NovelToon NovelToon

Cinta Sang CEO

Bab 1 Kedatangan perempuan baru

Pagi yang indah untuk mengawali hari, pagi-pagi sekali hidung sang CEO muda yang tampan dan rupawan mencium aroma masakan dalam rumahnya.

Biasanya di pagi hari dia tidak pernah menyuruh si Mbok untuk masak, paling sang CEO menyuruh dibikinkan roti dan teh hangat.

'Siapa yang masak pagi-pagi begini di rumahku?' Batin Guna.

Guna masih enggan matanya untuk dibuka, dia masih nyaman dengan selimut dan bantal tapi lama kelamaan aroma itu makin menggoda seakan-akan aroma tersebut ancang-ancang sudah meluncur ke dalam mulutnya.

Tidak menunggu lama, Guna pun bangun dan membersihkan dirinya lalu turun.

Guna memanggil, si Mbok.

"Siapa yang masak pagi-pagi begini, Mbok? Biasanya saya hanya sarapan roti dan teh anget."

"Anu, Tuan. Itu... anu, Tuan."

"Anu itu anu itu apa, Mbok? Ngomong yang jelas! Itu siapa yang suruh masak pagi-pagi?"

"Giana, Tuan!"

Giana Anastasya perempuan yang dikirim mamanya Guna untuk mengawasi sekalian bantu-bantu di rumah putranya.

"Giana? Siapa Giana? Perasaan saya nggak ambil ART baru, Mbok!"

"Itu, Tuan. Nyonya besar yang mengirimnya ke sini, katanya buat bantu-bantu beresin rumah."

"Yasudah, Mbok. Coba panggil dia ke sini!"

Sembari menunggu, Giana. Guna menelpon mamanya untuk menanyakan apa maksudnya mengirimkan perempuan untuk bekerja di sini, Guna nampak gusar dengan kehadiran seorang perempuan di rumahnya apa lagi masih muda kayak gitu.

Tidak menunggu lama telepon berdering, sang empunya sudah mengangkat.

"Halo, Assalamu'alaikum, Sayang. Putra gantengnya, Mama," jawab sang Mama sambil terkekeh, karena dia sudah tahu apa gerangan putra semata wayangnya itu telepon di pagi-pagi buta begini.

Tanpa basa-basi, setelah menjawab salam. Guna memberondong mamanya dengan segudang pertanyaan.

"Mama! Mama, apa-apaan sih, main kirim perempuan segala ke rumah, masih muda lagi. 'Kan sudah ada si Mbok, Ma."

"Aduh, anak Mama yang tampan, yang macho, pokoknya yang tersemuanya."

"Guna, nggak butuh, Mama!"

"Dengerin, Mama. Itu pembantu bukan sembarang pembantu. Dia perempuan hebat, supel, friendly, cekatan dan masih banyak lagi kelebihan lainnya."

"Pokoknya, Guna. Nggak mau, Ma!"

"Percaya sama, Mama. Kamu nggak akan pernah menyesal telah mempekerjakan perempuan itu, kamu kecantol pun nggak apa-apa."

"Hah! Mama!"

Mendengar sang putra sudah berteriak gusar, Anita, cepat-cepat memutuskan telepon. Karena dia sudah tahu kalau sang putra terdengar sudah berteriak dengan nada gusar begitu alamat akan marah-marah. Ia tahu persis sang putra anti yang namanya perempuan, entah kenapa sang putra bisa sampai ilfeel kepada kaum perempuan.

Bab 2 Tragedi KECOAK

"Hah! Mama!"

Mendengar sang putra sudah berteriak gusar, Anita, cepat-cepat memutuskan telepon. Karena dia sudah tahu kalau putranya sudah berteriak dan gusar begitu alamat akan marah-marah. Dia tahu persis jika sang putra anti yang namanya perempuan, entah kenapa putranya itu bisa ilfeel kepada perempuan.

Setelah telepon dimatikan sepihak oleh mamanya, Guna hanya bisa menggerutu dan membuang napas kasar.

