(Terimakasih sudah follow instagram Author: @Kyna.as)
Aku benci dunia ini.
Lebih baik aku mati.
Gadis dengan syal ungu. Menyetir mobil dengan kecepatan tinggi. 40 meter lagi akan ada jurang. Gadis itu meneguhkan hatinya. Dan bersiap terjun bersama mobilnya. Lalu mati.
"Dunia ini akan berakhir, dan aku tak akan pernah bersyukur pernah hidup di dunia ini."
Mungkin kata itu adalah kata terakhirnya. Mungkin.
Apa yang terjadi padaku...
Nyanyian merdu kelihatan menyelimuti. Nada nada itu terasa hangat. Seolah tau gadis itu sedang kedinginan. Setelah itu angka angka tampak bergulir, seperti waktu. Kenangan buruk yang gadis itu alami berputar layaknya cd yang rusak.
"Mama, kenapa kau menjodohkan anak tirimu itu dengan kekasihku." Gadis itu menangis berbalut sesak di dadanya.
"Mama rasa Yana lebih cocok karena dia sempurna. Sedangkan kamu, kamu cantik tapi kulitmu seperti orang yang tidak diurus. Mama hanya tidak mau gara gara kamu, keluarga kita mendapat malu. Apalagi dengan rumor kalau perusahaan mu mendapat kebangkrutan akhir akhir ini." Dengan santainya, Deva selaku mama gadis itu memperbaiki konde rambutnya.
"Mama kenapa gak pernah sayang sama aku" gadis itu langsung melekas pergi.
"karena kamu adalah anak yang lahir karena hubungan terpaksa" seperti serangan badai, hati gadis itu terasa remuk seketika.
Kini gadis itu menatap rekaman itu dengan dingin. Wajahnya tegas dan menyeramkan.
"Tolong beri aku kesempatan untuk hidup" Ucap gadis itu dengan senyum miringnya.
Seperti ada tarikan dashyat. Gadis itu berteriak lalu terjatuh tanpa ia tahu kemana.
Sial!
Bukannya diberi kesempatan hidup untuk kembali menjalani kehidupannya. Clarissa malah bangun di tubuh orang lain.
"Dimana aku?" Gadis itu bangun dengan pemandangan asing di sekitarnya. Gadis itu mencoba bangun, namun pusing dikepalanya membuat ia tak bisa bangkit.
"Oh, ya ampun. Yang mulia jangan bangun dulu" Perintah seseorang dengan baju kurung hijau nya serta pengikutnya yang berjumlah 10 orang.
"sebenarnya, siapa kalian?" gadis itu masih bingung. Orang disini terlihat kuno. Bahkan tempat yang ia tempati juga kuno walaupun berbalut emas dan permata.
"Maafkan hamba yang mulia. Mungkin anda mengalami hilang ingatan karena racun otak yang di berikan Tera, anak selir kedua mendiang Raja." Gadis itu masih bingung. Dan lekas bertanya lagi.
"Dan siapa namaku?"
"Nama anda Meira Dahya."
Meira Dahya...
Setahuku, namaku Clarissa Bella. Aku dimana ini..
"sudahlah jalani saja hidupmu" Seperti ada yang berbisik, namun Meira tak tahu siapa.
"Sekarang ceritakan tentang keadaan negeri ini" Clarissa alias Meira. Sekarang menegaskan bahwa dia harus menjalani hidupnya sebagai seorang Meira.
"Terjadi kekeringan dimana mana, rakyat banyak yang mati karena wabah penyakit. Gadis gadis di tangkap dan dijual ke negeri seberang, dan anak lelaki dijadikan budak saudagar kaya. Kerajaan ini diambang kehancuran, Yang mulia." pelayan itu menunduk.
"Apa aku disini seorang ratu?" gadis itu memancarkan sinar hitam pada matanya. Sorot matanya tajam membuat pelayan pelayan diruangan itu ketakutan.
