaptasi dengan orang baru, apalagi dengan orang luar negeri. Tapi, hai, kata Karin David itu belok, dan anakku laki-laki. Jangan sampai dia jadi mangsa David!
Aku buru-buru mengganti pakaian dengan yang bersih setelah ku bersihkan badanku terlebih dahulu. Kembali ke ruangan, ku lihat Yayang sibuk dengan gadgetnya. David tampak memejamkan mata. Seperti yang ku duga, mereka tak berbicara apapun.
"Yang, kita tak mungkin meninggalkan David sendirian disini. Apa kita bisa bergantian menjaganya?" Tanyaku memecah keheningan. Yayang menatapku dan David bergantian.
"Mamah saja lah. Aku pilih jaga adik-adik di rumah. Kalau ada apa-apa kabari saja. Satu lagi, jangan ganjen! Mamah menang janda, tapi jangan murahan!"
Deg! Seulas nyeri terasa di lubuk hatiku. Anakku yang ini kalau ngomong to the point, tak pernah berpikir yang jadi lawan bicaranya suka atau tidak.
"As you wish, Sayang," ucapku sambil mengucek kembali rambutnya. Dia melengos, lalu keluar dari ruangan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!