'Hah! Hadapin Mama sepertinya aku kalah terus,' rutuk Guna dalam hati.

Beberapa saat kemudian, Guna lagi sibuk dengan pikirannya. Tiba-tiba dikagetkan oleh teriakan dari arah dapur, sontak saja Guna langsung mengambil langkah seribu menuju ke arah dapur dan melihat seorang perempuan sudah duduk di atas meja makan sambil celingak-celinguk mengawasi sesuatu yang sepertinya menyeramkan.

'Siapa lagi ini perempuan,' batin Guna.

Dia sudah lupa tadi dikasih tahu, si Mbok. Bahwa ada perempuan yang akan bekerja di rumahnya, Guna sibuk memperhatikan perempuan tersebut sambil berpikir apa gerangan yang membuat perempuan di depannya ini berteriak histeris sehingga merusak indera pendengarannya di pagi-pagi begini.

'Ya Lord! Cobaan apa lagi ini? Ternyata sekeras-keras nyaringnya suara, Mama. Masih ada lagi yang menandinginya, kenapa hidupku selalu di kelilingi oleh yang bersuara keras dan cempreng begini? Bisa-bisa ini gendang telinga pecah seribu,' gumam Guna dalam hati.

"Heh! Siapa, Kamu? Pagi-pagi sudah main teriak seenak jidat di rumah saya? Mana suara cempreng begitu lagi."

"Hehe, ini, Tuan. Anu ... anu, itu, Tuan. Tadi ada makhluk yang menyeramkan dan menggelikan di situ."

"Makhluk apa? Di rumah saya tidak ada yang namanya makhluk menyeramkan dan menggelikan yang seperti kamu bilang, si Mbok selalu rajin bersih-bersih!"

"Bener, Tuan. Saya nggak bohong, tadi saya liat di situ."

"Emang makhluk apa yang kamu lihat? Kok, sampai segitunya teriak-teriak? Mana langsung nangkring di atas meja lagi, itu meja buat makan bukan buat tempat nangkring."

"I-iya, Tuan. Saya tahu, saya minta maaf tapi saya sangat takut sama makhluk itu."

"Iya! Makhluk apa, Nona cempreng?"

'Coba kalau saya nggak lagi takut, nih orang sudah tak bejek-bejek mulutnya, seenak jidat merubah nama orang, nama udah cantik-cantik begini didoain satu kampung dan dipotongin kebo sama, Mak Bapak. Eh, malah makhluk satu ini main ganti-ganti saja kayak ganti baju,' batin Giana.

"Halo, Nona cempreng. Kok, malah bengong? Ditanya juga nggak dijawab, makhluk apa yang kamu lihat?"

Dengan gugup Giana menjawab, "Itu, Tuan. Di situ ada kecoak, Tuan."

"Apa? Kecoak?"

Spontan Guna pun tanpa berpikir panjang langsung naik di atas meja seperti yang dilakukan Giana karena dia sendiri pun takut dengan makhluk yang menggelikan itu.

"Kenapa, Kamu. Nggak bilang dari tadi, Nona cempreng?"

Giana tercengang melihat Guna yang langsung loncat, dalam hitungan detik laki-laki itu sudah di sebelahnya sambil meracau panjang kali lebar.

'Apa-apaan ini, badan kekar wajah sangar dan tampan. Eh, kok, tampan? Tetapi hati hello kitty,' batin Giana.

Mereka berdua belum turun dari atas meja tersebut, masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesaat kemudian si Mbok datang, ekspresi heran binti bingung menyelimuti wajah perempuan paruh baya itu karena menyaksikan Guna dan Giana nongkrong di atas meja dengan ekspresi yg sulit diartikan.

"Nona Giana! Tuan Guna! Kenapa bisa ada di atas meja? Nyaman, sih, nyaman tuan. Tetapi bukan berarti meja dijadikan tempat nongkrong, loh."

