Di sebuah kebun sayuran terlihat seorang kakek tua dan seorang anak lelaki yang tengah asyik memetik tomat yang merah dan begitu menyegarkan.
"Kakek. Kenapa disini ada banyak jenis tomat?" tanya sang anak lelaki sambil menunjukkan jenis-jenis tomat yang berbeda. Sang kakek tertawa kecil, "Karena memang mereka punya fungsi masing-masing"
"Yang berukuran besar ini jenis tomat buah biasanya bisa dimakan langsung, ada lagi yang berukuran sedang ini tomat sayur yang biasa dibuat campuran masakan, dan ada yang agak lonjong itu biasa dibuat saus. Dan yang kecil-kecil ini adalah tomat ceri, dia yang paling spesial" ujar kakek.
"Spesial? kenapa?" si anak laki-laki mengangkat keranjang yang berisi tomat ceri dan mendekatkannya pada kakeknya. "Karena tomat ini ada dongengnya".
"Dongeng? Aku ingin mendengarnya" semangat si anak laki-laki.
"Baiklah. Mari kita bawa tomat-tomat ini ke rumah dulu. Setelah itu kakek akan menceritakannya"
Dengan semangat si anak laki-laki mengangkat keranjang-keranjang berisi tomat ke gubuk kecil mereka. Lalu mencuci tangan dan duduk di sebelah kakeknya dengan antusias.
"Apa kau tahu apa nama ilmiah tomat ceri?" tanya si kakek. Anak laki-laki itu menggeleng.
"Cerasiforme, yang juga berarti keindahan dan harapan. Dulu ada seorang gadis kecil cantik. Dia sangat cerdas, baik dan suka sekali berteman. Dan anak itu bernama Cerasiforme"
"Hidupnya sangat bahagia bersama kakak lelakinya dan kedua orang tuanya. Setiap hari mereka akan berkebun menanam berbagai macam sayur dan bunga. Dan tentu saja favorit gadis itu adalah tomat ceri. Setiap hari dia akan membawanya kerumah untuk diolah jadi makanan ataupun manisan"
"Hingga suatu hari ada seorang gadis kecil lain datang ke keluarga mereka. Gadis yang sama persis dengan gadis kecil itu, namun pakaiannya lusuh dan rambutnya berantakan. Si Ibu tahu siapa dia, dengan langkah gontai ia menghampiri gadis lusuh itu dan memeluknya, namun sang ayah dengan kasar memisahkan mereka dan mengusir gadis kecil itu"
"Mereka sengaja menyembunyikannya agar tidak berkumpul dengan keluarga bahagia mereka. Namun suatu hari Cerasiforme melihatnya, gadis yang mirip dengannya itu. Ia sangat bahagia bertemu seorang yang sama dengannya. Mereka pun bermain bersama setiap hari secara diam-diam. Membawakannya pakaian yang indah, menguncir rambutnya dan juga memakaikan aksesoris yang sama, sehingga tak ada yang bisa membedakan mereka"
"Lambat laun gadis kecil itu telah tumbuh menjadi dewasa. Dan kembaran Cerasiforme juga ingin merasakan memiliki keluarga. Mereka pun bertukar peran. Namun, lambat laun keinginan kembarannya itu semakin besar dan ingin menguasai kehidupan Cerasiforme seutuhnya. Sehingga ia berulang kali mencoba menyingkirkan Cerasiforme"
"Hingga akhirnya, ia berhasil menikah dengan kekasih Cerasiforme yang merupakan seorang pangeran membuat Cerasiforme sangat sedih dan ingin mengakhiri hidupnya. Kakak Cerasiforme yang mengetahui kebenaran itu berusaha menyelamatkan Cerasiforme namun kembarannya itu melepaskan panah beracun dan kakaknya mati. Mengetahui putranya dibunuh, kedua orang tua Cerasiforme mencoba meminta keadilan pada sang Pangeran. Namun sang Pangeran tak percaya dan menjatuhkan hukuman mati pada mereka berdua. Hidup Cerasiforme semakin gelap ia sudah tak memiliki alasan hidup karena semua orang yang disayanginya mati"
"Cerasiforme pun meninggal di tengah kebun tomat keluarganya karena bunuh diri. Dan Pangeran yang baru mengetahui kebenarannya pun menyesali perbuatannya"
Kakek menghela nafas setelah menceritakan kisahnya.