"Benar Yang Mulia. Hamba akan membantu Yang Mulia menceritakannya sedikit demi sedikit." Pelayan alias dayang itu tak berani menatap sorot mata gelap Ratu dihadapannya. Dia benar benar orang yang berbeda.
"Oh ya, umurku berapa ya?" kali ini Meira penasaran.
"26 tahun yang mulia." Jawab pelayan itu.
"oh!"
"ternyata umurku disini dan dunia ku yang dulu sama saja. apakah wajahku berbeda?" gumam Meira.
"Ternyata aku terlempar ke zaman kuno! skandal kandal konyol macam apa ini!"
"Siapa yang datang?" Meira bertanya pada kepala dayang. 3 jam yang lalu Clarissa alias Meira sudah banyak mengobrol dengan Rodiah, orang kepercayaan Meira.
"Pangeran Daviten Hesa, dia adalah kekasih yang mulia," ucap Rodiah.
"Sebulan yang lalu, setelah penobatan Yang mulia, dia datang membawa kabar buruk. Dia mengatakan bahwa dia datang untuk melamar Tera." Mendengar itu, Meira memiringkan senyumnya. Tiba tiba ia teringat kisah memilukan pada kehidupannya yang lalu.
Manusia di tubuhku ini memiliki kehidupan yang agak mirip sepertiku. Mengasyikan.
"Yang mulia kenapa melamun?"
"Tidak ada. Kau Rodiah, segera bereskan. Bilang kalau aku masih tidur dan usir saja dia" Rodiah langsung menuruti perintah Meira ketakutan. Yang mulia-nya telah berubah total. Dari yang lemah lembut menjadi keras berwibawa.
Rodiah mendapati Hesa sedang duduk di taman bersama pengikutnya. "Tuan, Yang Mulia Meira tak bisa menemui anda. Dia sedang tidur dan belum sembuh total." ucap Rodiah dengan kepala tertunduk.
"Bilang padanya kalau aku ingin minta maaf akan kejadian yang lalu." Pangeran Hesa pun pergi meninggalkan Rodiah yang mengumpat dalam hati.
Ratu Meira tidak seperti dulu lagi. Dia sudah berubah dan tidak mudah untuk ditipu. Gumam Rodiah.
****
"Naomi, Ningrum, Jeta, Hana, Ria, Lina, Tara, Yulia, Rika dan kau Rodiah, Aku perlu mengingat nama nama dayangku" ucap Meira membuat para dayangnya menghangat. Mereka merasa mereka cukup dihargai dan penting disini.
"Sebelas dari kalian adalah orang kepercayaanku. Kalian tidak hanya kuanggap sebagai dayangku melainkan sahabatku, jadi perlakukan aku layaknya seorang sahabat" mereka semua tersenyum bahagia. Namun, tetap saja mereka masih takut dengan Meira. Aura nya tajam dan menakutkan.
****
"Ibu. Kenapa kau harus menjadi selir kedua. Kenapa tidak menjadi permaisuri saja. Aku iri dengan gadis sialan yang mendapatkan kekuasaan dengan mudah. Sementara aku tidak,"
"Tera jaga bicaramu. Kau tak mengerti susah payahnya aku mencoba 1001 cara untuk membunuh permaisuri. Namun sia sia, karena statusku yang hanya selir disini." Rana, selir kedua raja meneguk habis teh melati yang di hidangkan pelayan istana.
"kenapa kau tidak menyuruhku dari dulu untuk membunuh mereka semua." Tera meletakan tangannya diatas paha dan mendengus kesal.
"Aku punya rencana yang lebih licik daripada engkau. Kau tinggal menikmati statusmu yang sekarang adalah calon istri Pangeran Hesa. Kau akan menjadi Ratu, masih kurang?" Rana akan meneguk teh nya lagi dan tersadar kalau teh nya sudah habis.
"Masih kurang!! Dan aku ingin semuanya. Aku ingin kehancuran. Kehancuran seorang Meira." senyum licik terbit di bibir Tera, sedangkan ibundanya hanya menaikan alisnya. Rana sudah lelah dengan semuanya, lebih baik ia menikmati hari tua nya.