Guna maupun Giana kaget denger teguran si Mbok, antara malu dan sungkan Guna turun begitu pun Giana dengan muka merah dan kikuk ikut turun.

Si Mbok bertanya lagi, "Tuan, ada apa? Kok, kayak ngeliat hantu?"

"Ini gara-gara si Mbok, nih, nggak becus bersihin rumah makannya makhluk menggelikan itu bebas berkeliaran."

"Emang makhluk apa, sih, Tuan? Kok, sampai Tuan dan Nona Giana pada tegang begitu?"

Guna menjawab. "Kecoak, Mbok!"

"Owalah, Tuan. Tuan takut kecoak toh"

"Bukan takut, tapi geli!"

"Aduh, Tuan. Percuma itu badan dikekerin tapi sama kecoak saja takut, gimana sih, Tuan?" Si Mbok tergelak.

Giana yang berada di sebelahnya hanya membatin, 'Sumpah seumur-umur baru ketemu laki-laki yg takut kecoak.'

"Aduh, Mbok. Bukan takut tapi geli, Mbok. Geli!" Guna bergidik.

"Takut dan geli itu bedanya apa sih,Tuan?"

Tanpa menjawab apa yang dikatakan si Mbok, Guna melenguh dan berlalu meninggalkan ruangan yang masih terdengar suara tawa yang memekakkan telinganya.

💕💕💕💕💕💕💕💕💕

Guna duduk di ruang tengah dengan seribu pertanyaan.

'Tadi perempuan itu siapa dan dari mana asalnya kok sudah ada dalam rumah aja,' gumam Guna.

"Mbok! Mbok!"

"Iya, Tuan!" Si Mbok lari tergopoh-gopoh menuju sang tuan.

"Manggil saya, Tuan?"

"Yang tadi, siapa Mbok?"

Yang tadi? 'Kan Mbok sudah bilang, Tuan. Itu perempuan yang dikirim Nyonya besar untuk kerja di sini, masa lupa lagi?"

Guna kaget mendengar ucapan si Mbok. 'Oh iya ya, tadi si Mbok sudah bilang,' batin Guna.

"Panggilin dia, Mbok!"

"Aiiissiiiaapppp, Tuan!"

Beberapa menit kemudian, Giana datang dengan muka masih merah dan kikuk dengan kejadian tadi. Dia tidak tahu bagaimana memulai merangkai kata untuk menyapa.

"Permisi tuan," sapaan lembut membuat Guna menoleh.

Pandangannya menyapu pada seorang gadis yang memakai apron biru tersebut. Gadis itu berdiri gugup di sebelahnya. Wajah malu-malu yang dibingkai ranbut hitam sepunggung.

"Kamu Giana?" tanya Guna pelan.

Wanita di depannya mengangguk pelan, menatap Guna sambil menggigit bibir bawahnya takut-takut. “Iya, saya Giana.”

Beberapa saat mereka hanya diam, hanya deru nafas yang terdengar dalam ruangan tersebut. Mata tajam Guna menelusuri gadis yang berdiri gugup di hadapannya. Tanpa sadar mendesah dan berpikir jika hidupnya sebentar lagi akan berada dalam fase sulit.

"Kamu siapa? dari mana? Dan siapa namamu?" Guna memberondong Giana dengan beberapa pertanyaan sekaligus.

"Nama saya, Giana Anastasya, Tuan. Saya dikirim Nyonya besar ke sini untuk membantu si Mbok beres-beres rumah. Saya dari kampung, satu kampung dengan Nyonya besar, Tuan."

Sesaat mereka membisu, mereka masih sibuk dengan pikiran masing-masing.

Giana menahan napas dan sibuk menggigit bibir bawahnya untuk menahan sakit di kaki yang berdenyut-denyut karena dari tadi hanya berdiri. Sementara matanya mencuri-curi pandang ke arah Guna yang duduk di sebelahnya. Dia menilai bahwa sang laki-laki sangat tampan. Dengan rahang kokoh dan alis lebat. Memakai kemeja biru terang sehingga menambah ketampanannya. Tatapan mata Guna yang terlihat tidak bersabat membuat dia enggan memulai pembicaraan.