"Padahal hanya sebuah tomat, tapi kisahnya sangat menyedihkan"
"Haih, jangan ambil kisah sedihnya. Yang harus kau tahu, kau harus hidup dengan baik dan memiliki harapan yang baik. Meski sekecil apapun jangan pernah jatuh dalam keburukan"
"Baiklah kakek. Lalu bagaimana kisah kembarannya Cerasiforme setelah semuanya meninggal"
"Hmn, kakek tidak tahu pasti, cerita berakhir disitu" jawab kakek.
Angin musim panas berhembus tipis. Dedaunan kering melayang di udara melukis kisah baru tentang kehidupan.
...----------------...
Seorang pria berdiri didepan sebuah rumah yang terlihat sudah lama tidak di tinggali. Beberapa kayu terlihat sudah lapuk dimakan usia. Dia pun membuka pintu rumah dan menyeka beberapa jaring-jaring laba-laba yang mengganggu jalannya.
Seakan sudah sangat akrab dengan tempat itu ia segera menuju ke sebuah ruangan. Sepertinya bekas ruang kerja, ada beberapa rak berisi banyak buku. Ada suara tikus berdecit dan berlarian tepat saat ia membukanya.
Tangannya meraih sebuah buku di ujung rak dan meniup debunya pelan. Sebuah buku bersampul kulit sintetis bertuliskan Cerasiforme. Ia membuka buku yang sudah kusam itu. Dan air matanya menetes.
"Seharusnya aku tidak melakukannya" ucapnya menyesal, sambil mengusap gambar seorang wanita dalam buku itu.
Hujan turun begitu saja, titik-titik air membekas di jendela ruangan itu. Ada sebuah pot berisi tanaman yang sudah kering, lapuk dimakan usia.
Dan pikirannya melayang ke masa lalu...
...Desa Haru. Musim semi, 1996....
Tuan James mondar-mandir di depan kamar bersalin dengan gusar. Lalu sesekali duduk di bangku dan berdiri kembali. Putranya yang duduk di dekatnya hanya memandanginya dan disibukkan dengan permennya saja.
Tak berapa lama kemudian dokter dan beberapa perawat keluar.
"Selamat Tuan, istri dan kedua putri anda selamat" ucap Dokter. Tuan James merasa lega lalu menggendong putranya untuk melihat keadaan istrinya.
"Untuk sementara bayi berada di inkubator karena keadaannya masih sangat lemah. Setelah keadaan sudah lebih baik akan dipindahkan ke ruang bayi" ujar perawat. Tuan James mengangguk senang, dan mencium kening istrinya. "Terima kasih" ucapnya.
"Thera punya dua adik perempuan" ucap Thera dengan senyumnya.
Tuan James meninggalkan Thera bersama ibunya dan keluar sebentar untuk mencari makanan. Tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya menghampirinya dengan panik.
"Maaf permisi Tuan, apa disini ada kelahiran anak perempuan kembar?" tanyanya.
"Hah? Ah iya Nyonya" jawab Tuan James.
"Astaga, apakah dia lahir pada jam 3 lebih 33 menit?"
"B-benar"
"Ya Tuhan. Ini benar-benar terjadi" ucap wanita itu semakin panik, membuat Tuan James semakin bingung.
"Tuan. Saya mohon Tuan segera memisahkan bayi itu. Atau kehidupan keluarganya akan sangat tragis. Karena dua unsur yang bertolak dari mereka"
"Apa yang kau katakan Nyonya, kau bicara aneh"
"Tuan, percaya atau tidak. Mimpi saya selalu menjadi kenyataan. Aku sudah memperingatkan Tuan"
Tuan James tak peduli, dan meninggalkan wanita itu yang masih berteriak-teriak padanya.
Setelah kembali, Tuan James menceritakan kisah itu pada istrinya dan tentu saja istrinya tak percaya akan takhayul seperti itu.
Beberapa hari kemudian, mereka sudah bisa melihat bayi mereka. Tuan James mengajak Thera bertemu adik-adiknya. Thera yang masih kecil berjinjit untuk melihatnya.
"Ayah, adikku hanya ini. Ini bukan adikku" Thera menunjuk satu bayi perempuan yang menangis.
"Tidak boleh begitu Thera, mereka adalah adik-adikmu. Kau harus menyayangi mereka berdua" ujar Tuan James.