****
"Yang mulia, makan malam sudah tiba. Kau ada pertemuan dengan ibu Yang Mulia," ucap Rodiah mengingatkan.
"Ibu?"
"Beliau adalah ibu kandung Yang Mulia."
"Ibuku, kenapa dia tidak berkunjung?"
"Nyonya Risa sedang sakit. Yang Mulia tidak ingat, seharusnya yang menjadi Ratu saat ini adalah Nyonya Risa yang tak lain dalah ibu kandung Yang Mulai Meira. Namun, melihat kondisi Permaisuri yang lemah ia akhirnya menobatkan Yang Mulia untuk mejadi pemimpin negeri ini." Meira hanya mengangguk paham. Kini Meira bergegas untuk bersiap, ia penasaran sekali bagaimana wajah ibunya.
"Menurutmu, pakaian apa yang pantas untuk kupakai?" Meira menatap gaun gaun yang ada di lemari, terlihat kuno dan norak bagi Meira.
"Hmm, gaun berwarna ungu ini sepertinya cocok untuk perjamuan malam." Meira mengangguk saja, dia pasrah dengan pakaian yang begitu kuno. Lain kali, ia harus mendesain baju sendiri.
Setelah selesai berdandan, Meira memakai mahkotanya sebagai langkah terakhir.
"Yang Mulia begitu cantik." Meira hanya mengangguk saja dan langsung pergi ketempat yang dimaksud Rodiah.
****
"Putriku, ibu dengar kau mengalami hilang ingatan. Maafkan ibu yang tidak bisa menjengukmu. Uhuk..uhuk..." Meira sangat sedih melihat Ibunya di dunia ini ternyata sangat menderita.
"Ibu, tidak apa. Aku mengerti kondisimu," Ucap Meira.
"Kau benar benar putriku yang perhatian. Seandainya aku tidak menikah dengan seorang raja, tentu kita tidak akan pusing dengan perebutan tahta." Risa menghampiri putrinya dan memeluknya.
Benar benar hangat, beginilah kasih seorang ibu yang aku inginkan.
"Ibu, kita jalankan saja kehidupan ini. Walau aku tidak mengingat apa pun, tentu ini sudah kewajibanku" Meira benar benar egois sekarang, dia akan menghabiskan waktunya dengan ibu Meira. Kapan lagi dia bisa mendapatkan kasih semanis ini. Dengan sedikit berbohong, Meira memeluk Risa.
"lebih baik kita lanjut makan, nanti makanannya dingin." Mereka pun melanjutkan makan mereka bersama.
"Yang mulia, Nyonya harus minum jamunya sekarang." Risa pun mengambil Jamunya setelah Meira mengangguk.
"Terimakasih, Adin." Risa hendak meminumnya, namun Meira penasaran dengan jamu itu.
"Ibunda, bolehkah aku melihat jamunya?" Risa mengangguk lalu memberikan cangkirnya kepada Meira.
"Apa ini!!" Meira berteriak ketika ia mengetahui campuran jamu nya. Semua pelayan menatap mereka bingung.
"Ada apa, nak?" Tanya Risa dengan heran.
"Sejak kapan ibu minum jamu ini?" bukannya menjawab Meira malah melontarkan pertanyaan.
"Hmmm, sepertinya sudah 5 bulan." mendengar itu Meira membelalakan matanya.
"Bu, mulai hari ini sampai seterusnya kuharap kau tak pernah meminum racun ini." Tegas Meira membuat semua orang yang ada disana terkejut termasuk Rana, selir kedua. Ia mendengus kesal karena rencana busuknya selama ini terbongkar begitu saja.
"Siapa yang berniat untuk membunuhku. Apa ini termasuk dalam perebutan tahta?" ucap Risa dengan lembut.
"Aku tak mau tau. Siapapun itu orangnya yang berniat membunuh ibuku, terima konsekuensinya dalam waktu dekat. Bersiap untuk hidup tanpa kepala!" teriak Meira membuat pelayan bergidik ngeri, mereka benar benar tak mau terlibat.