Dan akhirnya, Guna bersuara. “Ya sudah, untuk peraturan yang berlaku di rumah ini tanyakan ke si Mbok, karena dia sudah tahu dan hafal semua peraturan yang ada!"

"Iya, Tuan. Kalau gitu saya permisi."

Guna mengangguk, "Ya!"

Setelah Giana kembali ke dalam, Guna pun kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Sebagai seorang CEO teladan, dia tidak ingin terlambat.

Di kantornya, Guna masih memikirkan hal konyol yang terjadi tadi pagi di rumahnya, dia nggak sadar bibirnya menyunggingkan sebuah senyum. Ya, dia senyum-senyum sendiri dalam ruangannya.

'Hah! Lumayan manis,' batinnya.

'Apa ini? Aku memikirkannya? Oh tidak, aku anti yang namanya perempuan,' kembali dirinya bermonolog dalam hati.

Lagi asyik menikmati lamunannya, tiba-tiba Guna terkejut dengan pintu yang dibuka, tanpa diketuk dan tanpa permisi. Siapa lagi yang berani masuk seperti itu selain mamanya, perempuan awal enam puluh tahun itu masih kelihatan fresh dan cantik dari umurnya.

Guna bangun dari mejanya dan menyambut sang mama, biarpun mereka sering bertengkar tetapi Guna sangat menghormati dan menyayangi ratu penguasa hatinya dan hati papanya itu.

Setelah menyilahkan mamanya duduk, Guna menelpon sekretarinya untuk membuatkan minuman kesukaan sang mama.

"Mama, kok, tiba-tiba datang?"

"Kenapa? Emang Mama nggak boleh datang ke kantor anaknya, Mama. Ya sudah! Kalau begitu, Mama pulang nih," sambil merapikan pakaiannya dan bangun ingin pulang tapi sebenarnya hanya gertakan sih.

"Mama! Mama! Mama, jangan gitu donk. Masa iya gitu saja ngambek, nanti cepat keriput loh, Ma. Terus Papa cari Mama baru deh kalau Mama keriput." Guna tergelak.

Guna puas menggoda mamanya dan berhasil membuat perempuan itu gondok, suatu keberhasilan yang sangat besar jika bisa membuat perempuan itu dalam mode marah.

"Anak sama Bapak, sama-sama ngeselin dan hobby bikin mamanya gondok, nanti Mama kutuk jadi kodok baru tahu rasa," racau Anita.

"Iya deh, maaf wanita terhebat dan tercantikku yang tiada duanya. Anak mu ini minta maaf ya!"

Sambil memainkan ujung rambut mamanya, Guna merayu agar perempuan awal enam puluan itu melunak dan tidak gondok lagi.

Bab 3 Calon menantu idaman

"Hehe, iya deh, maaf wanita terhebat dan tercantikku yang tiada duanya anakmu ini minta maaf."

Sambil memainkan ujung rambut mamanya, Guna merayu perempuan awal enam puluan itu agar melunak karena sebesar apapun rasa kesalnya terhadap sang mama, Guna tetap menyayangi dan sangat menghormatinya.

"Udah, Ma. Jangan, ngambek lagi. Hidup Guna hampa kalau Mama ngambeknya lama."

"Anita mencebik, "Aduh, coba anak menantu yang merayu Mama, pasti lebih endes, deh."

Dalam hati Anita berharap, jika sang anak mau membuka hatinya sedikit untuk perempuan. Akan tetapi yang disindir nggak peka, malah berusaha mengalihkan topik pembicaraan tanpa peduli apa yang ia ucapkan.

"Mama yang cantik tidak selamanya bahagia itu harus bersama pasangan, loh."

Guna mencoba untuk membela diri, siapa tahu kali ini ia akan menang adu argument sama mamanya tetapi apa mau dikata boro-boro menang kena semprotan sengit, iya.