"Tidak. Pokoknya adikku cuma yang ini" Thera menjatuhkan permennya pada bayi yang menangis dan memegang tangannya. Dan tiba-tiba Thera jatuh dan pingsan. Tuan James yang panik langsung membawa putranya menemui dokter.
"Leukimia?" tanya Tuan James tak percaya. Ini begitu tiba-tiba, bagaimana putranya yang sangat sehat itu bisa memiliki penyakit serius seperti itu?. Beberapa kali ia memastikan ke dokter tentang yang didengarnya, namun jawabannya tetap sama.
Dan Tuan James mengingat ucapan wanita aneh waktu itu. Entah bagaimana ia langsung mengambil putrinya yang dijatuhi permen oleh Thera yang masih menangis dan membawanya pergi. Putri satunya yang selalu tidur mengedipkan matanya perlahan-lahan dan terbuka saat Tuan James pergi.
...----------------...
source : pinterest (CERA NATHALIE JAMES)
Desa Haru, Musim Semi, tahun 2000.
Pagi pertama musim semi. Jalanan masih terlihat basah akan sisa salju yang mencair. Suara binatang kebun bersenandung keras memenuhi angkasa.
Seorang gadis kecil terlihat berlarian kesana-kemari didalam rumahnya. Ibunya yang berada di dapur memandanginya bingung.
"Cera! Berhentilah berlarian, cepat makan sarapanmu!!" teriak ibunya.
Gadis kecil itu berhenti dan menatap ibunya.
"Aku kehilangan kaos kakiku, Bu! Aduh, dimana, ya?" ia kembali mondar-mandir.
"Bukankah kau menaruhnya didekat kamar mandi, kemarin?" kata Ibunya sembari meletakkan sup ayam dimeja makan. Gadis kecil itu mengingatnya, langsung mengambil kaos kakinya dan segera memakainya.
Tak lama kemudian ayahnya baru masuk dari pintu belakang dan langsung bergabung dengan mereka. "Cera, hari ini Ayah tidak bisa mengantarmu. Ayah akan ke kota mengantar beberapa sayuran" ucap Ayahnya.
"Hn, tidak apa-apa Yah, aku kan bisa berangkat dengan kak Thera!" ucap Cera
"Anak pintar" ayahnya mengusap kepala putrinya itu lembut.
"Ooo... aku telat. Ibu, aku ambil satu roti ya. Sampai jumpa" seru seorang anak lelaki yang bergerak cepat meraih sepotong roti dan langsung berlari keluar.
"Hei, Thera! Kau pergilah bersama adikmu! Ayahmu tidak bisa mengantarnya!" teriak Ibunya.
Cera langsung meraih tasnya dan mengikuti kakaknya. Thera berdecak kesal menaiki sepedanya.
"Beruang Manja! Ayo cepat!" buru Thera.
"Iya!" Cera langsung naik di boncengan kakaknya.
Mereka pun melaju cepat membuat Cera terus berteriak ketakutan. Akhirnya Thera menghentikan sepedanya.
"Aku harus cepat sampai disekolah. Jadi harus cepat" katanya.
"Hiks... tapi aku takut... hiks... hiks..." rengek Cera.
"Uh, ya sudah, jangan nangis lagi. Kau ini manja sekali. Nanti ku bawakan tomat ceri dari kebun paman Will, ya" bujuk Thera.
"Janji ya"
"Iya"
Setelahnya mereka kembali melaju dengan kecepatan normal. Dan mereka pun sampai disekolah Cera.
"Jangan lupa janji kakak, ya!" teriaknya. Thera hanya mengangguk dan meninggalkan adiknya itu.
Cera sudah senyum-senyum memikirkan ia akan mendapat tomat cherry paman Will yang terkenal sangat enak itu. Ia berjalan riang menuju kelasnya.
...
Jam olahraga.
Cera berjalan berendeng dengan teman-temannya menuju lapangan olahraga. Dan guru Anne memberi mereka tugas untuk menanam sayuran di halaman kebun sekolah.
Cera yang sangat suka dengan tanaman tentu sangat bersemangat. Ia bahkan lebih ahli dari yang lain soal menanam dan merawat tanaman. Ia juga tak segan mengajari teman-temannya. Karena Cera memang suka memiliki banyak teman.