"Semua pelayan! Berkumpul di ruang sidang. Saat ini juga!" perintah Meira dengan berkacak pinggang.
"Baik, Yang Mulia." ucap mereka serentak.
"Kau pelayan yang bertugas di dapur, sekarang kau ceritakan yang terjadi selama ini!" perintah Meira.
"Maaf, Yang Mulia. Hamba tidak tahu. Hamba hanya menjaga pintu masuk. Yang hamba curigai adalah selir kedua yang masuk ketika jadwal minum jamu Nyonya tiba." pelayan pendek itu menunduk karena merasakan aura dingin dan mencekik dari tatapan menusuk Meira.
"Kau, Seingatku ibuku memanggilmu dengan Adin. Kau tadi yang membawakan jamu itu. Sekarang kau jelaskan!" Pelayan yang bernama Adin tersebut menggigil ketakutan, membuat Meira yakin ia tau sesuatu. Adin berkeringat dingin dan kaki nya bergetar, ia hampir saja jatuh hanya karena tatapan Meira.
"kenapa kau tak menjawab. Apa kau tau segalanya?" Meira meraih dagu Adin dan menghempaskannya kasar.
"A-nu Yang Mulia. Hamba tidak tahu." Meira semakin curiga karena pernyataan yang diberikan Adin tidak sesuai dengan gestur tubuh nya saat ini. Sehingga menimbulkan ide bagus dari otak cantiknya Meira.
"Kalau kalian tidak mau jujur. Aku akan membuat keturunan kalian menderita, bila perlu mati sekarang juga. Namun sebelumnya aku akan memenggal kepala kalian terlebih dahulu." Meira duduk di kursi pemimpin di ruang sidang tersebut dengan santai. Ia menyilangkan kakinya dan menumpukan dagunya diatas tangannya dengan lentik. Meira sedang menunggu sampai mereka mau membuka suara.
"Y-Yang Mulia." semua menatap Pelayan dengan tompel dibawah matanya.
"Yah?" Tanya Meira.
"Pelakunya adalah Nyonya Rana, selir kedua. Sebelumnya dia juga pernah membunuh selir pertama dengan jamu racun. Dia juga sedang melancarkan aksi pertamanya untuk membunuh Nyonya Risa, ibu kandung Yang Mulia." pelayan itu menunduk ketakutan dan menangis. Dia mengeratkan tangannya pada baju kurung yang ia pakai.
"Kalian dibayar berapa untuk menutup mulut, huh?" tanya Meira.
"kami tidak dibayar, tapi jika kami membuka mulut maka kami akan di racun dengan jamu itu juga." Jawab Adin dengan penuh kecemasan.
"Kalau kalian membuka mulut padaku maka kalian akan selamat. Kalian boleh kembali dan terima hadiah dariku karena kalian semua mau membuka mulut, dan kau Adin, kau Si Pendek dan kau si Tompel. Kalian mendapat hadiah yang berbeda dari mereka semua." mendengar hal itu, mereka bergembira. Mereka kira mereka akan dihukum ternyata Ratu mereka malah memberi mereka hadiah.
"Dan aku akan memberi imbalan, jika kalian memberi satu informasi, maka akan kuberi 10 koin emas dan kelipatannya. Katakanlah kalau kalian tidak hanya kupekerjakan sebagai pelayan tapi kalian ku pekerjakaan sebagai mata mata istana ini." mereka semua mengangguk bahagia, posisi mereka menjadi terasa lebih penting dibandingkan sebelumnya. Mereka merasa lebih dihargai dan berharga menjadi mata mata ratu mereka.
"Tapi," Meira memberi jeda.
"Jika salah satu dari kalian berkhianat. Maka bersiap menjadi badan tanpa kepala." Mereka semua mengangguk dan tersenyum. Meira pun mempersilahkan mereka pergi. Dan tinggalah Meira sendiri di ruang sidang itu.