"Mama tidak berharap liat kamu bahagia, namun setidaknya ngasih Mama cucu. Buat Mama Papa bahagia kalau kamu nggak mau bahagia."

"Dih, egois amat, sih, Mama. mau bahagia sendiri, yang jalani Guna, Ma."

"Ini anak, tak kutuk beneran jadi kodok baru tahu rasa, sama sekali nggak ada empati-empatinya terhadap orangtua yang begitu merindukan makhluk yang namanya cucu. Mama juga pengen kayak teman-teman Mama yang lain cerita tentang cucu-cucu mereka, lah Mama apa yang mau di ceritain? Masa, iya, Mama ceritain kamu yang bujang lapuk?"

"Tenang, Ma. Nanti kalau sudah waktunya pasti Guna akan menikah, cuman sekarang jodohnya belum datang, Mama."

"Kamu kira jodoh bakalan datang ketika kamu pangku tangan tanpa usaha?"

Guna tidak menjawab, kalau dipikir-pikir terkadang apa yang mamanya ucapkan ada benarnya, namun urusan perempuan ia tidak mau ambil pusing. Tak mau repot, pikirnya perempuan mempunyai sifat yang sama, menyebalkan dan menyakitkan.

"Begini, ya, anak Mama yang gantengnya hampir kadarluasa. Jodoh itu bukan seekor nyamuk yang datang lalu ditangkap, haap! Terkadang kalau tidak ada usaha untuk mencarinya, itu jodoh tidak akan datang. Apa lagi di usia kamu yang sekarang ini?"

Lagi dan lagi, Guna hanya diam mendengarkan racauan panjang kali lebar sang mama. Dijawab pun percuma, racauan itu sudah menjadi makanan sehari-harinya. Makin dijawab makin naik oktafnya, makin dilawan makin sengit dan ngeri balasannya.

'Heran, aku ini beneran anak mereka nggak, sih? mereka kira gampang nyari jodoh yang sesuai selera hati,' batin Guna.

Beberapa saat setelah puas meracau, Anita pun pulang dengan segala uneg-uneg yang masih tertahan, ingin rasanya ia ngubek-ngubek isi kepala anaknya agar pikirannya terbuka bahwa hidup berpasang-pasangan itu penting.

'Sebenarnya apa, sih, maunya itu anak? Jangankan nikah pacaran pun ogah,' rutuk Anita dalam hati.

Anita tidak pulang ke rumahnya melainkan ke rumah Guna, ia mau menengok Giana anak sahabatnya yang dari kampung yang ia suruh bekerja di rumah anak bujangnya itu. Dalam perjalanan, tak lupa mampir di sebuah butik langganannya untuk membelikan Giana beberapa potong pakaian karena saat berangkat anak temannya itu tidak banyak membawa pakaian.

💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕

Giana sedang membersihkan setiap inci tempatnya bekerja, ia sedang membuat taman di belakang rumah tersebut. Ditanamnya bunga-bunga karena ia sangat suka keindahan dan mempunyai selera seni dalam menata.

Giana sedang asyik mengerjakan pekerjaannya. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari arah depan.

"Ada orangkah di dalam sana?"

Dengan mlangkah gontai, Giana ke depan, ia membuka pintu.

“Iya, ada orangnya. Eh, Tante cantik datang kirain siapa tadi?"

"Iya, nih. Tante, bosan di rumah sendiri, makanya ke sini kebetulan di sini ada kamu. Oh, iya. Kaamu lagi ngapain sih? Kok, acak-acakan begitu?"

"He he, iya, Tante. Acak-acakan, soalnya Giana lagi bersih-bersih daan lagi membuat taman kecil di belakang. Lumayan Tante, biar nggak gersang. Giana bikinin taman untuk ditanami bunga-bunga segar biar agak indah dipandang mata."

"Aduh, rajinnya ... sudah cantik, ayu, terampil lagi."