"Ooh, kenapa kau membuang tanahnya kesana-kemari? Seharusnya kau menimbunnya, seperti ini." ucap Cera pada seorang lelaki yang sejak tadi hanya memainkan tanah saja. Lelaki itu memperhatikan cara Cera memberinya tutorial bertanam, tapi ia kembali mendengus.
"Itu merepotkan. Tidak menyenangkan!" ketus lelaki itu.
"Uh, kau harus mencobanya dulu. Baru bisa menilainya"
"Kenapa? Aku memang tidak suka dengan tanaman! Kau tanam saja sendiri!" lelaki itu langsung meninggalkan Cera.
"Hn, dia itu..." Cera hanya menghela nafas dan memperbaiki tanamannya.
...
Keesokan harinya. Ia dan kakaknya bersepeda bersama, mereka akan pergi kerumah paman Will untuk membantunya merawat tanaman.
"Paman Will! Kami datang!" seru Cera riang sembari berlari kecil memasuki kebun paman Will yang cukup luas. Ia langsung terpana memandang indahnya tanaman-tanaman di kebun itu. Terasa sangat menyegarkan.
"Kakak! Ayo!" semangat Cera. Thera mengikuti adiknya.
"Oh, Cera! Kau sudah datang?!" seru seorang pria dari jajaran tanaman tomat ceri favoritnya.
"Huwaaa... tomatnya sangat banyak dan merah!" mata Cera berbinar mengamati tomat-tomat kecil dihadapannya.
"Kau pasti kenyang memakan semua tomat ini, Cera." Thera terkikik.
"Kau benar Kak.Ini menyenangkan sekali." senang Cera.
"Hn, mau bantu memanennya?!" tanya paman Will. Cera berlari kecil mengambil keranjang di sudut rak. Dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Aku siap!" teriaknya.
Mereka berdua pun membantu paman Will memanen tomat ceri.
"Kau tahu Cera? Masa pertumbuhan tomat cherry ini kurang lebih 4 bulan sebelum benar-benar dipanen. 3 Minggu masa penyemaian dan 100 hari masa pertumbuhannya hingga siap panen" ujar paman Will disela aktivitasnya.
"Lama ya paman. Kalau aku ingin makan tomat ceri hasil tanamanku sendiri, aku harus menunggu selama itu" ucap Cera.
"Hm, kau kan bisa beli di supermarket atau toko sayuran. Aa, di pasar juga banyak" sahut Thera.
"Tapi, itu tidak menarik, Kak. Aku akan belajar menanam tomat ceri dari paman Will, ya Paman?"
"Tentu saja"
...
Hari beranjak sore.
Cera dan Thera memutuskan pulang. Mereka membawa sekantung tomat cherry dari paman Will.
"100 hari itu waktu yang lama ya Kak"
"Iya. Uh, aku tidak sabar memakan semua tomat itu"
"Mana bisa? Ini semua punyaku."
"Tapi kan aku juga membantu paman Will!"
"Baiklah. Kakak boleh memintanya tapi sedikit"
"Itu tidak adil. Aku tidak mau lagi punya adik sepertimu" sungut Thera.
"Ehh? Jangan Kak. Jangan. Aku tidak mau kehilangan kakak. Aku janji tidak nakal lagi, dan semua tomat ini untuk kakak."
Sungguh mudah membujuk Cera. Thera tersenyum, "Kita bagi dua ya." ucapnya.
"Baiklah." mereka berdua tertawa riang.
...
Seorang anak lelaki sejak tadi duduk di sofa tepi jendela, mengintip seseorang yang begitu sibuk dengan tanaman-tanaman tomat di kebun milik ayahnya. Dari awal hingga orang itu pergi bersama kakaknya.
"Rein. Kau tidak mau makan? Ibu membawa salad buah!" seru Ibunya. Anak itu hanya meliriknya dan enggan berpindah dari tempatnya.
"Sebenarnya apa yang kau perhatikan sejak tadi?" tanya Ibunya yang kini duduk disampingnya mencoba melihat objek apa yang membuat putra semata wayangnya itu enggan mengalihkan pandangannya.
"Hn. Itu Cera dan satunya itu kakaknya Thera. Mereka anak Tuan James, kepala bagian di pasar. Bukankah kau satu sekolah dengan Cera?" ujar ibunya. Reinald menoleh, ia tahu hal itu, tapi ia masih enggan membuka mulutnya. Ia mengambil gitarnya dan meninggalkan ibunya.