"Sepertinya dunia yang aku jalani sekarang sangat menyenangkan. Aku Clarissa akan menjalani kehidupan pemilik tubuh yang bernama Meira."
****
"Penggal kepalanya sekarang juga. Apa perlu aku yang memenggalnya dengan tanganku sendiri, huh." Dengan kursi kebesarannya, Meira memerintah Deas untuk memenggal kepala selir kedua. Semua mata menyaksikan adegan pilu tersebut. Tera menangis tersedu-sedu saat tahu ibu kandung nya hendak mendapatkan hari penghakimannya.
"Meira, sejak kapan kau berubah menjadi kejam. Setahuku, kau adalah anak yang lemah lembut. Kenapa kau berubah?" teriak Tera diselingi dengan tangis pilu keluarga dari pihak selir kedua.
"Aku berubah karena aku sadar. Kerajaan ini butuh sebuah revolusi besar besaran. Jika aku menjadi manusia yang lemah lembut, bagaimana sebuah hukum dijalankan? Mereka pasti akan meremehkanku termasuk kau!!" Meira turun dari kursi kebesarannya dan mengambil pedang yang akan digunakan untuk memenggal kepala Rana.
"kalau kau tak mampu memenggal, biarkan aku yang memenggal!." Meira mengayunkan pedang tersebut, sedikit lagi akan mengenai kulit leher Rana dan dia mengayunkan lagi dan Skreeeekkkkk....Darah segar mengalir dengan lancar, daging nya keluar beserta selaput selaput licin yang ada di dalam leher. Darah semakin deras dan akhirnya kepala itu terlepas dari tubuh pemiliknya. Setelah Meira rasa cukup, ia pun menarik pedangnya dan membersihkan darah yang menempel dari pedang tersebut.
"KAU SEORANG PEMBUNUH!!!" teriak Tera histeris dengan tangis yang semakin menggelegar keluar.
"Kau bilang aku pembunuh. Apa kau tak tahu kalau ibumu juga membunuh selir pertama. Semua boleh keluar karena drama sudah selesai. Dan jangan lupa Rodiah kau bersihkan semua ini bersama pelayan pelayan."
"B-baik, Yang mulia." ucap Rodiah dengan mulut yang bergetar. Karena baru saja menyaksikan adegan yang tak biasa, apalagi pemerannya adalah Ratu Meira yang lemah lembut ralat Ratu Meira yang kejam.
Meira pun lekas keluar dari ruangan untuk segera membersihkan tubuhnya.
"Oh ya, Rodiah. Jangan lupa perintahkan mereka untuk mempersiapkan pemakamannya." Perintah Meira ketika Meira sudah tampak jauh.
"Baik, Yang mulia." Rodiah meneguk ludahnya ketika ia menatap kembali mayat segar yang tergeletak begitu saja setelah digantung.
"Kalian berbagi tugas dengan membuat kelompok. Kelompok pertama membersikan mayat, kelompok dua membersihkan ruang dan kelompok tiga menyatukan kepala dan badan Nyonya Rana!" perintah Rodiah yang kemudia diangguki dengan semua pelayan.
"Jumlah pelayan disini ada 250. Kalian bagi saja kelompoknya sendiri atau saya yang membagikan?" tanya Rodiah.
"Kami saja, bu." ucap mereka serentak.
****
"hmmm, sabun dan pewangi disini segar sekali. Walaupun kuno, tetapi kualitasnya tidak kalah dengan kualitas yang ada di dunia ku dulu." Meira bergumam sambil menggosok gosok badannya. Sekarang ia sedang berendam di air hangat yang penuh dengan wewangian.
"Hidupku bahagia sekali di tubuh seorang Meira. Hmm. Meira sepertinya aku tak tahu bagaimana caranya keluar dari kehidupanmu yang nyaman ini." gumamnya lagi.
"oh iya bagaimana kalau aku membuat cermin?" Ucap Meira pada dirinya sendiri sambil memainkan sabun dan membuat gelembung yang memantulkan pantulan wajahnya.
Tbc..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!