" He he! Dikit, Tante. Nggak ada kerjaan, ya sudah, Giana bikin itu. Itung-itung olahraga juga."

'Coba ini menantu saya. Pasti bahagia hidup ini! Ahaa, aku punya ide untuk mereka berdua,' pekik Anita dalam hati.

"Tan-Tante! Kok, bengong? Cantik, ggak, Tante tamannya?"

"I-iya. Cantik, kok. Cantik banget malah, terampil banget kamu, Sayang?”

"Ya sudah, Tante. Tante, mau minum apa atau mau sesuatu untuk ngemil? Giana bikinkan!"

"Apa saja, Sayang. Tante mah pemakan segala apa pun enak di mulut, Tante!"

"Tante duduk yang manis di sini, Giana masakin sesuatu buat, Tante."

"Okeh, Cantik! Tante tunggu."

Anita tersenyum melihat punggung gadis itu meninggalkannya menuju dapur untuk membuat sesuatu untuknya.

Sambil mengutak ngatik remot TV, Anita berpikir untuk melancarkan aksi dan rencananya untuk menjodohkan sang putra dengan Giana. Sedikit demi sedikit, rencana pun ia susun di kepalanya agar tidak gagal seperti sebelum-sebelumnya.

'Kali ini, harus berhasil untuk menjodohkan anak bujanganku yang super dingin itu' batin Anita.

Beberapa saat kemudian, Giana kembali ke ruang tengah untuk memanggil Anita karena masakan sudah siap.

'Semoga Tante suka masakanku,' gumam Giana.

"Tante cantik, makanan sudah siap dieksekusi mumpung lagi panas enak, loh, Tan."

"Oh, ya? Tante sudah nggak sabar ingin mencicipi masakan itu."

Giana hanya tersenyum simpul saat Anita tersenyum lebar menyanjungnya. Dengan mata berbinar bahagia Anita menuju di mana makanan itu berada sambil berandai-andai riang 'Seandainya ia, anak menantuku' tetapi sayang seribu kali sayang itu hanya sebuah kata andai.

Dengan lahap, Anita menyantap makanan yang ada sambil mengoceh panjang kali lebar pastinya, Giana hanya menjadi pendengar setia karena ia tidak ikut makan.

Anita makin gencar dan semangat dengan yang direncanakannya, nggak sabar ingin pulang dan memberitahukan ke suaminya apa yang ingin dia lakukan? Dalam benaknya kali ini perjodohan yang direncanakannya harus berhasil .. harus .. !!!

'Tunggu saja anak Mama yang tampan tetapi aneh, hi hi. Bukannya mau ngatain anak readers tapi tau sendiri itu anak umurnya sudah sepantasnya momong anak'

"Giana! Tante, sudah kenyang dan sekarang mau langsung pulang cantik, ya."

"Kok, cepat sekali pulangnya? Nggak sekalian nunggu tuan? Bentar lagi tuan pulang, Tante."

"Akh! Nggak apa-apa, Tante mau pulang sekarang. Tante lupa ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan Om mu. Oh, iya, tadi kamu manggil Guna apa?"

"Tuan, Tante."

"What?"

"kenapa, Tante?"

"Aduh! Giana! Kok, kamu manggilnya, Tuan? Sebut nama saja, nggak usah pake, Tuan."

"Giana di sini ART, Tante. Wajarlah, Giana manggil anak tante itu dengan, Tuan."

"Oh! Begitu? Ya sudahlah, mana mau kamu."

Dalam hati Anita meracau 'kamu bukan ART sayang tapi kamu sudah niatin untuk jadi calon menantu, Tante. Cuman sedikit ektrim memang caranya kalian bertemu karena anak tante itu alergi yang namanya perempuan.'

💕💕💕💕💕💕

Beberapa saat kemudian Anita sampai di rumahnya, ia sudah melihat mobil sang suami sudah terparkir manis di garasi. Berarti suaminya sudah pulang. Dengan langkah gontai ia masuk dan langsung berteriak memanggil sang suami tanpa jeda.