"Hei! Reinald! Kau mau kemana?!" panggil ibunya. "Hehh, anak itu kenapa dingin sekali, sih?" gumamnya.
Ya, Reinald sejak kecil tinggal di kota, dan sekarang ia harus pindah ke desa. Ia sudah terbiasa dengan teknologi dan sekarang ia harus hidup dikelilingi tanaman-tanaman yang merepotkan peninggalan kakeknya yang merupakan petani sayuran. Oleh karena itu ia menjadi pendiam.
Tapi, sejak masuk sekolah ia sedikit tertarik dengan Cera, gadis kecil itu selalu menyirami tanaman di depan kelas dan merawatnya dengan baik, tak jarang juga ia melihat gadis itu dan kakaknya datang ke kebun ayahnya untuk membantu merawat tanaman.
...
"Huwaa, bunga krisannya sudah mekar. Yuna. Lihat ini." teriak Cera pada temannya.
"Iya, Cera. Ini indah, kau merawatnya dengan baik" puji Yoona teman sekelas Cera.
"Hn. Aku akan memetiknya dan dijadikan hiasan dikelas!" ucap Cera mengambil beberapa bunga warna-warni dan membawanya ke kelas.
'BRRRUUUKK'
Seseorang menabrak Cera saat ia akan masuk kelas, membuat Cera terjatuh dan bunganya hancur. Orang itu hanya memandangi Cera.
"Cera!" teriak Yoona yang langsung membantu Cera berdiri.
"Uhh, bunganya hancur. Bagaimana ini? Bunganya hancur." mata Cera mulai hangat, dan ia pun menangis. "Bunganya hancur" racaunya menatap sedih serpihan kelopak bunganya.
"Cera"
Lelaki yang menabrak Cera tadi, malah pergi meninggalkan Cera yang masih menangis meratapi bunganya.
...----------------...
Saat pulang sekolah. Cera berjalan seorang diri. Ia sedikit kesal hari ini karena bunga yang selalu dirawatnya hancur. Padahal ia sudah menunggu bunga itu mekar sejak lama. Ya sudahlah, ia bisa menanamnya lagi.
"Huwaa" ia terkejut saat tiba-tiba ada seikat bunga krisan kuning muncul didepannya, lalu disusul pemandangan wajah lelaki yang baru dikenalnya sebulan yang lalu, ya Reinald.
"Ambil bunganya. Aku sudah menggantinya" ucapnya dingin. Cera terbengong mengambil bunga itu. Dan Reinald pun pergi.
"Eehh, tunggu dulu." teriak Cera mencoba membarengi langkah Reinald.
"Kau ternyata baik ya? Kukira kau tak pernah peduli dengan orang lain" ujar Cera.
"Aku memang tidak mau peduli. Sudah sana pergi! Hutangku sudah lunas." usir Reinald.
"Kenapa? Aku kan tidak pernah meminta kau menggantinya. Kenapa kau menganggapnya hutang?"
"Karena orang sepertimu suka mengungkit kesalahan orang sebagai bahan sindiran"
"Aku tidak seperti itu"
"Tapi menurutku seperti itu"
"Kau kan belum mengenalku. Jadi kau tak bisa menuduhku seperti itu."
"Aku tidak peduli."
"Kalau begitu... Maukah kau jadi temanku?"
Reinald berhenti dan menatap Cera dengan tatapan aneh. Cera tersenyum lebar.
source : pinterest ( SOLA ANASTASIA )
Desa Natsu, Musim Panas, tahun 2000
'PRAAANNG'
Semua gelas dan piring berserakan dilantai. Seorang gadis kecil bersimpuh dilantai sambil sesenggukan, rambutnya terlihat berantakan dan lengan bajunya pun sobek.
Seorang wanita paruh baya berdiri dihadapannya dengan sebilah rotan, matanya merah dan keringat menetes di pelipisnya.
"Kurang ajar kau. Memangnya kau punya uang? Kenapa kau masuk ketempat les mahal itu? Kau mau mempermalukan ku, huh? Kau lihat ayahmu itu hanya seorang buruh angkut dan kerjanya hanya mabuk-mabukan. Bisa-bisanya kau berlagak seperti orang kaya, huh" maki orang itu.
"Hiks. Hiks. Aku diajak Malvin. Aku hanya ikut-ikut saja. Hiks hiks, maafkan aku. Bu" tangis gadis itu.
"Dasar kau. Rasakan ini" Wanita itu terus memukuli betis gadis itu hingga menimbulkan garis-garis merah memar. Gadis itu terus menangis dan memohon ampun pada ibunya.
Tapi apalah daya. Tak ada siapapun di dunia ini yang mendengar jeritan gadis kecil itu.
"Sola! Kau kenapa?!" tanya Malvin. Sola mempercepat langkahnya dan mengabaikan Malvin. Ia takut oleh ancaman ibunya kemarin.
"Sola!" teriak Malvin bingung.
"Woi. Malvin! Kenapa kau masih mau berteman dengan anak perusuh itu?" teriak seorang teman sekelas Sola. Sola mengepalkan kuat tangannya.
"Hahaha. Benar sekali. Anak miskin seperti dia tak pantas sekolah disini" teriak yang lain.
"Ya. Terima ini." seorang melempari Sola batu-batu kecil. Sola pun langsung lari. Malvin menatapnya iba. "Hei kalian. Hentikan." teriak Malvin.
"Oh Malvin ternyata pacar Sola. Makanya dia selalu membelanya."
"Hahahaha. Malvin pacar Sola. Malvin pacar siMiskin Hahaha" sorak yang lain.
Malvin mengumpat kesal dan berlari meninggalkan mereka.
"Sola. Kenapa kau menghindariku?" keras Malvin. Sola berhenti dan berbalik.
"Jangan ganggu aku lagi. Aku bukan temanmu, Malvin" teriak Sola.
"Tapi, kenapa?"
"Karena aku berteman denganmu aku jadi semakin menderita. Lagipula aku ini sudah dicap sebagai anak Perusuh jadi aku tidak pantas punya teman"
"Jangan berfikir seperti itu. Jangan dengarkan mereka. Mereka bisanya hanya melihat dan mengolok. Aku mau menjadi temanmu sampai aku mati. Aku janji itu"
Sola menangis. Selama ini ia tak pernah mendapat ucapan tulus dari seseorang, mengingat latar belakang keluarganya yang sangat berantakan. Tapi, Malvin adalah orang berbeda, ia selalu mengejar Sola untuk menjadi temannya, tak peduli ia ikut dibully atau apapun.
Dan ini justru membuat Sola takut, ia lebih takut jika Malvin akan terluka karenanya.
"Apa aku bisa percaya padamu?!" tanyanya.
"Tentu saja. Aku selalu memegang ucapanku" yakin Malvin.
"Maafkan aku, tapi aku tidak mau punya teman sepertimu" Sola menghapus air matanya dan pergi.
"Sola!" teriak Malvin, mengejar Sola.
"Sudah kubilang aku tidak mau menjadi temanmu" teriak Sola sambil mendorong Malvin hingga Malvin terjatuh. Malvin menatapnya sedih, dan tiba-tiba ada darah keluar dari hidungnya, membuat Sola jadi panik. Apalagi saat Malvin tiba-tiba pingsan.
Teman-temannya mulai berkerumun melihat Malvin, tak lama kemudian, beberapa guru datang dan membawa Malvin kerumah sakit.
Dua hari kemudian...
Suasana berkabung dirumah keluarga Malvin. Ayah dan Ibu Malvin terlihat menangis disamping altar. Banyak orang datang untuk turut berduka cita.
Sola dan Ibunya pun datang.
"Eh Itu Sola" teriak salah seorang teman almarhum.
Sola meremas tali pinggang gaunnya saat ini. Ayah dan Ibu Malvin menatap kearah mereka dan langsung menghampiri Sola.
"Kenapa kau melakukannya? Kenapa putraku? Kenapa?" teriak Ibu Malvin sambil mencengkeram pundak Sola dengan air mata berurai. Semua mata pun tertuju pada mereka.
"Cepat kembalikan putraku! Cepat! Dia adalah anak yang baik. Dia tidak pernah salah!"
"Apa yang Nyonya katakan Sola tidak melakukan apa-apa. Putra nyonya saja yang terus mengejarnya" bela Ibu Sola. Sola hanya menangis.
"Tidak jika putrimu yang terkenal sebagai pembawa sial itu tidak menggodanya"
"Putriku bukan orang seperti itu"
"Sudah Bu, ayo pergi" Sola menarik-tarik tangan Ibunya.