"Pa! Papa!"

Belum ada jawaban dari sang suami. 'Akh! Papa di mana, sih. Nggak tahu apa ada berita penting yang mau aku sampaikan untuk masa depan anak semata wayangnya yang aneh itu? Hi hi. Anak aku juga, sih,' Anita bermonolog sambil memanggil-manggil suaminya.

Anita masuk kamar dan terus berteriak memanggil sang suami.

"Pa! Papa!"

Sesaat kemudian terlihat kepala Angga menyembul dari balik pintu kamar mandi dengan raut sedikit kesal.

"Ada apa sih, Ma. Dari tadi teriak-teriak terus, macam orang kesurupan aja!" Ternyata suaminya baru selesai membersihkan diri karena baru pulang dari kantor.

"Mama, ada berita penting buat, Papa!"

"Sepenting apa, sih, Ma. Sampai Mama kalang kabut begitu? Akh, Papa tahu ini paling ini akal-akalan Mama, karena mau minta duit buat shoping lagi 'kan?"

"Aduh, Papa yang ganteng seantero rumah pada masanya karena sekarang sudah digantikan sama anaknya, ini lebih dari minta duit buat shoping, Papa!"

Dengan santainya sang suami bilang, "Tumben ada yang lebih penting dari duit shoppingnya, Mama?"

"Makanya, Papa. Dengerin dulu jangan dipotong terus. Mama lagi ngomong biar Papa tahu sepenting apa berita yang mau Mama sampaikan!"

"Oke! Kalau bagitu, ada apa?"

"Kita jodohkan Guna, Pa!"

Spontan Angga, Anggara Atmadja, ya, itulah nama papanya Guna. Dia seorang konglomerat yang mempunyai perusahaan di beberapa kota di Indonesia, bahkan sudah go Internasional. Tapi orangnya nggak sombong selalu care sama setiap orang. Sudah, sampai di sini dulu perkenalan dengan papanya Guna, sekarang kembali ke laptop!

"Bukankah dari dulu selalu gagal, Ma?"

"Iya, Pa. Dari dulu memang selalu gagal, tapi kali ini harus berhasil. Mengingat umur anak kita sudah kepala tiga, tuh."

Angga sedikit berpikir tentang anaknya itu "Kali ini, perempuan mana lagi yang mau Mama jodohkan dengannya?"

"Papa, masih ingat nggak? anak gadis yang tempo hari Mama bawa dari kampungnya Mama. Anak temannya Mama dari kampung itu, loh, Pa?"

Angga mengernyitkan dahinya, "Sekarang anak itu di mana?"

"Mama, suruh kerja di rumahnya, Guna!"

"Loh, bukannya tempo hari Mama bilang itu anak lulusan S2 di universitas ternama dengan predikat kumlaud. Kok, malah mau jadi ART, sih, Ma?" Angga semakin bingung dengan jalan pikiran sang istri.

Giana memang lulusan S2 di universitas ternama. Selain cantik, ia sangat cerdas sehingga lulus dengan predikat kumlaud dan berhasil menyelesaikan studinya dengan cepat. Gadis yang sangat ulet meraih mimpinya.

Angga mendengar penuturan sang istri dengan seksama tentang prestasi-prestasi yang sudah Giana capai, tidak sedikit pun Angga mendengar bahwa gadis itu angkuh atau menyombongkan diri.

"Waah! Mama, gadis itu benar-benar calon menantu idaman, ia harus menjadi menantu kita," ternyata Angga lebih antusias dari sang istri.

"Makanya, Papa. Gimana caranya agar dua anak manusia itu bisa bersatu, kita harus menyusun sebuah rencana yang benar-benar matang biar nggak berakhir tragis seperti sebelum-sebelumnya."

"Oke, Mama! Deal?"

"Deal!"

Hening.

Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing, mereka memikirkan cara yang paling ampuh untuk memuluskan apa yang mereka rencanakan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!