"Sebaiknya kalian pergi dari sini" usir Ayah Malvin.
"Tentu saja aku akan pergi. Tapi ingat, putriku bukanlah pembunuh" emosi Ibu Sola yang langsung menarik tangan Sola.
"Jangan pedulikan mereka. Mereka hanya lalat yang terus berdengung tak berguna"
Sola masih sempat melihat foto Malvin didepan altar dengan sedih dan penuh rasa bersalah.
...----------------...
"Pergi kau Pembunuh! Kau tak berguna! Pergi Kau!" semua orang seakan mengecam Sola. Bahkan Sola harus membiarkan rambut panjangnya tergerai menutupi seluruh wajahnya. Ia takut dengan mereka semua.
Terkadang ia tak kuat untuk menjalani hidupnya yang seperti ini. Ia ingin bunuh diri. Tapi setiap kali mengingat Malvin ia pasti akan takut melakukannya. Ia takut jika disana ia akan bertemu Malvin dan Malvin akan marah padanya.
Hingga akhirnya, ia dan keluarganya pun pindah dari kota itu.
Namun, bukannya kehidupannya lebih baik, tapi malah keluarganya semakin terpuruk. Ayahnya semakin sering mabuk-mabukan dan memukuli ibunya. Padahal ibunya sudah sangat lelah bekerja seharian untuk makan keluarganya. Belum lagi kakaknya yang sudah lulus sekolah itu sering kali dikejar polisi karena ketahuan mencuri.
Disekolah barunya ia pun tetap dikenal sebagai anak keluarga berandalan. Membuatnya semakin tertutup dan tak memiliki teman.
"Sola" panggil Ibunya. Sola hanya diam dan menghampirinya. Ibunya melihat beberapa memar ditubuh anaknya itu. "Apakah masih sakit?" ucapnya sambil memegang memar itu. Sola kaget dan mendesis menahan sakit.
"Kenapa kau tidak melawan mereka jika mereka memperlakukanmu seperti ini?" tanya Ibunya. Sola tetap diam. "Bagaimana kau akan menjalani hidupmu dengan baik jika kau takut dengan mereka?" tambahnya.
"Tunggu sebentar" Ibunya masuk kedalam kamar, dan keluar lagi membawa sebuah kotak. Sola hanya menatapnya.
"Ini baju bayimu, dan sebuah surat yang ditinggalkan orang tuamu" Ibunya menunjukkan isi kotak itu. Sola melihatnya lalu menatap Ibunya seolah bertanya apa maksudnya.
"Iya. Kau bukan putriku. Aku menemukanmu di dekat jembatan saat aku pulang bekerja dulu. Karena kasihan aku merawat mu" ujar Ibunya sambil memandang ke arah lain.
Sola meneteskan air matanya. Kenyataan apa lagi ini.
"Aku tahu, aku tidak bisa merawatmu dengan baik, dan kau sangat kesusahan sampai sekarang. Tapi aku senang bisa memiliki putri seperti dirimu"
Ibu Sola menahan air matanya.
"Aku tidak tahu kenapa orang tua kandungmu tega meninggalkanmu disana, tapi jangan pernah menyalahkan mereka atau bahkan menyalahkan dirimu sendiri. Kau berhak hidup, kau berhak memiliki kisah yang bahagia. Tapi maaf aku tidak bisa memberikan itu"
Sola menggenggam erat baju bayi dalam kotak itu dan menatap Ibunya.
"Nanti, paman Dean akan menjemputmu, kau akan ikut bersamanya ke tempat yang lebih baik" ucap Ibunya lalu pergi meninggalkan Sola. Tepat saat itu Paman Dean sudah datang dan menghampiri Sola.
"T-tidak Bu, aku tidak ingin pergi" teriak Sola. Paman Dean menarik tangannya, "Patuh Sola, kamu akan mendapat kehidupan yang lebih baik" ucap Paman Dean. Sola masih memberontak, namun tubuh kecilnya tak berdaya melawan Paman Dean. Ia pun berhasil dibawa masuk kedalam mobil.
"Ibu! Jangan membuangku Ibu! Aku akan patuh!" teriaknya diantara tangisnya.
'Hiks. Semua orang ingin membuangku. Bahkan orang tuaku sendiri'
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!